BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) dalam Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hukum dirumuskan untuk mengatur dan melindungi kepentingan–kepentingan masyarakat agar tidak terjadi benturan serta untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hukum merupakan suatu pranata sosial, yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Membangun sebuah bangsa dapat dicapai melalui proses yang diawali dengan kesadaran rakyatnya baik secara individu atau bersama kelompok masyarakat yang berjalan dengan landasan dan tujuan yang sama. Cita-cita dalam melaksanakan tujuan kegiatan, dan kepentingan bersama yang dibangun dengan kesadaran dan berkelompok yang diyakini dapat memecahkan kepentingan bersama dalam sebuah wadah yang disebut dengan Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat Ormas). Bentuk organisasi ini digunakan sebagai lawan dari istilah partai politik. Ormas dapat dibentuk oleh kelompok masyarakat berdasarkan beberapa kesamaan kegiatan, profesi, tujuan dan fungsi, seperti agama, pendidikan, budaya, ekonomi, hukum dan sebagainya. Ormas merupakan peran serta masyarakat dalam melaksanakan pembangunan untuk memajukan kehidupan yang berkeadilan dan kemakmuran.
1
2
Keberadaan Ormas di Indonesia sebenarnya sudah terbentuk semenjak awal abad ini dan mempunyai kedudukan paling strategis bagi proses kebangsaan Indonesia. Bahkan sebagian dari ormas tersebut akhirnya menjadi partai politik yang mempelopori gerakan kebangsaan. Pada zaman kolonial program Budi Utomo yang didirikan 20 Mei 1908 antara lain mengembangkan permodalan kaum menengah, membina kerajinan tangan (rumah tangga) bumi putra dan mengembangkan pasar sampai di luar Jawa dan pemeliharaan orang miskin. Program selebihnya dan perhatian utamanya memang lebih terarah kepada soal pendidikan dan kebudayaan Jawa. Taman Siswa dalam bidang pendidikan dan Serikat Islam dalam bidang perdagangan untuk pribumi. Ormas pada jaman pergerakan merupakan prakarsa kaum cendekiawan dari bawah dan berdasarkan swadaya. Prakarsa tersebut mewarnai seluruh perkembangan ormas pasca kemerdekaan. Pasca reformasi ormas tumbuh dan berkembang, diatur dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu UUD NRI 1945 amandemen keempat. Pasal mengenai Hak Asasi Manusia menjiwai ketetapan-ketetapan Pasal 28 C ayat (2) tentang setiap orang berhak memajukan dirinya dengan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28 E ayat (2) tentang setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, ayat (3) setiap orang berhak atas kebebasan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 F tentang hak berkomunikasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan. Sebelum UUD 1945 diamandemen, aturan tentang organisasi
3
yang didirikan masyarakat atau yang dewasa ini dikenal dengan NGO (Non Goverment Organization), yaitu Undang-Undang R.I Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Definisi organisasi kemasyarakatan ditetapkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Yang dimaksud dengan ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kemudian asas ormas ditetapkan kembali dalam Pasal 2 yaitu asas ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Menurut M. Billah dan Abdul Hakim G. Nusantara1, umumnya Ormas Indonesia mencerminkan kebangkitan kesadaran golongan masyarakat menengah terhadap masalah kemiskinan, ketidakadilan sosial dan masalah hak asasi manusia. Pada saat ini, ormas di Indonesia dapat pula dikatakan sebagai cerminan kesadaran tentang dampak program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah serta tindakan yang diambilnya dalam melaksanakan program tersebut. Ormas merupakan perwujudan dari kemerdekaan berserikat dan berkumpul bagi warga negara Republik Indonesia yang didasarkan atas sifat kekhususan ormas tersebut untuk berperan serta dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Kehadiran ormas diharapkan mampu mewujudkan aspirasi dan kepentingan anggota masyarakat sebagai sarana untuk berkarya 1
Billah, M.M dan Nusantara, Abdul Hakim G. 1988. Lembaga Swadaya Masyarakat di Indoneisa Perkembangan dan Prospeknya, Prisma Nomor 4, Tabun XVII. LP3ES, Jakarta. h. 12.
