BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sendratari Mahabharata adalah salah satu karya seni pertunjukan yang diunggulkan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Mengintegrasikan tiga elemen pokok, yaitu drama, tari, dan karawitan ini, dengan lakon yang bersumber dari epos Mahabharata, Sendratari Mahabharata selalu dijadikan materi sajian utama dan kehadirannya senantiasa disambut penuh antusias oleh penonton. Sejak pertama kali ditampilkan di arena PKB pada tahun 1981 hingga sekarang (2014), Sendratari Mahabharata terus berubah secara dinamis mengikuti semangat kreativitas para kreatornya yang mencoba untuk menjawab pergeseran selera artistik penonton Bali di zaman globalisasi ini. Perubahan dan inovasi bentuk Sendratari Mahabharata di sepanjang perjalanan PKB menunjukkan sebuah dinamika kesenian yang selama ini cenderung luput dari pengamatan peneliti dan pemerhati seni di Bali. Dinamika esensial yang tampak terjadi dalam Sendratari Mahabharata dalam perjalanannya di PKB adalah menyangkut prinsip estetiknya sebagai seni pertunjukan dramatari. Pada prinsipnya, sendratari merupakan seni pentas tanpa menggunakan dialog prosa dan tembang, serta tanpa narasi dalang yang alur ceritanya disajikan semata-mata lewat gerak tari dan mimik penari (Moehkardi, 2011: 37). Perubahan prinsip estetik sendratari sebagai seni drama dengan tata garap seni tari yang terjadi dalam Sendratari Mahabharata, adalah kecendrungan penonjolan sajian drama dengan penggunaan narasi dalang yang verbal. Peran dalang tidak lagi hanya sebatas mengalunkan sendon dan
2
tandak untuk menggarisbawahi adegan namun dengan dialog verbalnya mengendalikan para penari. Padahal sajian seni pertunjukan yang digarap secara kolosal ini, pada tahuntahun awal penyelenggaraan PKB, masih taat dengan prinsip estetik sendratari dengan pengutamaan tari sebagai media ungkap dramatiknya. Penonjolan pendramaan dan verbalisasi antawacana dalang tersebut, menggeser prinsip estetika sajian tari Sendratari Mahabharata PKB. Tari sebagai ekspresi tata artistik sendratari, kemudian seakan terdistorsi daya estetiknya ketika penggunaan unsur-unsur properti besar pada seni pertunjukan yang senantiasa digelar di Panggung Ardha Candra tersebut. Penggunaan properti sebenarnya sudah muncul pada penggarapan Sendratari Mahabharata pada tahun 1980-an yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan. Akan tetapi, pada tahun 2000-an, penggunaan properti mendapat porsi penggarapan dan penampilan yang ditonjolkan. Properti besar berupa kereta kuda, gajah, harimau, naga, garuda, dan bentuk-bentuk raksasa, menjadi atraksi menonjol Sendratari Mahabharata PKB. Simbolisasi maknawi dan imajinatif yang semestinya lewat estetika tari, tampak lebih diberikan ruang kepada properti-properti besar. Penonjolan properti ini menunjukkan adanya perubahan sendratari sebagai dramatari simbolik menjadi realistik. Suatu perubahan terjadi
disebabkan oleh adanya faktor-faktor pendorong,
apakah disebabkan oleh faktor stimulasi internal atau pun karena faktor konstelasi eksternal (Koentjaraningrat, 2009: 28). Pagelarannya yang telah lebih dari 30 tahun berlangsung di arena PKB, memposisikan Sendratari Mahabharata sebagai ekspresi estetik yang merefleksikan penanda-penanda perubahan budaya. Sebab, sebagai petanda budaya, pada hakikatnya seni adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan
3
(Wolff dalam Smiers, 2009: 122). Dalam perannya sebagai penyimpan makna kebudayaan, perubahan Sendratari Mahabharata di tengah-tengah perjalanan PKB merepresentasikan adanya dinamika seni dan kultural di era globalisasi ini. Perubahan prinsip estetik Sendratari Mahabharata PKB, merupakan presentasi teks yang merepresentasikan konteks. PKB sebagai sebuah forum apresiasi seni menunjukkan representasi dinamika budaya seperti yang dapat dimaknai dari keberadaan dan perubahan Sendratari Mahabharata. PKB dicetuskan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra sebagai upaya menumbuhkan rasa sadar budaya masyarakat Bali dalam menghadapi globalisasi (Mantra, 1996: 12). Sendratari Mahabharata sebagai salah satu bentuk seni yang digarap dan digelar dalam PKB, telah menunjukkan daya dirinya beradaptasi dengan dinamika masyarakat Bali dan perkembangan kehidupan yang mengglobal. Cerita Mahabharata yang mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat Bali dalam konfigurasi estetika sendratari tersebut, diterima hangat masyarakat Bali di arena PKB, sebagai tontonan lokal yang memiliki daya saing di tengah superioritas hegemoni budaya global. Kini, di tengah gelombang globalisasi, mengemuka kecenderungan seni-seni lokal bangsa-bangsa semakin dihargai dimana globalisasi justru mendorong bangkitnya nilai-nilai lokal (Naisbitt, 1990: 11). Sendratari Mahabharata yang dibangun dari estetika lokal dan kearifan budaya Bali
dengan
mensinergikan elemen-elemen seni tradisi dengan unsur-unsur seni dan teknologi modern, menjadi indikator kebenaran ungkapan Naisbitt tersebut. Perubahan Sendratari Mahabharata PKB tak bisa dilepaskan dari semangat kebanggaan terhadap seni dan budaya Bali di tengah-tengah pergulatan budaya global-lokal.
4
Genre sendratari telah dikenal luas di tengah-tengah masyarakat Bali pada tahun 1970-an. Ketika kemudian dramatari yang dikonstruksi dari elemen-elemen seni tari, karawitan, dan pedalangan ini
dipentaskan secara khusus sejak awal PKB, 1979,
eksistensinya sebagai genre seni pertunjukan yang banyak digemari oleh masyarakat semakin kokoh. Sementara itu, bersama bentuk-bentuk kesenian lainnya, sendratari ikut mengisi kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat Bali. Pada tahun 1970-an, Sendratari Ramayana disambut hangat pementasannya di desa-desa dengan sebutan Ramayana Ballet (Picard, 2006: 222). Pementasan sendratari dapat disaksikan sebagai seni tontonan yang berkaitan dengan ritual keagamaan dalam suasana komunal hingga disuguhkan sebagai presentasi estetik dalam ruang formal yang disimak masyarakat kebanyakan dan para pejabat negara. Tata garap estetik dan pesan moral dari lakon Sendratari Ramayana yang mengisahkan perjuangan dharma (Rama) menundukkan adharma (Rahwana), mendapat apresiasi yang baik masyarakat penonton. Lakon-lakon yang disajikan sendratari berangkat dari beragam sumber cerita. Disamping wiracerita Ramayana, epos Mahabharata adalah salah satu sumber cerita yang banyak dieksplorasi sejak awal perkembangan seni pertunjukan ini. Sendratari Arjunawiwaha yang digarap sekolah menengah kesenian Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Bali pada tahun 1970, termasuk sendratari perintis yang lakonnya bersumber dari epos Mahabharata (I Wayan Madra Aryasa, wawancara 4 Oktober 2010). Sendratari Mahabharata secara berkesinambungan dipertunjukkan sejak PKB III tahun 1981 hingga sekarang (2014), baik sendratari yang lakonnya bersumber dari babon 18
5
parwa maupun sendratari yang mempergunakan lakon-lakon carangan. Berikut adalah lakon-lakon Sendratari Mahabharata PKB dari tahun 1981 hingga tahun 2014. No.
