BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan Di Indonesia terdapat beberapa macam jenis usaha yang lazim dikenal dan dilaksanakan seperti usaha negara, usaha swasta, dan usaha koperasi.
Berbagai
macam jenis usaha tersebut berperan sebagai pelaku usaha dengan tujuan yang sama, yaitu tujuan keuntungan ekonomis. Salah satu badan usaha yang berstatus badan hukum tersebut adalah perseroan terbatas (selanjutnya disebut perusahaan). Perseroan terbatas saat ini diatur dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT 2007). Pasal 1 angka 1 UUPT 2007 memberikan pengertian bahwa :1
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Pada
masa
perjalanannya
perusahaan akan melakukan kegiatan usaha.
Kegiatan usaha itu sendiri merupakan kegiatan yang dijalankan oleh perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan, yang harus dirinci secara jelas dalam
1
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 tahun 2007, LN No. 106 tahun 2007, TLN No. 4756. (selanjutnya disebut Indonesia 1).
1
Anggaran Dasar (AD) perusahaan tersebut. Dari kegiatan usaha ini diharapkan perusahaan akan mendapatkan keuntungan ekonomis. Atas
tujuan
keuntungan
ekonomis
itulah
kemudian
dalam
prakteknya
perusahaan melakukan berbagai macam hubungan bisnis dengan orang perorangan atau badan usaha lain.
Hubungan bisnis demikian secara garis besar dirumuskan
sebagai suatu perikatan.
Perikatan sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai
suatu hubungan hukum antara dua atau lebih orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan dan atau merupakan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut. 2
Dalam hal ini tercermin bahwa dalam suatu
perikatan menciptakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi bagi para pihak yang terkait di dalamnya, serta keberadaan harta kekayaan yang dapat dijaminkan bagi pelaksanaan kewajiban tersebut. Untuk memperlancar usaha dalam melakukan hubungan bisnis dengan pihak lain,
perusahaan
sering
memerlukan
tambahan
dana
dari berbagai sumber.
Kebutuhan akan dana bagi perusahaan untuk melakukan ekspansi usaha tidak diragukan lagi sebagai suatu kebutuhan yang amat esensial. Kebutuhan dana perusahaan dapat diperoleh dari berbagai sumber, dapat berupa modal (equity) dan utang (debt).3 Dana berupa modal terdiri atas modal disetor atau modal saham 2
Dari rumusan yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu: 1. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum; 2. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak); 3. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan; 4. Hubungan hukum tersebut melahirkan dan atau merupakan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan. Lihat Kartini M uljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (RajaGrafindo Perkasa: Jakarta, 2003), hlm. 7. 3
Trismawati, “Analisis Pengaruh Struktur Modal dan Kebijakan Deviden Terhadap Perkembangan Harga Saham Manufaktur di Bursa Efek Jakarta (BEJ),” http://digital.lib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-sl-2002-trismawati-5755bursa.
2
diperoleh dari para pendiri perusahaan dan laba ditahan. Untuk dapat memperoleh tambahan dana modal saham-saham tersebut dapat ditawarkan kepada umum melalui bursa efek.4 Dana yang berupa utang (debt) dapat diperoleh dari berbagai sumber. Untuk pembiayaan jangka pendek diperoleh perusahaan dari sumber internal, seperti factoring (anjak piutang), trade credit, commercial paper, commercial banks, uang teman dan uang keluarga.5 Untuk pembiayaan jangka panjang dapat diperoleh perusahaan dari laba ditahan (retained earnings), pembiayaan yang berasal dari utang (debt financing), misalnya utang bank, obligasi, sewa guna usaha (leasing) ataupun surat utang lainnya, dan equity financing (pembiayaan dari ekuitas). Pelunasan atas utang dapat dilakukan dari pendapatan perusahaan dalam rangka melaksanakan hubungan bisnisnya. Sebelum pendapatan itu dipakai untuk melunasi utang perusahaan, terlebih dahulu pendapatan perusahaan digunakan untuk menutupi kebutuhan perusahaan, seperti biaya-biaya rutin perseroan.6 Kebutuhan
akan
sumber
dana
untuk
melakukan ekspansi usaha bagi
perusahaan merupakan hal yang positif selama perusahaan dapat menjalankan kegiatan usaha dengan baik. Namun hal tersebut menjadi persoalan apabila perusahaan gagal dalam menjalankan usahanya, sehingga perusahaan tidak mampu melunasi
utang-utang
atau
perusahaan
mengalami
kesulitan
dalam
usahanya
sehingga perusahaan menjadi tidak memiliki kemampuan menghasilkan pendapatan
4
RT. Sutantya R Hadikusomo dan Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan (Bentuk Bentuk Perusahaan yang Berlaku di Indonesia) , (Rajawali: Jakarta, cet. Pertama, 1991), hlm. 41. 5 http://organisasi.org/sumber-dana-alternatif-perusahaan-untuk-biaya-operasional-bisnismanajemen-keuangan, “Sumber Dana Alternatif Perusahaan Untuk Biaya Operasional Bisnis – Manajemen Keuangan”. 6 http://www.e-samuel.com/knowledge/education/200121ID.asp.
