BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Undang-undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Desa terus mengalami perubahan, sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa, serta yang terakhir dan belum lama ini disahkan adalah Undang – Undang yang khusus mengatur regulasi dan pemberian kewenangan lebih terhadap Pemerintahan Desa yakni UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Desa untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang ada di desa, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ditujukan untuk menjadikan desa lebih mandiri dan dapat memberikan kesejahteraan masyarakatnya.. Perubahan regulasi ini juga menyebabkan perubahan struktur dan pola pemerintahan pada level desa. 1 Perubahan – perubahan yang terjadi terhadap undang – undang mengenai desa ini memiliki dampak yang sangat signifikan seperti yang terjadi setelah diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1974 pada masa orde baru, salah satu dampaknya adalah penyeragaman semua model Pemerintahan terendah di seluruh Indonesia
1
Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tersedia di : www.kemendagri.go.id/dmdocumentsUU_6_2014_Desa.pdf; diunduh pada tanggal 17 januari 2015 pukul 21.34 Wib.
1
menjadi bentuk Pemerintahan Desa yang pada dasarnya berasal dari budaya jawa yang dipimpin oleh seorang kepala desa.Setelah terbitnya UU No. 5 Tahun 1974 ini, perubahan yang terjadi pada Pemerintahan terendah bukan sekedar berubahnya nama wilayah melainkan lebih jauh lagi hingga menyentuh perubahan tatanan, struktur, dan pola pemerintahan yang telah terlebih dahulu ada sebelum terbitnya UU No. 5 Tahun 1974 tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintahan – pemerintahan adat yang telah lebih dahulu ada seperti Nagari di Minangkabau, Gampong di Aceh, Nagori di Simalungun dan lain – lain yang ada di seluruh Indonesia dilebur kedalam satu Sistem Pemerintahan terendah yang disebut sebagai desa. Pada dasarnya keberadaan Sistem Pemerintahan terendah dengan bentuk selain desa telah diakui keberadaannya seperti yang dijelaskan dalam Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 sebelum perubahan yang menyebutkan bahwa “ Dalam teritori Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dansebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
2
Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2 Secara umum desa dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk yakni : 1. Desa Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, desa dibentuk melalui Undang – Undang dan peraturan yang berlaku dimana pembentukannya bisa berdasarkan kebutuhan otonomi daerah, potensi desa, luas teritori, maupun kepadatan penduduk. 2. Desa Adat Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin
dan
masyarakat
Desa
Adat
agar
dapat
berfungsi
mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul. 2
Penjelasan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang daerah istimewa, tersedia di : www.budimansudjatmiko.net/uudesa , diunduh pada tanggal 17 Januari 2015 pukul 21. 47 Wib.
3
Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundangundangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuanmasyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagiandari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa danDesa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukantugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanya dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkutpelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan
4
ataswilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaanketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Semakin besarnya tuntutan untuk memberikan kewenangan lebih terhadap desa untuk mengelola dan menjalankan secara mandiri pmerintahannya dengan keleluasaan pengelolaan anggaran dan kebijakan, pada akhirnya menjadi landasan untuk pembuatan regulasi khusus yang mengatur tentang desa yakni dengan penerbitan UU No. 6 Tahun 2014 yang khusus mengatur tentang hak dan kewajiban desa serta yang terpenting adalah pelimpahan wewenang secara luas kepada Pemerintahan Desa untuk dapat mengatur dan mengelola pemrintahan desa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat desa. Hal ini tercantum dalam pasal 1 UU No. 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus
urusan
pemerintahan,
kepentingan
masyarakat
setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 juga menyatakan bahwa kewenangan desa meliputi hal – hal dibawah ini :
1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul 2. Kewenangan lokal berskala Desa 3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota dan
5
4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3
Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya terdiri atas:
1. Sistem organisasi masyarakat adat 2. Pembinaan kelembagaan masyarakat 3. Pembinaan lembaga hukum adat 4. Pengelolaan tanah kas desa dan 5. Pengembangan peran masyarakat desa. 4
Kewenangan Lokal Berskala Desa
Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit di antaranya meliputi:
1. Pengelolaan tambatan perahu 2. Pengelolaan Pasar Desa 3. Pengelolaan tempat pemandian umum 4. Pengelolaan jaringan irigrasi 5. Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa 6. Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu 7. Pengelolaan Embung Desa 3
PP RI No. 43 Tahun 2014 Tentang Tata Laksana UU No. 6 Tahun 2014. Tersedia di : www.kemendagri.go.id/dmdocuments/PP_43_2014_desa.pdf; diunduh tanggal 18 Januari 2015 pukul 10.03 Wib. 4 Loc.cit.
