1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Beberapa negara berkembang saat ini termasuk Indonesia banyak
bermunculan perusahaan-perusahaan besar yang menjual sahamnya kepada public, seiring dengan meningkatnya perusahaan semacam ini maka semakin meningkat pula kebutuhan perusahaan untuk menggunakan jasa auditor dari Kantor Akuntan Publik sebagai pemeriksa laporan keuangan yang disusun oleh manajemen perusahaan untuk memastikan apakah laporan keuangan mereka sudah sesuai dengan standar yang berlaku umum di Indonesia dan tidak adanya kesalahan-kesalahan atau kecurangan dalam penyusunan laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen, laporan keuangan tersebut merupakan pernyataan manajemen yang disajikan untuk para pemakai laporan keuangan yang berkepentingan, terutama pihak luar perusahaan, seperti investor, kreditur, pemerintah, dan masyarakat, mengenai posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan selama satu tahun yang biasanya digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi ini masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan. Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan
laporan
keuangan
perusahaan
tersebut
sehingga
masyarakat
2
memperoleh informasi laporan keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan (Mulyadi,2002). Kepercayaan masyarakat atas kualitas atau mutu pekerjaan profesi akan semakin tinggi jika profesi tersebut menetapkan standar pelaksanaan dan tatanan moral atau perbuatan yang tinggi terhadap seluruh anggotanya (Sunyoto, 2014:41). Profesi akuntan publik di seluruh dunia merupakan profesi yang menghadapi risiko yang sangat tinggi. Hampir semua akuntan publik menyadari bahwa mereka harus memberikan jasa profesionalnya sesuai dengan standar profesional akuntan publik, mentaati kode etik akuntan publik dan memiliki standar pengendalian mutu (Sunyoto, 2014:30). Menurut Sunarto (2003:63) Kode Etik Akuntan Indonesia terdiri dari : 1. Prinsip Etika 2. Aturan Etika 3. Interpretasi Aturan Etika
International Standard on Auditing (ISA) menegaskan bahwa tujuan auditor adalah memberikan assurance yang memadai (Reasonable Assurance) bahwa laporan keuangan terbebas dari salah saji material yang disebabkan oleh kesalahan (error) atau manipulasi (fraud) (Tuanakotta, 2013:28). Tanggung jawab auditor
independen
adalah
mengaudit
laporan
keuangan
klien
serta
mengumpulkan bukti yang kompeten dan mencukupi untuk memberikan pendapat tentang laporan keuangan klien. Laporan keuangan yang disajikan adalah tanggung jawab klien, auditor hanya bertanggungjawab melaporkan apakah
3
laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum (Ed Dan M. Guy, 2001:15).
Arens et al (2008:5) Mengatakan seorang auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan guna mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti itu. Auditor juga harus memiliki sikap mental yang independen, kompetensi orang-orang yang melaksanakan audit akan tidak ada nilainya jika mereka tidak independen dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti.
Dalam melakukan auditnya seorang auditor harus bisa menentukan apakah
representasi
(asersi)
menyangkut
Existence
atau
Occurance,
Completeness, Rights and Obligations, Valuations atau Allocation, Presentation and Disclosure sudah betul-betul telah wajar. Maksud dalam hal ini adalah untuk memperoleh keyakinan dalam tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dengan kriteria yang ditetapkan dalam Standar Akuntansi yang Berlaku Umum (GAAP) seperti Statement of Financial Accounting Standarts (SFASs), Accounting Principles Boards Opinion (APBOs), Accounting Research Bulletins (ARBs), dan sumber-sumber dari Indonesia seperti PSAK, ETAP dan IFRS (Agoes, Sukrisno, 2012:6).
