1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pembahasan tentang Soekarno senantiasa menarik dan masih relevan sepanjang zaman, apalagi bila dikaitkan dengan sejarah Indonesia. Seperti diketahui telah cukup banyak orang berbicara dan menulis tentang Soekarno, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk artikel lepas. Banyaknya minat orang untuk menulis Soekarno karena ia merupakan tokoh dominan panggung sejarah awal Indonesia, lebih-lebih pada 10 tahun terakhir sebelum kekuasaannya berakhir. Akan tetapi jauh sebelumnya Soekarno sudah dikenal sebagai tokoh pemikir dan aktivis dalam pergerakan di Indonesia. Untuk dapat memahami pemikiran Soekarno secara utuh dan benar, perlu dilihat dari sejarah panjang perjuangan Soekarno bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan gagasan-gagasan Soekarno lahir tidak begitu saja, ataupun lahir dari wacana akademik, melainkan lahir dari pergumulan dan pengamalan panjangnya, baik dari proses dinamika perjuangan maupun pertemuannya dengan tokoh-tokoh penting di masa itu. Sebagai seorang pemikir, Soekarno merupakan orang yang sangat konsisten. Gagasan-gagasan yang dikemukakan Soekarno memiliki pengaruh luas dibanding rekan-rekan seperjuangannya. Dalam hal itu ada beberapa tokoh yang dapat bersaing secara gagasan dengan Soekarno, seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka.
2
Sebagai seorang pejuang, Soekarno dikenal tegas dalam bersikap dan pemersatu bangsa. Sejak muda Soekarno aktif berjuang melawan Belanda, akibat dari itu, berulang kali Soekarno dibuang ke pengasingan. Puncaknya ketika pada Desember 1929, Soekarno ditangkap Belanda, itulah penangkapan pertama yang dialami Soekarno. Kemudian beliau disidangkan pada tanggal 18 Januari 1930 di gedung Landraad Bandung. Pada saat itulah Soekarno membacakan dengan semangat yang berapi-api pledoi yang sangat terkenal dengan judul “Indonesia Menggugat” yang didalamnya Soekarno menuntut kemerdekaan. Pledoi itu menjadi tonggak bagi perjuangan Soekarno, dan juga perjuangan kaum nasionalis Indonesia. Gaung gugatan Soekarno lewat pledoi tersebut menyebar ke seluruh Indonesia, Belanda, dan Eropa Barat. Soekarno mulai dikenal di dunia internasional sebagai tokoh revolusioner, khususnya di Asia. Pledoi “Indonesia Menggugat” menjadi salah satu inspirasi tokoh negaranegara Asia untuk ikut menggelorakan semangat kemerdekaan di negara mereka. Pemikiran besar Soekarno ternyata tidak berhenti saat itu, pledoi “Indonesia Menggugat” yang demikian menggemparkan merupakan awal dari gagasan-gagasan lain. Sampai akhir hayatnya, Soekarno tak henti-hentinya terus menyampaikan pemikiran-pemikiran cemerlang yang berguna bagi Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. Soekarno memang dikenal piawai memunculkan gagasan dengan istilah-istilah baru, sebut saja Pancasila, Manipol (Manifestasi Politik), USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin), Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), Berdikari
3
(Berdiri di atas kaki sendiri), dan Trisakti. Hingga hari ini gagasan-gagasan Soekarno masih menggaung dan menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia. Salah satu yang paling mengemuka akhir-akhir ini adalah gagasan Soekarno tentang Trisakti. Dalam catatan sejarah, istilah Trisakti kali pertama dimunculkan
Soekarno
ketika
pidato
dengan
judul
“Tahun
Vivere Pericoloso” disingkat TAVIP, tanggal 17 Agustus 1964. Soekarno dalam pidatonya menyampaikan bahwa telah memformulasikan 6 hukum revolusi dan memformulasikan Trisakti sebagai jalan revolusi bangsa Indonesia. Trisakti yang dimaksud dalam hal ini adalah berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Mencermati hal ini bisa diketahui bahwa tiga hal tersebut merupakan upaya Soekarno untuk memberikan platform strategi pembangunan bagi bangsa Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Trisakti lahir dilatarbelakangi oleh semakin gencarnya gelombang sistem kapitalisme liberal masuk ke dalam sistem pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan. Seperti diketahui bahwa perjuangan melelahkan yang dilakukan bangsa Indonesia pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945. Segera setelah Indonesia merdeka, Indonesia mencoba sistem demokrasi parlementer yang di kemudian hari memicu perpecahan di dalam perpolitikan Indonesia. Bagi Soekarno, demokrasi parlementer dianggap terlalu “Liberal”, karena terlalu kompromi dengan aturan main yang dilakukan bangsa asing melalui perjanjian-perjanjian internasional. Soekarno kemudian menjelang dekade 1950-an mengganti sistem politik dengan