Tahun
Judul Sendratari Mahabharata PKB
1
1981
Sayembara Dewi Amba Pandawa Korawa Aguru Bale gala-gala
2
1982
Sayembara Drupadi Pandawa Korawa Main Dadu Pembuangan Pandawa
3
1983
Matinya Kicaka Gugurnya Bhisma Gugurnya Abimanyu Gugurnya Gatutkaca
4
1984
Gugurnya Karna Gugurnya Salya Gugurnya Duryadana Hancurnya Dewarawati
5
1985
Nara Kusuma Dewa Ruci Lahirnya Gatutkaca
6
1986
Ekalawya Arjuna Wiwaha
6
7
1987
Parikesit
8
1988
Sutasoma
9
1989
Kunjarakarna
10
1990
Sakuntala Kangsa Lina Arjuna Pramada Krena Duta
11
1991
Pandawa Asrama Swarga Rohana
12
1992
Gatotkaca Seraya Prabu Nala
13
1993
Gatutkaca Makrangkeng Lahirnya Kala
14
1994
Narakusuma Karna Tanding Subadra Larung Pandawa Maguru Jati
15
1995
Prabu Danureja Lahirnya Gatutkaca Gugurnya Salya
16
2002
Gorangsa Lina
7
Praja Winangun 17
2004
Siwa Tatwa Nara Kususma
18
2007
Gugurnya Niwata Kawaca Bima Dadi Caru
19
2009
Bhima Swarga
20.
2010
Kunti Yadnya
21
2011
Bhisma Dewabharata
22
2012
Purusada Santa Nila Candra Ngeka Swarga
23
2013
Garuda Digjaya Mahambara Sakuni Raja Winaya
24
2014
Astina Praja Werdhi
Tidak bisa dipungkiri bahwasannya pagelaran sendratari berkontribusi menarik perhatian masyarakat terhadap PKB. Pada awalnya, sosialisasi kongkret PKB digiring oleh berduyun-duyunnya penonton menyaksikan pementasan sendratari di Taman Budaya Bali. Garapan sendratari yang lakonnya bersumber dari bagian awal cerita Mahabharata, Adi Parwa, yaitu Sendratari Pemutaran Mandaragiri (1978) yang dibawakan ratusan penari Kokar Bali, berhasil menggugah penonton dan antusiasisme masyarakat Bali menyaksikan sendratari-sendratari kolosal berikutnya dalam setiap penyelenggaraan PKB dari tahun ke tahun. Sebaliknya, melalui PKB sendratari
8
memperoleh wadah dan ruang kreativitas dan inovasi yang dalam perjalanannya mendapat perhatian tersendiri masyarakat. Keberadaan panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Bali menjadi salah satu stimulus penting
terhadap sendratari PKB.
Penyesuaian terhadap panggung Ardha Candra yang luas dan besar dengan tata suara dan lampu canggih, menurut pakar teater Amerika, Fredrik Eugene deBoer (1996), menempatkan sendratari sebagai seni pertunjukan modern. Panggung yang luas dan jarak penonton yang relatif jauh dalam pementasan sendratari kolosal PKB, menyebabkan perubahan dari prinsip tari Bali yang terinci menjadi prinsip global (Bandem, 1996:68). Pada awalnya, perubahan prinsip tari Bali dalam sendratari kolosal PKB sempat membuat khawatir para pemerhati seni pertunjukan tradisi. Sampai pada pementasan yang ketiga sendratari itu masih mendapat kritik yang cukup tajam dari para pengamat tari Bali. Bagi mereka yang fanatik dengan tari klasik Bali sering melontarkan ungkapan bahwa sendratari itu tidak menggunakan uger-uger tari Bali, hanya jalan-jalan di panggung tanpa memperhitungkan keluwesan dan ekspresi tari yang matang. Penilaian semacam itu semula ada benarnya dan justru kecaman itu menumbuhkan semangat baru bagi para perancang sendratari untuk menemukan motif-motif baru dalam tari Bali. Peranan dalang dikembangkan, untaian filsafat dalam Mahabharata dan Ramayana ditonjolkan, maka berhasilah perangcang sendratari itu untuk menjadikan kesenian itu digemari oleh masyarakat dan kini telah dianggapnya sebagai suatu “master piece“ dalam pertumbuhan tari Bali (Bandem dalam Sudhartha, ed.: 1993: 83). Sebagai seni pertunjukan modern yang telah diterima masyarakat Bali, sendratari menampilkan dirinya sebagai ekspresi seni yang terbuka terhadap adanya perubahan. Sejak muncul di Bali pada tahun 1961 dengan Sendratari Jayaprana hingga menjadi seni pentas primadona di arena PKB, seni pertunjukan ini menunjukkan perubahan-perubahan presentasi bentuk dan kontekstualisasi isi, baik perubahan karena faktor internal para
9
seniman pelaku sendratari sendiri maupun perubahan faktor eksternal yang merupakan pengaruh fenomena kehidupan dan perkembangan zaman, modernisasi dan globalisasi misalnya.
Perubahan itu teridentifikasi dalam perjalanan sendratari sepanjang
penyelenggaraan PKB. Demikian pula Sendratari Mahabharata yang digarap dengan idealisme berkesenian bermuatan inovasi, menampakkan adanya perubahan-perubahan itu di tengah perjalanan PKB. PKB dapat ditempatkan sebagai arena pergulatan seni dan budaya masyarakat Bali di tengah-tengah era globalisasi. Sebagai arena pergulatan seni, PKB telah lebih dari 30 tahun menjadi gelanggang pelestarian dan pengembangan kesenian Bali. Sebagai arena pergulatan budaya, PKB dicetuskan sebagai sebuah strategi kebudayaan Bali yang mampu bertahan hingga sekarang dan menunjukkan eksistensi yang semakin menguat di masa-masa yang akan datang. PKB dapat menampung seluruh aktivitas budaya yang perlu dikembangkan dan dimasyarakatkan, karena ia merupakan daya tarik yang besar untuk mengajak masyarakat untuk menikmati kesenian (Mantra, 1996 :15). PKB telah mampu membangkitkan apresiasi masyarakat Bali terhadap nilai-nilai seni dan budaya daerah Bali di samping memperkenalkan seni dan budaya Bali kepada masyarakat luas (Dibia, 2003 :106). PKB yang digelar setiap tahun sejak tahun 1979 merupakan suatu festival seni dan forum kebudayaan bertarap akbar yang sangat menggairahkan kehidupan kebudayaan serta mencakup berbagai aktivitas kebudayaan seperti: pawai, pertunjukan, pameran, lomba dan sarasehan kebudayaan (Suyatna dkk, 1990: 68). Di tengah-tengah pergulatan seni dan budaya dalam arena PKB, genre sendratari, khususnya Sendratari Mahabharata dalam hal ini, menjadi media komunikasi estetik dan
10
etik di tengah-tengah masyarakat Bali yang berdinamika. Sebagai komunikator estetik, para seniman Sendratari Mahabharata melakukan berbagai kemungkinan kreatif dan inovasi. Sebagai komunikator etik, Sendratari Mahabharata menyerap, menggali, mengolah, pengaktualisasikan nilai-nilai moral yang dikontekstualisasikan dengan dinamika perubahan masyarakat Bali, penonton Sendratari Mahabharata. Oleh karena itu, dinamika Sendratari Mahabharata di tengah perjalan PKB sangat menarik untuk dikaji mengingat genre sendratari, cerita Mahabharata, dan PKB memiliki posisi yang signifikan dalam konteks kehidupan sosial budaya Bali. Bagaimana signifikasi sendratari, cerita Mahabharata, dan PKB di tengah masyarakat Bali, berikut ini paparannya. Sendratari adalah salah satu bentuk dari beragam dramatari Indonesia. Menurut Soedarsono (1978: 16) dramatari adalah tari yang bercerita, baik tari itu dilakukan oleh seorang penari maupun oleh beberapa orang penari, sedangkan tari non dramatik adalah tari yang tidak bercerita. Tari dramatik yang ada di Indonesia misalnya Wayang Wong dari Jawa Tengah, Langen Mandrawanaran dari Yogyakarta, Langendriyan dari Surakarta, Arja, Calonarang, dan Gambuh dari Bali. Kata sendratari merupakan kependekan dari seni, drama dan tari yang berarti seni drama yang ditarikan. Ciri khas yang terdapat dalam sendratari terletak pada media pengutaraan ceritanya yang menggunakan tari dan musik (gamelan) tanpa ada dialog atau antawecana (Soedarsono,1978: 3). Sendratari, seperti halnya ballet modern, pada hakikatnya merupakan tarian berlakon yang lebih menekankan penyajian cerita lewat gerak tari dan karawitan (Dibia, 1999: 67).