Salah satu terjadinya kegagalan audit (audit failure) adalah rendahnya sikap skeptisme profesional dari auditor itu sendiri. Skeptisme profesional yang rendah ini mengumpulkan kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang nyata
4
maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya (red flags, warning signs) yang mengindikasikan adanya kesalahan (accounting error) dan kecurangan (fraud) (Tuanakotta, 2011:77). Proses pengevaluasian bukti secara hati-hati dan obyektif dengan menggunakan skeptisme profesional yang selalu menduga-duga bahwa terdapat risiko penipuan pengakuan pada laporan keuangan dan mengasumsikan beberapa tingkat kecerobohan, ketidakmampuan, dan ketidakjujuran pada laporan keuangan tersebut, tetapi tanpa harus mengejar kemungkinan tinggi yang menganggap bahwa manajemen tidak jujur. Dalam literatur profesional telah menegaskan bahwa dalam beberapa keadaan skeptisisme dapat melibatkan tingkat kepercayaan, disertai dengan verifikasi yang tepat (Steven M. Glover, 2013).
Kasus PT. KAI berawal dari perbedaan pandangan antara manajemen dan dewan komisaris, khususnya ketua komite audit. Dewan komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor eksternal. Dewan komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Perbedaan pandangan antara manajemen dan komisaris tersebut bersumber pada perbedaan mengenai masalah uang muka gaji. Biaya dibayar dimuka sebesar Rp 28 Milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006, tetapi dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, menurut komite audit harus dibedakan pada tahun 2005. Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa terdapat
5
perselisihan antara manajemen dan komite audit, dimana dalam menentukan pembayaran gaji untuk bulan Januari 2006, komite audit meminta untuk dibebankan pada Desember 2005. Menurut laporan yang dihasilkan oleh auditor eksternal, pembayaran gaji dapat dibayarkan dimuka pada bulan Desember 2005 untuk pembayaran gaji tahun 2006. Ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, ketika komite audit mempertanyakan laporan tersebut,
manajemen
merasa
tidak
yakin
sehingga
pihak
manajemen
menggunakan jasa auditor eksternal (Komite Audit, 2008).
Kasus lainnya adalah kasus yang diberitakan oleh L.P di dalam kompas.com, bahwa seorang akuntan publik yang membuat laporan keuangan perusahaan Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 Milyar dari BRI Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam kredit macet. F.S kuasa hukum tersangka E.S, pegawai BRI yang terlibat kasus itu, Selasa (18/5/2010) mengatakan bahwa setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi, terungkap ada dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus ini. Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan apakah auditor telah melakukan kode etik dengan baik atau tidak, tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu melakukan kode etik yang berlaku maka inti permasalahannya adalah independensi dan tingkat pemahaman serta pengetahuan auditor tersebut dalam menjalankan prosedur audit.
6
Berdasarkan dari kasus keuangan diatas muncul pertanyaan mengenai apakah trik-trik rekayasa yang dilakukan pada laporan keuangan tersebut mampu dideteksi oleh auditor yang mengaudit laporan keuangan tersebut atau apakah sebenarnya auditor ikut dalam mengamankan praktik kejahatan tesebut. Apabila auditor tidak mampu untuk mendeteksi praktik rekayasa laporan keuangan tersebut tentu saja hal itu mengindikasikan kurangnya kompetensi dan skeptisme profesional auditor, namun apabila permasalahannya auditor ikut mengamankan praktik rekayasa tersebut, tentu itu berhubungan dengan independensi auditor.
Beberapa penelitian sebelumnya yang memberikan hasil seragam adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Gusty dan Ali (2008) menemukan bahwa kompetensi tidak mempengaruhi ketepatan pemberian opini oleh auditor. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Surroh Zu’amah (2009) yang menemukan bahwa kompetensi auditor berpengaruh positif terhadap opini auditor, dan menjelaskan semakin tinggi tingkat kompetensi auditor dalam melakukan audit maka akan menghasilkan opini yang baik pula. Masih dalam penelitian Gusty dan Ali (2008) menemukan bahwa skeptisme profesional auditor mempunyai pengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fanny Surfeliya dkk (2014) yang menemukan hasil bahwa skeptisme profesional auditor berpengaruh positif terhadap ketepatan pemberian opini audit. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Surroh Zu’amah (2009) dan Wayan Ari Prasetya (2014) menemukan hasil independensi auditor sangat berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan Johari dan Sanusi (2013) di Malaysia dengan sampel
7
184 auditor di perusahaan audit (Kantor Akuntan Publik) di Malaysia, berpendapat bahwa independensi yang diujikan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penilaian etis auditor.