4
nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja dianggap tidak demokratis, melainkan dinilai cenderung mengarah kepada sistem otoriter. Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan negara, sehingga dianggap menjauhkan Indonesia ke tujuan masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Soekarno, penerapan sistem demokrasi barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Partai politik yang terlalu banyak dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan politik dalam membangun Indonesia, sehingga program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat dan gerakan separatis terjadi di mana-mana. Pada akhirnya partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Di samping itu, bagi Soekarno demokrasi liberal dinilai memiliki muatan nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) yang bisa menyebabkan terkikisnya rasa nasionalisme dan jiwa revolusi. Untuk itulah, sebagai upaya menjaga ketahanan negara, Soekarno kemudian hari merumuskan gagasan Trisakti yang merupakan antitesa untuk membendung konsep demokrasi liberalisme. Bila dipandang sebagai suatu gagasan, maka perlu adanya identifikasi dan verifikasi atas pembenaran-pembenaran pengetahuan di dalam gagasan Trisakti. Trisakti sendiri memiliki pengertian tiga prinsip kemandirian berbangsa dan bernegara. Oleh Soekarno dalam pidato TAVIP (Tahun Vivere Piscolo),
5
Trisakti dijadikan sebagai garis besar haluan negara dan harus dipenuhi oleh bangsa Indonesia bila ingin menjadi masyarakat adil dan makmur. Sebagai garis besar haluan negara, tentunya di dalam Trisakti terdapat pengetahuan atau konsepsi tentang bagaimana wujud dan rumusan tiga prinsip tersebut. Prinsip pertama Trisakti adalah berdaulat dalam politik. Berdaulat politik sendiri mempunyai pengertian pengakuan utuh atas kekuasaan tertinggi. Kekuasaan ini memiliki kaitan dengan pengakuan kemerdekaan. Secara teoritis, Kemerdekaan pada dasarnya memiliki dua macam definisi yaitu de jure dan de facto. Kemerdekaan de jure, yaitu adanya pengakuan dunia internasional secara hukum atas sebuah wilayah Indonesia. Sementara itu, kemerdekaan de facto, yaitu Indonesia diakui mempunyai batas-batas wilayah yang terbentang dari sabang sampai merauke sebagai tempat eksistensinya. Dengan pengakuan secara de facto dan de jure maka negara berhak untuk mengatur dirinya sendiri. Kemudian prinsip kedua adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Sebagai prinsip kedua Trisakti tidak dapat dipisahkan dengan konsep pertama “Berdaulat di bidang Politik”. Artinya dengan adanya pengakuan atas kedaulatan wilayah maka bangsa Indonesia memiliki hak pula untuk mengelola sumber daya ekonomi yang ada tanpa ketergantungan pada bangsa lain. Soekarno pernah mengatakan “untuk membangun satu negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan” (Soekarno, dalam Iman (ed), 2001: 288). Berdikari ekonomi sendiri secara teoritis dimaknai ekonomi yang dihasilkan kekuatan sendiri, baik dari sumber bahan, tenaga, keahlian, hingga sampai pada persoalan
6
produksi, distribusi, dan pasar. Oleh karena itu berdikari ekonomi memiliki dasar kerakyatan yakni percaya dengan kekuatan bangsa sendiri untuk mengelola ekonomi. Prinsip yang terakhir adalah kepribadian dalam bidang kebudayaan. Kepribadian disini dimaknai sebagai suatu identitas berkenaan dengan individu maupun kelompok, suku atau bangsa yang memiliki khas kebudayaan. Oleh karena itu, konteks dari gagasan Trisakti disini adalah kepribadian bangsa yang lahir dari akar kebudayaan sendiri, bukan dari kebudayaan bangsa lain. Kepribadian tersebut kemudian mewujud menjadi mentalitas, pengetahuanpengetahuan, bahasa, tradisi, dan pola hidup yang membedakan identitas bangsa Indonesia dengan lainnya. Prinsip ketiga ini dilakukan Soekarno sebagai upaya