6
8. Pengelolaan air minum berskala desa dan 9. Pembuatan jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian. 5
Selain kewenangan sebagaimana hal diatas. Menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal. (menurut Pasal 34 ayat 3 PP Desa).
Dengan dikeluarkannya UU No. 6 Tahun 2014 ini desa sudah dapat mengelola pemerintahan desa secara mandiri dengan pembuatan kebijakan – kebijakan yang berlandaskan kepada asas subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa. Asas kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desasebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa. Asas musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusanyang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Asas demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa. Serta asa kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri.
5
Loc.cit.
7
Proses pembuatan kebijakan tersebut berlaku secara umum untuk keseluruhan Pemerintahan Desa maupun dengan nama lain yang ada di Indonesia. Tidak terkecuali dengan pembuatan kebijakan yang juga dilakukan oleh Pemerintahan Desa Perkebunan. Secara klasifikasi umum desa perkebunan juga termasuk dalam kategori Desa, yang membedakan desa perkebunan dengan Desa konvensional adalah dari asal – usul terbentuknya desa, wilayah teritori, dan homogenitas jenis pekerjaan penduduknya. Secara umum dapat dilihat bahwa desa perkebunan adalah desa dimana pembentukannya berdasarkan keinginan perusahaan perkebunan agar pekerja yang bekerja diperusahaan tersebut tidak perlu jauh keluar dari wilayah perusahaan untuk berkumim, sehingga perusahaan perkebunan membuat pemukiman untuk para pekerja. Semakin bertambahnya jumlah pekerja dan pemukiman yang dibangun perusahaan dan terpenuhinya syarat – syarat pembentukan desa maka pemukiman pekerja perkebunan tadi berubah menjadi Desa Perkebunan. Pada dasarnya bagaimana proses pembuatan kebijakan desa, prinsip tata pemerintahan desa, siapa saja yang bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan telah diatur dan ditetapkan dalam UU No. 6 Tahun 2014. Sehingga tentu saja dalam proes pembuatan kebijakan tersebut ada aspek – aspek yang harus dipenuhi dan tidak bisa dilakukan sewenang – wenang. Hal ini menjadi penting dikarenakan tujuan dari pembentukan kebijakan tersebut harus lah sesuai dengan tujuan kepentingan umum, seperti yang tertera pada Pasal 26 ( f ) UU No. 6 Tahun 2014.
8
Pada Desa Perkebunan proses pembuatan kebijakan yang terjadi menimbulkan sebuah pertanyaan tentang apakah dalam proses pembuatan kebijakan para stake holder dapat membuat kebijakan dengan independen tanpa ada intervensi – intervensi dari luar. Hal ini menarik untuk diteliti dikarenakan adanya kekhasan Desa Perkebunan dibandingkan dengan Desa konvensional lainnya karena secara teritori Desa Perkebunan terintegrasi dengan wilayah Perusahaan Perkebunan dan para perangkat desa tersebut juga merupakan pekerja atau karyawan
dari perusahaan perkebunan tempat desa perkebunan tersebut
berada. Kondisi tersebut dapat dipastikan akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melakukan intervensi melalui perangkat desa yang bekerja untuknya agar dapat membuat kebijakan yang menguntungkan bagi perusahaan tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan desa konvensional yang perangkat desanya mayoritas memiliki pekerjaan yang tidak mengikat. Kondisi inilah yang menimbulkan ketertarikan untuk meneliti lebihlanjut sejauh mana intervensi yang dilakukan oleh pihak perusahaan perkebunan PT. London Sumatera dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh stake holder Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Perkebunan Nagodang di Kecamatan Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Selatan. 1.2.Perumusan Masalah Terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 telah memberikan peluang besar terhadap pemerintahan desa untuk dapat mengatur dan mengelola setiap kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian desa. Tentunya jika setiap proses
9
pembuatan kebijakan desa yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dengan kondisi yang dihadapi oleh Desa Perkebunan yang hampir seluruh perangkat desanya merupakan pekerja perkebunan dan pasti menghadapi intervensi dari Perusahaan tempat mereka bekerja , para pembuat kebijakan desa yang berada dalam lingkup Desa Perkebunan harus dapat dengan seksama dan berkomitmen untuk menjaga independensi dan ketidak berpihakannya terhadap adanya pengaruh dan intervensi pihak lain diluar apa yang telah ditetapkan oleh peraturan terhadap pembuatan kebijakan desa. Maka tujuan penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui dan memberikan gambaran serta menjelaskan sejauh mana intervensi yang dilakukan oleh PT PP London Sumatera dalam pembuatan kebijakan desa di Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Perkebunan Nagodang Kecamatan Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
1.3. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah merupakan salah satu upaya untuk menetapkan fokus pembahasan dalam sebuah penelitian yang bertujuan agar pembahasan tidak melebar dan keluar dari fokus masalah yang diteliti. Pembatasan yang dilakukan terhadap ruang lingkup penelitian berupa lokasi, rentang waktu yang ingin diteliti, dan penggunaan konsep dalam penelitian. Maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
10
1. Penelitian ini dibatasi hanya pada wilayah Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Perkebunan Nagodang yang teritori Desanya berada didalam kawasan tanah HGU ( Hak Guna Usaha ) PT. PP London Sumatera Kecamatan Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Alasan pemilihan kedua desa dikarenakan kedua desa tersebut berada dalam lingkup HGU perusahaan yang sama yakni PT PP London Sumatera dan keduanya dipilih untuk dapat dilihat dampak intervensi yang mungkin berbeda dialami oleh masing – masing desa. 2. Rentang waktu yang akan diteliti adalah pembuatan kebijakan di kedua desa pada tahun 2013. 3. Pembatasan juga dilakukan terhadap konsep yang diteliti yakni terbatas hanya kepada konsep kebijakan dan pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Perkebunan Nagodang.
