BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Semakin meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan di seluruh dunia, telah mendorong berbagai negara dan asosiasi usaha untuk melakukan berbagai upaya mencegah hal tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh CPA Australia dan Corporate Governance and Financial Reporting Centre (CGFRC), penyebab dari hal tersebut adalah lemahnya pengendalian internal dan tata kelola perusahaan (Corporate Governance) (Anonymous, 2006). Hal ini kemudian juga telah mendorong semakin tingginya tuntutan penerapan GCG (Good Corporate Governance) di sektor swasta dan sektor publik. Menurut KNKG (2008), sebenarnya tuntutan tersebut telah diwujudkan
oleh
beberapa
negara
dengan
menciptakan
undang-undang
pencegahan korupsi dan pelaksanaan GCG, serta pedoman penerapan terbaik praktik Corporate Governance yang didasarkan pada anjuran Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO). Setelah diterbitkannya Sarbanes-Oxley pada tahun 2002 di Amerika Serikat sebagai bentuk pencegahan korupsi dan langkah untuk memastikan pelaksanaan GCG, telah mendorong perkembangan praktik-praktik terbaik baru dalam rangka menciptakan GCG, salah satunya adalah whistleblowing system. Sarbanes-Oxley Act mensyaratkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terdaftar di
1
United States Stock Exchange harus menerapkan jalur pelaporan yang membantu pegawainya untuk melaporkan masalah dalam hal akuntansi, keuangan, dan pelanggaran kode etik. Menanggapi hal ini, perhatian media dan publik semakin menguat dalam hal meminta para pemimpin perusahaan untuk menunjukkan komitmen yang jelas terhadap tanggung jawab etis dan hukum dalam mengelola perusahaan (Olander, 2003). Sebenarnya whistleblowing system sudah menjadi keharusan untuk diterapkan pada perusahaan di Amerika Serikat sejak masa pemerintahan Presiden Reagan pada tahun 1970, namun hal ini semakin menguat ketika mulai terkuaknya beberapa skandal yang melibatkan beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat, yang berujung dengan diterbitkannya Sarbanes-Oxley Act pada tahun 2002 (Daher, 2005). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dimana penelitian tersebut menyimpulkan bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah dan melawan tindakan yang bertentangan dengan GCG adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran atau whistleblowing system (KNKG, 2008: 1). Di Indonesia, whistleblowing system merupakan sistem pelaporan pelanggaran yang masih tergolong baru diterapkan di Indonesia. Dalam rangka mendorong terciptanya GCG dan memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas pelaksanaan Corporate Governance di Indonesia, maka KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) menerbitkan suatu pedoman yang diberi judul “Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS)” pada tahun 2008. Pedoman ini dibentuk karena terdorong hasil survei sebuah lembaga
2
internasional yaitu Institute of Business Ethics pada tahun 2007. Hasil survei tersebut menyimpulkan bahwa satu dari empat orang karyawan di dalam perusahaan mengetahui adanya pelanggaran dan lebih dari separuh keseluruhan karyawan lebih memilih diam dan membiarkan pelanggaran tersebut terus terjadi (KNKG, 2008: 70). Pedoman ini bukan lah hal yang wajib diikuti, namun KNKG berharap bahwa pedoman tersebut dapat dijadikan acuan oleh perusahaan di Indonesia untuk penerapan whistleblowing system dalam rangka mewujudkan GCG di Indonesia. Selain itu, KNKG berharap melalui pedoman tersebut, tingkat partisipasi karyawan dalam melaporkan pelanggaran dapat terus meningkat dan semakin mendorong hilangnya budaya diam, menuju ke arah budaya kejujuran dan keterbukaan (KNKG, 2008: iii). Namun sampai tahun 2013 ini belum terdapat undang-undang yang mengatur perlindungan whistleblower dan mekanisme penerapan whistleblowing system di Indonesia sehingga mekanisme yang ada selama ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS) yang diterbitkan oleh KNKG. Sebagai