11
Sejak digagas tahun 1961, konsep estetik sendratari
berkembang cepat di
Indonesia seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Sendratari pertama yang muncul di Bali mempergunakan lakon cerita rakyat popular Bali, Jayaprana. Sendratari Jayaprana garapan Kokar Bali yang ditata oleh I Wayan Beratha, guru tari dan karawitan sekolah menengah seni pertunjukan itu, setelah diciptakan pada tahun 1961 sering mendapat undangan pentas ke berbagai penjuru Bali. Sendratari Ramayana yang digarap tahun 1965 oleh I Wayan Beratha bersama guru-guru Kokar yang lainnya seperti I Made Bandem dan I Nyoman Sumandhi, diapresiasi dengan begitu antusias oleh masyarakat Bali hingga ke berbagai penjuru desa. Sekitar tahun 1970-an, acara tontonan yang berkaitan dengan upacara keagamaan seperti odalan, sering menampilkan Sendratari Ramayana yang dibawakan oleh siswa Kokar Bali atau mahasiswa Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar. Ide penciptaan seni pentas tanpa dialog verbal ini, pada awalnya adalah agar dengan mudah dipahami oleh pemirsa asing (Sedyawati, 2006:168). Penggagasnya adalah Mayor Jenderal G.P.H. Djatikoesoemo yang saat itu mengepalai Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata, setelah sempat menyaksikan pertunjukan Ballet Royale du Camboge yang dipentaskan di depan Angkor Wat. Istilah sendratari merupakan usulan seorang dramawan bernama Anjar Asmara. Sendratari gaya Jawa ini dipentaskan untuk pertama kalinya pada tanggal 26 Juli tahun 1961 dengan mengangkat lakon yang bersumber dari epos Ramayana (Soedarsono, 2003:145). Penciptaan karya seni pentas dengan konsep estetik tanpa dialog verbal ini dilatarbelakangi oleh motivasi membangun industri budaya di Jawa Tengah, salah
12
satunya dalam wujud seni pertunjukan wisata. Demikian pula penciptaan sendratari Bali juga mempergunakan konsep seni wisata art by metamorphosis seperti sendratari di Yogyakarta (Soedarsono, 1999: 148). Menurut sendratari Bali
Bandem & deBoer (2004: 111),
diciptakan juga untuk kebutuhan yang sama.
Namun dalam
perjalanannya, sendratari gaya Bali mengarah pada art by destination yaitu seni pertunjukan untuk kepentingan masyarakat setempat, baik sebagai tontonan komunal di pedesaan maupun sebagai tontonan masyarakat umum Bali di arena PKB. Secara kultural, sendratari merupakan sebuah bentuk seni pertunjukan Indonesia yang fenomenal. Kelahirannya pada tahun 1961 di Jawa Tengah sebagai seni pentas kolosal mengagetkan masyarakat setempat, karena para pendukung tari tradisi (Jawa) sesungguhnya belum siap oleh konsep dan inovasi seni yang ditampilkan sendratari itu (Murgiyanto, 2004:13). Sebaliknya di Bali, ketika sendratari muncul pada tahun 1961, masyarakat menyambutnya dengan antusias dan semakin mantap keberadaannya sejak PKB dibuka pada tahun 1979. Tercatat pada tahun-tahun awal PKB, sendratari yang dibawakan oleh gabungan siswa Kokar dan mahasiswa ASTI Denpasar disimak sarat euporia masyarakat penonton yang datang dari penjuru Bali. Garapan seni pertunjukan yang ceritanya bersumber dari epos Ramayana dan Mahabharata yang dibawakan oleh ratusan penari dan penabuh itu mengundang kehadiran ribuan penonton memadati panggung terbuka Ardha Candra Taman Budaya Bali. Hampir seluruh parwa dalam Mahabharata dan juga kanda dalam Ramayana telah pernah digarap dalam bentuk sendratari di arena PKB oleh Kokar/SMKI/SMK Negeri 3 Sukawati dan ASTI/STSI/ISI Denpasar, baik dalam kerja seni secara bergabung maupun
13
terpisah. Selain karena kedua cerita itu telah mengakar di tengah masyarakat Bali, tampak konsep estetik inovatif yang muncul dalam setiap episode sendratari PKB, berhasil menggugah antusiasme penonton. Unsur-unsur pembaharuan dalam penataan tari dan karawitannya, serta kontektualisasi cerita yang dituturkan dalang membuat seni petunjukan ini pada umumnya selalu berhasil memukau penonton. Semangat pembaharuan seakan menjadi idealisme penggarapan sendratari PKB. Di arena PKB, tampak seni pertunjukan ini mempertahankan eksistensinya dengan kreativitas seni yang inovatif. Sementara itu masyarakat Bali sendiri memberikan apresiasi yang tinggi pada inovasi sendratari PKB. Sebab, inovasi tidak akan tumbuh dan berkembang subur jika tidak didukung oleh masyarakat (Murgiyanto,2004:8). Setelah hampir selama 20 tahun berjaya, memasuki tahun 2000-an sendratari PKB sempat mengendor. Pada era tahun 2000-an
awal, pementasan sendratari
kurang
disambut gegap penonton. Pementasan sendratari yang biasanya digelar setiap malam Minggu selama sebulan jadwal PKB, sempat ditiadakan. Upacara pembukaan dan penutupan PKB yang sejak awal mementaskan sendratari, pada tahun 2000-an pernah diganti dengan pagelaran lain. Surutnya kejayaan sendratari juga terjadi di tengah-tengah masyarakat Bali. Setidaknya sampai tahun 1980-an sendratari adalah salah satu seni pertunjukan yang sering tampil mengisi acara totonan ritual keagamaan atau seni balihbalihan upacara agama atau adat masyarakat. Selain sendratari yang dibawakan oleh Kokar/SMKI atau ASTI/STSI, sendratari yang dibawakan oleh sekaa-sekaa milik banjar atau desa dan grup-grup sendratari yang dikelola sanggar-sanggar,
cukup sering
diundang pentas. Namun pada tahun 2000-an pementasan sendratari kian jarang dijumpai
14
di desa-desa. Kendati pun demikian, di arena PKB sendiri, pagelaran sendratari kolosal kembali dipertahankan hingga sekarang, termasuk garapan sendratari yang lakonnya bersumber dari Mahabharata, cerita yang telah beruratakar di tengah masyarakat Bali. Transmisi dan penuturan epos besar Mahabharata di tengah masyarakat Bali terinternalisasi lewat karya-karya sastra lisan dan tertulis. Transformasi dari karya-karya seni sastra itu, selain
dituangkan dalam seni rupa juga banyak dituturkan dalam
