BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada saat sebelum krisis tahun 1998 sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak dilirik oleh perbankan karena mereka menilai sektor ini tidak layak untuk dibiayai, perbankan lebih memilih mengucurkan dana untuk kredit ritel dan korporasi. Tetapi terbukti sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) termasuk usaha yang mempunyai ketahanan dalam menghadapi krisis pada tahun 1998. (Bappenas, 1999). Pada saat itu hampir semua sektor ekonomi di Indonesia mengalami penurunan yang besar, sebagian perusahaan ada yang tutup karena efek dari krisis tersebut dan perbankan mengalami kredit macet “Non Perfoming Loan (NPL)” yang cukup besar diatas 10 persen, karena adanya kenaikan bunga yang tinggi akibat dari inflasi. Kondisi itu terbalik pada saat kini, hampir setiap bank di Indonesia berlomba-lomba ingin mengucurkan kredit untuk sektor UKM dikarenakan sektor ini belum digarap secara optimal oleh perbankan. Dilihat dari segi potensi bisnis, pelaku UKM jumlahnya sangatlah banyak, menyerap banyak tenaga kerja, terbukti lebih tahan terhadap krisis dan memberikan sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar bagi negara. Berdasarkan data dari Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun 2011, jumlah pelaku UMKM adalah sebesar + 55 juta unit usaha, menyerap + 102 juta tenaga kerja dan sumbangan UMKM terhadap PDB Nasional adalah 57,94% atau sebesar Rp 4.303,6 triliun. Oleh 1
karena itu Sektor UKM sangatlah diminati hampir seluruh bank di Indonesia karena dari segi bisnis sektor UKM memberikan yield bunga yang sangat tinggi sehingga memberikan kontribusi tidak sedikit bagi laba bersih perbankan dibandingkan dengan kredit ritel dan korporasi. Dimana pertumbuhan kredit UKM dapat dilihat pada grafik dibawah ini. Grafik 1.1 Pertumbuhan Kredit UKM dengan Non Kredit UKM
Sumber : Bank Indonesia, diolah kembali. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa baki debet kredit UKM masih lebih kecil dibandingkan dengan kredit non UKM tetapi pertumbuhan kredit UKM lebih stabil dibandingkan dengan kredit Non UKM
yang mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya. Dilihat dari grafik 1.1 diatas potensi kredit UKM masih sangatlah besar sehingga persaingan di industri perbankan sangatlah ketat dan merupakan konsekuensi yang harus terjadi untuk memperebutkan pasar, baik untuk nasabah yang mempunyai dana maupun yang membutuhkan dana. Termasuk tingkat 2
persaingan antar bank dalam penyaluran kredit disektor UKM. Dimana hampir setiap bank ingin mengejar profit yang besar dengan menetapkan target yang tinggi dalam penyaluran kredit UKM, hal ini memberikan keuntungan kepada calon debitur sektor UKM untuk memilih dan menentukan bank mana sebagai sumber pembiayaannya, tergantung dari kecepatan proses kredit, suku bunga, persyaratan dan biaya kredit yang ditawarkan oleh bank tersebut. Dampak dari persaingan tersebut adalah semakin sulitnya mendapatkan calon debitur yang berkualitas yang berarti semakin kecil peluang untuk memperoleh margin yang besar untuk menutup risiko yang diambil oleh bank. Rata-rata perbankan nasional baik bank BUMN, swasta, asing dan campuran memberikan bunga yang lebih tinggi kepada sektror UKM hal ini dikarenakan risiko yang diambil oleh perbankan untuk segmen ini lebih tinggi dibandingkan dengan segmen ritel dan korporasi. Hal ini disebabkan karena ratarata pelaku UKM belumlah “bankable” atau memenuhi persyaratan perbankan seperti mempunyai catatan atau pembukuan keuangan yang rapi dan jelas, sehingga perbankan bisa mengetahui secara pasti kondisi riil keuangan calon debitur berdasarkan data. Dari uraian di atas, dengan tingkat persaingan bank yang cukup tinggi dalam penyaluran kredit UKM disertai tekanan target dari manajemen bank untuk mengejar profit dengan memberikan suku bunga yang tinggi kepada sektor UKM, mendorong naiknya kredit bermasalah atau NPL (Non Performing Loan) kepada sektor UKM dan hal ini sudah menjadi peringatan kepada perbankan yang bermain di sektor UKM untuk berhati-hati dalam menyalurkan kredit kepada
3