3
cukup untuk membayar utang-utang. Pada kondisi seperti inilah perusahaan dapat lalai dan ingkar untuk menjalankan kewajiban kepada pihak-pihak lain dalam hubungan bisnis. Lalainya perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada pihak lain dapat menimbulkan perselisihan. Perselisihan tersebut jika dibiarkan akan menjadi sengketa yang memerlukan lembaga pemutus sengketa. Sengketa utang piutang atau sengketa pembayaran yang timbul dari perjanjian timbal balik dapat diselesaikan melalui gugatan atas dasar wanprestasi atau mengajukan permohonan pailit pada Pengadilan Niaga, atau dapat pula mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang apabila tingkat penyelesaiannya tidak rumit. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan
pembayaran-pembayaran
terhadap
utang-utang
para
kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (finansial distress)7 dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. 8 Pengurusan dan pemberesan kepailitan di lakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim
pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorata parte) dan sesuai dengan struktur kreditor (structure creditor). Algra, dalam kepustakaan mendefinisikan kepailitan adalah faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoove van 7
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, ( Kencana: Jakarta, 2008), hlm. 1. 8 R.Subekti dan R. Tjtrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek (Pradnya Paramita: Jakarta, 1996), Pasal 1131.
4
zijn gezamenlijke schuldeiser.9 ( kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si berpiutang).10 Henry Campbell Black dalam Black’s Law dictionary menyatakan “Bankrupt is the state or condition of one who is unable to pay his debts as they are, or become, due”.11 Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditor, sehingga bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).12 Kepailitan merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (selanjutnya disebut KUHPerdata). Menurut Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek: “Alle de roerende en onroerende goederen van den
9 Algra, N.E., Inleileiding tot Het Nederlands Privaatrech, (Tjeenk Willink: Groningen, 1974), hlm. 425. 10 Ibid. 11 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (West Publishing Co: St. Paul Minnesota, 1979), hlm. 134. 12 Ricardo Simanjuntak, “Essensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie (ed.), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Pusat Pengkajian Hukum: Jakarta, 2005), hlm. 55-56.
5
schuldenaar, zoo wel tegenwoordige als toekomstige, zijn voor deszelfs persoonlijk verbintenissen aansprakelijk”.13 Proses kepailitan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU 2004) yang menggantikan kedudukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (selanjutnya disebut UUK 1998). Permohonan pailit pada prinsipnya dapat dikabulkan apabila terdapat fakta yang secara sederhana dapat dibuktikan mengenai adanya
sengketa utang sebagaimana diatur oleh Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:14 1.
Adanya debitor;
2.
Adanya 2 (dua) kreditor atau lebih;
3.
Adanya utang;
4.
Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Sedangkan yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan
13
Terjemahannya adalah “Segala harta kekayaan debitor, baik yang berupa benda -benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan utangnya.” Lihat R.Subekti dan R. Tjtrosudibio, Op.Cit. 14 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara lengkap menyatakan: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” Pasal 2 ayat (1). Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 tahun 2004, LN No. 131 tahun 2004, TLN No. 4443. (selanjutnya disebut Indonesia 2).
6
oleh pemohon dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya putusan
pernyataan pailit.15 Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU 2004 yang menerangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak menghalangi
dijatuhkannya
putusan
pernyataan
pailit
menunjukkan
bahwa
UUKPKPU 2004 tidak memperhitungkan kondisi keuangan perusahaan (debitor) sebagai syarat dijatuhkannya pernyataan pailit oleh pengadilan. Dengan demikian besar kemungkinan bahwa perusahaan yang memenuhi syarat dijatuhkannya pailit sesungguhnya masih mampu membayar utang-utangnya dan memiliki potensi besar untuk terus melanjutkan usahanya. Hanya saja perusahaan tersebut telah berhenti membayar utang-utangnya kepada pihak kreditor dan tidak mau membayar utangutangnya tersebut dengan alasan tertentu. Namun ketidakmampuan perusahaan dalam membayar utang dan ketidakmauan perusahaan melunasi utang-utangnya kepada para kreditor bukan syarat debitor jatuh pailit. Sehubungan dengan hal tersebut, pada masa rezim UUK 1998 terdapat putusan Pengadilan Niaga dengan Perkara Nomor 10/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21/K/N/2002, Antara Paul Sukran (Pemohon) melawan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Manulife). Manulife adalah perusahaan asuransi jiwa yang didirikan oleh Manulife Financial Corporation (Manulife) Kanada dengan saham 51%, PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) 40%, dan International Finance Corporation (IFC) 9%. Aset Termohon (Manulife) pada saat dipailitkan Rp. 1,3 Triliun dengan 40.000 pemegang saham. Sementara Termohon dimohonkan pailit oleh Paul Sukran
15
Ibid., Penjelasan Pasal 8 ayat (4).
7
selaku Kurator dari PT. DSS (Pemohon), karena tidak membayar deviden 1999 sejumlah Rp. 32.789.856.000,- (kurang dari Rp. 33 Milyar).