membendung kebudayaan asing seperti liberalisme dan kapitalisme yang bisa menciptakan kolonial baru, sekaligus digunakan Soekarno untuk mengubah susunan masyarakat feodal yang telah bersemayam 350 tahun di Indonesia. Dengan kata lain, Soekarno berusaha membentuk sebuah bangsa yang lahir dari realitas akar kebudayaan, tidak masyarakat copy paste dari barat. Dalam pidato TAVIP (Tahun Vivere Periscolo) Soekarno mengatakan, “janganlah kita mencari kepeloporan mental pada orang lain, tetapi carilah kepeloporan mental itu pada diri kita sendiri. Carilah sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri” (Soekarno, 1965: 594). Dari ketiga prinsip Trisakti itu, pada dasarnya dijiwai semangat yang sama yakni kemerdekaan, yang kemudian semangat kemerdekaan tersebut diwujudkan dalam bentuk kemandirian sikap. Dalam hal ini maksudnya percaya
7
pada kekuatan sendiri untuk mengatur negara dan bangsanya. Dengan demikian, melalui gagasan Trisakti, Soekarno benar-benar ingin menunjukkan bentuk sikap perlawanan terhadap kaum nekolim. Soekarno memang secara tegas menolak jebakan kaum nekolim dengan mengatakan “go to hell with your aid”. Sikap yang ditunjukkan Sekarno bukan serta merta tanpa alasan. Seperti yang disampaikan Sritua Arief (2001) yang berpendapat bahwa Soekarno sangat menyadari kebangkitan bangsa Indonesia sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup di alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harus mengandung dua sisi. Sisi yang pertama ialah revolusi nasional untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme asing, sisi kedua adalah revolusi sosial untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada di dalam masyarakat (Soekarno, dalam Iman (ed), 2001: xxi). Soekarno dengan jeli melihat kepincangan yang nyata dalam struktur sosial di mana massa rakyat hidup di dalam suatu stelsel yang eksploitatif. Soekarno pernah berpendapat bahwa kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan merupakan syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat. Satu hal lagi yang menarik terkait gagasan Trisakti, yaitu saat ini gagasan Trisakti semakin ramai diperbincangkan, didiskusikan, hingga diseminarkan oleh banyak kalangan akademisi, negarawan, ekonom, budayawan, dan politisi. Gagasan ini dianggap masih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia hari ini, sehingga seakan-akan menjadi jawaban ilmiah dan strategis dalam memecahkan problematika bangsa Indonesia. Bagi kalangan pengagum Soekarno, ada rasa
8
kekecewaan karena para pengganti setelah Soekarno telah menghentikan semuah jerih payah yang diperjuangkan dan dibangun oleh Soekarno. Para pengagum Soekarno menganggap mereka telah meninggalkan ajaran Trisakti dan menggantinya dengan liberalisme, sehingga bagi mereka, kekhawatiran Soekarno akan nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme) pada masa lalu menjadi benar adanya pada hari ini. Soekarno sendiri bisa disebut juga tokoh strukturalis awal dalam jajaran aliran strukturalis dunia, yang menghendaki restrukturisasi tata kebudayaan dan hubungan struktur politik pada tataran nasional dan dunia. Soekarno juga menghendaki restrukturisasi terhadap kekuasaan ekonomi dan penguasaan aset ekonomi yang penuh ketimpangan struktural, antara si kaya dan si miskin, antara si tuan dan si hamba. Kiranya alasan tersebutlah mengapa sosok Soekarno masih pantas dipelajari dan gagasan Trisakti masih sesuai untuk diteliti, lebih-lebih diterapkan guna menghadapi arus globalisasi yang masuk ke Indonesia. Karena besarnya pengaruh Soekarno atas berdirinya negara Indonesia, maka besar pula minat orang untuk menggali kehidupan, sepak terjang, dan pemikirannya. Tak sedikit pula penelitian-penelitian yang menjadikan Soekarno sebagai objek material. namun rata-rata berkutat pada tataran dimensi makna gagasan dan kisah kehidupannya. Oleh karenanya masih sedikit, penelitianpenelitian yang mengkaji Soekarno melalui perspektif epistemologi. Penelitian ini mencoba melacak dan mengamati isi gagasan Soekarno dalam Trisakti serta merumuskan struktur pengetahuan Trisakti
dengan harapan melengkapi
9
penelitian-penelitian Soekarno yang sudah ada agar lebih utuh dalam memahaminya.
