BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dinamika lingkungan eksternal membuat setiap perusahaan berpotensi terperangkap pada paradoks kesuksesan, karena mereka terpaku pada kesuksesan sebelumnya yang tidak dapat memprediksi dan mencerminkan kesuksesan di masa yang akan datang (Posner, 2015; Hannan dan Freeman, 1984). Hal ini membuat mereka cenderung menggunakan cara-cara yang sama seperti sebelumnya tanpa menyadari bahwa kondisi eksternal secara alamiah selalu berubah dan perubahannya sulit diprediksi (Atuahena-Gima, 2005; Jaworski dan Kohli, 1993). Perubahan tersebut terjadi karena para pelaku pasar yang digambarkan dalam five forces model merubah perilakunya (Porter, 1980). Oleh karena itu, setiap perusahaan dituntut untuk beradaptasi terhadap setiap perubahan agar dapat bertahan dan mendapatkan keuntungan. Proses adaptasi ini tidak hanya bertujuan untuk bertahan terhadap perubahan lingkungan saat ini tetapi juga mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan selanjutnya dengan mempelajari kompetensi baru (Tushman dan O’Reilly, 1996; Gibson dan Birkinshaw, 2004; March, 1991; Fiol dan Lyles, 1985; Yeung et al., 1999). Kedua orientasi ini apabila dilakukan secara bersamaan dapat menciptakan organizational ambidexterity yang mampu membawa perusahaan menghadapi setiap perubahan lingkungan eksternal (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Tushman dan O’Reilly, 1996; Fiol dan Lyles, 1985). Artinya,
1
organizational
ambidexterity
akan
tercipta
ketika
organisasi
mampu
memaksimalkan kinerja sumberdayanya pada dua aktivitas yang berbeda secara bersamaan (Gibson dan Birkinshaw, 2004; He dan Wong, 2004; March, 1991). Misalnya, eksplorasi dan eksploitasi (March, 1991), cost leadership dan product differentiation (Porter, 1980), dan alignment dan adaptability (Gibson dan Birkinshaw, 2004). Menurut Wernerfelt (1984) dan Barney (1991) organisasi merupakan sekumpulan sumberdaya. organisasi dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal apabila sumberdaya tersebut produktif yaitu sumberdaya yang tidak hanya dapat dimaksimalkan dengan mengeksploitasinya tetapi juga mampu mengeksplorasinya (Wernerfelt, 1984). Organisasi yang hanya memiliki sumberdaya saja akan kesulitan untuk dapat bertahan dan tumbuh di tengah tingginya tingkat persaingan yang dihadapi perusahaan (Amit dan Schoemaker, 1993; Barney, 1991; Wernerfelt, 1984). Oleh karena itu, mereka menegaskan bahwa dibutuhkan kompetensi yang tepat untuk menggunakan dan memanfaatkan sumberdaya tersebut. Dengan begitu, organisasi akan dapat dapat menciptakan dan memberikan nilai yang lebih baik kepada pelanggan melalui produk dan layanan yang ditawarkan perusahaan (Wang dan Rafiq, 2014; Gibson dan Birkinshaw, 2004; Yeung et al., 1999). Kompetensi memiliki peran penting bagi kesuksesan perusahaan karena kompetensi merupakan sumber keunggulan bersaing organisasi untuk dapat bertahan, tumbuh dan menghasilkan kinerja superior (Barney, 1991; Reimann, 1982; Prahalad dan Hamel, 1990; Bogner et al., 1999). Karena dengan adanya
2
kompetensi yang tepat perusahaan dapat memberikan nilai manfaat yang lebih baik kepada pelanggan serta kompetensi tersebut sulit untuk ditiru pesaing (Barney, 1991; Bogner et al., 1999). Selain itu, dengan memiliki kompetensi yang kuat juga dapat membawa organisasi untuk masuk ke berbagai macam pasar (Prahalad dan Hamel, 1990). Kompetensi tidak bisa didapatkan dengan mudah, dalam kurun waktu yang singkat ataupun di pasar bebas. Namun, kompetensi hanya didapatkan melalui proses pembelajaran secara kolektif yang dilakukan anggota organisasi dari waktu ke waktu agar dapat menjadi keunggulan bersaing perusahaan (Prahalad dan Hamel, 1990; March, 1991; Bogner et al., 