1.4.Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sejauh mana intervensi yang dilakukan PT PP London Sumatera dalam pembuatan kebijakan di Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Perkebunan Nagodang terdapat intervensi yang dilakukan oleh PT. PP London Sumatera.
11
1.5.Manfaat Penelitian 1. Secara subyektif, penelitian ini adalah sebuah sarana untuk melatih dan mengembangkan
kemampuan
berfikir
ilmiah,
sistematis
dan
metodologis penulis dalam menyusun sebuah karya tulis ilmiah. 2. Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baiksecara langsung ataupun tidak kepada Departemen Ilmu Politik khsususnya,
maupun
bagi
kalangan
akademisi
yang
memiliki
ketertarikan untuk mengeksplorasi tentang bagaimana seharusnya pembuatan kebijakan yang ada di desa dilakukan. 3. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang dapat digunakan semua kalangan terutama mereka yang mengamati tentang pembuatan kebijakan secara umum maupun pembuatan kebijakan desa khususnya. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada perangkat maupun masyarakat desa untuk dapat lebih memahami bagaimana peran dan partisipasi mereka dalam pembuatan kebijakan desa.
1.6. Kerangka Teori 1.6.1. Teori Kebijakan Publik Pada dasarnya terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing defenisi
12
tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan itu timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang beragam. Menurut Chander dan Plano kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya – sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. 6 Sementara menurut Heglo kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan – tujuan tertentu. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. 7 Sedangkan menurut Woll kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam
6
Hesel Nogi Tangkilisan. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Offset YPAPI.hal. 3. Said ZainalAbidin. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika. hal 21.
7
13
pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan – tindakan pemerintah yaitu: a. Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai
pemerintah
atau
yang
lainnya
yang
bertujuan
menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat. b. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. c. Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. 8 Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli tersebut bahwa dapat diperoleh gambaran awal mengenai konsep kebijakan publik yakni merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan suatu masalah yang terjadi di masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber dayasumber daya yang ada untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
8
Ibid, hal 2.
14
Konsep kebijkan publik ternyata juga dimaknai dan dirumuskan secara beragam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar defenisi yang dikemukakan dipengaruhi oleh masalah-masalah tertentu yang ingin dilihat. Pandangan pertama, ialah pendapat para ahli yang mengidentikkan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Beranggapan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya disebut sebagai kebijakan publik. 9 Kebijakan publik juga dapat diartikan sebagai suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu, atau tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu subjek atau sebagai respon terhadap keadaan yang kritis. R.Dye merumuskan kebijakan publik sebagai semua pilihan atau tindakan yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini Dye beranggapan bahwa kebijakan publik itu menyangkut pilihan-pilihan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, baik untuk melakukan sesuatu ataupun untuk tidak berbuat sesuatu. 10 Pandangan yang kedua, ialah pendapat para ahli yang memusatkan perhatian pada implementasi kebijakan (policy implementation). Mereka melihat kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran tertentu dan mempunyai dampak dan akibat-akibat yang diramalkan (predictable), atau dapat diantisipasikan sebelumnya. Seperti apa yang 9
William Dunn.2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajahmada University Press. hal. 103. 10 Ibid, hal 25.