pertunjukan tradisional. Bahkan ada seni pertunjukan Bali yang namanya diambil karena acuan ceritanya dari karya sastra itu yakni Dramatari Parwa yang merujuk pada episode dalam cerita Mahabharata yang di Bali lazim disebut Astadasaparwa. Sejumlah seni pertunjukan Bali juga banyak menjadikan epos Mahabharata sebagai acuan lakonlakonnya. Selain Dramatari Parwa, tercacat beberapa seni pertunjukan yang lainnya juga berorientasi dari cerita Mahabharata seperti Wayang Kulit Parwa, Arja, Janger, Drama Klasik, Cak, Kebyar, Legong, dan Drama Gong. Bahkan seni pertunjukan musikal tak sedikit yang terinpirasi oleh cerita atau tokoh-tokoh dalam cerita Mahabharata. Seni pertunjukan Bali yang paling identik dengan cerita Mahabharata adalah wayang kulit, Wayang Kulit Parwa. Di antara sekian jenis wayang kulit yang muncul di Bali, wayang yang mengambil lakon utama dari cerita Mahabharata inilah yang paling sering disaksikan penonton. Wayang yang mengisahkan parwa-parwa dalam cerita Mahabharata itu diiringi dengan sebarung gamelan yang terdiri dari empat instrumen gender wayang. Pementasan Wayang Parwa berlangusng pada malam hari dengan durasi sekitar 3-4 jam. Eksistensi Wayang Parwa masih lestari di tengah-tengah masyarkat Bali masa kini, baik kehadirannya dalam konteks ritual keagamaan maupun sebagai seni
15
tontonan. Melalui Wayang Parwa, tokoh-tokoh teladan dalam cerita Mahabharata terinternalisasi dan diimplementasikan dalam wujud, misalnya, pemberian nama-nama orang, sanggar, yayasan, lembaga, toko, gedung dan perusahan. Wiracerita Mahabharata mengandung nilai-nilai filsafat, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara. Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi, yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kediri. Keberadaan cerita Mahabharata dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi tua dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah Kakawin Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna) gubahan Mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini (Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa. Karya sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, Mpu
16
Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa di masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah Gatotkacasraya di masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri. Beberapa kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya adalah Kresnayana (karya Mpu Triguna) dan Bhomantaka (pengarang tak dikenal) keduanya dari jaman kerajaan Kediri, dan Parthayadnya (Mpu Tanakung) di akhir jaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali. Di samping itu, mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Pada masa yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad ke-18. Dalam dunia sastera popular Indonesia di era modern, cerita Mahabharata juga disajikan melalui bentuk komik yang membuat cerita ini dikenal luas di kalangan awam. Salah satu yang terkenal adalah karya dari R.A. Kokasih. Begitu kuatnya eksistensi cerita Mahabharata di Indonesia, maka ketika ditransformasikan dalam seni pertunjukan baru yang bernama sendratari masyarakat dapat menerima, lebih-lebih masyarakat Hindu di Bali. Penggarapan dan pementasan dalam wujud kolosal di arena PKB menjadikan Sendratari Mahabharata tontonan favorit masyarakat. Saripati cerita Mahabharata dalam presentasi sendratari yang jauh sebelumnya sudah dikomunikasikan karya sastra dalam ungkapan Wayang Parwa dan seni pertunjukan lainnya dicerap tanpa kendala dalam forum berskala Bali yaitu PKB,
17
arena berkesenian yang diayomi pemerintah daerah Bali, baik secara yuridis formal maupun pendanaannya. Berbeda dengan pementasan seni pertunjukan yang berfungsi ritual di tengah masyarakat Bali yang penyandang dananya adalah masyarakat (communal support),
sendratari kolosal PKB sebagai pertunjukan profan presentasi
estetis berproduksi atas tanggungan negara (goverment support) dalam hal ini Pemda Bali. Karcis yang dibeli penonton (tahun 1990-an) saat pagelaran sendratari dalam PKB bukan diperuntukkan sebagai ongkos produksi. Pementasan sendratari kolosal dalam PKB tidak bersifat komersial, tidak menjadikan penonton sebagai penyandang dana (commercial support) . PKB telah menyatukan masyarakat Bali sejak lebih dari 30 tahun terakhir dengan pusat perhelatan di Taman Budaya Bali. Pesta yang pada intinya menampilkan keragaman seni dan budaya Bali itu dikenal hingga ke pelosok desa dan bahkan sampai di daerah pegunungan. Taman Budaya Bali yang juga dikenal masyarakat dengan sebutan Art Centre itu, bagaikan magnet yang mampu menyedot
masyarakat datang
mengunjunginya dari seluruh penjuru Bali. Beragam sajian seni yang digelar disimak dan dinikmati masyarakat penonton dan juga para wisatawan. Pengakuan luas masyarakat Bali terhadap pementasan sendratari di arena PKB merupakan fenomena budaya yang baru pertama terjadi dalam sejarah kesenian Bali masa kini. Pementasan sendratari kolosal di panggung Ardha Candra Taman Budaya Bali, sejak awal PKB hingga tahun 1990-an mendapat perhatian paling banyak penonton sepanjang perjalanan PKB jika dibandingkan dengan pementasan seni pertunjukan lainnya.
18
Keberagaman kekayaan kesenian yang dipamerkan atau dtampilkan dalam PKB oleh para seniman dari segenap penjuru pulau, menegaskan bahwa seni memang integral dengan kehidupan masyarakat Bali (Covarrubias, 1972) dan tak salah kalau pulau Bali dijuluki sebagai surga seni (Hood dalam Soedarsono, 1999: 46). Mantle Hood, seorang etnomusikolog Amerika, semakin kukuh dengan pendapatnya ketika kembali mengunjungi Bali pada awal Juli 1988 dan menonton sejumlah pementasan di arena PKB dengan mengatakan kesenian Bali menunjukkan perubahan yang dinamis (Balipost, 10 Juli 1988). PKB adalah sebuah pemberdayaan yang menghidupkan potensi lokal dan merupakan tindakan nyata dalam menunjukkan hak hidup dari segala buah budi daerah (Wijaya, 2004: 199).