16
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam putusannya mengabulkan Permohonan Pemohon dan menjatuhkan putusan pernyataan pailit atas Manulife.
Pada tingkat
kasasi Mahkamah Agung melalui putusannya dengan Nomor Perkara 21/ K/N/2002, menolak permohonan pailit dari Pemohon Pailit, Paul Sukran, SH selaku Kurator PT. DSS.17 Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga ini cukup mengherankan, karena tagihan pemegang saham (minoritas) yang seharusnya diselesaikan dalam konteks rapat
umum
memungkinkan
pemegang penjatuhan
mempermasalahkan sesungguhnya tidak
bahwa
saham,
diputuskan
putusan
pailit.
perusahaan
sebagai Selain
tersebut
masih
tagihan itu,
debitor
pengadilan
sehat
(solvent)
yang tidak dan
layak untuk dipailitkan. Artinya, hampir semua hubungan
keperdataan, seperti wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, yang dahulu diselesaikan melalui pengadilan negeri sekarang mulai dikonstruksikan sebagai perkara tidak terpenuhinya suatu tagihan (utang) dan diajukan ke Pengadilan Niaga. 18 Pada perkara Manulife meskipun MA membatalkan putusan Pengadilan Niaga dengan pertimbangan hukum, di antaranya adalah bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum, Mahakamah Agung
tidak mempersoalkan besar utang yang
berbeda sangat jauh dengan aset perusahaan.
Dengan syarat kepailitan yang tidak
mempersoalkan kondisi keuangan perusahaan
bukan tidak mungkin perusahaan
yang sehat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga dapat terulang kembali. Hal ini
16
Putusan Pengadilan Niaga No. 10/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst Putusan Mahkamah Agung No. 21/ K/N/2002 18 KHN RI, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), (KHN: Jakarta, 2003), hlm.146. 17
8
terbukti pada rezim UUKPKPU 2004
pada perkara pailit PT. Telekomunikasi
Seluler, Tbk (Telkomsel) dengan Perkara Nomor 48/Pailit/PN. Niaga.Jkt.Pst.. antara Telkomsel
sebagai
Termohon
Pailit
melawan
PT.
Prima
Jaya
Informatika
(selanjutnya disebut PT. PJI) sebagai Pemohon Pailit. Perusahaan seluler terbesar di Indonesia tersebut dengan aset berjumlah Rp. 120 Triliyun, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena tidak dapat membayar utang kepada PT. PJI sebesar Rp. 5,3 Milyar dan 2 (dua) orang kreditor lainnya, diantaranya adalah PT. Extend Media Indonesia senilai Rp21.031.561.274.
Hakim
Pengadilan Niaga dalam perkara ini menilai bahwa karena telah terbukti memenuhi unsur pailit menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU 2004, maka Telkomsel oleh Pengadilan Niaga dinyatakan
pailit.19 Namun demikian, Mahkamah Agung
dalam putusannya No. 704/ K/Pdt.Sus/2012 membatalkan putusan Pengadilan Niaga tersebut.20 Memperhatikan 2 (dua) perkara tersebut, dinyatakan
baik
Manulife maupun Telkomsel
pailit oleh Pengadilan Niaga karena Pemohon Pailit dapat membuktikan
secara sederhana unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU 2004. Syarat pailit tersebut mempermudah perusahaan untuk jatuh pailit tanpa memperhitungkan rasa keadilan dan kelangsungan usaha perusahaan. Dalam konteks kedua perkara ini permohonan pernyataan pailit oleh kreditor tidak dilakukan atas dasar masalah sehat tidaknya keuangan debitor, tetapi masalah yang bersifat perdata yang tidak diselesaikan atau terselesaikan di Pengadilan Negeri atau lembaga pemutus sengketa lainnya. Undang-Undang Kepailitan dalam konteks ini pula telah berubah fungsi sebagai alat untuk mengancam debitor yang tidak mau, 19 20
Putusan Pengadilan Niaga No. 48/Pailit/PN. Niaga.Jkt.Pst.. Putusan Mahkamah Agung No. No. 704/ K/Pdt.Sus/2012
9
bukan tidak mampu, melaksanakan kewajibannya. Ketidamauannya karena adanya masalah perdata di antara mereka. 21 Oleh karena itu, seharusnya dalam memutus perkara pailit hakim melihat kondisi solvent atau insolvent dari debitor sehingga tidak semua pihak dapat dipailitkan.22 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dibentuk untuk memberikan perlindungan kepada para kreditor apabila debitor tidak membayar utang-utangnya. Namun perlindungan yang diberikan oleh UUKPKPU bagi kepentingan kreditor tidak boleh sampai merugikan kepentingan debitor yang bersangkutan.23 Dalam perspektif
hukum Islam kedua perkara tersebut seharusnya tidak
memenuhi unsur pailit. Hal itu dapat dilihat dalam Hadis Mu’az. Dalam hadis ini Nabi Muhammad SAW melarang Mu’az untuk mengelola hartanya, karena Mu’az memiliki utang yang lebih banyak daripada hartanya. 24
Menurut Ahmad Azam
Othman, hadis tersebut setidaknya mendeskripsikan dua hal. Pertama, perlindungan terhadap kepentingan kreditor dimulai ketika debitor tidak dapat membayar utangutangnya dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan. 25 Kedua, istilah pailit ditujukan terhadap
seseorang yang memiliki utang yang telah
21
Hikmahanto Juwana, “Reform of Economic Laws and Its Effects on the Postcrisis Indonesian Economy,” The Developing Economies , XLIII-1, 72-90 (Maret 2005), hal 77; dalam Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. (Total Media: Yogykarta, 2008), hlm. 14. 22 Hikmahanto Juwana sebagai komentator diskusi makalah Vesna Lazic “The Conclusion of Arbitration Agreement After Initiating Insolvency Proceedings and The Effect of Insolvency Proceeding Toward The Validity of Arbitration Awards,” dalam Emmy Yuhassarie, Prosiding: Interaksi antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, (Pusat Pengkajian Hukum: Jakarta, 2005), hal. 93. 23 Ivida Dewi Amrih suci dan Herowati Poesoko, Hak Kreditor Separatis dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit, (Laksbang: Yogyakarta, 2009), hlm. 2. 24 Ahmad Azham Othman, The Concept of Bankruptcy (Al-Iflas) under Islamic Law: A Comparison with English and Malaysian Personal Bankruptcy Laws (Lampeter: University of Wales, 2000), hal. 8-9. Dalam Siti Anisah, ibid., hlm. 5. 25 Ibid..