Sejauh ini masih belum banyak kasus korupsi yang masih belum terungkap oleh auditor berkat kurangnya kompetensi, sikap skeptis, dan independensi seorang auditor ddalam sebuah KAP, ketiga hal tersebut masih menjadi pertanyaan besar hingga sekarang menyangkut apakah kasus korupsi yang masih belum banyak terungkap itu dikarenakan kuranganya pengawasan sebuah KAP terhadap kualitas auditor yang dipekerjakannya ataukah auditornya sendiri yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya untuk mempertahankan kompetensi yang diperoleh bukan hanya melalui pendidikan formal saja melainkan juga melalui pelatihan teknis dan pelatihan secara terus menerus melalui pengalaman dan perkembangan informasi saat ini dan selalu mempunyai sikap skeptis terhadap objek yang diauditnya serta independen dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengambil
judul
PROFESIONAL,
“PENGARUH DAN
KOMPETENSI,
INDEPENDENSI
AUDITOR
SKEPTISME TERHADAP
KETEPATAN PEMBERIAN OPINI AUDIT.”
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang dan tinjauan dari beberapa penelitian
mengenai pengaruh kompetensi dan skeptisme profesional auditor terhadap
8
ketepatan pemberian opini audit, maka penulis dapat mengidentifikasikan rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu:
1.
Bagaimana kompetensi auditor berpengaruh terhadap terhadap ketepatan pemberian opini audit.
2.
Bagaimana
skeptisme
profesional
auditor
berpengaruh
terhadap
ketepatan pemberian opini audit. 3.
Bagaimana independensi auditor berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini audit.
4.
Bagaimana kompetensi, skeptisme profesional, dan independensi auditor berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini audit.
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk
memperoleh suatu gambaran secara menyeluruh tentang sejauh mana kompetensi, skeptisme profesional, dan independensi seorang auditor menemukan solusi atas masalah ketepatan pemberian opini audit, sesuai dengan masalah yang telah didefinisikan tujuan penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi auditor terhadap ketepatan pemberian opini audit.
2.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh skeptisme profesional auditor terhadap ketepatan pemberian opini audit.
3.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh independensi auditor terhadap ketepatan pemberian opini audit.
9
4.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi, skeptisme profesional, dan independensi seorang auditor secara bersama-sama terhadap ketepatan pemberian opini audit.
1.4
Manfaat Penelitian Dari penelitian yang akan dilakukan ini penulis berharap dapat
memberikan manfaat, adapun manfaat yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1.4.1
Manfaat Teoritis Pengembangan ilmu pengetahuan: 1.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi para pembaca yang ingin lebih menambah wawasan pengetahuan khusus di bidang auditing dan mengenai ketepatan pemberian opini audit.
2.
Sebagai sarana bagi penelitian untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis dari bangku kuliah dengan yang ada di dunia kerja dan sebagai bahan referensi bagi yang melakukan penelitian lebih lanjut yang berkenaan dengan masalah yang dibahas penulis.
3.
Sebagai sarana untuk memperluas wawasan bagi penulis terutama mengenai pengaruh kompetensi dan skpetisme profesional terhadap ketepatan pemberian opini audit.
10
1.4.2
Manfaat Praktis Manfaat bagi lembaga-lembaga terkait: 1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi sejumlah Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam hal auditing khususnya hal yang mempengaruhi ketepatan pemberian opini audit.
2.
Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi auditor terhadap kemampuannya untuk melakukan audit yang baik dan berujung pada pelaporan yang akan mereka keluarkan
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan penelitian responden
yang akan diteliti adalah auditor-auditor yang bekerja di beberapa Kantor Akuntan Publik di Kota Bandung yang tercatat di IAI Dictionary (www.iapi.or.id). Adapun waktu dan pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 hingga penelitian ini selesai pada 02 November 2015.