BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Durkin melaporkan pada pertengahan tahun 1992, terjadi pembantaian
warga Bosnia oleh Kroasia. Seorang reporter TV Inggris, Michael Nicholson, berusaha menyelamatkan seorang anak berusia 8 tahun yang telah kehilangan kedua orangtuanya keluar dari Bosnia, dengan cara memalsukan namanya dalam paspor sebagai anaknya. Tindakan reporter TV Nicholson menyelamatkan anak Bosnia keluar dari medan perang tentunya sangat menguntungkan bagi anak Bosnia tersebut. Namun, tindakannya tersebut juga sangat berbahaya, karena bisa saja ditangkap oleh pemerintahan setempat yang saat itu sangat tidak ramah pada wartawan asing. Michael Nicholson juga dapat menghadapi masalah besar ketika tiba di Inggris, karena telah menyeludupkan warga asing (Sarwono, 2009). Tingkah laku menolong sesungguhnya merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bentuknya sangat bervariasi seperti membukakan pintu untuk orang lain yang sedang membawa barang, membantu teman mengambilkan buku di rak, memberi uang pada pengemis, menjadi pendonor darah, ataupun aktif dalam kegiatan sosial. Menurut Baron, dkk (dalam Sarwono, 2009) tingkah laku menolong atau dalam psikologi sosial dikenal dengan tingkah laku prososial, adalah tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong. Deaux, Dane, dan Wrightsman (dalam Sarwono, 2009) mengatakan 1
bahwa dalam tingkah laku menolong yang lebih diutamakan adalah kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri, terutama dalam situasi darurat. Perilaku prososial biasanya muncul saat seorang manusia menyadari bahwa ada pihak lain yang mengalami kesulitan. Sebagai makhluk sosial, manusia dididik untuk mematuhi serangkaian peraturan dan norma dalam menjalani hidupnya. Salah satu hal yang selalu diajarkan pada kebanyakan orang sejak kecil adalah kebiasaan untuk menolong orang lain. Kebiasaan ini akan tertanam di dalam diri manusia dan akan muncul secara otomatis saat melihat sesama yang membutuhkan. Selain itu, manusia membutuhkan kemampuan saling bekerjasama dan saling membantu saat dihadapkan pada satu masalah. Menurut Cholidah (dalam Hasnida, 2002) perilaku prososial ini sangat penting peranannya dalam menumbuhkan kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya karena dengan kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain. Basti (dalam Darmadji, 2011) menyatakan bahwa dari pendapat beberapa ahli, beberapa faktor internal yang mempengaruhi perilaku prososial yaitu: karakteristik kepribadian, suasana hati, religiusitas, pertimbangan untung-rugi, kemampuan yang dimiliki, keuntungan pribadi, nilai dan norma-norma pribadi, empati, jenis kelamin. Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah budaya, keluarga, karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan, karakteristik situasional, faktor peran gender, dan etnis.