10
jatuh tempo, dan utang tersebut melebihi jumlah aset yang dimilikinya. 26 Pailit dilekatkan kepada orang yang hartanya lebih sedikit dibandingkan dengan uang (harta-peneliti) yang dimilikinya, dan hal ini diketahui sebagai kebenaran mutlak. 27 Pengadilan Niaga pada perkara Manulife dan Telkomsel
menempatkan
kepailitan sebagai obat pertama dan terakhir untuk menyelesaian sengketa perjanjian timbal balik tersebut. Ada baiknya jika kepailitan diletakkan sebagai obat pemungkas (ultimum remedium) untuk menyehatkan usaha debitor demi kepentingan kreditor. Hal ini dapat dijumpai pada Hukum Islam yang menetapkan:28
“Dan jika (orang yang berutang) dalam kesukaran, maka berilah tangguh hingga ada kelapangan baginya. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah ayat 280).
Kalimat yang menyatakan “berilah tangguh hingga ada kelapangan baginya”, secara tersirat dapat dikaitkan dengan moratorium atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut PKPU) dalam Sistem Hukum
Kepailitan Indonesia.
Dengan diberikannya PKPU terbuka pintu untuk bernegosiasi antara debitor dan kreditor agar tercapai penyelesain sengketa utang piutang dengan baik dan adil. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Bahasa Belanda disebut surseance van betaling dan
dalam Bahasa Inggris dinamakan suspension of
payment.29 PKPU berasal dari hukum Germania lama dan hanya diberikan dalam hal luar biasa oleh pengadilan. Misalnya dalam keadaan perang, pengadilan memberi 26
Ibid.. Ibid.. 28 Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 280 29 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (PT. Tatanusa: Jakarta, 2012), hlm. 255. 27
11
izin kepada bank untuk menunda pembayaran utangnya kepada para nasabah dalam jangka waktu tertentu menurut undang-undang.30 Jadi dengan demikian PKPU adalah salah satu cara bagi debitor yang beritikad baik untuk menghindar dari ancaman sita umum (pailit) terhadap harta kekayaannya atau akan berada dalam keadaan insolvent. Cara yang lainnya adalah debitor dapat mengadakan
perdamaian antara debitor dengan para kreditornya setelah debitor
dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam UUKPKPU 2004 tidak didefinisikan secara tegas apa yang dimaksud dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurut Munir Fuady bahwa yang dimaksud dengan PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor
diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara-cara pembayaran
utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut. Jadi, PKPU sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal Moratorium.31 Berbeda dengan tujuan dari pailit yakni melakukan pemberesan terhadap harta kekayaan debitor untuk melunasi utang-utangnya, maka dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (suspention of payment, surseance van betaling) tidak bertujuan untuk membereskan harta kekayaan debitor, akan tetapi debitor tetap dituntut untuk melunasi utang-utangnya pada kreditor dengan tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan kegiatan usahanya yang didampingi oleh pengurus. Dengan kata lain, PKPU adalah sarana untuk menghindarkan diri dari kepailitan, setidak-tidaknya
30
Ibid., hlm. 256. Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik. (Edisi Revisi disesuaikan dengan UU No. 37 tahun 2004), (Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005), hal. 171 dalam M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan , (Kencana: Jakarta, 2008), hlm. 157. 31
12
untuk sementara waktu yang telah ditentukan. 32 Selain itu juga sarana untuk menyehatkan kembali usaha debitor agar debitor dapat melanjutkan usahanya tersebut. Sesungguhnya filosofi dari
PKPU tidak kontrakdiksi dengan kepailitan, hanya
langkah dan kontruksi hukumnya saja yang berbeda. Pailit dan PKPU pada akhirnya mempunyai tujuan filosofi mendasar yang sama, yakni kembalinya atau dibayarnya utang-utang kreditor. Kalau dalam pailit adalah dengan melakukan pemberesan terhadap harta pailit, sedangkan dalam PKPU adalah memberi kesempatan debitor untuk tetap berusaha dan pada waktunya nanti mampu membayar utang-utangnya kepada kreditor.33 Dengan demikian jika jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan utang-piutang maka
melalui kepailitan bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditor,
penyelesaian
utang-piutang melalui PKPU seyogiyanya
bertujuan untuk
menyehatkan kembali usaha debitor guna terlepas dari jerat pailit. Pada prinsipnya permohonan PKPU adalah untuk kepentingan debitor. Oleh karena itu sangat logis jika permohonan PKPU diajukan oleh debitor sebagai pihak yang
memiliki kepentingan
yang
beritikad
baik
untuk
menyehatkan kembali
usahanya guna membayar seluruh atau sebagian utang-utangnya kepada kreditor. Pihak yang tidak memiliki kepentingan maka ia tidak memiliki hak. Pada mulanya dalam UUK 1998, PKPU hanya bisa diajukan oleh debitor saja. Namun demikian UUKPKPU 2004 mengajukan
permohonan
PKPU.