1999; Henderson dan Cockburn, 1994; Schilling dan Kluge, 2009; Dierickx dan Cool, 1989). Oleh karena itu, proses pembelajaran merupakan kunci utama untuk membangun kompetensi, karena dengan belajar organisasi mampu untuk memahami dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (Fiol dan Lyles, 1985; Wick dan León, 1995; Yeung et al., 1999). Secara konseptual, organizational ambidexterity merupakan kemampuan organisasi menyeimbangkan antara aktivitas eksplorasi kompetensi yang telah dimiliki perusahaan dan eksploitasi kompetensi baru bagi perusahaan (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Simsek et al., 2009; Tushman dan O’Reilly, 1996; March, 1991). Selama ini, eksplorasi dan eksploitasi diasumsikan sebagai aktivitas yang saling bertentangan (Duncan 1976 dalam Gibson dan Birkinshaw, 2004; Duncan 1976 dalam Wang dan Rafiq, 2014). Dengan demikian, keseimbangan keduanya bisa didapatkan secara terpisah melalui mekanisme struktural yang dilakukan pada
3
unit atau mekanisme yang berbeda ataupun temporal yang dilakukan secara bergantian (Gupta et al., 2006; Simsek et al., 2009). Karena masing-masing aktivitas membutuhkan sumberdaya dan memiliki orientasi kerja yang sangat berbeda satu sama lainnya (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Simsek et al., 2009; March, 1991). Kedua aktivitas tersebut tidak akan terganggu dan dikorbankan satu sama lainnya untuk memenuhi kedua aktivitas tersebut (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Gupta et al., 2006; Simsek et al., 2009; March, 1991; Tushman dan O’Reilly, 1996; O’Reilly dan Tushman, 2004). Gibson dan Birkinshaw (2004) menegaskan bahwa integrasi dan keseimbangan eksplorasi dan eksploitasi paling baik didapatkan secara kontekstual yang dilakukan pada unit atau mekanisme yang sama. Menurut mereka organisasi tidak perlu memisahkan sumberdaya untuk masing-masing aktivitas. Dengan begitu, perusahaan akan terhindar dari biaya tambahan dan masalah ketika mengkoordinasikan keduanya apabila dilakukan pada unit yang berbeda (ambidexterity struktural). Secara empiris, penelitian ambidexterity kontekstual lebih banyak terfokus pada strategi perusahaan (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Sarkess et al., 2010) dan orientasi perusahaan terhadap inovasi (He dan Wong, 2004; Lubatkin et al., 2006; Uotila et al., 2009; Cao et al., 2009; Jansen et al., 2012). Namun, belum banyak penelitian empiris pada ambidexterity kontekstual khususnya eksplorasi dan eksploitasi kompetensi (Wang dan Rafiq, 2014; Atuahena-Gima, 2005; Auh dan Menguc, 2005). Padahal eksplorasi dan eksploitasi kompetensi yang dilakukan melalui pembelajaran organisasi adalah aliran utama dalam penelitian
4
ambidexterity (Almahendra dan Ambos, 2015; March, 1991). Selain itu, eksplorasi dan eksploitasi kompetensi ini merupakan sumber keunggulan bersaing organisasi untuk dapat bertahan, tumbuh dan menghasilkan kinerja superior (Barney, 1991; Reimann, 1982; Prahalad dan Hamel, 1990; Bogner et al., 1999). Implementasi ambidexterity kontekstual membutuhkan dukungan konteks organisasi yang akan membentuk perilaku individu dan organisasi itu sendiri (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Ghoshal dan Bartlett, 1994). Sebagai faktor pendukung penerapan ambidexterity, konteks organisasi harus memiliki keseimbangan antara elemen yang ada di dalamnya yaitu keseimbangan antara hard elements dan soft elements (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Ghoshal dan Bartlett, 1994). Karena dengan adanya keseimbangan antara kedua elemen tersebut akan tercipta lingkungan yang mendukung individu untuk ikutserta pada aktivitas ambidexterity. Salah satu faktor konteks organisasi yang mendukung perusahaan