BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Profesi dokter dipandang sebagai profesi yang mulia dan terhormat dimata masyarakat. Namun pada pelaksanaannya, seorang dokter memiliki tanggungjawab besar yang harus ditunaikannya dimana ia berkewajiban untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan bidangnya sebagai tenaga medis. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokteran atau melakukan tindakan pelayanan medis harus telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang agar dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi kedokteran. Dalam menjalankan profesinya melaksanakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, seorang dokter ketika melaksanakan tindakan medik terhadap pasien haruslah
dengan
tujuan
memelihara,
meningkatkan,
memulihkan
kesehatan,
menghilangkan atau mengurangi penderitaan yang dialami oleh pasien agar dapat mencapai kesehatan yang optimal. Menurut Budi Sampurno, dalam melakukan tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik seorang dokter haruslah : 1. Mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi, dan pasien; 2. Mempertimbangkan etika, prinsip-prinsip moral, dan keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis yang dihadapi. Menurut Danny Wiradharma, secara material suatu tindakan medik tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Mempunyai indikasi medik untuk mencapai suatu tujuan yang konkret; 2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran; dan 3. Sudah mendapat persetujuan dari pasien.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran mengatur bahwa sebelum dokter melakukan tindakan medis terhadap pasien, dokter harus mendapatkan persetujuan tindakan medis (informed consent) dari pasien tersebut, karena tanpa informed consent dokter dapat dipersalahkan atas tindakan hukum yang dilakukan terhadap pasien. Informed consent merupakan suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar, dan rasional setelah memperoleh informasi yang lengkap, valid, dan akurat yang diperoleh dari dokter tentang penyakitnya serta tindakan medis yang akan diperolehnya.1Informed consent dapat diberikan secara lisan atau tertulis, namun untuk tindakan medis beresiko tinggi harus diberikan secara tertulis. Jenis tindakan medik yang memerlukan persetujuan secara tertulis adalah sebagai berikut :2 1. Tindakan-tindakan yang bersifat invasif dan operatif atau memerlukan pembiusan, baik untuk menegakkan diagnosis maupun tindakan yang bersifat terapeutik; 2. Tindakan pengobatan khusus, misalnya terapi sitostatika atau radioterapi untuk kanker; 3. Tindakan khusus yang berkaitan dengan penelitian bidang kedokteran atau uji klinik (berkaitan dengan bioetika), tidak dibahas dalam kegiatan keterampilan medik ini. Pelaksanaan informed consent semata-mata menyatakan bahwa pasien dan atau wali nya telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Setiap kelalaian,
1
Y.A Triana Ohoiwutun, 2009, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Cetakan Kedua, Bayu Media Publishing, Malang, hlm.37 2 Dental Universe Indonesia, “Persetujuan Tindakan Medik (Inform Consent)”, http://www.dentaluniverseindonesia.com/home/62-persetujuan-tindakan-medik.html, diakses pada 20 Oktober 2016
kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis tetap bisa menyebabkan pasien tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.3 Adami Chazawi mengemukakan informed consent memiliki fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Sedangkan bagi pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya informed consent.4 Dalam praktek pelaksanaan tindakan medik seringkali ditemui kondisi gawat darurat dimana dokter harus bertindak cepat dan tepat untuk dapat menyelamatkan nyawa pasien dari kematian. Dalam kondisi tersebut dokter harus berpacu dengan waktu sehingga tidak sempat untuk memberikaninformed consent secara tertulis. Meskipun keberadaan informed consent sangatlah penting untuk perlindungan hak dan kepentingan pasien maupun dokter, namun hal tersebut tidak boleh menjadi penghambat bagi dokter dalam menyelamatkan nyawa pasien. Hal tersebut senada dengan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik yang menyebutkan bahwa “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
Landasan Teori, “Pengertian Tindakan Medis (Informed Consent), Definisi Fungsi dan Tujuan Pengaturan Hukum”, http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-tindakan-medis-informed.html?m=1, diakses 20 Oktober 2016 4 Jamsos Indonesia, “Fungsi Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik”, http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout231diakses pada Senin 3 Oktober 2016 3
Selain dalam Pasal 4 ayat (1) Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008, tindakan medis yang dilakukan olehdokter dalam keadaan gawat darurat juga diatur dalam Pasal 45 (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang dalam penjelasannya menyebutkan “Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.” Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka dalam keadaan gawat darurat dokter dapat memberikan tindakan medis kepada pasien tanpa disertai informed consent terlebih dahulu untuk menyelamatkan pasien dari bahaya kecacatan atau kematian. Profesi dokter memerlukan jaminan perlindungan hukum dalam rangka memberikan kepastian dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien.5 Peraturan perundangundangan yang memberikan dasar perlindungan hukum kepada dokter antara lain : 1. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar operasional; 2. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai profesinya; 3. Pasal 24 PP Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yaitu perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
Arif Nuryanto, “Model Perlindungan Hukum Profesi Dokter” http://www.academia.edu/3432706/Model_Perlindungan_Hukum_Profesi_Dokter, diakses 20 Oktober 2016 5
Tulisan ini bertujuan untuk meneliti tentang perlindungan hukum bagi dokter yang melakukan tindakan medis berat tanpa informed consent terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan bahwa penulisan hukum ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi dokter yang melakukan tindakan medis yang beresiko berat tanpa informed consent terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat? 2. Apa yang menjadi alasan pembenar secara yuridis terhadap tindakan medis yang beresiko berat tanpa informed consent dalam keadaan gawat darurat yang dilakukan oleh dokter?