memberikan kesempatan kepada kreditor untuk Tentunya
menjadi
pertanyaan
apa
yang
melatarbelakangi kreditor memiliki hak untuk mengajukan permohonan PKPU, sementara PKPU merupakan pranata hukum bagi debitor yang sedang mengalami 32 33
M. Hadi Subhan, Ibid. Ibid.
13
kesulitan
keuangan
sehingga
ia
tidak
dapat
membayar
kewajiban-kewajiban
utangnya? Selain itu, PKPU secara filosofis adalah sarana penyeimbang bagi debitor untuk melawan permohonan pailit kreditor. Pada prakteknya terdapat permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor sebagai pemohon
PKPU
kepada Pengadilan Niaga, salah satunya adalah
permohonan PKPU yang diajukan oleh PT. Petrolin Niaga Energi terhadap PT. Benteng
Agung
Duta
Mandiri
dengan
17/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST.
Pemohon
Nomor
Perkara
dalam permohonannya
PKPU mendalilkan bahwa Pemohon PKPU telah menjual minyak solar HSD kepada Termohon PKPU. Pemohon PKPU mendalilkan bahwa Pemohon PKPU telah menyerahkan minyak solar HSD yang dibeli Termohon PKPU dengan jumlah 1.176.000 liter dengan harga seluruhnya ditambah PPN 10%
sebesar Rp.
9.080.800.000,-. Pada awalnya transaksi tersebut berjalan lancar dimana Termohon PKPU telah membayar pembelian minyak solar tersebut sebesar Rp. 7.272.000.000, akan
tetapi
untuk
sisa
pembayarannya
sebesar
Rp.
1.808.800.000
hingga
permohonan PKPU tersebut diajukan Termohon PKPU belum melunasinya. Termohon PKPU dalam jawabannya mendalilkan, bahwa: 1.
Termohon mengakui belum membayar utangnya kepada Pemohon, bukan karena Termohon tidak mau membayar, tetapi karena ada tagihan Termohon kepada PT. Nusa Raya Cipta General Contractor belum dibayar;
2.
Tidak benar Termohon mempunyai utang kepada kreditor lain yaitu PT. Smart Sunyu Abadi sebesar Rp. 292.000.000,- karena pengiriman solar oleh kreditor lain kepada Pemohon sebanyak 8.000 liter tidak pernah sampai kepada Termohon karena disita polisi. 14
Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa meskipun Termohon mendalilkan pengiriman solar sebanyak 8.000 liter tidak pernah sampai kepada Termohon karena disita polisi tetapi Termohon tidak menyangkal adanya utang pembelian solar sebelumnya kepada kreditor lain tersebut yang mana utang tersebut juga tergolong utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Menimbang meskipun Termohon tergolong debitor yang masih sanggup membayar utangnya, namun hal ini bukan merupakan alasan dikabulkan/ditolak Permohonan PKPU, karena Undang-Undang Kepailitan tidak mensyaratkan debitor mampu atau tidak mampu membayar utangnya, melainkan hanya mensyaratkan debitor tidak dapat membayar utangnya. Majelis
Hakim
Pengadilan
Niaga
melanjutkan
pertimbangannya
bahwa
berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon dan adanya pengakuan utang Termohon tersebut, maka Majelis berpendapat telah terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa Termohon mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu ditagih.