Namun demikian, pengelenggaraan dan perjalanan PKB juga
ditanggapi kritis oleh kalangan seniman, budayawan atau akademisi. Dalam pandangan I Gusti Ngurah Bagus (2003: 43), PKB belum disertai lompatan-lompatan yang memunculkan karya-karya, pemikir, gagasan yang menguatkan identitas dan menjadikan kebanggaan masyarakat yang dalam kurun waktu tertentu memberikan manfaat kebangsaan, kenasionalan, kemanusiaan atau universal. Dukungan dan kritik tersebut sama-sama memberikan peneguh terhadap eksistensi PKB. Perda Nomor 7 Tahun 1986 yang melegitimasi, mengukuhkan dan menjamin keberlangsungan PKB diterbitkan setelah melewati penyelenggaraannya yang ke tujuh (1985). Hingga pada penyelenggaraannya yang ke-35 (2013), PKB telah mendapat perhatian luas bukan saja dari masyarakat Bali namun juga mengundang penampilan pelaku seni nasional bahkan hingga partisipasi insan-insan seni internasional. Di kalangan para seniman Bali sendiri, PKB menjadi arena berkesenian yang cukup
19
diperhitungkan. Semangat berkesenian para seniman Bali cenderung berkobar
bila
mendapat kepercayaan tampil di arena PKB. Pementasan bentuk-bentuk seni tradisi komunal ditampilkan secara fanatik oleh masyarakat pendukungnya. Begitu pula genre seni sekuler popular, digarap dan disajikan dengan penuh kesungguhan oleh para pelakunya. Para seniman alam di desa-desa hingga kalangan seniman akademis di lembaga pendidikan formal kesenian menempatkan ajang PKB sebagai wahana berkesenian yang prestisius. Beragam khasanah kesenian Bali ditampilkan dengan bangga oleh komunitas seni atau pendukungnya masing-masing, apakah itu seni tradisi yang masih natural atau seni tradisi-kreasi yang sedang menggeliat hingga seni yang bernuansa kontemporer, semuanya mendapat kesempatan. Upaya penggalian dan langkah-langkah pelestarian terhadap ekspresi seni yang patut direvitalisasikan dan diaktualisasikan, tak sedikit yang diproyeksikan dalam konteks penampilan di gelanggang PKB. Semangat pengembangan yang dirangsang dalam PKB memunculkan kreativitas dan inovasi seni yang diantaranya menjadi tontonan primadona masyarakat seperti sendratari. Pementasan sendratari kolosal dan parade gong kebyar, adalah dua bentuk seni pertunjukan favorit masyarakat Bali di arena PKB. Sendratari Ramayana dan Mahabharata yang digelar di panggung terbuka Ardha Candra, setidaknya hingga 15 tahun penyelenggaraan PKB menjadi suguhan seni pentas yang selalu mengundang penuh sesaknya lebih dari 5000 penonton. Festival atau Parade Gong Kebyar bahkan lebih dahsyat. Festival dalam format kompetisi gamelan dan tari duta masing-masing kabupaten/kota se-Bali ini selalu mengundang hebohnya antusiasisme para penggemar
20
seni pertunjukan ini. Pementasan yang disajikan secara mabarung sarat dengan rivalitas yang bergelora. Sajian seni pertunjukan memperoleh porsi terbesar sejak awal PKB. Penonton dapat menyaksikan sendratari kolosal atau gegap gempita festival gong kebyar di panggung terbuka Ardha Candra. Masyarakat penggemar tari klasik legong dan tari kreasi misalnya dapat menyimak pertunjukan kesenian itu di panggung tertutup Ksirarnawa. Penonton dapat pula menikmati drama tari arja dan gambuh di Wantilan. Atau masyarakat menggemar tari joged, janger, dan gnjek dapat menyaksikannya di kalangan sederhana Angsoka dan Ayodia. Bahkan penonton dapat menikmati pertunjukan ngelawang di areal Taman Budaya. Perhelatan seni terbesar di Bali ini menciptakan vibrasi kultural keberadaan seni dan budaya masyarakat Bali. Setidaknya,
terhadap
strategi kebudayaan
masyarakat Bali ini telah memberikan harapan terhadap tujuan digelarnya PKB yaitu untuk memelihara, membina, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya; mengkaji konsep-konsep dan masalah-masalah kesenian Bali; menggali, mendorong, dan mengembangkan keperibadian
kreasi dan kegiatan seni budaya yang tidak bertentangan dengan
masyarakat
dan
bangsa;
mendorong,
memberikan
kesempatan
perkembangan promosi usaha-usaha di bidang seni budaya dan kerajinan rakyat; serta memberikan hiburan yang sehat bagi masyarakat. Tradisi menonton sebagai media hiburan di tengah masyarakat Bali terartikulasi di arena PKB. Seni tontonan yang biasanya di tengah masyarakat dinikmati secara komunal, di panggung-panggung Taman Budaya Bali disaksikan secara netral. Posisi
21
masyarakat penonton yang datang ke arena PKB adalah menjadi penonton yang apresiatif. Inilah yang mengemuka dalam PKB. Pementasan sendratari kolosal di panggung Ardha Candra menjadi seni pertunjukan yang sangat diminati masyarakat luas. Kelahiran sendratari di Bali, khususnya keberadaan sendratari kolosal di PKB merupakan bagian dari sebuah perkembangan dan penguatan seni tradisi di tengah era globalisasi. Sendratari Mahabharata mendapatkan celah merepresentasikan reposisi seni tradisi dalam konstruksi seni modern dengan segala perubahan aspek instrinsik dan ekstrinsiknya di tengah-tengah pergulatan PKB. Demikianlah, genre sendratari, cerita Mahabharata, dan PKB seperti telah dijelaskan di atas memiliki posisi signifikan di tengah kehidupan sosial budaya Bali. Sebagai genre seni pertunjukan modern yang mulai berkembang tahun 1960-an, keberadaan sendratari sepanjang perjalanan PKB telah diterima sebagai seni tontonan yang pantas disimak. Cerita Mahabharata yang dijadikan pijakan dalam lakon-lakon Sendratari Mahabharata PKB telah terinternalisasi sejak ajaran agama Hindu berkembang di Bali yang ditransformasikan dalam seni sastra, seni rupa, serta beragam seni pertunjukan tradisi dan modern. PKB yang dicetuskan Gubernur Bali Ida Bagus Mantra sebagai sebuah strategi kebudayaan memberi solusi dan menawarkan kontribusi pada pengembangan identitas budaya bangsa dalam menghadapi pengaruh negatif globalisasi. Dapat ditegaskan bahwa Sendratari Mahabharata adalah sebuah bentuk reposisi kultural dengan memberdayakan potensi dan kearifan yang dimiliki seni tradisi dalam formulasi ungkapan seni pertunjukan modern. Reputasi Sendratari Mahabharata membawa penguatan pada seni pertunjukan tradisi Bali yang cenderung termarginalisasi oleh
22
dinamika kehidupan masyarakat global-modern. Tentang bagaimana interaksi dan dialektika seni tradisi lokal dengan hegemoni budaya global, berikut ini paparannya. Bahwasannya memasuki milenium ketiga ini, perkembangan arus globalisasi dan budaya massa telah menggeser keberadaan berbagai bentuk kesenian lokal, termasuk seni pertunjukan tradisi (Piliang, 2005: 311). Menurut Piliang (2000: 111-112), arus globalisasi dewasa ini menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan optimisme, akan tetapi sekaligus pesimisme. Optimisme itu muncul, disebabkan globalisasi dianggap dapat memperlebar cakrawala kebudayaan dan kesenian, yang kini hidup di dalam sebuah pergaulan global, sehingga semakin terbuka peluang bagi penciptaan berbagai bentuk, gagasan, atau ide-ide kebudayaan dan kesenian yang lebih kaya dan lebih bernilai bagi kehidupan itu sendiri. Akan tetapi pesimisme muncul, mengingat bahwa proses globalisasi dianggap tidak dengan sendirinya menciptakan pemerataan dan kesetaraan dalam setiap bentuk perkembangan, termasuk perkembangan kebudayaan dan kesenian. Sebagai sebuah fenomena peradaban manusia, globalisasi menyentuh hampir seluruh aspek penting kehidupan. Laju perkembangan teknologi komunikasi pada awal abad ke-20 berpengaruh besar pada gelombang globalisasi. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan. Karena kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah besar orang. Dalam prosesnya banyak warga masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi global tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan hal ini berarti banyak pula masyarakat yang terlibat dalan proses komunikasi global.
Karena itu, tidak
23
mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern seperti radio, televisi, televisi satelit, telepon genggam dan kemudian internet. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat, 1990: 45), dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional. Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam berbagai ekspresi keseniannya. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan pula bahwa berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya yang sangat khas. Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model pengetahuan dalam masyarakat. Seni tradisi, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi. Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan seni tradisi berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari dalam. Tekanan dari pengaruh luar terhadap seni tradisi ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga
24
karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya pop. Sementara itu, sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Indonesia pun kiranya sulit melepaskan diri dari arus transformasi budaya. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai yang membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan. Pergeseran budaya dan nilai-nilai tersebut mendistorsi pola pikir dan prilaku masyarakat kita yang berimbas pada ekspresi artistik seni tradisinya. Dialektika globalisasi dengan seni tradisi atau global-lokal ditangganggapi dengan berbagai perspektif oleh para pakar kebudayaan dunia. Sosiolog asal Kenya, Simon Kemoni, mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni (Annisa Rengganis: http://www.google), dalam proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Terkait masalah ini, peneliti asal India, Dr. Abhay Kumar Singh menuturkan: Globalisasi dalam bentuk awalnya, mungkin terbilang sebagai bencana bagi kesenian kita. Ia seperti angin topan yang bisa mencerabut apa saja hingga ke akar-akarnya. Namun dalam perspektif yang lain dan pengertian kedua, globalisasi bisa dipandang sebagai kesempatan istimewa bagi bangsa-bangsa dunia yang terbilang kaya dari segi budaya. Seni makin maju hingga mempengaruhi dunia. Sejarah membuktikan bahwa di berbagai masa, seni peradaban Iran, India, dan Romawi telah tersebar hingga ke negeri-negeri yang jauh. Masalah seperti itu bisa terulang kembali. Sejatinya, bangsa-bangsa yang meyakini akar-akar budayanya, tentu tidak akan takut akan budaya asing. Kita harus berusaha dan tahu bagaimana seni bisa menjadi alat untuk membela tradisi dan budaya lokal (Irianto: http://semangatbelajar.com).