melakukan eksplorasi dan eksploitasi kompetensi secara bersamaan adalah budaya organisasi (Wang dan Rafiq, 2014; Gibson dan Birkinshaw, 2004). Budaya dapat mendorong organisasi menjadi disiplin, kreatif dan inovatif (Andriopoulos, 2001; McLean, 2005; Jelinek dan Schoonhoven 1993 dalam Wang dan Rafiq, 2014). Hard elements di representasikan pada budaya birokrasi yang mendorong organisasi menjadi disiplin dan soft element di representasikan pada budaya inovatif yang mendorong organisasi menjadi kreatif dan inovatif (Deshpandé et al., 1993; Andriopoulos, 2001; McLean, 2005; Jelinek dan Schoonhoven 1993 dalam Wang dan Rafiq, 2014). Khususnya pada industri kreatif yang aktivitas
5
bisnisnya sangat bergantung pada pemanfaatan kreativitas, keterampilan dan bakat individu (Depdag RI, 2008). Oleh karena itu, perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain melakukan eksplorasi dan eksploitasi kompetensi agar dapat bertahan dan menghasilkan kinerja superior (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Raisch dan Birkinshaw, 2008). Hal inilah yang menjadi dasar peneliti berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan faktor pendukung penerapan ambidexterity kontekstual (Wang dan Rafiq, 2014; Gibson dan Birkinshaw, 2004). Secara konseptual, integrasi dan keseimbangan antara eksplorasi dan eksploitasi tidak hanya bertujuan untuk membuat perusahaan bertahan terhadap perubahan lingkungan eksternal tetapi juga untuk terus tumbuh dengan menghasilkan kinerja superior (Junni et al., 2013; Gibson dan Birkinshaw, 2004; He dan Wong, 2004; Raisch dan Birkinshaw, 2008; Raisch et al., 2009; Levinthal dan March, 1993; Tushman dan O’Reilly, 1996; March, 1991; O’Reilly dan Tushman, 2004). Namun, bukti empiris mengenai pengaruh ambidexterity terhadap kinerja perusahaan ini masih sangat terbatas khususnya dalam konteks Indonesia (Raisch dan Birkinshaw, 2008). Bahkan pada penelitian Venkatraman et al., (2007) pengaruh ambidexterity kontekstual terhadap kinerja perusahaan tidak mendapatkan dukungan secara empiris meskipun mereka menemukan bahwa penerapan
ambidexterity
secara
temporal
berpengaruh
terhadap
kinerja
perusahaan. Selain itu, penelitian Jansen et al., (2006) dan Atuahena-Gima (2005) tidak secara tegas mengatakan bahwa keduanya merupakan ambidexterity meskipun keduanya dilakukan secara bersamaan dan memiliki pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.
6
Penelitian empiris telah membuktikan bahwa penerapan ambidexterity sangat mempengaruhi kinerja perusahaan baik secara finansial (Jansen et al., 2012; Sarkess et al., 2010; Cao et al., 2009; Uotila et al., 2009; Rothaermel dan Alexandre, 2009; Lubatkin et al., 2006; He dan Wong, 2004; Auh dan Menguc, 2005) dan nonfinansial (Wang dan Rafiq, 2014; Sarkess et al., 2010; AtuahenaGima, 2005). Namun, pengukuran kinerja yang digunakan para peneliti sebelumnya lebih banyak terfokus pada satu dimensi yaitu penjualan (He dan Wong, 2004; Venkatraman et al., 2007); profitabilitas (Rothaermel dan Alexandre, 2009; Jansen et al., 2006); produk baru (Wang dan Rafiq, 2014; Atuahene-Gima, 2005). Pengukuran tersebut memungkinkan terjadinya bias (Junni et al., 2013; Raisch dan Birkinshaw, 2008) dan kesalahan pengukuran (Boyd et al., 2005). Hal ini membuat penerapan ambidexterity tidak mampu menjelaskan kesuksesan perusahaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengukuran kinerja yang multidimensional agar implementasi ambidexterity kontekstual mampu menjelaskan kesuksesan perusahaan secara keseluruhan (Junni et al., 2013; Raisch dan Birkinshaw, 2008; Boyd et al., 2005). Secara konseptual, kinerja suatu perusahaan ditentukan oleh perilaku (conduct) perusahaan baik yang didorong oleh faktor eksternal (Porter, 1980) maupun faktor internal (Barney, 1991). Ambidexterity kontekstual merupakan salah satu bentuk dari perilaku yang diterapkan perusahaan. Namun, penerapan ambidexterity belum banyak dikaji sebagai variabel pemediasi pada penelitian empiris (Wang dan Rafiq, 2014; Gibson dan Birkinshaw, 2004). Karena penelitian empiris yang banyak dilakukan selama ini lebih terfokus menguji faktor anteseden