mekanisme
pengendalian
internal
(Patel,
2003),
bagian
pengendalian internal (KNKG, 2008), dan elemen corporate governance (Olander, 2004), maka seharusnya penerapan sistem ini berdampak positif terhadap efektivitas pengendalian internal. Namun yang sering tejadi di Indonesia adalah seseorang yang menjadi whistleblower sering kali pada akhirnya mengalami pembalasan oleh pihak yang dilaporkan. Pembalasan ini tidak hanya dapat berupa pembalasan dalam hal fisik dan mental, tetapi juga sering kali
3
seorang whistleblower justru menjadi tersangka atas tindakan yang ia laporkan dan pihak yang dilaporkan justru dapat terbebas dari jeratan hukum. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gonzales (2010) di LAPD (Los Angeles Police Department). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsekuensi menjadi whistleblower adalah seorang whistleblower dapat menjadi subjek pengasingan dan akan mengalami tindakan pengacuhan oleh rekan kerja mereka setelah melaporkan suatu tindakan kepada bagian internal di dalam organisasi. Menurut hemat penulis, hal ini kemudian dapat menjadi faktor penyebab tidak efektifnya penerapan whistleblowing system dan sebagai bagian dari pengendalian internal
tidak
mampu
meningkatkan
efektivitas
pengendalian
internal,
dikarenakan tingkat partispasi karyawan yang sangat rendah akibat ketakutan yang berasal dari konsekuensi menjadi seorang whistleblower. Sebenarnya beberapa kasus whistleblower sudah sering terjadi di Indonesia dan cukup menyita perhatian publik. Namun kasus tersebut tidak lahir dari whistleblowing system. Adapun beberapa contoh kasus tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kasus whistleblower oleh Susno Duadji. Masih segar di ingatan masyarakat Indonesia mengenai kasus Susno Duadji, seorang petinggi Kepolisian Republik Indonesia yang terjadi pada tahun 2009. Susno Duadji merupakan orang yang pertama kali mengungkapkan adanya praktik mafia hukum yang melibatkan Gayus H.P. Tambunan yang merupakan pegawai Direktorat Keberatan dan Banding pada Direktorat Jenderal Pajak. Dalam testimoninya yang membuat kaget
4
media massa, Susno Duadji mengungkapkan skandal rekayasa perkara yang telah beberapa kali berhasil membebaskan Gayus dari dakwaan. Kemudian hal ini berujung dengan terkuaknya keterlibatan sejumlah orang seperti, seorang hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan beberapa petinggi Kepolisian RI (Republik Indonesia) (LPSK, 2011). Posisi Susno dalam struktur Kepolisian sebenarnya sangat berpotensi mengungkap perkara korupsi yang melibatkan dan terjadi di Kepolisian, namun akibat terlampau kuatnya tembok solidaritas di Kepolisian RI sehingga menyebabkan laporan Susno tidak berarti. Hal ini kemudian menyebabkan Susno merasa tidak dihiraukan dan pada akhirnya memilih untuk mengungkapkan kasus korupsi tersebut kepada otoritas di luar kepolisian, yaitu Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk oleh Presiden RI (LPSK, 2011). Berselang beberapa tahun pada tahun 2011, Susno Duadji didakwa atas kasus penerimaan gratifikasi atas penanganan kasus PT Salmah Arowana Lestari. Hal ini dianggap Susno sebagai salah satu bentuk pembalasan dari para petinggi Kepolisian. Hingga tahun 2013 ini, Susno Duadji yang tahun 2011 telah dijatuhi hukuman penjara belum menjalani masa hukumannya, walaupun pada akhirnya tidak mampu dilindungi oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sehingga pada akhirnya harus menjalani hukumannya di penjara. LPSK menegaskan bahwa lembaganya hanya dapat memberikan perlindungan secara hukum, bukan perlindungan secara fisik (Tempo, 6 Mei 2013). 2. Kasus whistleblower oleh Khairiansyah
5