Selanjutnya
Majelis
Hakim
Pengadilan
Niaga
dan dapat
memutuskan
untuk
mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pemohon PKPU. Permasalahan
sengketa
utang
antara para pihak
tersebut sesungguhnya
bukanlah permasalahan utang piutang atau pinjam meminjam pada umumnya. Persoalan utang tersebut timbul dari perjanjian timbal balik jual beli minyak solar. Di mana Termohon PKPU sesungguhnya telah melunasi sebagian besar pembayarannya kepada Pemohon PKPU. Yang menjadi permasalahan dalam perkara tersebut adalah mengapa Penjual dalam hal ini Pemohon PKPU/Kreditor mengajukan Permohonan 15
PKPU
kepada Pengadilan Niaga bukan mengajukan gugatan perdata atas dasar
wanprestasi kepada Pengadilan Umum? Atau apabila memang Pemohon PKPU beritikad baik untuk menyelesaikan persoalan sengketa tersebut dengan memberikan penundaan dalam pembayaran utang-utangnya mengapa harus melalui lembaga PKPU,
mengapa tidak menggunakan lembaga lain dalam hal ini melakukan
resktrukturisasi utang?. Apakah kreditor dalam persoalan tersebut memiliki cukup kepentingan untuk mengajukan Permohonan PKPU terhadap debitor? Dalam berbagai permasalahan sengketa utang yang berujung diajukannya permohonan PKPU oleh Pemohon PKPU baik oleh debitor maupun kreditor apakah terbuka peluang bagi debitor untuk mendapat pengampunan atas seluruh utangutangnya, dengan bentuk penghapusan seluruh utang debitor? Berkaitan dengan persoalan tersebut dalam
hukum kepailitan terdapat
prinsip debt forgiveness
dimana debitor diberikan penundaan (moratorium) untuk membayar utang-utangnya. Dalam sistem hukum kepailitan di Amerika Serikat, implementasi dari prinip ini adalah diberikannya status fresh-starting terhadap debitor pailit.34 menyatakan
bahwa
pemberian
pemaafan
terhadap
Karen Gross
debitor yang benar-benar
mengalami kebangkrutan adalah sebuah penyeimbang dari sistem kepailitan itu sendiri.35 Bentuk lain dari prinsip pengampunan kepailitan ini adalah diberikannya penghapusan utang serta dimungkinkannya memulai usaha baru dengan tanpa dibebani utang-utang yang lama.36 Berkaitan dengan latar belakang pemikiran tersebut, maka penelitian terhadap penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perseroan terbatas sebagai upaya
34
Ibid., hal. 9. Karen Gross, Failure and Forgiveness: Rebalancing The Bankcruptcy System, (Yale University Press: New Haven-Connecticut), p. 244 dalam ibid.. 36 Ibid. 35
16
melindungi kepentingan debitor menurut penulis penting karena beberapa alasan berikut, pertama, PKPU merupakan alat penyeimbang
terutama bagi kepentingan
debitor untuk melanjutkan usahanya sehingga terbebas dari jerat pailit. Kedua, ketentuan-ketentuan
yang
berkaitan
dengan
mengutamakan kepentingan kreditor sehingga Niaga
menjatuhkan
putusan
pailit
syarat-syarat
pailit
tersirat
lebih
dengan mudahnya Hakim Pengadilan
terhadap
debitor
kelangsungan usaha debitor. Oleh karena itu perlu kiranya
tanpa PKPU
memperhatikan dikedepankan
sebagai lembaga penyelesai sengketa utang piutang demi kepentingan para pihak. Ketiga, pada beberapa perkara permohonan PKPU yang diteliti
belum pernah
dijumpai bahwa utang-utang debitor dihapus oleh kreditor. Oleh karena itu penting juga diteliti mengenai apakah UUKPKPU 2004 menganut prinsip deb forgiveness dan apakah terbuka peluang bagi kreditor untuk menghapus utang-utang debitor.
2. Pokok Permasalahan Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah, selanjutnya dikemukakan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam hal ini yang berkaitan dengan PKPU memberikan perlindungan terhadap kepentingan debitor?;
2.
Sampai sejauh manakah prinsip pengampunan utang debitor lanjut ke dalam Undang-Undang
dijabarkan lebih
No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?; 3.
Bagaimanakah variasi pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus permohonan PKPU ? 17
3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang bagaimana Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam hal ini yang berkaitan dengan PKPU memberikan perlindungan terhadap kepentingan debitor;
2.
Untuk
mengkaji
lebih
mendalam
pengampunan utang debitor
mengenai
sejauh
manakah
prinsip
dijabarkan lebih lanjut ke dalam Undang-Undang
No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 3.
Untuk
meneliti secara mendalam berbagai variasi pertimbangan Hakim
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus permohonan PKPU.
4. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum kepailitan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai hukum kepailitan pada umumnya dan sinkronisasi terhadap ketentuan lainnya terutama yang berkaitan dengan kepailitan Perseroan Terbatas.
Secara praktis penelitian
bermanfaat bagi aparat penegak hukum dan juga para praktisi hukum dalam upaya penegakkan hukum kepailitan. Bagi mahasiswa bermanfaat untuk dapat menambah wawasan
berkaitan
dengan
hukum kepailitan
kewajiban pembayaran utang. 18
terutama
mengenai penundaan
5. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada serta berdasarkan pengetahuan peneliti yang terbaik,
topik dan permasalahan mengenai analisis
terhadap proses penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap perseroan terbatas sebagai upaya melindungi kepentingan debitor: suatu studi putusan pengadilan belum pernah diteliti dalam bentuk penelitian tesis.