15
dikemukakan Nakamura dan Smal Wood dalam Wahab , bahwa kebijakan publik adalah serentetan instruksi/ perintah dari para pembuat kebijakan yang ditujukan kepada para pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. 11 Namun pada hakekatnya, bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga defenisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson bahwa kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni: 1. Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan merupakan perilaku yang dilakukan secara serampangan . 2. Kebijakan publik merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri.
11
Abdul Wahab. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik.: Yogyakarta. UMM Press. hlm 52.
16
3. Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. 4. Kebijakan pemerintah tersebut didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. 12 Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. 13 Berdasarkan beberapa literatur yang dibaca adapun tahap-tahap kebijakan publik adalah :
12
Loc. cit. Said Zainal Abidin. Op. cit.hal. 2 – 4.
13
17
Gambar 1 Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Pembuatan Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan Sumber : Said Zainal Abidin. 2006. Kebijakan Publik. Proses pembuatan suatu kebijakan diawali dengan penyusunan agenda yang menempatkan berbagai masalah ke dalam sebuah agenda kebijakan yang selanjutnya akan dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk menghasilkan alternatif pemecahan masalah yang akan dibahas pada tahap formulasi kebijakan. Setelah memperoleh alternatif terbaik, maka alternatif tersebut dirumuskan ke
18
dalam bentuk kebijakan yang selanjutnya akan diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan 14.Kebijakan yang telah dilaksanakan tersebut selanjutnya akan dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah 15. Dari semua proses tersebut, menurut penulis, implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dan krusial sehingga harus mendapat perhatian lebih dari para pembuat maupun pelaksana suatu kebijakan. Tahap ini merupakan kunci keberhasilan proses pembuatan suatu kebijakan akan mencapai tujuannya atau tidak. Jika sebuah kebijakan sudah diformulasikan dan dibuat secara tepat kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi jika proses implementasi tidak berjalan dengan tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang sangat brilliant sekalipun jika diimplementasikan dengan buruk, maka kebijakan tersebut bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya. 1.6.2. Pembuatan Kebijakan Dalam mengamati kebijakan, banyak sisi maupun pendekatan yang dapat dipandang sebagai alat yang tepat dalam menganalisa maupun menjelaskan permasalahan kebijakan sekalipun penggunaan alat tersebut disisi lain memiliki kekurangan, tetapi karena kebijakan itu sendiri tidak memiliki bentuk yang pasti dan secara konseptual selalu berkembang seperti halnya teori Organisasi, cakupan
14
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hal. 11. 15 Leo Agustino. 2008. Dasar – Dasar Kebijakan Publik.Bandung: Alfabeta. hal. 13..
19
ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Administrasi Niaga, dan juga Administrasi Negara. Untuk menganalisa kebijakan tersebut, bidang analisa kebijakan dapat dipecah menjadi dua yakni : 1. Upaya untuk menganalisa proses dari pembuatan kebijakan yang lebih kepada uraian deskriptif. 2. Upaya untuk menganalisa proses pembuatan kebijakan yang deskriptif (alternatif) yang lebih cenderung tentang model elit/masa sistem-sistem dan model institutional.16 Adapun pengertian proses pembuatan kebijakan menurut Charles O Jones adalah sebagai berikut: 1. Persepsi dan Definisi Tahap ini merupakan tahap kegiatan fungsional yang dianggap sebagai problem dalam pemerintahan, atau sejauh mana suatu isu dianggap sebagai problem, dengan kata lain suatu fenomena terjadi maka seorang individu membuat cara pandang dari sudut tertentu, dan mendefinisikan sebagai suatu permasalahan. 2. Agregasi Agregasi didefinisikan sebagai sekumpulan isu-isu yang menjadi topik untuk diangkut dan dikembangkan agar dapat terorganisir secara baik sehingga isu tersebut memiliki keberpihakan pada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan.
16
Charles O. Jones. 2005. Analiisis Kebijakan Publik: Bandung. Alfabeta. hal. 25.