7
(Lubatkin et al., 2006; Jansen et al., 2006) dan outcome penerapan ambidexterity kontekstual (Sarkess et al., 2010; Cao et al., 2009; Uotila et al., 2009; Rothaermel dan Alexandre, 2009; Lubatkin et al., 2006; Auh dan Menguc, 2005; He dan Wong, 2004). Lebih jauh, pada penelitian Lubatkin et al. (2006) dan Jansen et al. (2006) menemukan faktor anteseden dan outcome dari penerapan ambidexterity, namun mereka tidak menguji peran ambidexterity sebagai variabel pemediasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji peran ambidexterity sebagai variabel pemediasi. Karena secara konseptual ambidexterity merupakan bentuk perilaku perusahaan yang memiliki faktor pendorong dan akan memberikan hasil bagi perusahaan (Porter, 1980; Barney, 1991). Implementasi ambidexterity memberikan kontribusi besar terhadap pencapaian perusahaan secara finansial (He dan Wong, 2004; Auh dan Menguc, 2005; Lubatkin et al., 2006; Jansen et al., 2006; Venkatraman et al., 2007; Cao et al., 2009; Uotila et al., 2009; Rothaermel dan Alexandre, 2009; Sarkess et al., 2010; Jansen et al., 2012), maupun nonfinansial (Wang dan Rafiq, 2014; Sarkess et al., 2010; Atuahena-Gima, 2005). Namun, belum banyak penelitian empiris yang mempertimbangkan adanya pengaruh dari kondisi pasar yang secara alamiah bersifat dinamis karena dapat dengan mudah berubah dan sulit diprediksi (Wang et al., 2015; Atuahena-Gima, 2005; Jaworski dan Kohli, 1993). Lebih jauh, perubahan yang terjadi juga akan berbeda tergantung pada tingkat dinamismenya pasar tersebut. Menurut Eisenhardt dan Martin (2000) pada pasar yang tingkat dinamismenya rendah perubahan yang terjadi bersifat linier sehingga hasil dan arah perubahannya dapat diprediksi. Sedangkan, pada pasar yang tingkat
8
dinamismenya tinggi perubahan yang terjadi bersifat nonlinier sehingga hasil dan arah perubahannya sulit diprediksi. Kondisi pasar ini berperan penting dalam menentukan kesuksesan perusahaan karena masing-masing kondisi dapat memberikan motivasi dan ide-ide baru yang berbeda bagi perusahaan dalam merespon lingkungannya (Hurley dan Hult, 1998; Jaworksi dan Kohli, 1993; Porter, 1980). Oleh karena itu, kondisi pasar dimungkinkan
dapat
mempengaruhi
tingkat
efektivitas
penerapan
ambidexterity kontekstual (Raisch dan Birkinshaw, 2008; Gibson dan Birkinshaw, 2004; Eisenhardt dan Martin 2000; Hurley dan Hult, 1998; Jaworksi dan Kohli, 1993; Porter, 1980). Hal ini didukung oleh dugaan Gibson dan Birkinshaw, (2004) bahwa kondisi eksternal menjadi batasan tersendiri bagi organisasi untuk berperilaku sehingga dimungkinkan akan mempengaruhi efektivitas ambidexterity kontekstual dan efektivitasnya mungkin akan bervariasi (berbeda) tergantung pada tingkat dinamisnya pasar tersebut (He dan Wong, 2004). Mengacu pada keterkaitan beberapa aspek diatas, maka peneliti bertujuan untuk menguji pengaruh langsung antara budaya organisasi dan ambidexterity kontekstual serta dampaknya terhadap kinerja perusahaan. Penelitian ini mencoba memberikan bukti empiris terhadap faktor pendukung dan dampak penerapan ambidexterity kontekstual pada kondisi pasar yang dinamis khususnya dalam konteks industri kreatif. Penelitian ini juga menggabungkan teori dari beberapa domain teori yang berbeda-beda. Teori pembelajaran organisasi (March, 1991; Crossan et al., 1999) sebagai dasar memahami ambidexterity kontekstual (eksplorasi dan eksploitasi kompetensi). Teori organizational ambidexterity