Khairiansyah Salman merupakan seorang auditor BPK yang menjadi whistleblower atas kasus penyuapan pengadaan kotak suara pemilu (LPSK, 2011). Ia bersama rekan-rekannya diminta mengeluarkan opini bebas korupsi atas pengadaan kotak suara pemilu dengan imbalan sejumlah uang dengan nominal besar yang dilakukan oleh anggota komisi pemilihan umum Mulyana W. Kusumah. Atas pelaporannya mengenai kasus penyuapan tersebut, ia telah menjerat Mulyana W. Kusumah atas dugaan korupsi. Setelah menjadi whistleblower ia kemudian mulai banyak dikenal publik dan kemudian mendapatkan sebuah penghargaan bernama Intregity Award dari lembaga Transparansi Internasional (LPSK, 2011). Berselang beberapa waktu setelah pemberian penghargaan tersebut, kemudian ia didakwa atas penyelewengan dana abadi umat oleh mantan Menteri Agama Said Agil Husen Al Munawar. Khairiansyah memang mengaku menerima uang tersebut sebagai dana transportasi dan mengeluarkan penyataan bahwa bekerja bersama sistem yang kotor akan menjadikan seseorang akan ikut menjadi kotor. Setelah Khairiansyah dinyatakan menjadi tersangka kemudian ia keluar dari BPK dan mengembalikan
penghargaan
Intregity
Award
kepada
lembaga
Transparansi Internasional (Tempo, 20 September 2005). Dari penjabaran singkat atas kasus-kasus whistleblower yang muncul ke publik tersebut, tidak satu pun lahir dari adanya whistleblowing system. Bahkan setelah
diterbitkannya
Pedoman
Sistem
Pelaporan
Pelanggaran
atau
Whistleblowing System pada tahun 2008 oleh KNKG, belum ada kasus
6
whistleblower seperti kasus Susno Duadji dan Khairiansyah yang berasal dari whistleblowing system. Setelah diterbitkannya Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran atau Whistleblowing System pun sebenarnya beberapa lembaga, perusahaan pemerintah dan perusahaan swasta mulai menerapkan sistem tersebut seperti Perusahaan Gas Negara (PGN), PT Telkom, PT Pertamina (Persero), Perum Peruri (Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia), Astra International, dan United Tractor (LPSK, 2011). Tidak adanya pelaporan yang muncul ke publik apakah disebabkan oleh tidak efektifnya whistleblowing system sebagai mekanisme pengendalian internal, bagian dari pengendalian internal, dan elemen corporate governance atau memang pada akhirnya pelanggaran yang terjadi bisa diselesaikan secara internal di dalam perusahaan sesuai tujuan penerapan whistleblowing system dan memang berdampak pada efektivitas pengendalian internal (KNKG, 2008). Dalam Buku Whistleblower yang diterbitkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (2011), dalam rangka mendorong penerapan whistleblowing system maka disajikan salah satu contoh penerapan whistleblowing system yang berhasil diterapkan pada PT Pertamina (Persero). Pertamina adalah satu perusahaan yang membangun dan menerapkan whistleblowing system sebagai salah satu bentuk mekanisme pengendalian sejak tahun 2008, lebih spesifiknya sistem ini diluncurkan pada 12 Agustus 2008. Beberapa hal penting yang menjadi fokus penerapan whistleblowing system di Pertamina adalah korupsi, kecurangan, conflict of interest, code of conduct, dan peningkatan kedisiplinan. Sistem ini nantinya diharapkan akan menjadi salah satu pendukung terlaksananya Pertamina
7
Clean yang merupakan suatu program yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang menjunjung tinggi etika di lingkungan Pertamina (LPSK, 2011). Whistleblowing system di Pertamina dibentuk dalam rangka melengkapi mekanisme pengendalian perusahaan yang telah ada. Kasus yang telah dilaporkan sepanjang tahun 2008 hingga 2010, sebagian besar adalah fraud dan sebagian besar masih berupa analisa dan belum tentu merupakan pelanggaran. Pertamina menerapkan ukuran untuk menetapkan terjadinya pelanggaran atau tidak atas laporan yang masuk melalui whistleblowing system, berdasarkan ukuran code of conduct
Pertamina.