25
John
Naisbitt
dalam
bukunya
yang
berjudul
Global
Paradox
memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi.
(1988) Naisbitt
mengemukakan pokok-pokok pikiran, yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi kesukuan dan berpikir secara lokal, namun bertindak global.
Naisbitt berpandangan bahwa dengan
berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting di tengah pergulatan budaya global-lokal sekarang ini. Seni yang merupakan bentuk komunikasi spesifik manusia, telah menempa kerangka mental kita, tekstur emosial kita, bahasa kita, pencerapan audio-visual kita terhadap lanskap, pemahaman kita mengenai masa lalu dan mas asekarang, perasaanperasaan kita terhadap orang lain, serta sesibilitas kita (Smiers, 2009; 18). Seni tradisi merupakan bagian integral dari kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat (Piliang, 2005: 311). Tradisi merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas atau keperibadian suatu bangsa. Sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian adalah salah satu perlengkapan manusia dalam memenuhi kehidupannnya. Sepanjang sejarahnya seni
memang mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Jika kebudayaan
dirumuskan sebagai gejala apa yang dipikirkan, menurut Mochtar Lubis (1985: 136), maka seni merupakan unsur yang amat penting yang memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, harmoni, proporsi
26
dan sublimasi pengalaman manusia, pada kebudayaan. Tanpa nilai-nilai maka manusia akan jatuh menjadi binatang ekonomi atau kekuasaan belaka. Seni tradisi sebagai ekspresi kebudayaan, di awal abad ke-21 ini, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika globalisasi. Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya. Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini. Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan pengembangan-pengembangan yang tetap bercirikan identitas lokal. Tantangan yang dihadapi oleh seni tradisi cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modern ini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera. Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan eksistensi seni tradisi dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya pop. Dewasa ini, budaya (dalam hal ini seni) tradisi mulai berubah daya hidupnya, karena pengaruh dari berbagai perubahan baik sosial, ekonomi maupun kultural yang berlangsung secara global. Pengaruh globalisasi menciptakan suatu proses transformasi yang sangat besar, karena disebabkan oleh menguatnya rasionalisasi di setiap aspek
27
kehidupan. Di satu pihak mengakibatkan melemahnya ikatan bathin dengan berbagai aspek komunitas, upacara ritual bahkan kepercayaan, serta di lain pihak memunculkan kekuatan ikatan bathin terhadap berbagai aspek komoditi, pencitraan lewat media serta budaya yang cepat saji. Akibat dari semua itu, memunculkan suatu proses besar tentang diskontinuitas dari berbagai kondisi budaya tradisi yang pernah dialami dalam masyarakat, termasuk perubahan pada seni tradisi, tak terkecuali juga pada seni dan budaya Bali. Kebudayaan Bali telah tumbuh dan berkembang melalui satu perjalanan sejarah yang cukup panjang, melalui beberapa zaman dari zaman pra-sejarah berlanjut sampai dengan tercapainya integrasi dalam kerangka sistem kebudayaan nasional dan zaman modern. Secara khusus, fenomena yang mempunyai arti yang sangat dalam bagi eksistensi dan perkembangan lanjut kebudayaan Bali adalah terjalinnya kebudayaan Bali dengan agama Hindu sejak permulaan tarikh Masehi yang kemudian menumbuhkan vitalitas dan kreativitas budaya di kalangan masyarakat Bali (Geriya, 1993:92). Sendratari sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan masyarakat masa kini Bali, dari sisi pandang
semiotika, adalah sebuah penanda dari petanda-petanda kebudayaan.
Gelombang transformasi budaya di tengah era globalisasi ini adalah atmosfer yang tak terpisahkan dari eksistensi sendratari, selain juga dinamika sosial politik dalam negeri sejak Orde Lama dan
Orde Baru hingga Orde Reformasi. Persepsi para petinggi
pemerintahan di Bali terhadap dunia seni dalam masing-masing orde itu tentu juga berkontribusi terhadap sendratari. Etos berkesenian para seniman pelaku sendratari sejak
28
awal kemunculannya hingga berjaya di arena PKB,
juga menjadi pilar terpenting
perjalanan seni pertunjukan ini. Budaya massa dalam beragam bentuknya dan industri budaya sebagai salah satu karakter globalisasi adalah dua fenomena yang membawa gelombang transformasi budaya. Salah satu budaya massa yang mempunyai pengaruh begitu luas dan menyeluruh di dunia, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia, adalah televisi. Sendratari kolosal PKB menapak kejayaannya ketika televisi, baik milik pemerintah maupun swasta, sedang berekspansi dengan sangat gencar di tengah masyarakat Bali. Namun memasuki paruh tahun 2000-an, ketika televisi semakin kokoh eksistensinya di ruang-ruang keluarga, sendratari menunjukkan gejala kelesuan, baik di arena PKB maupun di tengah masyarakat. Sendratari sebagai salah satu kesenian masyarakat Bali kini berada di tengah-tengah agresipnya industri budaya. Masa-masa awal perkembangan sendratari pada tahun 19651970, adalah era berdenyutnya kepariwisataan Bali. Begitu pula pada tahun 1980-1990an, ketika sendratari kolosal menjadi seni pertunjukan unggulan PKB, adalah era keemasan pariwisata Bali. Dunia pariwisata dengan prinsip-prinsip ekonomi uangnya itu pun menggiring sendratari menjadi komoditi industri budaya global. Dalam konteks globalisasi, terjadi proses tarik menarik atau tegangan diantara berbagai kekuatan. Seni pertunjukan tradisi dituntut untuk melakukan proses reposisi kultural, yaitu mencari sebuah posisi strategis atau melakukan semacam politik posisi di dalam konstelasi global yang berubah secara cepat. Politik posisi dalam globalisasi adalah politik menentukan posisi dari berbagai pilihan yang ada: 1) apakah akan mengikuti arus utama globalisasi,
29
yaitu menjadikan seni pertunjukan tradisi sebagai bagian ekonomi kapitalistik, yaitu sebagai komoditi tontonan; 2) menciptakan seni pertunjukan sebagai budaya tanding globalisasi, dengan melakukan penguatan-penguatan lokal dan tradisi; atau 3) mencari jalin ketiga atau jalan tengah, dengan memanfaatkan saluran globalisasi untuk melakukan sebuah proses pertukaran budaya yang kompleks, sambil tetap menjaga nilai-nilai hakiki tradisi itu. Jadi dengan demikian, sendratari sebagai seni pertunjukan favorit masyarakat Bali masa kini yang dikonstruksi dari pengembangan seni tradisi memiliki posisi dan makna kultural di tengah pergulatan budaya global-lokal. Sebagai seni pertunjukan modern, sendratari menunjukkan pengharkatan dan apresiasinya pada yang asali yaitu seni tradisi yang memberi roh dan tenaga yang menggerakkan tubuhnya. Namun sebagai ekspresi seni modern, sendratari lebih terbuka terhadap perubahan dan bahkan selalu berinovasi sepanjang pergulatannya di arena PKB. Bersandar pada seluruh uraian di atas maka
dinamika yang terjadi dalam
sendratari Bali di tengah paradoks globalisasi menjadi latar belakang alasan dilakukannya penelitian ini dengan fokus Sendratari Mahabharata sebagai objek material, dan perubahannya di tengah-tengah pergulatan PKB sebagai objek formal. Dinamika perubahan sendratari sejak muncul pertama kali di Bali pada tahun 1961 dan terutama keberadaan Sendratari Mahabharata sejak tahun 1981 yang hingga kini masih digemari masyarakat di arena PKB, sangat menarik diteliti dari perspektif Kajian Budaya. Secara konseptual estetik, sendratari adalah dramatari non verbal yang dapat dinikmati tanpa memerlukan kendala bahasa, sebab estetika tari dan musik sebagai media
30