C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa hal mengenai tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini, yaitu: 1. Tujuan Objektif a. Mengetahui tentang perlindungan hukum bagi dokter yang melakukan tindakan medis berat tanpa informed consent terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat.
b. Mengetahui alasan pembenar secara yuridis terhadap tindakan medis yang beresiko berat tanpa informed consent dalam keadaan gawat darurat yang dilakukan oleh dokter. 2.
Tujuan Subjektif Memperoleh pemahaman yang jelas dan komprehensif yang diperlukan untuk penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. KEASLIAN PENELITIAN Sejauh penelitian dan penelusuran yang dilakukan penulis belum ada penulisan yang membahas mengenai perlindungan hukum terhadap dokter yang melakukan tindakan medis berat terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat. Namun setelah melakukan penelusuran lebih lanjut ditemukan penulisan yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap dokter dalam tindakan yang berbeda, yaitu : 1. Penulisan hukum yang dilakukan oleh Husnia Aminata dari Universitas Gadjah Mada dalam bentuk skripsi di tahun 2014 yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Internship dalam Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit Muhammadiyah Sruweng Kebumen”. Penulisan ini berkesimpulan bahwa perlindungan hukum terhadap dokter internship di rumah sakit tersebut telah baik karena hak dan kewajibannya telah terpenuhi. Di Rumah Sakit Muhammadiyah Sruweng Kebumen pun hingga saat ini belum pernah terjadi sengketa medis antara dokter/dokter internship dan pasien yang sampai dibawa ke meja pengadilan.6
Husnia Aminata, 2014, “Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Internship dalam Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit Muhammadiyah Sruweng Kebumen”, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 6
2. Penulisan hukum yang dilakukan oleh Safrowi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dalam bentuk skripsi di tahun 2010 yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Dokter Terkait Dugaan Malpraktek Medik”. Penulisan ini berkesimpulan bahwa tenaga kesehatan mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan adanya dugaan malpraktek sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ada didalam KUHP.7 Dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis beranggapan bahwa tulisan yang penulis lakukan berbeda dengan penulisan-penulisan yang sudah ada sebelumnya. Adapun perbedaan tersebut utamanya terletak pada objek dari penelitian, yaitu bentuk tindakan yang dilakukan oleh dokter. Dimana pada penulisan hukum yang pertama yang menjadi objek penelitian adalah perlindungan dokter internship dalam perjanjian terapeutik. Penulisan hukum yang kedua juga memiliki perbedaan objek berupa perlindungan hukum terhadap profesi dokter terkait dugaan malpraktek. Berdasarkan hal tersebut penulis beranggapan bahwa penulisan ini bersifat orisinil dan dilakukan tanpa adanya itikad buruk untuk melakukan plagiarisme. Namun apabila terdapat penelitian yang serupa, maka penulis berharap penulisan ini dapat menambah dan memperbaiki khasanah ilmu pengetahuan yang ada dari penulisan hukum yang sudah ada tersebut.
E. MANFAAT PENELITIAN
Safrowi, 2010, “Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Dokter Tterkait Dugaan Malpraktek Medik”, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 7
1. Bagi Pengembangan Ilmu Penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu pengetahuan serta menjadi referensi literatur khusunya di bidang hukum perdata yang berkaitan dengan hukum kesehatan dan khusunya mengenai perlindungan hukum terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan akses pengetahuan bagi masyarakat dan khususnya dokter sebagai tenaga medis mengenai perlindungan hukum terhadap dokter yang melakukan tindakan medis berat tanpa informed consent. 3. Bagi Diri Sendiri Penelitian ini akan menambah khasanah pengetahuan penulis tentang hukum perdata di bidang hukum kesehatan, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap tindakan dokter.