Penelitian ini dapat dikatagorikan ide
original peneliti, aktual serta sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
6. Landasan Teoritis Dan Kerangka Konsepsi 6.1. Landasan Teoritis Menurut Bintaro
Tjokromidjojo
dan Mustafa Adidjoyo “Teori diartikan
sebagai ungkapan mengenai hubungan klausul yang logis di antara perubahan (varible) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.”37 Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori. Pertama, penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua, teori menganut sistem deduktif, yaitu suatu yang bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata atau konkrit. Ketiga, teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Fungsi dari teori dalam suatu
37
Bintaro Tjokromidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional (CV.Haji Masagung: Jakarta, 1998), hlm. 13.
19
penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.38 Dalam
dunia
ilmu,
teori
menempati
kedudukan
yang
penting.
Teori
memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakannya.39 Teori hukum adalah teori dalam bidang hukum yang berfungsi memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa hal-hal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau paling tidak memberikan gambaran bahwa hal-hal yang dijelaskan itu memenuhi standar teoritis.
40
Radbruch mengatakan tugas teori hukum adalah membuat jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.41 Teori hukum akan mempermasalahkan hal-hal seperti: mengapa hukum itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya? Apa yang menjadi tujuan hukum? Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami? Apa hubungannya dengan individu dengan masyarakat? Apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hukum yang adil?. 42
38
Duane R. Monette, Thomas J. Sullivan, Cornell R. Dejong, Applied Social Research, New York, Chicago, San Fransansisco: Holt, Rinehart and Winston Inc, 1986, hlm. 27 et seq, dalam Sutan Remy Syahdeni, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (IBI: Jakarta, 1993), hlm. 8. Selanjutnya Sutan Remy Syahdeni 1. 39 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 1996), hlm. 253. 40 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Pustaka Setia: Bandung, 2011), hlm.53. 41 Ibid., hlm. 254. 42 Ibid.
20
Permasalahan-permasalahan
tersebut
merupakan
refleksi
dari
akumulasi
keresahan maupun jawaban dari masalah kemasyarakatan yang dihadapai oleh setiap generasi.43 Tentunya akan terdapat pola dan paradigma yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang memang lahir dari struktur dan sistem sosial yang sangat berbeda44 menurut zamannya. Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. 45 Berkaitan dengan hal itu, untuk menganalisis
varian pertimbangan hakim
terkait dengan kasus-kasus Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka
landasan teori yang digunakan sebagai pendekatan (approach) adalah Teori
Argumentasi Hukum (Legal Reasoning). Legal
Reasoning menurut fungsi memberi
makna dalam dua frase bahasa Inggris, yakni legal = hukum, dan reasoning = pertimbangan alas hukum. Jadi pengertian legal reasoning adalah pertimbangan alas hukum yang dijadikan patokan (stelling) atau padanan (onderstelling), oleh aparatur institusi hukum dalam suatu kasus bagi kepentingan penuntutan dan putusan hakim pengadilan berdasarkan hukum.46 Pendekatan menurut legal reasoning digunakan untuk menganalisis putusan hakim sebagai proses penalaran dan sebagai metode yuridis untuk melakukan identifikasi terhadap tatanan hukum yang berlaku. Selain itu digunakan untuk menetapkan terhadap masalah yang dihadapi. Reasoning atau ratio decidendi merupakan
referensi
untuk
menyusun
dan
memperkuat
argumentasi
dalam
pemecahan isu hukum. Pendekatan legal reasoning mempunyai ciri khas yang 43
Teguh Prastyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2013), hlm. 138. 44 Ibid. 45 Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Gramata Publishing: Bekasi, 2012), hlm. 102. 46 Abraham Amos, Legal Opinion (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007), hlm. 22.