B. Rumusan Masalah a. Apa isi gagasan Soekarno dalam Trisakti menurut Kenneth Gallagher? b. Apa struktur pengetahuan gagasan Trisakti menurut Kenneth Gallagher? c. Apa relevansi gagasan Trisakti dengan kehidupan bernegara di Indonesia di era globalisasi?
C. Keaslian Penelitian Setelah
melakukan
penelusuran
terhadap
kepustakaan,
penulis
menemukan beberapa hasil penelitian yang memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, antara lain: Bernhard Dahm (1969), dalam bukunya dengan judul Sukarno And The Struggle for Indonesian Independence, menganalisis pemikiran Sukarno yang dipengaruhi kebudayaan Jawa. Dahm berusaha menjelaskan bagaimana Sukarno yang merupakan orang Jawa, secara pemikirannya pun dipengaruhi pula oleh budaya Jawa. Menurut Dahm, Sukarno lebih banyak pemikirannya dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa daripada pemikiran Barat, hingga Dahm menyimpulkan untuk mengenal Sukarno cukup mempelajari tokoh wayang Bima, karena bagi Sukarno tokoh Bima merupakan tokoh yang dikaguminya. Dadang Prabowo (1984), Judul skripsi Pembahasan Pemikiran Soekarno Tentang Kemerdekaan, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
10
Dalam karya ilmiah ini lebih menekankan konsep kemerdekaan dalam pandangan Soekarno. Nazaruddin Sjamsuddin (1988), buku yang berjudul Soekarno; pemikiran politik dan kenyataan praktek, membahas pemikiran politik Soekarno, dari Nasionalisme, Internasional, Demokrasi, Ekonomi, dan Marhaenisme. Sri Wahyuni (1988), Judul skripsi Konsep Nasionalisme Menurut IR. Soekarno, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di dalam karya ilmiah tersebut membahas bagaimana nasionalisme menurut Soekarno. Ellen Christian Nugroho (2002), dalam tesisnya yang berjudul Sukarnoisme Dalam Tinjauan Filsafat Politik, memaparkan sistematis mengenai asumsi dasar dari gagasan-gagasan sosial politik Soekarno, sehingga Soekarno disini dilihat sebagai pelaku politik, bukan seorang pemikir. Nurani Soyomukti (2008), dalam bukunya berjudul Bung Karno dan Nasakom, lebih memfokuskan pada pemikiran politik Soekarno, yakni Nasakom. Dengan cara menggali makna dan mengungkap alasan Soekarno menjadikan tiga ideologi yang berbeda menjadi satu kesatuan. Berdasarkan penelusuran peneliti, belum ada penelitian Pemikiran Soekarno Tentang Trisakti; Perspektif Epistemologi Kenneth Gallagher. karena itu penelitian ini dapat dikatakan baru pertama kali dilakukan serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
11
D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah mengurai dan menjelaskan gagasan Soekarno tentang Trisakti, menganalisis struktur gagasan Trisakti dan menganalisis relevansi gagasan Trisakti dengan kehidupan bernegara Indonesia saat ini.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain: Bagi kajian filsafat, penelitian ini memperkaya kajian ilmu filsafat dalam bidang epistemologi dan menjadi referensi untuk mengembangkan penelitian yang terkait dengan tokoh Soekarno dengan meneliti aspek-aspek pemikiran lainnya. Di samping itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai upaya menemukan pandangan atau sikap bernegara bagi bangsa Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka Pemikiran Soekarno mengenai Trisakti, diterangkan oleh Dadang Prabowo (1984) yang berjudul Pembahasan Pemikiran Soekarno Tentang Kemerdekaan. Pada dasarnya Trisakti adalah kemerdekaan dalam pengertian ontologi. Kemerdekaan adalah suatu keadaan atau suasana yang didalam orang bebas, sedangkan kemandirian ialah hasil dari penjabaran kemerdekaan. Di dalamnya diterangkan mengutip pendapat Louis O. Kattsoff, kebebasan merupakan suatu keadaan bahwa orang dapat mengambil sikap atau melakukan perbuatan yang didasarkan pada pertimbangan yang bersifat rasional, atau bisa
12
