BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kebiasaan masyarakat saat ini yang dapat ditemui hampir di setiap kalangan masyarakat adalah perilaku merokok.Rokok tidaklah suatu hal yang baru dan asing lagi di masyarakat, baik itu laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Perilaku merokok ini sangat mudah dijumpai seperti di rumah, perkantoran, tempat-tempat umum, di dalam transportasi umum, bahkan di lingkungan sekolah dan kampus. Masyarakat yang merokok pertama kali adalah suku bangsa Indian di Amerika untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh.Pada abad ke-16 ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian para penjelajah Eropa itu meniru dengan mencoba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa (Rogayah, 2012). Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1999, menganggap perilaku merokok telah menjadi masalah yang penting bagi seluruh dunia sejak satu dekade yang lalu (Mayasari, 2007). Jumlah perokok di dunia diperkirakan sudah mencapai 1,35 milyar orang, dimana 80% berasal dari negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia (WHO, 2008). Indonesia merupakan negara dengan tingkat pengunaan rokok yang cukup tinggi. Di tahun 2009, Indonesia menempati peringkat ke-4 dunia jumlah konsumsi rokok sebanyak 260.800 rokok (4%) (Eriksenet al., 2012). Sementara untuk jumlah perokok, didapatkan data
1
2
yang cukup mencengangkan untuk jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 65 juta jiwa di bawah China dan India atau ketiga di dunia (WHO, 2008). Mahasiswa yang disebut dengan agent of change, masih sangat sedikit peranannya dalam upaya mengkampanyekan dan menolak rokok. Data-data menunjukkan konsumsi rokok di kalangan mahasiswa Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menemukan kelompok perokok usia 19-24 tahun memiliki proporsi sebesar 24,6% dari total jumlah perokok pada saat itu. Terjadi kenaikan yang cukup signifikan dari rata-rata frekuensi merokok di kalangan mahasiswa di tahun 2009, yakni 24,5% mahasiswa dan 2,3% mahasiswi ( Dimyati, 2011). Ahsan (2010) dalam Natalia (2011) menemukan saat ini prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas mengalami kenaikan dari 27% tahun 1995 mencapai 34,7% pada tahun 2010. Jumlah perokok laki-laki dewasa pada tahun 1995 mencapai 53%.Namun, pada tahun 2010, jumlah perokok pria meningkat menjadi 66% (Natalia, 2011). Kerugian akibat merokok sudah tidak asing lagi di telinga kita, salah satunya kerugian korban jiwa.Setiap tahun 5,4 juta jiwa meninggal akibat rokok (WHO, 2008). Kalau pada tahun 2000 sekitar 4,9 juta orang meninggal oleh sebab yang berhubungan dengan kebiasaan merokok, dan 50% di antaranya terjadi di Negara maju, maka pada 2020 angka itu menjadi dua kali lipat, dan 70% akan terjadi di negara berkembang (Tjandra YA, 2004). Sedangkan pada tahun 2030 diperkirakan jumlah kematian per tahun akibat rokok mencapai 8 juta jiwa, 80% diantaranya berasal dari negara berkembang (WHO, 2008). Sedangkan di Indonesia, jumlah kematian terkait rokok diperkirakan sebanyak 190.260 kasus
3
(Riskesdas, 2010). Terdapat lima jenis penyakit terbanyak terkait rokok, antara lain penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), jantung koroner, stroke, bayi berat lahir rendah (BBLR), dan tumor paru, bronkus dan trakea, dengan rincian dari total 384.058 total kasus penyakit, terdapat 183.680 kasus PPOK; 53740 kasus penyakit jantung koroner; 47.600 kasus stroke; 47.546 kasus bayi berat lahir rendah (BBLR); dan 19.810 kasus tumor paru, bronkus dan trakea (BPPK, 2012). Sekitar 85% penderita penyakit paru-paru yang bersifat kronis dan obstruktif misalnya bronchitis dan emfisema ini adalah perokok. Berbagai macam penyakit dan gangguan yang ditimbukan rokok tak terlepas dari zat-zat dan senyawa yang ada dalam tembakau itu sendiri.Dalam tembakau terdapat kurang lebih 3000 senyawa, tetapi yang menimbulkan efek adiktif paling kuat adalah nikotin (Mycek et al., 2001; Dani &Harris, 2005). Nikotin yang masuk dalam tubuh dapat menimbulkan ketergantungan yang cepat dan hebat dengan menimbulkan gejala iritabel, kejang, gelisah, sulit konsentrasi, sakit kepala dan tidak bisa tidur (Mycek et al., 2001). Nikotin dapat menyebabkan iritasi dan tremor tangan pada susunan saraf pusat, kenaikan kadar berbagai hormon dan neurohormon dopamin dalam plasma. Efek - efek ketergantungan ini sangat merugikan bagi mahasiswa terutama dalam aktivitas belajar dan organisasi yang membutuhkan konsentrasi yang optimal. Ketergantungan suatu obat dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana obat dapat mengontrol perilaku. Ciri-ciri utama ketergantungan obat antara lain penggunaan obat yang menimbulkan efek psikoaktif dan adanya sistem rewards pathway yang mempengaruhi perilaku pengguna (Kotlyar &Hatsukami, 2002).