20
3. Representasi Merupakan salah satu konsep demokrasi yang fundamental, artinya perwakilan atau keterwakilan atas kepentingan masyarakat dibebankan kepada sang wakil. Meski diingat wakil disini harus steril (bersih) dari kepentingan pribadi / golongan dan dalam menyikapi permasalahan yang ada. 4. Penyusunan Agenda Agenda yang disusun atas proses persepsi, agregasi (organisasi) dan representasi mengenai isu-isu yang menjadi prioritas potensial dikedepankan dalam pembuatan kebijakan. 5.Formulasi Merupakan serangkaian aktivitas kebijakan yang bukan sekedar membuat perencanaan tetapi juga menetukan apa yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang ada. 6. Legitimasi Didefinisikan sebagai pemberi kekuatan hukum, wewenang atau penilaian terhadap sesuatu. Lolosnya sebuah formulasi ditandai dengan pemberian legitimasi. Legitimasi adalah eksistensi dari Negara politik (political state). Kegiatan legitimasi pada proses kebijakan mencakup persetujuan tata cara (pengesahan) dan pengesahan itu sendiri untuk menghasilkan suatu keputusan atau program. Secara umum, yang terlibat dirancang mewakili kepentingan masyarakat, namun hal ini tergantung pada konstitusi suatu Negara. 7. Penganggaran Secara sederhana penganggaran merupakan rencana pemasukan dan pengeluaran (budgeting process) dalam proses kebijakan
21
yang bukan merupakan tahap yang berdiri sendiri. Penganggaran bisa merupakan pendanaan untuk pelaksanaan kebijakan maupun terhadap proses kebijakan itu sendiri. 8. Implementasi Implementasi merupakan hal yang paling sukar dalam bentuk dan cara memuaskan semua orang yang terlibat di dalamnya sesuai dengan interest / kepentingan masing-masing pihak. Dalam hal ini, Jones menyebutkan 3 kegiatan sebagai pilar-pilar implementasi, yakni : a. organisasi : Implementasi disalurkan melalui birokrasi sebagai organisasi utama penerapan kebijakan. b. Interpretasi : Penerjemahan atau penafsiran yang lebih sederhana tentang apa yang harus dilakukan. c. Penerapan : Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran dan lainlain yang disesuaikan dengan tujuan penerapan merupakan aplikasi dari interpretasi. 9. Evaluasi Kegiatan evaluasi mencakup spesifikasi, pengukuran analisis dan rekomendasi. Spesifikasi mengidentifikasi tujuan serta kriteria yang harus dievaluasi. Pengukuran merupakan pengumpulan informasi yang relevan menyangkut kualitas dan kwantitas. Analisis adalah penyerapan dan penggunaan informasi yang dikumpulkan guna mengambil keputusan dan rekomendasi adalah penentuan mengenai apa yang dilakukan selanjutnya ke depan. Demikianlah kebijakan ditinjau dari
22
model proses, urutan yang ada di atas menunjukkan urutan yang umum terjadi namun tidak menutup kemungkinan proses itu terjadi berurutan. 17
1.6.3. Kebijakan Desa Kebijakan Desa merupakan salah satu produk hukum yang merupakan bentuk implementasi kewenangan yang dimiliki desa. Meskipun kewenangan yang dimiliki berskala kecil dan bersifat lokal yang mencakup wilayah administrasi desa itu sendiri. Menurut undang – undang No. 6 Tahun 2014 Pasal 18, kebijakan formal di level pemerintahan desa tertuang dalam bentuk peraturan desa. Secara struktur Undang – Undang dan Ketatanegaraan, peraturan desa merupakan bentuk tindak lanjut serta penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa kebijakan yang dibuat dalam bentuk peraturan desa harus Linear dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berada diatasnya. Berbeda dengan struktur pemerintah yang lebih tinggi, desa dalam pembuatan kebijakannya dapat memasukkan unsur – unsur kearifan lokal yang dimiliki dalam setiap pembuatan kebijakan. 18 1.6.4. Pembuatan Kebijakan Desa Kewenangan lebih yang dimiliki oleh Desa, implementasinya adalah berbentuk kebijakan yang tidak terjadi dengan begitu saja. Kebijakan tersebut merupakan hasil dari serangkaian prosedur yang disebut sebagai pembuatan
17
Ibid,. hal.56. Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Op. cit.hal. 9
18
23
kebijakan desa. Bentuk nyata dari sebuah kebijakan desa adalah adanya Peraturan Desa ( PERDES ), dalam proses pembuatannya PERDES ini meliputi beberapa bidang yang dikelola desa dan melewati beberapa proses seperti di bawah ini : 1. Bidang Pemerintahan dan Lembaga Kemasyarakatan Desa a.
Struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
b.
Struktur organisasi BPD.
c.
Tata tertib BPD.
d.
Tugas Pokok dan Fungsi Apartur Desa
e.
Struktur organisasi dan tata kerja Lembaga Kemasyarakatn Desa ( LPM, Karang Taruna, dll )
f.
Struktur organisasi dan tata kerja PKK
g.
Kerjasama antar desa dan kerjasama dengan pihak ketiga.
h.
Pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa.
i.
2.
Batas desa. Dll
Bidang Keuangan Desa a.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
b.
Mekanisme pengelolaan keuangan desa.
c.