21
bersifat memberikan sanggahan (legal argument) dalam paradigma hukum yang diperdebatkan (legal debate).47 Sistem kontinental yang dianut di Indonesia bertujuan untuk merealisir postulat kesamaan dengan mengikat hakim pada undang-undang yaitu peraturan yang sifatnya umum yang menentukan agar sekelompok peristiwa tertentu diputus sama. Dalam hal ini hakim terikat pada jalan pikiran analisa deduktif (umum-khusus).48 Berkaitan dengan bagaimana hakim terikat pada jalan pikiran analisa deduktif, Roscoe Pound mengatakan dalam mengadili suatu perkara menurut hukum ada tiga langkah yang harus dilakukan, yaitu:49 1. Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan di antara banyak kaidah di dalam sistem hukum; 2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau yang ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan
maknanya
sebagaimana
ketika
kaidah
itu
dibentuk
dan
berkenaan dengan keluasannya yang dimaksud; 3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian. Sedangkan menurut Langdell, hakim dalam memutus perkara hanya berpedoman pada tiga hal, yaitu:50 1. Adanya legal reasoning (alasan hukum); 2. Metode hukumnya deduktif;
47
Ibid. Sudikno Mertokusuoma, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Citra Aditya Bakti:Bandung, 1993), hlm. 28-29. 49 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Bhratara: Jakarta, 1989), hlm. 52. 50 Mukhtie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, (Setara Press:Malang, 2013), hal. 14. 48
22
3. Untuk semua kasus hanya ada satu putusan hukum yang benar. Langkah-langkah
bagi
hakim
dalam
memutus
perkara
hukum
yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan dalam teori legal reasoning (argumentasi hukum), yaitu: 1. Pendekatan
berdasarkan
teori
Rule
Based
Reasoning
(argumentasi
berdasarkan peraturan). Pendekatan ini beranjak dari penerapan aturan hukum tertentu terhadap suatu kasus. Rule (peraturan) yang menjadi dasar argumentasi dalam penelitian ini adalah UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UUPT. 2. Pendekatan berdasarkan teori Principal Based Reasoning (argumentasi berdasarkan asas). Principal Based Reasoning beranjak dari penerapan asas terhadap suatu kasus. Asas yang akan digunakan sebagai landasan argumentasi dalam penelitian ini adalah asas-asas atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum kepailitan.
Prinsip-prinsip
tersebut di antaranya adalah Paritas
Creditorium, Pari Passu Prorata Parte, Structured Creditors, prinsip Utang, Debt Collection, Debt Forgiveness, prinsip Commercial Exit from Financial Distress dalam Kepailitan Perseroan Terbatas. 3. Pendekatan berdasarkan teori Doctrinal Based Reasoning (argumentasi berdasarkan doktrin). Doctrinal Based Reasoning beranjak dari penerapan doktrin terhadap suatu kasus.
Doktrin
kepakarannya
atau
di dunia
pendapat
dan
diakui
merupakan sumber hukum yang tidak
kalah
23
para
sarjana
terkemuka
pentingnya. Sumber hukum ini dapat dipandang sebagai sumber hukum tambahan. Artinya, doktrin dapat dijadikan acuan untuk menegaskan ada tidaknya suatu ketentuan hukum kepailitan. Pendapat pada sarjana ini dapat berupa pendapat yang tertulis dalam berbagai literatur. 51 Argumentasi mengenai pertimbangan hakim yang disajikan dalam penelitian ini bisa berdasarkan salah satu dari 3 (tiga) pendekatan (approach) tersebut, bisa pula merupakan perpaduan dari ketiganya.
6.2. Kerangka Konsepsional Konsepsi
adalah
salah
satu
bagian
terpenting
dari
teori.
Konsepsi
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.52 Oleh karena itu untuk menghindari perbedaan penafsiran mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan ini, berikut ini adalah definisi operasional dari istilah- istilah tersebut. Actio Pauliana adalah: “Hak yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan pembatalan kepada pengadilan terhadap segala perbuatan yang dilakukan oleh debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, karena perbuatan tersebut tidak diwajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kepentingan kreditor” 53
51
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Refika Aditama: Bandung, 2010), hlm. 84. 52 Sutan Remy Syahdeni I, Op.Cit., hlm. 10. 53 Rumusan ini dikembangkan dari ketentuan yang mengatur actio pauliana dalam Pasal 41-49 UUKPKPU 2004.
24
Perjanjian adalah “suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”54 Utang adalah: “Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor” 55
Kepailitan adalah: “Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”56
Kreditor adalah “orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undangundang yang dapat ditagih di muka pengadilan”57 Debitor adalah “orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”58 Debior
pailit adalah “debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan”59 Pengadilan adalah “Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum”60
54 Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok -Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis, (PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2000), hlm. 15. 55 Indonesia 2, Op.Cit. Pasal 1 angka (6) 56 Ibid., Pasal 1 angka (1) 57 Ibid., Pasal 1 angka (2) 58 Ibid., Pasal 1 angka (3) 59 Ibid., Pasal 1 angka (4) 60 Ibid., Pasal 1 angka (7)
25
Perseroan Terbatas adalah: “Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”61 Kreditor
separatis
adalah
“kreditor
pemegang
gadai,
jaminan
fidusia,
hak
tanggungan, hipotik, atau hak jaminan kebendaan lainnya”. 62 Kreditor istimewa adalah: “Kreditor pemegang suatu hak yang diberikan oleh undang-undang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya”63
Kurator adalah: “Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.”64
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah:
“suatu masa tertentu yang diberikan kepada debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor”65
61
Indonesia 1, Op.Cit., Pasal 1 angka (1). Rumusan yang dikembangkan dari UUKPKPU 2004. 63 Indonesia 3, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1134. 64 Indonesia 2, Op.cit., Pasal 1 angka (5). 65 Rumusan ini dikembangkan dari ketentuan yang mengatur PKPU dalam Pasal 222 UUKPKPU 2004. 62
26
7. Sistematika Penulisan Bab I
Pendahuluan
Bab II
Tinjauan Pustaka Lembaga Kepailitan dan PKPU
Bab III
Metode Penelitian
Bab IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab V
Penutup
27