9
(Gibson dan Birkinshaw, 2004; Simsek et al., 2009) untuk mengkaji manfaat dari penerapan ambidexterity kontekstual dan teori kontingensi (Miller, 1981; Drazin dan Van De Ven, 1985) untuk memahami kondisi lingkungan eksternal yang dinamis khususnya dinamisme pasar. Hal lain yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek penelitian. Penelitian-penelitian terdahulu lebih banyak terfokus pada industri high-tech yang memang dituntut untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi secara bersamaan karena didorong oleh cepatnya perubahan dan perkembangan teknologi (Lubatkin et al., 2006; Andriopoulus dan Lewis, 2009; Rothaermel dan Alexandre, 2009). Hal inilah yang menyebabkan penelitian ambidexterity pada industri lain masih sangat terbatas, padahal beberapa penelitian empiris telah menemukan penerapan ambidexterity pada industri manufaktur (He dan Wong, 2004; Uotila et al., 2009) dan jasa (Jansen et al., 2006; Jansen et al., 2012). Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa industri kreatif juga mampu menerapkan ambidexterity, karena penerapannya sangat bergantung pada integrasi dan keseimbangan keduanya bukan mengutamakan tipe industrinya (Gibson dan Birkinshaw, 2004; Simsek et al., 2009; Levinthal dan March, 1993; March, 1991). Meskipun, secara konseptual dan empiris lingkungan eksternal juga berperan penting terhadap penerapannya (Raisch dan Birkinshaw, 2008; Gibson dan Birkinshaw, 2004; Tushman dan O’Reilly, 1996; Porter, 1980).
10
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti menemukan beberapa masalah penelitian yang masih perlu dikaji, dipelajari dan dibuktikan secara empiris. Pertama, budaya organisasi yang menjadi fondasi dan pembentuk perilaku individu dan organisasi belum banyak dikaji secara empiris sebagai faktor pendukung implementasi ambidexterity kontekstual khususnya dalam konteks Indonesia (Wang dan Rafiq, 2014; Gibson dan Birkinshaw, 2004; McLean, 2005; Barney, 1991, 1986). Kedua, bukti empiris pengaruh ambidexterity terhadap kinerja perusahaan masih sangat terbatas khsususnya dalam konteks Indonesia (Raisch and Birkinshaw, 2008). Selain itu, variabel kinerja perusahaan yang digunakan para peneliti terdahulu hanya terfokus pada satu aspek yaitu penjualan (He dan Wong, 2004; Venkatraman et al., 2007) atau (Jansen et al., 2006; Rothaermel dan Alexandre, 2009) atau produk baru (Wang dan Rafiq, 2014; Atuahene-Gima, 2005). Hal ini memungkinkan terjadinya bias (Raisch dan Birkinshaw, 2008; Junni et al., 2013) dan kesalahan pengukuran (Boyd et al., 2005). Dengan begitu, kesuksesan perusahaan tidak mampu dijelaskan secara keseluruhan dari penerapan ambidexterity (Raisch dan Birkinshaw, 2008; Junni et al., 2013; Boyd et al., 2005). Ketiga, secara konseptual penerapan ambidexterity merupakan bentuk perilaku perusahaan yang memiliki faktor pendorong dan akan memberikan hasil bagi perusahaan (Porter, 1980; Barney, 1991). Namun, ambidexterity sebagai bentuk perilaku perusahaan belum banyak dikaji sebagai variabel pemediasi pada
11
penelitian empiris (Wang dan Rafiq, 2014; Gibson dan Birkinshaw, 2004). Padahal yang menentukan suatu perusahaan berhasil atau tidak menghasilkan kinerja superior adalah perilakunya yaitu ambidexterity. Meskipun, tetap membutuhkan dukungan dari faktor anteseden untuk dapat menerapkannya dan menhasilkan kinerja superior. Keempat, faktor eksternal masih jarang dipertimbangkan sebagai variabel pemoderasi dalam pengujian efektivitas ambidexterity kontekstual khususnya dinamisme pasar, padahal kondisi lingkungan eksternal secara alamiah bersifat dinamis sehingga kondisi tersebut dimungkinkan