Sumber - sumber pendapatan desa.
d. Pungutan-pungutan yang dibuat oleh desa seperti Pungutan biaya administrasi/kompensasi atas pelayanan administrasi di desa, Retribusi Desa , Administrasi Pertanahan, dan lain-lain.
24
e.
3.
Sumbangan dari pihak ketiga.
f.
Pinjaman desa.
g.
Sewa tanah milik desa
Bidang Pembangunan a.
Rencana Pembangunan Tahunan Desa
b.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa.
c.
Tata Ruang dan Peruntukan Lahan. 19
Proses/ Prosedur Penyusunan PERDES 1. Tingkatan Undang-Undang /PERDES yang di desa: a.
PERDES ( dibuat oleh BPD bersama Kepala Desa )
b.
Peraturan Kepala Desa ( dibuat oleh Kepala Desa dasarnya dari Perdes)
c.
Keputusan Kepala Desa ( dibuat oleh Kepala Desa dasarnya dari Perdes & PerKades)
2.
DasarHukum/Acuan Untuk Membuat PERDES : a.
Undang-Undang/ UU
b.
Peraturan Pemerintah/PP
c.
Peraturan Menteri/ Permen
d.
Perda Provinsi/Perda Prov
19
PERMENDAGRI Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan PERDES, tersedia di : www.kemendagri.go.id/dmdocuments/permendagri_26_2006_penyusunan_perdes.pdf; diunduh pada tanggal 18 Januari 2015 pukul 09.21 Wib.
25
3.
e.
Peraturan Gubernur/Pergub
f.
Perda Kabupaten/Perdakab
g.
Peraturan Bupati/Perbub
Kaidah Hukum & Tata Cara Penyusunan Perdes a.
Penyusunan
PERDES merupakan
tindak
lanjut Peraturan Daerah
tentang pemerintahan Desa. b. Penyusunan PERDES pada dasarnya relatif sama dengan membuat produk-produk hukum lainnya seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan lain-lain. 20
Beberapa kaidah hukum yang harus dipatuhi dalam menyusun PERDES: a.
PERDES harus disusun oleh pejabat yang berwenang yaitu Pemerintah Desa/KepalaDesa dengan BPD. Kalau ini tidak dipenuhi maka PERDES tersebut dianggap tidak ada dan segala akibatnya batal demi hukum.
b. PERDES yang disusun harus mengikuti prosedur penyusunan yang lazim diberlakukan kepada produk hukum pada umumnya baik menyangkut bentuk, kata, kalimat, tanda baca,
maupun proses
penyusunan, pengesahan, dan pemberlakukannya. c.
PERDES tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
20
Loc.cit.
26
d.
PERDES yang dibuat harus mempertimbangkan aspek sosiologis sehingga produk
hukum
dapat diterima dan
dilaksanakan
oleh
masyarakat secara wajar dan spontan. e. Yang dijadikan dasar penyusunan Perdes adalah UU,PP,Perda, Permen, Pergub, Perbup. f.
Keputusan/Surat Edaran tidak bisa dijadikan dasar pembuatan PERDES
g. PERDES dapat dibatalkan apabila tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut diatas. 21
Tahapan Penyusunan Perdes Dalam pembuatan Peraturan Desa atau PERDES terdapat beberapa tahapan penyusunan
1.
Tahap Inisiasi Pada tahap inisiasi ide atau gagasan dalam pembuatan PERDES dapat datang dari dua belah pihak baik dari Pemerintah Desa maupun dari BPD. Apabila usulan tersebut datangnya dari BPD, maka rancangan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa, begitu juga sebaliknya apabila usulan tersebut datangnya dari Kepala Desa maka rancangan Peraturan Desa diserahkan
kepada
BPD. Artinya kedua belah pihak sama – sama
mempunyai hak untuk mengajukan Peraturan Desa. BPD mengadakan rapat yang dihadiri oleh ketua – ketua bidang (bidang 21
Ibid,. hal 31.