Dalam
rentang
waktu
2008
sejak
ditetapkannya
whistleblowing system hingga tahun 2010, dari 600 laporan pelanggan yang ada, hanya 7 laporan yang terbukti. (LPSK, 2011). Dari penjabaran di atas, maka dapat kita ketahui bahwa penerapan whistleblowing system dalam melaporkan pelanggaran telah berjalan dengan baik di Pertamina. Berkaitan dengan penelitian mengenai dampak dari penerapan whistleblowing system (Gonzales, 2010), kasus whistleblower yang terjadi di Indonesia, dan hasil penerapan di Pertamina (LPSK, 2011) menunjukkan hubungan yang berlawanan dimana konsekuensi yang tercermin dalam penelitian Gonzales (2010) dan kasus whistleblower di Indonesia tidak membuat whistleblowing system yang diterapkan di perusahaan tidak berjalan, contohnya di PT Pertamina (Persero). Hal ini yang menjadi salah satu alasan penulis untuk memilih PT Pertamina (Persero) sebagai objek penelitian. Adapun alasan lainnya penulis memilih PT Pertamina (Persero) sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut:
8
1. PT Pertamina (Persero) yang memiliki status BUMN merupakan satusatunya perusahaan yang telah dijabarkan keberhasilannya dalam menerapkan whistleblowing system pada Buku Whistleblower oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (2011). 2. Berdasarkan tinjauan awal yang penulis lakukan dengan wawancara pada pihak yang terkait dengan whistleblowing system dan perusahaanperusahaan yang tak dapat disebutkan dalam penelitian ini yang telah menerapkan whistleblowing system, umumnya masih belum bersedia untuk diteliti penerapannya. Hal ini terutama terjadi pada perusahaan yang sudah go public atau perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya di bursa saham. Alasan yang penulis dapatkan dari tinjauan awal dari beberapa pihak dan perusahaan-perusahaan adalah sebagai berikut: a. Bagi beberapa perusahaan penerapan whistleblowing system dirasa belum cukup efektif karena tingkat partisipasi karyawan yang masih rendah. b. Beberapa perusahaan masih merasa infrastruktur penerapan whistleblowing system belum memadai. c. Laporan dari para pelapor yang kurang objektif dan dianggap kurang berpengaruh dan cenderung tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan dan penerapan whistleblowing system. d. Adanya kekhawatiran dari beberapa perusahaan bahwa kurang efektifnya penerapan whistleblowing system dapat mempengaruhi citra perusahaan.
9
Berkaitan dengan hal ini, maka penulis ingin mengetahui apakah dengan penerapan whistleblowing system dapat berdampak terhadap efektivitas pengendalian internal PT Pertamina (Persero). Efektivitas ini diukur berdasarkan tercapai atau tidaknya kategori tujuan pengendalian internal yang meliputi tujuan operasi, tujuan pelaporan, dan tujuan kepatuhan (COSO, 2013). Tujuan ini selaras dengan tujuan pengendalian internal yang mencerminkan tujuan dari PT Pertamina (Persero) (Laporan Tahunan Pertamina, 2012). Adapun alasan paling utama mengapa PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN akan diteliti dampak penerapan whistleblowing system terhadap pengendalian internalnya adalah penulis ingin mengetahui bahwa penerapan whistleblowing system di PT Pertamina (Persero) tidak hanya sebagai suatu sistem pelaporan pelanggaran yang kemudian dilaporkan hasil tindak lanjutnya sehingga tidak hanya dalam rangka menciptakan citra telah menerapkan lingkungan etis di mata publik, namun juga sebagai bagian dari pengendalian internal yang juga berdampak pada efektivitas pengendalian internal. Berkaitan dengan penelitian sebelumnya, penulis sulit menemukan penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam rangka mengetahui dampak penerapan whistleblowing system pada efektivitas pengendalian internal, terutama dalam bentuk studi kasus di perusahaan. Penelitian mengenai whistleblower yang sudah ada dan berasal dari luar Indonesia umumnya masih membahas seperti konsekuensi menjadi whistleblower (Gonzales, 2010), apakah faktor budaya mempengaruhi kecendrungan seseorang untuk menjadi whistleblower (Patel, 2003), apakah komitmen profesional dan sosialiasi antisipatif berpengaruh pada
10
kecendrungan sesorang untuk melakukan whistleblowing (Elias, 2008), dan apakah perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku secara signifikan mempengaruhi niat seseorang untuk menjadi whistleblower (Park dan Blenkinsop, 2008). Di Indonesia pun penelitian mengenai whistleblower masih membahas hal yang sama seperti “Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Pengungkapan Kecurangan” (Sulistomo, 2012). Berkaitan dengan penerapan suatu sistem dan dampaknya terhadap efektivitas pengendalian internal, telah ada sebuah penelitian yang meneliti dampak penerapan sistem informasi akuntansi pada efektivitas pengendalian internal yang diukur berdasarkan dampak penerapan sistem informasi akuntansi terhadap efektivitas pengendalian internal bank-bank komersial di Jordania dengan mengeksplorasi dampak penerapan sistem informasi akuntansi terhadap pengendalian akuntansi, pengendalian administratif, dan pemeriksaan internal (Al-Qudah, 2011). Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa sistem informasi akuntansi berdampak positif secara khusus terhadap efektivitas pengendalian akuntansi, pengendalian manajemen, dan pemeriksaan internal. Dari hal tersebut maka Al-Qudah menarik kesimpulan dengan didukung hasil statistik bahwa sistem informasi akuntansi berdampak positif terhadap efektivitas pengendalian internal. Dalam penelitian tersebut juga ditegaskan bahwa sistem informasi akuntansi dapat bermanfaat menjadi sistem pendeteksian dini terhadap pelanggaran yang terjadi sehingga mampu menyediakan informasi untuk departemen pengendalian mengenai pelanggaran dan kesalahan di dalam kegiatan perusahaan sehingga mampu meningkatkan efektivitas pengendalian
11
internal. Manfaat tersebut sesuai dengan manfaat dari whistleblowing system sebagai sistem pendeteksian dini terhadap pelanggaran (KNKG, 2008). 1.2 . Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran singkat pada bagian latar belakang masalah di atas yang ingin diteliti oleh penulis mengenai pengaruh penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian internal di PT Pertamina (Persero), maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Apakah implementasi whistleblowing system pada PT Pertamina (Persero) sudah memadai? 2. Apakah terdapat dampak positif penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian internal? Adapun rumusan masalah tersebut akan terjawab melalui rumusan masalah sebagai berikut: a. Apakah terdapat dampak positif penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian tujuan operasi? b. Apakah terdapat dampak positif penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian tujuan pelaporan? c. Apakah terdapat dampak positif penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian tujuan kepatuhan? 1.3. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian skripsi ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
12
1. Untuk menganalisis apakah implementasi whistleblowing system pada PT Pertamina (Persero) sudah memadai. 2. Untuk
menganalisis
apakah
terdapat
dampak
positif
penerapan
whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian internal. Adapun tujuan utama ini tercapai melalui sub-tujuan: a. Untuk menganalisa apakah terdapat dampak positif penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian tujuan operasi. b. Untuk menganalisa apakah terdapat dampak positif penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian tujuan pelaporan. c. Untuk menganalisa apakah terdapat dampak positif penerapan whistleblowing system terhadap efektivitas pengendalian tujuan kepatuhan. 1.4. Manfaat penelitian Dari penelitian skripsi yang penulis lakukan ini, diharapkan manfaat sebagai berikut: 1. Mendorong
studi
lebih
mendalam
terhadap
dampak
penerapan
whistleblowing system yang berkaitan dengan efektivitas pengendalian internal maupun hal lain yang dapat mendorong penelitian baru. . 2. Memberi masukan terhadap perusahaan di Indonesia, khususnya BUMN, dalam hal ini PT Pertamina (Persero) dalam menjalankan whistleblowing system yang tidak hanya menjadi suatu sarana pelaporan yang kemudian
13
ditindaklanjuti, tapi juga memberikan dampak positif pada hal lainnya di perusahaan, misalnya efektivitas pengendalian internal. 1.5. Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Adapun bab ini berisikan pembahasan mengenai penjabaran mengenai latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan dalam penyusunan penelitian skripsi ini. BAB II: LANDASAN TEORI Adapun bab ini berisikan pembahasan mengenai uraian tinjauanb literatur, konsep, dan teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini, berkaitan dengan whistleblowing system dan pengendalian internal. BAB III: METODE PENELITIAN Adapun bab ini berisikan pembahasan mengenai definisi operasional variabel, populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data yang akan digunakan, teknik pengumpulan data, dan metode analisis data. Selain itu, dalam bab ini akan dijabarkan pula mengenai profil perusahaan yang terdiri atas sejarah singkat perusahaan, visi dan misi, tata nilai, jenis dan bidang usaha, struktur organisasi, dan anak perusahaan. BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN Adapun bab ini berisikan pembahasan mengenai penjabaran sejarah penerapan whistleblowing system sebagai salah satu bentuk penerapan good
14
corporate governance di PT Pertamina (Persero), penerapan whistleblowing system di PT Pertamina (Persero) hingga saat ini, dan analisis kuesioner. BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Adapun bab ini merupakan bab akhir dalam penelitian skripsi ini, dimana penulis menarik kesimpulan atas analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada BAB IV. Selain itu penulis juga akan memberikan saran untuk kepentingan penerapan whistleblowing system di PT Pertamina (Persero) dan kepentingan penelitian selanjutnya.
15