dapat mempengaruhi tingkat efektivitas ambidexterity kontekstual (Gibson dan Birkinshaw, 2004; He dan Wong, 2004; Raisch dan Birkinshaw, 2008; Atuahene-Gima, 2005; Porter, 1980). Kelima, belum banyak studi dan bukti empiris mengenai penerapan ambidexterity kontekstual pada industri lain di luar industri high-tech. Terutama pada industri kreatif di Indonesia yang aktivitas bisnisnya sangat bergantung pada pemanfaatan kreativitas, keterampilan dan bakat individu (Depdag RI, 2008). Padahal beberapa penelitian empiris juga menemukan tidak hanya industri hightech saja yang mampu menerapkan ambidexterity seperti industri manaufaktur (He dan Wong, 2004; Uotila et al., 2009) dan jasa (Jansen et al., 2006; Jansen et al., 2012).
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
12
1. Apakah budaya organisasi berpengaruh pada ambidexterity kontekstual? 2. Apakah ambidexterity kontekstual berpengaruh pada kinerja perusahaan? 3. Apakah ambidexterity kontekstual memediasi pada pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja perusahaan? 4. Apakah dinamisme pasar memoderasi pengaruh ambidexterity kontekstual terhadap kinerja perusahaan?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian di atas, dapat diidentifikasi tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Menguji pengaruh budaya organisasi pada ambidexterity kontekstual 2. Menguji pengaruh ambidexterity kontekstual pada kinerja perusahaan 3. Menguji pengaruh mediasi ambidexterity kontekstual pada pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja perusahaan 4. Menguji
pengaruh
moderasi
dinamisme
pasar
pada
pengaruh
ambidexterity kontekstual terhadap kinerja perusahaan
1.5 Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapan dapat memberikan kontribusi pada dua hal yaitu kontribusi teoritikal dan praktikal: 1. Secara teoritikal, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan di bidang manajemen strategik khususnya pada literatur organizational ambidexterity dengan memberikan bukti empiris faktor pendukung dan
13
implikasi penerapannya pada industri kreatif di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bagaimana peran budaya organisasi dan dinamisme pasar terhadap penerapan ambidexterity kontekstual, khususnya dalam menghadapi kondisi lingkungan eksternal yang dinamis. 2. Secara praktikal, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pelaku bisnis khususnya UKM untuk mengembangkan kemampuannya melalui eksplorasi dan eksploitasi kompetensi secara bersamaan. Kedua kompetensi ini diharapkan mampu membawa organisasi menciptakan dan memberikan nilai yang lebih baik dari waktu ke waktu bagi pelanggan dibandingkan pesaing. Selain itu, kedua kompetensi ini juga diharapkan mampu membawa perusahaan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal dan menghasilkan kinerja superior.
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari lima bab dan tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab dengan urutan sebagai berikut. Bab I
Menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II
Berisi tinjauan teori dan pengembangan hipotesis. Bab ini menguraikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menjadi acuan penelitian ini serta model penelitian.
14
Bab III
Menjelaskan mengenai metoda penelitian, terdiri atas: pemilihan sampel, pengumpulan data, variabel penelitian dan pengukuran variabel, teknik analisis, model pengujian hipotesis dan deskripsi data.
Bab IV
Menguraikan hasil pengujian instrumen peneltian, pengujian hipotesis dan analisis data serta pembahasan hipotesis.
Bab V
Merupakan bagian terakhir yang berisi kesimpulan, keterbatasan, dan implikasi serta saran pada peneliti yang ingin melanjutkan penelitian dalam bidang sama.
15