27
kemasyarakatan
atau
pemerintahan
dan pembangunan) untuk membahas pendapat
tersebut.Apabila disepakati perlu adanya PERDES, maka hasil rapat tersebut dijadikan hasil pra-Rancangan PERDES. Usulan Peraturan Desa bisa didapat dari masukan anggota masyarakat yang secara langsung mengusulkan peraturan atau lewat BPD kemudian dari BPD baru dibahas dengan membuat semacam bentuk kepanitiaan kecilyang dilakukan oleh BPD untuk dapat dibahas.Jika disetujui baru pengadaan rapat secara lengkap dapat dibuat untuk membahas pantas tidaknya PERDES.Setelah itu dibuat Rancangan PERDES, dalam hal ni sebuah
ide atau
gagasan pembuatan PERDES harus dibahas terlebih
dahulu melalui sidang pleno guna menetapkan apakah usulan tersebut disetujui
menjadi
sebuah Rancangan PERDES atau tidak. Setelah
mendapat persetujuan dari rapat BPD bahwa dari usulan pembuatan PERDES menjadi
RAPERDES,
maka
Sekretaris
BPD membuat
RAPERDES untuk diserahkan kepada Kepala Desa dalam bentuk tulisan guna mendapat persetujuan untuk menjadi PERDES. Setelah Kepala Desa menerima RAPERDES, Kepala desa mengadakan rapat
bersama
dengan
perangkatnya
guna
membahas Rancangan
yang disampaikan oleh BPD. Hasil keputusan rapat tersebut akan dibahas dalam rapat gabungan yang dihadiri oleh BPD, Kepala Desa dan perangkatnya sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud dengan perangkat Desa sesuai dalam pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
28
72 tahun 2005 tentang Desa terdiri dari Sekretaris Desa, pelaksana teknis lapangan dan unsur kewilayahan. 22
2.
Tahap Sosio-Politis RAPERDES yang
telah
diterima
oleh
Pemerintah
Desa, diadakan
pembahasan dalam rapat gabungan antara BPD, Kepala Desa serta perangkat Desa. Peranan perangkat Desa tersebut dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya nanti PERDES dapat diterima. Dalam rapat pembahasan ketua BPD memberikan penjelasan mengenai latar belakang dan tujuan dibuatnya PERDES. Selanjutnya dalam rapat tersebut diadakan sesi tanya jawab sebagai bagian pengumpulan aspirasi. Kemudian Kepala
Desa
diberi draft
RAPERDES sebelum diadakan rapat pembahasan. Pada waktu rapat pembahasan, permasalahan yang ada dalam RAPERDES dibahas satu persatu, dibacakan oleh Ketua BPD, dan yang menetapkan PERDES adalah kepala Desa. RAPERDES yang diajukan bermula dari satu pendapat atau satu pandangan baik dari pihak BPD atau pihak Kepala Desa, setelah dibahas bertemu dengan Kepala Desa, sekretaris Desa dan perangkat Desa lainnya sehinnga menghasilkan kesepakatan bersama, makaPERDES yang diajukan mungkin mengalami perubahan yang bertujuan untuk menyempurnakan isi
22
Loc. cit.
29
dan materi PERDES, sehingga PERDES yang dihasilkan dapat memenuhi aspirasi masyarakat dan menyangkut kepentingan umum. Setelah diadakan pembahasan yang mendalam maka dapat diambil sebuah keputusan dapat diterima atau tidaknya rancangan tersebut menjadi sebuah PERDES. Pengambilan keputusan tentang Peraturan Desa biasanya dilakukan dengan menggunakan cara musyawarah untuk mufakat. Namun tidak menutup kemungkinan diadakan voting.
3.
Tahap Yuridis Setelah rancangan tersebut mendapat persetujuan dari semua pihak untuk dijadikan Peraturan Desa maka langkah selanjutnya adalah Kepala Desa bersama BPD menetapkan Rancangan Peraturan Desa tersebut menjadi sebuah Peraturan Desa sesuai Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Desa berlaku sejak ada ketetapan dari Kepala Desa. Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Setelah aspek – aspek diatas telah terpenuhi, maka pembuatan kebijakan desa dapat dikatakan sudah berjalan sesuai prosedur tanpa ada pihak – pihak terkait yang tidak terakomodir.
30
1.6.5. Intervensi Secara umum intervensi merupakan salah satu istilah yang ada dalam dunia politik. Istilah ini merujuk pada individu atau pun kelompok baik formal dan non formal yang mencampuri urusan pihak lain yang bukan merupakan urusannya. Para ahli lebih merincikan dengan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan intervensi, dimana mayoritas dari mereka mengatakan bahwa intervensi lebih merupakan kepada kegiatan campur tangan yang berlebihan dalam berbagai bidang baik itu kebijakan politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya. Hal ini dikarenakan cakupan dari intervensi itu sendiri yang sangat luas dan berhubungan dengan berbagai bidang. 23 Menurut Black’s Law Dictionary, intervensi adalah ikut campur suatu pihak dalam urusan pihak lainnya dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan. Sedangkan menurut Lauterpach intervensi adalah campur tangan suatu pihak terhadap urusan pihak lain dengan maksud untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau barang yang ada di pihak lain. 24
1.7. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif.