4
melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan bersama, dengan berasaskan Pancasila. Dalam perkembangannya ormas memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing namun itu merupakan bagian dari dinamika bangsa yang sedang belajar berdemokrasi. Sebagian dari Ormas telah melakukan kegiatan positif dengan menyertakan masyarakat seperti menjaga lingkungan hidup seperti Wahana lingkungan hidup (Walhi), membantu masyarakat dalam bidang Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan dibidang lainnya dengan melakukan peranan yang aktifitas kemasyarakatannya dilakukan secara damai dengan memperdayakan masyarakat, disisi lain terdapat pula ormas yang melakukan perbuatan kurang terpuji. Eksistensi organisasi bagi sebagian kalangan adalah suatu yang menyenangkan, karena selain merupakan wahana tempat beraktivitas, juga merupakan sarana penyaluran kehendak dan pemikiran baik dalam tataran internal organisasi, maupun dalam kerangka penyaluran pemikiran dan pendapat dalam lingkup kehidupan bernegara. Penyaluran aspirasi melalui organisasi diyakini memperoleh perhatian selain akan lebih teratur dan terarah karena suara yang disampaikan merupakan suara dari organisasi bukan atas nama pribadi dan membawa kepentingan anggotanya. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengedepankan aspek demokrasi dalam tataran pelaksanaannya, merupakan hal yang wajar apabila kemudian banyak bermunculan organisasi-organisasi baru karena semakin dibukanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul maka semakin terbuka kemungkinan akan adanya perbedaan pendapat.
5
Penghormatan terhadap perbedaan pendapat, membawa konsekuensi berkembangnya wadah-wadah organisasi baru. Kelompok-kelompok masyarakat yang punya kesadaran akan pentingnya perjuangan melalui lembaga akan semakin selektif dalam memilih wadah yang sesuai dengan kesamaan etnis, ideologi dan sebagainya. Selektivitas tersebut, dibarengi dengan kesadaran diri untuk ikut aktif secara langsung dalam organisasi yang diikuti. Sifat selektivitas dimaksud, tidak jarang mendorong karakter eksklusif yang cenderung menimbulkan sifat egois kelompok yang tidak jarang bermuara pada tindakan-tindakan anarkis di tengahtengah masyarakat. Tindakan anarkis tersebut, dalam pemahaman mereka adalah sebagai bentuk jawaban konkret atas tidak berjalannya mekanisme hukum yang ada saat ini. Jadi, daripada tidak berjalan lebih baik mengambil jalan tindakan sendiri-sendiri. Perilaku demikian tanpa disadari sesungguhnya merupakan perbuatan melawan hukum. Namun, dilain pihak hal ini seolah-olah memperoleh legitimasi atau kurang adanya ketegasan, dapat dikatakan adanya pembiaran dari aparat penegak hukum atas berbagai bentuk tindakan anarkis yang terjadi selama ini. Ormas secara riil memperoleh tempat dan kesempatan untuk berkembang seiring dengan demokrasi yang berjalan disemua lini dan sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hak asasi manusia memperoleh tempat yang cukup dan dihormati oleh sistem yang berkembang saat ini. Namun, ternyata kebebasan tersebut kadang cenderung tanpa kendali dan tanpa batas. Semua elemen berbicara dan bertindak untuk dan atas nama Hak Asasi Manusia, sehingga terkadang mengabaikan esensi Hak Asasi Manusia itu sendiri,
6
yaitu bahwa kebebasan memperoleh ruang dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia juga harus menghargai adanya kebebasan Hak Asasi Manusia lain yang harus sama-sama dihormati dan memperoleh ruang yang baik untuk berkembang. Fenomena tindakan anarkis yang dilakukan oleh sekelompok orang, baik atas nama organisasi maupun perorangan, sudah merupakan konsumsi berita sehari-hari yang dilansir media massa elektronik maupun cetak. Secara psikologis, fenomena ini kurang baik dan tidak menguntungkan. Artinya, pemerintah harus segera tanggap dan bertindak cepat agar fenomena tindakan anarkis tidak menjadi budaya baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, karena disatu sisi tindakan anarkisme secara hakikat bertentangan dengan esensi hak asasi manusia itu sendiri. Sedangkan disisi lain pembiaran tindakan anarkisme dan pemberitaan yang terus-menerus secara langsung merupakan bentuk diligitimasinya fenomena kekerasan untuk tumbuh di tengah-tengah masyarakat kita. Apabila hal ini terus dibiarkan secara tidak terkendali, maka akan mendorong berkembangnya pahampaham primodialisme secara sempit, yang akan bermuara pada terganggu dan goyahnya kesatuan dan persatuan bangsa. Seperti dalam kasus yang terjadi pada tanggal 23 Oktober 2014 massa Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa menolak Basuki Tjahja Purnama atau Ahok dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Unjuk rasa ini berlangsung ricuh. Massa terlibat aksi saling lempar batu dengan petugas kepolisian hingga melukai Kapolsek Gambir AKBP Putu Putera Sadana akibat terkena lemparan
7
batu. Kapolres Jakarta Pusat Kombes Pol Hendro Pandowo mengaku tidak menyangka demo akan berlangsung ricuh2. Dalam hal ini untuk menghindari goyahnya kesatuan dan persatuan bangsa, maka harus didorong lahirnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dapat
mengatur
secara
proposional
tentang
ekspresi
kebebasan
mengeluarkan pendapat, berserikat, dan bekumpul dalam konteks kekinian. Salah satu upaya agar fenomena kekerasan tidak terus berlangsung adalah dengan mendorong dan memasyarakatkan hakikat kebhinnekaan melalui identitas nasional.