dikatakan orang dapat melakukan pilihan diantara sejumlah kemungkinan tanpa ada paksaan (Dadang, 1984: 80). Dalam penjelasan Soekarno tercantum dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964 yang berjudul “Tahun Vivere Periscolo”, dikatakan Trisakti oleh Soekarno dijadikan sebagai usaha-usaha untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan di segala bidang kehidupan manusia, di bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Itu semua merupakan upaya dalam rangka membangun Indonesia merdeka (Dadang, 1984: 79). Konsistensi Soekarno dalam upaya menghilangkan penjajahan bukan serta merta tanpa alasan. Soekarno memahami bahwa perjuangan harus terus dilakukan meski bangsa Indonesia telah merdeka dari penjaahan fisik. Mengenai sikap Soekarno terhadap penjajahan, Onghokham dalam bukunya berjudul Manusia Dalam Kemelut Sejarah, menjelaskan bahwa Soekarno mengutamakan nasionalisme demi kesatuan bangsa untuk melawan paham-paham elitisme, imperialisme dan kolonialisme. Karena ketiga hal ini merupakan penyebab daripada kesengsaraan masyarakat Indonesia. Gerak langkah Soekarno selalu dilandasi oleh sikap anti terhadap ketiga paham tersebut (Onghokham, 1978: 23). Perjuangan yang dilakukan oleh Soekarno sebagai bentuk mewujudkan cita-cita revolusi bangsa Indonesia menuju sosialisme. Cita-cita soekarno dijelaskan oleh Ellen Christian Nugroho dalam tesisnya yang berjudul Soekarnoisme dalam tinjauan filsafat politik, yang menyebutkan bahwa cita-cita revolusi adalah sosialisme. Sosialisme berisi ideal tentang masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial. Masyarakat Indonesia diidamidamkan yang memiliki tiga ciri, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di
13
bidang ekonomi, berkepribadian di bidang budaya. Tiga ciri ini harus diupayakan oleh bangsa Indonesia karena sosialisme yang dicita-citakan bukan hanya berdiri di atas dasar obyektif, yakni keharusan sosial-historis, melainkan juga di atas kemauan subjektif (Ellen, 2002: 89). Ignas Kleden dalam bukunya yang berjudul Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, menjelaskan bahwa Soekarno memberi fokus utama kebangsaan dan bergulat sepanjang hayatnya dengan proyek nation building, sebagai sebuah kerja raksasa yang telah diselesaikan dengan baik. Kleden lebih lanjut menjelaskan bahwa bagi Soekarno kemerdekaan atau kedaulatan politik merupakan syarat mutlak menuju masyarakat adil dan makmur, implikasinya bahwa pembangunan ekonomi pun hanya dimungkinkan oleh kemerdekaan politik (Kleden, 2001: 71). Meskipun Soekarno nasionalisme sejati, tetapi jalan kebangsaannya lebih merupakan jalan menuju sosialime dan demokrasi (Kleden, 2001: 240). Namun Kleden juga mengkritik tentang pemikirannya Soekarno tentang sosialisme. Bagi Kleden pemikiran sosialisme Soekarno tidak begitu jelas. Marhaenisme sebagai versi Soekarno untuk sosialisme, sulit diterima secara sosiologis, karena seorang marhaen memiliki alat-alat produksi secara pribadi, maka dalam perspektif sosiologis, seorang marhaen sulit dinamakan sosialis, dan lebih tepat dikelompokkan ke dalam borjuasi kecil (Kleden, 2001: 238). Umar Hasibuan dalam bukunya yang berjudul Revolusi Politik Kaum Muda, menjelaskan bahwa Soekarno berusaha membangun kedaulatan politik. Dijelaskan bahwa kedaulatan memiliki pengertian suatu hak eksklusif untuk menguasai, mengelola suatu wilayah pemerintahan atau masyarakat. Dalam ranah
14
politik kedaulatan menjadi sangat dekat dengan harga diri. Kedaulatan hal ini sering disamakan dengan keutuhan bangsa. Berdaulat berarti kita dapat mengontrol semua wilayah territorial dari campur tangan asing dan dari gerakan separatisme di dalam negeri. Kedaulatan menjadi alat ampuh untuk mendorong nasionalisme (Hasibuan, 2009: 297). Floroberta Aning dalam pengantar buku berjudul Kumpulan Pernyataan Bung Karno Tentang gerakan 30 September, menjelasan butir Trisakti yang kedua yakni berdikari dalam ekonomi. Dikatakannya berdikari adalah istilah yang dicetuskan Soekarno yang merupakan akronim