komunikasi utama dalam sendratari bisa berinteraksi secara trans-budaya dan transbangsa. Di tengah era globalisasi ini, sendratari berpeluang menjadi seni unggulan yang dapat diapresiasi masyarakat global menghadapi gencarnya penetrasi seni budaya pop. Dalam perkembangannya di tengah masyarakat Bali sendiri, sendratari menjadi seni pentas lokal yang memiliki dimensi kultural yang signifikan. Sebagai sebuah kreasi seni, sendratari diterima sebagai seni tontonan yang memiliki prestise, seperti terlihat dalam PKB, selain membawa pengaruh cukup besar terhadap beberapa seni pertunjukan Bali yang lainnya. Sebagai sebuah ekspresi budaya, sendratari telah menjadi media komunikasi estetik-etik-humanis yang mampu bersanding dengan seni pop global kapitalistik yang kering dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Sesungguhnya lakon-lakon sendratari Bali di arena PKB, seperti telah disinggung di atas, dapat mengangkat berbagai sumber cerita seperti Ramayana, Mahabharata, legenda, sejarah, Tantri, cerita Panji dan sebagainya. Alasan mengapa penelitian ini hanya menetapkan dinamika Sendratari Mahabharata sebagai objek kajian adalah: pertama, cerita Mahabharata sangat mengakar di tengah-tengah kehidupan sosial budaya Bali. Kedua, sebagai sumber lakon, cerita Mahabharata paling banyak diacu oleh seni pertunjukan Bali. Ketiga, Sendratari Mahabharata dipentaskan secara konsisten dalam PKB. Keempat, pada umumnya penonton lebih tertarik dengan sendratari dengan sumber lakon cerita Mahabharata terbukti dari popularitas tokoh Sakuni dan Bima sepanjang 15 tahun pertama penyelenggaan PKB. Kelima, dari sisi para penggarap sendratari, cerita Mahabharata yang penuh konflik lebih menyediakan struktur dramatik yang mutlak diperlukan seni pentas yang bergenre drama (I Nyoman Sukerta, wawancara 12 Juli
31
2011). Lima alasan tersebut merupakan alasan utama ditetapkannya dinamika Sendratari Mahabharata sebagai objek material dari penelitian ini. Selain alasan utama tadi, ada empat alasan khusus mengenai mengapa penelitian ini mengangkat genre seni pertunjukan sendratari. Alasan pertama, sendratari lahir dan diapresiasi di tengah krisis ekonomi, politik, dan budaya, termasuk kesenian, yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Krisis ekonomi dengan nilai mata uang yang sangat rendah membuat rakyat menderita. Bencana kemanusiaan dari peristiwa politik G30S/PKI
pada tahun 1965 mengoyak-ngoyak kehidupan sosial
masyarakat Bali. Termasuk dalam konteks ini adalah trauma berkesenian. Globalisisi dalam wujud imperialisme dan kapitalisme secara tidak langsung memarginalkan budaya-budaya lokal, termasuk budaya masyarakat Bali. Saat itu, kebanggaan masyarakat Bali terhadap nilai-nilai budayanya, termasuk kesenian, merosot. Kedua, sebagai presentasi estetik, konsep estetik sendratari termasuk genre seni pertunjukan baru dalam arti tidak mengacu kepada seni pertunjukan Bali yang telah ada sebelumnya tetapi justru diramu dari keaneragaman kesenian Bali itu sendiri yaitu dari drama tari klasik Gambuh hingga seni pentas poluler Kebyar. Drama tari tampa dialog langsung oleh para pemainnya itu, melainkan dibawakan oleh dalang, yang berdramatisisi dengan tata gerak maknawi itu, dalam perjalanannya menjadi seni pentas primadona hampir sepanjang 20 tahun (1982-2000-an) di arena PKB dan hingga kini masih dipentaskan. Lebih dari itu, nilai-nilai artistik sendratari ini membawa perubahan baru pada tari Bali.
32
Ketiga, para pegiat (konseptor, penggarap, dan pemain) Sendratari Mahabharata PKB, adalah institusi pendidikan formal kesenian, bukan sekaa kesenian
berbasis
masyarakat komunal. Sendratari Jayaprana yang lahir pada tahun 1961, para penggasnya, penggarap, dan pemainnya adalah guru-guru dan murid Kokar. Begitu pula ketika sendratari digarap secara kolosal di arena PKB para pelaku utamanya, selain para seniman SMKI, juga para dosen dan mahasiswa ASTI/STSI/ISI. Sebagai lembaga pendidikan yang terbuka bagi masyarakat yang menempuh jenjang akademis bidang seni, para siswa atau mahahiswa yang menajadi penari dan penabuh sendratari kolosal garapan kedua institusi itu datang dari seluruh Bali dan bahkan dari wilayah Indonesia lainnya. Keempat, secara historis, keberadaan sendratari melewati periode Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Tiga periode yang dilalui sepanjang lebih dari 45 tahun itu, sendratari berada di tengah masyarakat yang berdialektika dengan era globalisasi. Namun demikian, sendratari yang direkontruksi melalui dekontruksi nilai-nilai estetik lokal Bali, menancapkan tonggak penting dalam dunia seni pertunjukan Bali masa kini. Di Tengah era globalisasi dan industri budaya massa yang merambah dunia secara agresif yang memposisikan ekspresi kesenian lokal tergusur dan bahkna tereleminasi, sendratari hadir sebagai representasi budaya tanding. Di tengah hegemoni budaya massa, khususnya lewat tevisi, pementasan sendratari kolosal PKB masih mampu menarik perhatian penonton. Alasan utama dengan fokus penelitian Sendratari Mahabharata dan alasan khusus diangkat topik genre seni pertunjukan sendratari yang dikemukan tersebut menjadi pijakan dalam penyusunan rumusan masalah penelitian ini. Beberapa alasan objektif
33
lainnya yang juga
menstimulasi penelitian ini adalah: pertama, nara sumber yang
berkompeten yang terlibat saat kelahiran seni pertunjukan ini dan para konseptor, kreator, dan pelaku-pelaku utama sendratari kolosal PKB masih memungkinkan memberikan informasi dan konfirmasinya; kedua, topik sendratari Bali ini masih original yang belum pernah diteliti sebagai karya tulis ilmiah disertasi (S3) maupun dalam bentuk tesis (S2); ketiga, sebagai seniman dan akademisi, peneliti sejak usia 10 tahun sudah sering menyaksikan pementasan sendratari di tengah masyarakat dan selanjutnya pernah menjadi pelaku seni pertunjukan ini yaitu sebagai penabuh dan penari, komposer, dalang, dan pengamat sendratari PKB (dalam bentuk ulasan di surat kabar); keempat, mengamati bahwasannya sejak sekitar tahun 2000-an gairah penggarapan sendratari dan melihat pula perhatian penonton sempat menurun terhadap pementasannya di PKB; dan kelima, Sendratari Mahabharata yang digarap dan dipentaskan mulai tahun 1981 di arena PKB dan masih digemari penonton hingga sekarang (2014), menunjukkan adanya dinamika perubahan yang perlu dengan segera diteliti. Terakhir, sebuah alasan subjektif dari peneliti juga tak kalah perannya mendorong dipilihnya topik Sendratari Mahabharata PKB
ini, terutama yang berkaitan dengan
sumber lakonnya. Peneliti sendiri lahir dan dibesarkan
di Banjar Babakan, Desa
Sukawati, Kabupaten Gianyar, salah satu kantong seni pedalangan Bali. Para dalang setempat secara turun-temurun pada umumnya lazim mementaskan Wayang Parwa, wayang kulit dengan sumber cerita Mahabharata. Cerita karya Bagawan Wiyasa ini terinternalisasi pada diri peneliti sejak masih kanak-kanak, baik yang diserap dari tradisi mendongeng, maupun dengan menonton pertunjukan wayang kulit. Bahkan pada masa
34
kanak-kanak itu, peneliti pernah menjadi pemain drama (iringan babatelan gender wayang) dengan mengangkat lakon-lakon yang bersumber epos Mahabharata. Drama anak-anak yang disutradarai oleh Dalang I Nyoman Ganjreng ini, sering pentas hingga ke luar desa seperti Batubulan dan Ubud. Internalisasi cerita Mahabharata berlanjut pada masa remaja, melalui aktivitas menjadi tututan/katengkong (pembantu dalang) I Ketut Madra dan I Wayan Wija. Sementara itu, komik-komik Mahabharata karya R.A Kosasih menjadi salah satu bacaan yang peneliti gemari. Ketika para seniman Banjar Babakan menggarap Sendratari Mahabharata pada tahun 1976 dengan lakon Bimaniyu (Abimanyu), peneliti didaulat menjadi tokoh Bimaniyu. Peneliti juga menghayati lakon atau tokoh-tokoh epos Mahabharata sebagai seorang pelukis tradisional untuk dijual kepada wisatawan. Setelah dewasa, peneliti bertindak selaku komposer Sendratari Mahabharata Banjar Babakan Sukawati yang dipentaskan serangkaian dengan ritual keagamaan di banjar dan desa kelahiran peneliti.