4
Pada saat pemaparan nikotin, dopamin dalam otak meningkat sehingga memperkuat stimulasi otak dan mengaktifkan rewards pathway. Rewards system inilah yang menimbulkan keinginan untuk menggunakan nikotin kembali dan memicu ketergantungan fisik terhadap nikotin terjadi cepat dan hebat. Apabila rewards pathway dalam otak telah aktif maka penghentian obat menimbulkan gejala iritabel, kejang, gelisah, sulit konsentrasi, sakit kepala dan tidak bisa tidur (Mycek et al., 2001). Inilah yang menyebabkan penghentian merokok masih sulit untuk dilakukan.Lebih dari 80% perokok akan mengalami gejala putus nikotin ketika menghentikan kebiasaannya. Gejala putus nikotin antara lain iritabilitas, cemas, frekuensi denyut jantung menurun, nafsu makan meningkat,
food
cravings, gelisah, dan gangguan berkonsentrasi atau sering disebut withdrawal syndrome (Zunilda & Melva 2008). Program berhenti merokok dibagi menjadi dua, yaitu terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.Terapi farmakologi contohnya adalah menggunakan Nicotine Replacement Therapy (NRT), Bupropion SR, dan Varenicline tartrate (Zunilda DS & Melva L 2008). Manfaat terapi farmakologi ini diantaranya yang pertama mengatasi gejala putus obat nikotin, dan kemudian selanjutnya mengurangi ketergantungan, namun kadang disertai dengan efek samping dan terdapat kontraindikasi terhadap kondisi-kondisi tertentu. Terapi non farmakologi meliputi: self help, brief advice, program konseling, terapi perilaku (exercise therapy, aversion therapy), dan terapi pelengkap (hipnoterapi, akupuntur, akupresure) (Zunilda & Melva, 2008). Kombinasi terapi baik terapi nonfarmakologi dan farmakologi telah terbukti
5
bermakna memberikan tingkat keberhasilan yang lebih baik dibandingkan terapi tunggal (Nardini S, 2008; Fiore MC, 2008). Sehingga sangatlah penting melibatkan terapi non farmakologi untuk menurunkan ketergantungan merokok. Salah satu bentuk terapi nonfarmakologi yang berperan dalam program berhenti merokok adalah exercise therapy. Exercise therapy yang dimaksud adalah latihan aerobik. Aerobik merupakan suatu olahraga yang dalam latihannya diperlukan oksigen dalam pembentukan energi, menggunakan otot-otot besar, intensitas latihan 60-90% dari Maximum Heart Rate (MHR) (Sherwood, 2001). Aktivitas aerobik dengan intensitas 40%-60% dalam latihan menggunakan static bicycle terbukti mampu menurunkan keinginan merokok saat pertengahan waktu latihan, dan 5 menit setelah latihan (Daniel et al., 2004). Studi lain dilakukan Scerbo et al (2010) menggunakan metode lari dengan intensitas 80-85% dari MHR mendapatkan hasil penurunan ketergantungan nikotin yang bermakna pada 10 dan 20 menit setelah latihan. Dengan demikian latihan aerobik meskipun dengan bentuk dan pola yang beragam berpengaruh dalam menurunkan hasrat dan keinginan untuk merokok setelah latihan, sehingga latihan aerobik dapat menjadi pilihan terapi non farmakologi dalam upaya penurunan ketergantungan merokok. Lari aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen dengan gerakan tubuh dimana kedua kaki melangkah dengan frekuensi yang dipercepat sehingga ada saat dimana melayang di udara (kedua telapak kaki lepas dari tanah). Sehingga terdapat 3 fase yaitu fase melangkah, melayang dan menapak. Latihan aerobik seperti lari dan brisk walking
6
dapat menurunkan keinginan untuk merokok segera saat latihan selesai dilakukan dengan mekanisme tertentu pada otak (Rensburg et al., 2012) dan perubahan pada sistem hormon yang mempengaruhi proses ketergantungan (Scerbo et al., 2010). Pola latihan seperti ini selain sederhana, murah, secara umum mampu meningkatkan kapasitas fisik dan kesehatan secara menyeluruh.Belum banyak penelitian di Indonesia yang meneliti mengenai latihan aerobik metode lari dan pengaruhnya terhadap mahasiswa yang mengalami ketergantungan rokok. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat sebuah tulisan ilmiah dengan judul “Latihan Lari Aerobik Menurunkan Ketergantungan Nikotin pada Mahasiswa Perokok Aktif di Denpasar”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut : 1. Apakah pemberian latihan lari aerobik mampu menurunkan urgensi ketergantungan nikotin mahasiswa perokok aktif di Denpasar? 2. Apakah pemberian latihan lari aerobik mampu menurunkan tingkat ketergantungan nikotin mahasiswa perokok aktif di Denpasar? 1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui prinsip latihan aerobik, teknik dasar dan pelaksanaan lari aerobik dan mekanisme ketergantungan nikotin.
7
1.3.2
Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui efek pemberian latihan lari aerobik dalam menurunkan urgensi ketergantungan nikotin pada mahasiswa perokok aktif di Denpasar. 2. Untuk mengetahui efek pemberian latihan lari aerobik daam menurunkan tingkat ketergantungan nikotin pada mahasiswa perokok aktif di Denpasar.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1.4.1
Manfaat Akademik 1. Mengetahui
dan
memahami
tentang
proses
terjadinya
ketergantungan nikotin dan peranan tindakan fisioterapi dalam penurunan ketergantungan zat nikotin. 2. Membuktikan bagaimana pengaruh latihan lari aerobik dalam menurunkan ketergantungan zat nikotin. 3. Digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan membahas hal yang sama. 4.
Menambah khasanah ilmu dalam dunia pendidikan pada umumnya dan fisioterapi pada khususnya.
1.4.2 Manfaat Praktis Dapat dijadikan sebagai salah satu pilihan tindakan non farmakologi dalam ranah fisioterapi dalam menurunkan tingkat ketergantungan nikotin pada perokok.