dari berdiri di atas kaki sendiri. Berdikari sama artinya dengan kemandirian atau tidak memiliki ketergantungan dengan yang lain. Berdikari adalah prinsip di bidang ekonomi. Seperti yang disampaikan Soekarno dalam sidang kabinet Dwikora 6 Oktober 1965, “terutama prinsip berdikari di dalam ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanpun sulitnya saya minta jangan dilepaskan jiwa “self-reliance” ini, jiwa percaya pada kekuatan sendiri, jiwa self-help, jiwa berdikari” (Aning, 2006: 48). Ditegaskan pula secara khusus oleh Soekarno dalam buku kumpulan pidato Soekarno berjudul “Bung Karno dan ekonomi Berdikari” editor Iman Toto K. Rahardjo. Soekarno menerangkan bahwa, “berdikari dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya (Rahardjo edit, 2001: xiii). Di
dalam
Trisakti
pula
dijelaskan
prinsip
kepribadian
dalam
berkebudayaan. Prinsip ini merupakan wujud penolakan Soekarno terhadap kebudayaan warisan kolonial. Di pidato Soekarno, 17 agustus tahun 1966 di ambil
15
dari buku “Revolusi belum Selesai” editor Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, Soekarno berkata bahwa “Indonesia yang kita cita-citakan tidak dapat dibangun atas warisan atau sisa-sisa jiwa kolonialisme. Sisa-sisa kolonialisme ini harus kita bongkar sama sekali” (Soekarno, Budi Setiyono sunt, 2014: 583). Soekarno berusaha membangun bangsa dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan bangsa yang berjiwa, yang dapat dan mampu menghadapi suatu tantangan. Soekarno memandang bahwa membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan itu perlu tapi utamanya membangun jiwa bangsa. Keahlian adalah perlu, tapi keahlian saja tanpa dilandasi pada jiwa yang benar, tidak akan mungkin tercapai tujuan. Soekarno dengan jelas mengatakan “Saya tidak mau build a nation, Indonesian nation yang cuma memikirkan isi perut saja...saya tidak mau meninggalkan isi ideel, isi spiritueel, isi yang mengenai kesenian dan kebudayaan” (Soekarno, dalam Budi Setiyono (ed), 2014: 536). Untuk memahami pengertian kepribadian budaya, menarik bila mencermati pengertian tersebut menurut Ayatrohaedi dalam bukunya yang berjudul “Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius)”. Ayatrohaedi menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya. Sebagai ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat, maka masing-masing kepribadian budaya bangsa atau local genius yang menjadi ciri dan inti kehidupan budaya masyarakat. Kedudukan kepribadian budaya bangsa ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan
16
yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau musnahnya kepribadian budaya bangsa berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya kepribadian budaya bangsa untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat itu. Oleh karena itu penting sekali adanya usaha pemupukan serta pengembangan kepribadian budaya bangsa tersebut yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat baik dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi maupun dalam orientasi masyarakat (Ayatrohaedi, 1986: 33).
G. Landasan Teori Epistemologi dalam hal ini menjadi objek formal untuk mendapatkan gambaran utuh dan integral tentang hakikat dan struktur pengetahuan objek material yang diteliti. Landasan teori ini berangkat dari pengertian epistemologi sebagaimana dimaksud dalam definisi epistemologi berikut; “Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki” (Gallagher, dalam Hadi, 2001: 5). Berdasarkan definisi dan persoalan pokok dalam epistemologi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa epistemologi mencoba menjelaskan tentang bagaimana hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian dan dasar pengetahuan, serta konsekuensi logis atas pernyataan tentang pengetahuan yang dimiliki subjek. Epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan salah satu tempat berpijak pengetahuan.