1.2 Rumusan Masalah Ada sepuluh masalah yang menarik dari topik sendratari ini, yaitu: (1) Kenapa kelahiran sendratari pada tahun 1961 diterima antusias masyarakat Bali? (2) Adakah konteks penciptaan Sendratari Ramayana pada tahun 1965 dengan suasana politik pada waktu itu? (3) Bagaimana proses munculnya gagasan sendratari kolosal pada PKB I tahun 1979? (4) Kenapa sendratari kolosal menjadi primadona PKB? (5) Siapakah tokohtokoh yang terlibat pada masa kejayaan sendratari? (6) Bagaimana proses penciptaan dan pementasan sendratari kolosal PKB? (7) Kenapa semangat inovasi begitu kuat dalam
35
sendratari kolosal? (8) Bagaimana peranan seni tradisi sebagai pijakan kreativitas dalam penggarapan sendratari? (9) Seberapa jauh pengaruh modernisasi dan post-modernisme dalam gagasan inovasi sendratari ? (10) Bagaimana bentuk dan apa yang menjadi penyebab dinamika perubahan sendratari Bali? Kesepuluh masalah yang menarik tadi tentu tidak semuanya akan dikaji dalam penelitian ini. Namun demikian, diantaranya ada yang diintegrasikan dalam tiga rumusan masalah sebagai berikut. 1) Bentuk perubahan apa saja yang terjadi pada Sendratari Mahabharata di tengah perjalanan Pesta Kesenian Bali? 2) Mengapa Sendratari Mahabharata mengalami berbagai perubahan di tengah perjalanan Pesta Kesenian Bali? 3) Apa makna dari semua perubahan Sendratari Mahabharata di tengah perjalanan Pesta Kesenian Bali? Fokus yang dijadikan studi kasus penelitian ini adalah Sendratari Mahabharata PKB yang dipergelarkan di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, dari tahun 1981 hingga tahun 2014. Sebagai studi kasus, tidak seluruh garapan sendratari yang lakonnya diambil dari cerita Mahabharata diteliti melainkan akan dicermati garapangarapan yang dapat mewakili atau menunjukkan dinamika dalam perjalanannya di arena PKB. Sebagai sebuah teks yang tak bisa dilepaskan dari konteksnya, sendratari adalah sebuah presentasi estetik memiliki korelasi untuk merepresentasikan dimensi kultural masyarakat dan atmosfer zamannya. Oleh karena itu maka judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Dinamika Sendratari Mahabharata di Tengah Perjalanan Pesta Kesenian Bali“.
36
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui bentuk perubahan Sendratari Mahabharata di tengahtengah pergulatan budaya PKB. Bentuk-bentuk perubahan yang ingin diperoleh dari penelitian adalah perubahan instrinsik dan ekstrinsiknya. Secara intrinsik, sendratari merupakan perpaduan dari unsur-unsur seni tari, karawitan, dan pedalangan Bali yang dalam proses penuangannya disertai dengan menyesuaian-penyesuaian selera dan persepsi. Sedangkan secara ekstrinsik, sendratari mengkomunikasikan nilai-nilai moral, baik yang mengemuka secara eksplisit verbal maupun kearifan-kearifan etik yang tercermin dari saripati lakon yang dibawakan. 2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendorong perubahan Sendratari Mahabharata di tengah-tengah pergulatan PKB. Faktor-faktor yang menjadi pendorong perubahan ini perlu diketahui mengingat Sendratari Mahabharata PKB adalah seni pentas yang digemari semua kalangan. Tujuan khusus ini juga bertolak dari konstruksi artistik sendratari sebagai bentuk ungkapan kreativitas dan inovasi seni yang dibangun dari keragaman seni pertunjukan tradisional Bali yang juga menunjukkan fenomena perubahan.
37
3) Untuk mengetahui makna perubahan Sendratari Mahabharata di tengahtengah pergulatan PKB. Memahami makna dari perubahan Sendratari Mahabharata PKB sebagai representasi dari transformasi budaya masyarakat Bali adalah tujuan khusus penelitian ini.
Bagaimana
dialektika global-lokal dan pengaruh aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap dinamika perubahan Sendratari Mahabharata PKB, adalah gambaran kontekstual yang ingin diperoleh dalam penelitian berspektif Kajian Budaya ini.
1.3.2 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian berjudul “Dinamika Sendratari Mahabharata di Tengah Perjalanan Pesta Kesenian Bali“ ini adalah untuk mendapat gambaran bagaimana kaitan dan perubahan dunia seni sebagai representasi budaya masyarakat pendukungnya. Melalui topik sendratari ini secara spesifik ingin diperoleh gambaran bagaimana pergulatan para partisipan, pelaku dan penonton, menempatkan kreativitas dan inovasi sebagai sebuah semangat dan media untuk mengaktualisasikan nilai seni tradisi dalam konteks transformasi budaya dan di tengah-tengah dialektika global-lokal.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat akademik yang diharapkan penelitian ini adalah sebagai berikut:
38
1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan teorik-akademik dalam bidang kajian budaya dengan topik Sendratari Mahabharata, sebuah seni pertunjukan yang menjadi tontonan favorit masyarakat Bali selama lebih dari 30 tahun di arena PKB. 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan konsep bagi kalangan akademisi yang mendalami bidang estetika, khususnya estetika seni pertunjukan inovatif yang mengeksplorasi seni tradisi dan juga sekaligus mengadopsi nilai-nilai modern kontemporer. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Hasil penelitian ini bermanfaat bagi kalangan konseptor, seniman kreator, dan pegiat Sendratari Mahabharata PKB dalam memposisikan diri, kreativitas, dan inovasinya di tengah dinamika masyarakat. 2) Hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak Pemda Bali sebagai pendukung terdepan sendratari, Sendratari Mahabharata PKB, dalam mengalokasikan ongkos produksi, pementasan dan honorium yang sepantasnya. 3) Hasil penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas pencinta seni, khususnya bagi para penonton dalam meningkatkan wawasan, pengetahuan, apresiasi, dan respeknya terhadap seni pertunjukan sendratari, Sendratari Mahabharata PKB, termasuk para pelaku seninya.