calon debitur di sektor UKM, karena pada saat ini sektor UKM termasuk penyumbang kredit bermasalah atau NPL (Non Performing Loan) yang cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Bank Indonesia perbulan Desember 2013 kredit bermasalah atau NPL untuk sektor UKM 3,40% dibandingkan dengan sektor non UKM hanya 1,46%. Ini menjadi perhatian karena perbankan merupakan pilar ekonomi suatu negara dimana kehancuran sektor perbankan merupakan awal kehancuran ekonomi suatu negara. Industri perbankan merupakan suatu jenis industri yang sarat dengan risiko karena melibatkan pengelolaan uang milik masyarakat dan diputar dalam bentuk berbagai investasi seperti pemberian kredit, pembelian surat-surat berharga dan jenis penanaman dana lainnya. Risiko yang dihadapai perbankan seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko suku bunga, risiko hukum, risiko nilai tukar mata uang asing dan sebagainya Salah satu risiko terbesar yang dihadapi perbankan adalah risiko kredit karena sebagian besar struktur aset bank adalah berbentuk kredit yang dapat membawa kebangrutan. Risiko kredit yaitu risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) dalam memenuhi kewajibannya (workbook Certificate in Banking Risk and Regulation Level 1, 2006). Agar tidak terbelenggu dengan permasalahan kredit macet atau NPL maka perbankan harus menerapkan standar perkreditan yang sehat dengan menerapkan manajemen risiko berdasarkan prinsip kehati-hatian. Seperti proses pengambilan keputusan kredit yang secara konvensional sangat mengandalkan judgement dari analisis kredit dengan dasar analisa kredit yang disebut faktor 5 C (character,
4
capacity, capital, collateral dan condition) dengan menerapkannya sebaikbaiknya sebelum pelaksanaan pemberian kredit. Disamping itu juga untuk melakukan pengawasan serta menjaga kelangsungan usaha para debiturnya, bank wajib melaksanakan pengawasan dan mendeteksi kemungkinan yang terjadi pada perusahaan dimasa yang akan datang, khususnya dalam bidang keuangan yang dapat berakibat buruk bagi pengembalian pinjamannya kepada bank. Dengan kondisi saat ini dimana alternatif calon nasabah untuk memilih sumber pendanaan menjadi lebih banyak, maka membutuhkan suatu metoda yang dapat diandalkan untuk membuat keputusan kredit terutama untuk melakukan penilaian risiko dalam penyaringan calon debitur yang berkualitas. Tingkat akurasi pengukuran risiko kredit sangat bergantung pada pemilihan model yang sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas kredit yang disalurkan bank. Dalam pengukuran risiko kredit dapat mengunakan standardized method atau internal model. Dengan standardized method diperlukan eksternal rating sedangkan pada internal model menggunakan internal rating masingmasing bank. Internal model sendiri terdiri dari berbagai variasi model antara lain: Creditmetrics, Credit Portofolio view, KMV Portofolio Manager, Credit Risk Plus dan Value At Risk (VAR). 1.2. Perumusan Masalah Sejak tahun 2010 Bank XYZ fokus memberikan kredit kepada sektor UKM, disebabkan sektor ini lebih tahan krisis dan memberikan tingkat yield yang tinggi di bandingkan dengan sektor pemberian kredit kepada konsumer, korporasi.
5
Diawali dengan riset mendalam pada tahun 2007 dan 2008, ternyata sektor UKM adalah pasar yang sangat potensial. Sektor ini memberikan peluang besar untuk lebih memacu kinerja kredit yang disertai dengan diversifikasi risiko. Menindak lanjuti hasil riset yang telah dilakukan, pada tahun 2009, Manajemen menetapkan strategi reprofiling kredit dari korporasi ke UKM sehingga penyaluran kredit lebih difokuskan pada pengembangan kredit UKM. Seiring dengan penetapan strategi tersebut, pada tahun 2009 dipersiapkan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan kredit UKM, dan di tahun yang sama, seiring menumbuhkan optimisme seluruh karyawan, dideklarasikan tahun 2009 sebagai tahun konsolidasi kredit yang juga diteruskan pada tahun 2010. Ini terlihat dari data penyaluran kredit Bank XYZ per segmen pada Tabel 1.1 berikut ini: Tabel 1.1 Data Penyaluran Kredit Bank XYZ Per Segmen
Pertumbuhan Segmentasi 10,54% Komersial 1.672,88% UKM 5,51% Korporasi 34,03% Konsumer Sumber : Bank XYZ, diolah kembali
2010 4.804 1.046 8.476 8.263
Dalam Milyar Rupiah 2009 4.346 59 8.033 6.165
Berdasarkan Tabel 1.1 bahwa penyaluran kredit UKM mengalami pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan segmentasi kredit lain pada tahun 2010 yaitu sebesar 1.672,88%. dari Rp 59 milyar menjadi Rp.1.046 milyar. Hal ini terlihat pada grafik pertumbuhan kredit persegmen di berikut ini
6
Grafik 1.2 Pertumbuhan Kredit Bank XYZ Per Segmen Tahun 2010