17
Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Kekuatan bangunan rumah bisa diandalkan berdasarkan kekuatan fundamennya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalahmasalah pokok epistemologi, karena itu epistemologi terkait dengan pekerjaan pikiran manusia, yaitu berusaha mengungkap jalan pikiran manusia. Dari alasan tersebut, epistemologi menjadi cabang dari filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan kebenaran. Usaha Kajian epistemologi sangat perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia. Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan yang ada. Sehingga tujuan dapat tercapai. Pengetahuan pada dasarnya adalah suatu kekuasaan atau daya. Sudah sejak Francis Bacon (1561-1626) orang disadarkan akan kenyataan bahwa knowledge is power. Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. Seperti yang dikatakan Pranarka yang dikutip oleh Sudarminta: “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakkan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu pengetahuan, apa sifat dan hakikatnya, apa daya dan keterbatasannnya, apa kemungkinan dan
18
permasalahannya”. Pertanyaan-pertanyaan asasi tentang pengetahuan seperti itu dicoba untuk dijawab oleh epistemologi (Sudarminta, 2006: 26). Adapun persoalan yang muncul dalam epistemologi, antara lain meliputi beberapa persoalan pokok berikut; a) Common sense (anggapan umum/akal sehat) b) Aspek eksistensial c) Analogi pengetahuan d) Metode di dalam epistemologi (Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 13-27)
Berkaitan dengan persoalan pokok dalam epistemologi, salah satu persoalan penting berkaitan dengan tema gagasan Trisakti yaitu persoalan yang berkaitan dengan aspek eksistensial. Persoalan aspek eksistensial merupakan persoalan “apa yang dapat saya ketahui?” yang merupakan sisi lain dari pertanyaan “apa itu?”. Dari sini dapat bertanya “sejauhmana saya dapat melekat kepada apa yang nyata”?, sehingga dapat diterangkan bahwa pengetahuan manusia adalah upaya untuk menyatakan kepada dirinya sendiri keterlekatannya pada “ada” (Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 21). Selanjutnya ada persoalan common sense, di dalam aspek common sense yang diamati adalah suatu kepercayaan universal terhadap penalaran pengalaman yang mengendap di dalam pemahaman sederhana. Lebih jelasnya Gallagher mencoba mengikuti pendapat Maritain, “common sense beliefs is a mixed one, comprising on one level such primary insights as the principle of
19
noncontradiction, but reaching down through many more dubious social convictions to a grab bag of intellectual remnants” (Gallagher, 1982: 7). Pengetahuan
common
sense
merupakan
pengetahuan
campuran,
yaitu
pengetahuan menurut anggapan atau persepsi, sekaligus mempunyai pokok-pokok pengetahuan yang dianggap sebagai tujuan akhir dari pikiran pemiliknya. Kemudian persoalan yang penting lagi adalah analogi pengetahuan yang merupakan salah satu persoalan yang berkaitan dengan “mengetahui caranya”. Apa arti “mengetahui”? yang jelas tidak ada cara yang benar-benar netral untuk menerangkan setiap kenyataan, maka dari itu harus tetap membuka pintu bagi kemungkinan bahwa cara-cara mengetahui mungkin ada bermacam-macam dan setiap cara mungkin secara shahih bisa disebut “pengetahuan”. Kenyataan yang bermacam-macam makna pengetahuan ini pernah dijelaskan oleh para filsuf Thomisme. Penjelasan ini didasarkan dari ajaran Thomas mengenai analogi pengada yang mempersiapkan dasar ontologisme bagi analogi pengetahuan. Di dalam Thomisme “ada” adalah analogi pengetahuan. Analog menunjuk kepada kenyataan arti yang tidak seluruhnya sama dari kata sama yang diterapkan pada benda-benda yang berbeda. Kesamaan yang mengikat pengada-pengada dan memungkinkan semuanya disebut dengan kata yang sama (“ada”) bukanlah karena mempunyai sifat yang identik atau univok, tetapi karena suatu kemiripan. Semua benda sama sejauh mereka ada, tetapi mereka berbeda juga berkat keberadaan mereka, maka bila ada analogi dari ada, kita juga harus menemukan suatu analogi pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, dan bagaimana pun
20
didefinisikan, yang jelas ialah bahwa pengetahuan diarahkan kepada “ada”, artinya pengetahuan adalah pernyataan diri dari ada (Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 24-25). Persoalan pokok epistemologi selanjutnya adalah metode di dalam epistemologi. Anggapan umum untuk melihat pengkajian pengetahuan hanya di dalam “penafsiran pernyataan” bisa kurang tepat. Kesesuaian antara pikiran dan kenyataan merupakan dasar bagi konsepsi kebenaran umum saja. Jika apa yang saya nyatakan ternyata baik, maka pertimbangan saya dikatakan sesuai dengan kenyataan, maka benar. Sederhananya, pertimbangan yang menyatakan sesuatu bisa benar atau salah, apabila pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Memang benar bahwa pertimbangan mempunyai peranan yang sangat menentukan di dalam pemahaman manusia. Tetapi masalah pengetahuan seharusnya tidak disamakan dengan masalah benar tidaknya pertimbangan. Dari sini dikatakan bahwa epistemologi bukan hanya berurusan dengan pernyataan mengenai dasar dari pertimbangan. Nilai kebenaran pertimbangan harus diputuskan berdasar evidensi (sesuatu yang jelas dari dirinya sendiri), dan keterlibatan epistemologi yang sebenarnya adalah dengan persoalan evidensi (Gallagher, dalam Hardono Hadi, 2001: 26).
H. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian literal atau pustaka. Bahan dalam penelitian ini terdiri atas bahan primer yang diambil dari buku-buku yang secara
21
langsung membahas tentang permasalahan yang akan diteliti. Selain bahan primer, penelitian ini juga menggunakan bahan sekunder yaitu bahan kepustakaan yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding. Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas: -
Bahan Primer
a. Adam, Cindy, 2011, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yogyakarta: Media Pressindo. b. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I dan II, Jakarta: Panitia Penerbit. c. Soemohadiwidjojo, Rhien, 2013, Bung Karno Sang Singa Podium, Yogyakarta: Second Hope. d. Naskah-naskah Pidato Soekarno yang berbicara Trisakti, antara lain berjudul “Manipol USDEK” tahun 1959, “Tahun Vivere Priscolo” tahun 1964, judul “Tahun Berdikari” tahun 1965, dan judul “Nawaksara” tahun 1966. e. Kenneth T Gallagher, 1986, The Philosophy of Knowledge, Fordham University Press. -
Bahan Sekunder Data-data yang berkaitan dengan perihal Soekarno.
2. Jalan Penelitian Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian literal: Tahap pertama meliputi:
22
Pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder sesuai lingkup penelitian. Pembuatan kategori dengan menyatukan dan mengumpulkan dalam satu kesatuan tersistemisasi. Tahap kedua meliputi: Klasifikasi data selanjutnya dilakukan penjabaran dan penafsiran. Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang gejala hal yang berhubungan dengan objek penelitian. Tahap Ketiga meliputi: Penyusunan draft hasil penelitian. Penyusunan laporan hasil penelitian secara sistematis dan mengikuti format atau urutan baku dalam penelitian.
3. Analisis Hasil Penelitian Untuk memperoleh hasil maksimal yang diharapkan dari penelitian ini adalah menganalisis data secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah, tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang dapat di pertanggungjawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah yang sistematis. Adapun metode analisis yang digunakan adalah -
Hermeneutika Peneliti menggunakan konsep hermeneutika Wilhelm Dilthey untuk
menangkap kandungan makna esensial. Hermeneutika Dilthey bertitik tolak dari filsafat hidup yang membutuhkan suatu pemahaman (Das Verstehen) dari historisitas dan pengalaman manusia (Mustansyir, 2009: 42). Pemahaman tentang manusia tidak terlepas dari makna historisitas, karena manusia memahami dirinya
23
melalui
hidup,
maka dibutuhkan interpretasi
dalam suatu pemahaman
(Mustansyir, 2009: 45). Beberapa unsur metodis yang terdapat dalam hermeneutika antara lain: 1) Deskripsi, mengungkapkan dan memaparkan fakta yang berhubungan dengan objek material. 2) Verstehen, yaitu memahami makna dari fakta yang berhubungan dengan objek material. 3) Interpretasi, yaitu menafsirkan data yang diperoleh. 4) Holistik, yaitu melihat data secara menyeluruh yang terkait dengan objek penelitian yang dikaji untuk mendapatkan pemahaman seorang lengkap dan tepat.
I. Sistematika Penulisan Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah yang meliputi masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, analisis penelitian sistematika penulisan. Bab II, berisi tentang epistemologi meliputi pengertian epistemologi, aspek-aspek dalam epistemologi, dan kebenaran eksistensialis menurut Kennet T. Gallagher. Bab III, berisi biografi Soekarno meliputi jejak pemikiran Soekarno, Riwayat Hidup dan masa perjuangan Soekarno.
24
Bab IV, berisi analisis gagasan Trisakti meliputi isi gagasan Trisakti dan struktur pengetahuan gagasan Trisakti dan relevansi gagasan Trisakti dengan kehidupan bernegara Indonesia di era globalisasi. Bab V, berisi penutup, meliputi kesimpulan dan saran.