2
Salah satu faktor internal yang disebutkan di atas adalah religiusitas. Individu dikatakan memiliki tingkat religiusitas yang tinggi apabila mempunyai keterikatan religius yang lebih besar sehingga individu tersebut menjalankan ajaran-ajaran dan kewajiban-kewajiban agamanya dengan patuh (Jalaluddin, 2005). Nurdin (1999) mengungkapkan tingkat religiusitas seseorang yang tinggi berarti tinggi pula kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku prososial, karena perilaku prososial merupakan salah satu matra dalam meningkatkan tingkat religiusitas. Dalam meningkatkan tingkat religiusitasnya, individu tidak hanya cukup dengan melakukan ritual-ritual keagamaan saja atau tidak cukup hanya menekankan pada pemahaman dan implementasi matra hubungan manusia dengan Allah tetapi diperlukan juga pengimplementasian matra hubungan antar sesama manusia untuk mencapai tingkat ketaqwaan yang sempurna. Manusia bertindak prososial salah satunya karena dorongan agama (Charity drive) seseorang menolong atau membantu orang lain baik dalam bentuk pertolongan materi, tenaga, informasi atau pendidikan karena didorong oleh keinginan beramal dan keinginan mendapatkan pahala dengan balasan surga dihari kiamat atau mendapatkan rahmat serta perlindungan dari Tuhan sesuai dengan ajaran agamanya. (Sumber: www.kemsos.id) Penelitian dengan judul “Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Prososial pada Mahasiswa yang Pernah Menjadi Sukarelawan Trauma Healing Gunung Merapi” oleh Ariady (2011) menyatakan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dan perilaku prososial dengan hasil korelasi rxy = 3
0.543 dengan (p<0.01). Hal ini terlihat pada para mahasiswa yang pernah menjadi sukarelawan Trauma Healing Gunung Merapi yang menolong orang-orang yang bahkan belum dikenal tanpa melihat latar belakang dari orang-orang tersebut (Ariady, 2011). Namun, penelitian dengan judul “Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Prososial Mahasiswa Pengurus Lembaga Dakwah Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” oleh Farhah (2011) menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku prososial mahasiswa pengurus LDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan nilai r hitung yang didapat (0.033) < r tabel (0.235) (p value 0.792 > 0.05). Hal ini disebabkan rentang usia subyek penelitian sudah memasuki fase transisi dari remaja akhir menuju dewasa awal. Masa dewasa awal mengalami perubahan yang penting bagi perkembangan psikososialnya. Perkembangan psikososial pada usia seperti ini berada pada tahap indentity versus identity confusion, yaitu tahap dimana mahasiswa tengah mengalami pencarian identitas diri. (Farhah, 2011). Berdasarkan penjelasan di atas peneliti tertarik membuat penelitian tentang “Hubungan Antara Religiusitas dengan Perilaku Prososial pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana.” Alasan peneliti melakukan penelitian pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling (BK) UKSW karena sebagai calon guru BK atau konselor, mahasiswa BK UKSW telah memilih kuliah di universitas yang berlandaskan religiusitas dan arti dari “Satya Wacana” yaitu setia kepada Firman Tuhan sehingga diharapkan memiliki perilaku prososial dimana ada sikap menolong siswa/klien dengan mengutamakan keuntungan dari siswa/klien. Selain 4
itu sebagai calon konselor, mahasiswa BK juga akan memberi layanan bantuan bagi klien/siswa yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan (pertolongan) dengan segera. Adapun lingkup bimbingan dikategorikan ke dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, serta bimbingan karir (Yusuf & Nurihsan, 2008). Dalam bimbingan sosial salah satu tujuan dari bimbingan ini adalah untuk mencapai kompetensi pengembangan kemampuan berhubungan sosial dengan menjunjung tinggi nilai dan norma agama, adat, dan aturan hukum. Mahasiswa BK sebagai calon konselor dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien atau peserta didik (Yusuf & Nurihsan, 2008).
1.2
Rumusan Masalah Adakah hubungan yang positif signifikan antara religiusitas dengan
perilaku prososial pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana?
1.3
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara religiusitas dengan
perilaku prososial pada mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana. 5
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini bermanfaat bagi setiap kalangan masyarakat. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan tentang prososial dan religiusitas. Temuan ini sesuai dengan temuan Safrilsyah, dkk (2009) yang menyatakan motivasi prososial dipengaruhi oleh iman yang mendalam dalam agama. 1.4.2. Manfaat Praktis 1) Bagi Program Studi Bimbingan Konseling Sebagai masukan bagi program studi Bimbingan dan Konseling dalam mengembangkan kuliah, terutama perilaku prososial dimana
mahasiswa
Bimbingan
dan
Konseling
dapat
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan
untuk
mengembangkan sikap menolong orang lain. 2) Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling
meningkatkan religiusitas dan perilaku prososial.
6