Penelitian
deskriptif
dimaksudkan
untuk
melakukan
pemahaman yang cermat terhadap fenomena sosial berdasarkan gejala-gejalanya.
23
Sigit Riyanto. 2007. “Intervensi Kemanusiaan Melalui Organisasi Internasional”. Jurnal Mimbar Hukum 2007. Edisi 19 Tahun 2007. hal 7. 24 Ibid., hal.9.
31
Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. 25Penelitian deskriptif kualitatif melakukan analisis dan menyajikan datadata serta fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.
1.7.1. Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orangorang dan prilaku yang diamati. 26 Dengan demikian untuk memperoleh data, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan wawancara terhadap aktivitas dari objek yang diteliti serta dari dokumentasi-dokumentasi yang ada sebagai pelangkap data yang dibutuhkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap apakah terdapat intervensi yang dialakukan oleh PT PP London Sumatera terhadap pembuatan kebijakan desa.
25
Hadari Nawawi. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 1987. hal. 63. 26 Lexy J. Moleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000. hal. 5
32
1.7.2. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian berada pada Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Nagodang yang berada dalam tanah HGU ( Hak Guna Usaha ) PT PP London Sumatera di Kecamatan Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka peneliti melakukan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik pengumpulan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yakni seperti berikut : 1. Data Primer Pengumpulan data primer dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara ( interview ). Teknik pengumpulan data melalui wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan yang dianggap sesuai dan terkait serta mengetahui permasalahan yang dijadikan sebagai objek penelitian. Dalam hal ini informan yang dijadikan sumber informasi adalah beberapa informan kunci ( key informan ) yakni Kepala Desa Perkebunan Sei Rumbia yakni Bapak Katmin, Ketua BPD Desa Perkebunan Sei Rumbia yang bernama Bapak Sudirman, dan Sekretaris Desa Perkebunan Sei Rumbia yakni dengan Ibu Mirna. Selanjutnya wawancara juga dilakukan terhadap Kepala Desa Perkebunan Nagodang yakni Bapak Suwoyo, Ketua BPD Desa Perkebunan Nagodang Bapak
33
Suharto, dan Sekretaris Desa Perkebunan Nagodang Ibu Irnawati Nasution serta informan tambahan seperti tokoh desa, masyarakat desa tersebut juga pihak PT PP London Sumatera.
2. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah dengan mencari informasi dan data melalui buku – buku, internet, jurnal ilmiah, dan bentuk sumber informasi lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Selain itu informasi dan data tambahan juga didapatkan dari literatur perundang – undangan, artikel – artikel, dan lainnya. Nantinya informasi yang didapat dari berbagai sumber tadi dapat dijadikan panduan dalam melakukan penelitian ini.
1.7.4. Teknik Analisa Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterprestasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan. Penganalisaan ini didasarkan pada kemampuan nalar dalam menghubungkan fakta, data, informasi kemudian data yang diperoleh akan
dianalisa
sehingga
diharapkan
muncul
gambaran
yang
dapat
mengungkapkan permasalahan penelitian. Jadi teknik analisa data kualitatif yaitu dengan menyajikan data dengan melakukan analisa terhadap masalah yang ditemukan di lapangan, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek
34
yang di teliti dan kemudian menarik kesimpulan. Harapannya dari data dan informasi yang diperoleh sebelumnya untuk dapat menganalisa dan memberikan gambaran tentang apakah terdapat intervensi yang dilakukan pihak PT PP London Sumatera terhadap pembuatan kebijakan Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Perkebunan Nagodang.
1.8. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi kedalam beberapa bab untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai permasalahan yang diteliti. Adapun pembagian dalam sistematika penulisan penelitian ini adalah seperti berikut :
BAB I : PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah dan pengantar dari penelitian ini, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : PROFIL PT PP LONDON SUMATERA, DESA PERKEBUNAN SEI RUMBIA DAN DESA PERKEBUNAN NAGODANG. Pada bab ini akan dibahas mengenai profil dari Desa Perkebunan Sei Rumbia, Desa Perkebunan Nagodang, dan PT PP London Sumatera.
35
Selain itu pada bab ini juga akan mendeskripsikan secara singkat tentang sistem pembuatan kebijakan desa. BAB
III
:
INTERVENSI
PT
PP
LONDON
SUMATERA
DALAM
PEMBUATAN KEBIJAKAN DESA Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian serta analisa bentuk pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh Desa Perkebunan Sei Rumbia dan Desa Perkebunan Nagodang dan ada atau tidaknya intervensi yang dilakukan oleh PT PP London Sumatera dalam pembuatan kebijakan tersebut. BAB IV : PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran – saran yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
36