Sumber : Bank XYZ, diolah kembali Strategi manajemen untuk fokus di segmen UKM di dukung oleh rasio keuangan Bank XYZ pada tahun 2010 salah satunya yaitu rasio LDR (Loan to Debt Ratio) Bank XYZ yang masih 56.03% sehingga masih bisa melakukan ekpansi kredit yang lebih besar lagi dan rasio NPL mengalami penurunan dari tahun 2009 yaitu 1.70% menjadi sebesar 0.90% ditahun 2010, ini membuktikan Bank XYZ mampu mengelola risiko kredit dengan baik. Ini terlihat pada Tabel 1.2 berikut ini. Tabel 1.2 Data Rasio Keuangan Bank XYZ Rasio Keuangan 2010 ROA 2,45% ROE 27,20% LDR 56,03% NPL 0,90% CAR 14,78% NIM 4,88% Laba 952 Sumber : Bank XYZ, diolah kembali
2009 1,77% 18,72% 56,82% 1,70% 18,84% 4,94% 537,0
7
Tetapi seiring berjalannya waktu setelah 2 (dua) tahun berjalan dimulai sejak tahun 2010, Bank XYZ akhirnya banyak menghadapi kredit bermasalah atau NPL pada tahun 2012 disektor kredit UKM. Dengan banyaknya kredit UKM bermasalah di Bank XYZ maka Bank XYZ harus mencadangkan modalnya untuk menutup risiko kredit UKM tersebut. Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia terbaru, SE BI No.13/6/DNPB tanggal 18 Februari 2011 perihal Perubahan Penghitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko Untuk Tagihan Kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Portofolio Ritel ditetapkan dengan bobot risiko sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Pengukuran risiko kredit dapat menggunakan pendekatan standar maupun internal model. Dengan menggunakan internal model diharapkan jumlah kebutuhan modal yang harus disediakan untuk menutup risiko kredit menjadi lebih kecil apabila dibandingkan dengan menggunakan pendekatan standar. Dengan memperhatikan uraian pada latar belakang diatas maka penulis membahas perihal manajemen risiko yang diberi judul “Analisis Risiko Kredit UKM Menggunakan Credit Risk Plus : Studi Kasus pada PT Bank XYZ Kantor Wilayah I”. Sebelumnya sudah pernah dilakukan penelitian mengenai analisa menggunakan pendekatan Credit Risk Plus atas nama Kurniawan, Rizky tahun 2009 tetapi penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam hal metode yang belum diteliti sebelumnya.
8
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian dan pembahasan tentang evaluasi penerapan manajemen risiko kredit dengan mengunakan analisis Credit Risk Plus dalam penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengukur jumlah expected Loss dan unexpected loss dari kredit UKM dengan menggunakan pendekatan Credit Risk Plus. 2. Membandingkan kebutuhan modal yang harus disediakan untuk menutup risiko kredit UKM dengan menggunakan pendekatan Credit Risk Plus dibandingkan dengan pendekatan standar. 3. Menguji apakah pendekatan Credit Risk Plus sebagai internal model yang memenuhi kriteria Bank Indonesia. 1.4.
Manfaat Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak Bank XYZ untuk masukan dalam mengukur risiko kredit dan meningkatkan akurasi dalam penilaian risiko dengan menggunakan model Credit Risk Plus.
2. Penelitian diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi peneliti dari sisi pengetahuan dan keilmuan dan bagi kalangan akademik diharapkan dapat memberikan masukan dan referensi tambahan dengan penggunaan model Credit Risk Plus dalam mengukur risiko kredit. 1.5.
Sistematika Pembahasan Secara garis besar, sistematika penulisan karya akhir ini meliputi beberapa bab, yaitu sebagai berikut :
9
BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menerangkan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaaat penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II : LANDASAN TEORI Bab ini menerangkan pengertian akan risiko, pengertian kredit, pengertian mengenai kredit usaha kecil menengah, risiko kredit, default, pengelolaan kredit menurut Basel II, capital requirements, ATMR kredit usaha kecil, credit risk plus, back testing serta perumusan hipotesis. BAB III : METODA PENELITIAN Bab ini membahas data yang diperlukan, bagaimana langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pengolahan data sehingga dapat dipergunakan untuk pengukuran risiko kredit UKM. BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan tentang masing-masing proses perhitungan dan menganalisis tentang hasil yang diperoleh dari pengolahan data sehingga memberikan gambaran tentang hasil penelitian yang dilakukan. BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga penelitian ini diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi penerapan manajemen risiko kredit di Bank XYZ.
10