Hakikat
identitas
nasional
Indonesia
adalah
Pancasila
yang
diaktualisasikan dalam berbagai kehidupan. Upaya ini merupakan reaktualisasi penegakan Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 terutama alinea keempat. Bukan merupakan hal yang mudah untuk merealisasikan ruh Pancasila di tengah-tengah krisis nasionalisme dan sifat kebersamaan yang cenderung mulai memudar, tetapi hal tersebut justru merupakan tantangan yang harus dilewati oleh bangsa Indonesia. Tanggungjawab
terhadap
terselenggaranya
ketertiban
keamanan
masyarakat adalah menjadi tanggungjawab semua komponen masyarakat baik aparatur
penyelenggara
negara
maupun
masyarakat
pada
umumnya.
Ketidaktertiban merupakan produk dari masyarakat itu sendiri. Keberhasilan dari suatu organisasi akan ditentukaan oleh Sumber Daya Manusia atau kwalitas, etika, kepribadian orang-orang yang berada dalam organisasi tersebut, dengan kata lain
2
Silvanus Alvin, Kronologi Demo Anarkis FPI Tolak Ahok Di Balaikota, Liputan6, 23 oktober 2014,available from url: http://news.liputan6.com/read/2113999/kronologi-demo-anarkisfpi-tolak-ahok-di-balaikota. Diakses pada 19 Januari 2015.
8
sumber daya manusia merupakan inti dari suatu organisasi. Ketika ada organisasi kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan asas negara Pancasila, diperlukan peran pemerintah dalam pembinaan melalui kebijaksanaan yang dilandasi kemitraan bahwa seluruh komponen masyarakat mempunyai peran terhadap keamanan dan ketertiban lingkungannya. Kenyataan adanya bagian dari ormas baik individu maupun organisasinya yang melakukan tindakan anarkis maka muncul tuntutan untuk membubarkannya. Walaupun tuntutan menimbulkan pro dan kontra. Pembubaran dianggap telah membungkam kebebasan dan bertentangan dengan hak asasi manusia dan cukup dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Artinya ketika seseorang melakukan tindakan anarkis dalam hal ini kekerasan yang mengatasnamakan ormas maupun penganjuran dari ormas, hukum Pidana dapat digunakan sebagai sarana penindakan. Menyikapi hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada Pasal 59 ayat (2) huruf d adalah melakukan tindakan kekerasan, menganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial. Sedangkan Sanksi yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah kepada ormas yang melakukan pelanggaran diatur didalam ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyaratan, yang berbunyi : (1) Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 59. (2) Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan upaya persuasif sebelum menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
9
Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan hanya memberikan sanksi administratif sedangkan sanksi pidana tidak termuat dalam undang–undang tersebut. Dalam hal ini tidak ditemukan Pasal dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana serta sanksi pidana bagi pelaku kekerasan atas penganjuran ormas. Melihat keadaan yang demikian inilah, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Atas Penganjuran Organisasi Kemasyarakatan”.
1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah pelaku kekerasan atas penganjuran organisasi kemasyarakatan dapat diminta pertanggungjawaban pidana? 2. Jenis
sanksi
apa
yang
dapat
diterapkan
terhadap
organisasi
kemasyarakatan yang menganjurkan pelaku untuk melakukan kekerasan?
1.3 Ruang Lingkup Untuk membahas permasalahan yang ada diperlukan adanya batasanbatasan tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup masalah. Hal ini dimaksud agar pembahasan menjadi semakin terarah dan tidak menyimpang dari permasalahan. Adapun ruang lingkup dari permasalahan pertama ini adalah pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan atas penganjuran organisasi kemasyarakatan. Permasalahan kedua akan dibahas mengenai jenis sanksi yang
10
dapat diterapkan terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganjurkan pelaku untuk melakukan kekerasan. Dengan membahas kedua permasalahan tersebut maka dapat diketahui jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua. Jika dalam uraian selanjutnya disinggung mengenai hal lain maka hal tersebut hanya sebagai pelengkap dan cara untuk memperjelas uraian supaya menyempurnakan karya tulis ini.
1.4 Tujuan Penulisan Sesuai dengan permasalahan tersebut dimuka, maka tujuan dari penulisan karya tulis ini terbagi menjadi dua yakni tujuan umum dan tujuan khusus. 1.4.1 Tujuan Umum 1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa; 2. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pemikiran ilmiah secara tertulis; 3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan umum; 4. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat; 5. Untuk terhadap
menganalisa pelaku
kemasyarakatan.
mengenai
kekerasan
pertanggungjawaban atas
penganjuran
pidana
organisasi
11
1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku kekerasan atas penganjuran organisasi kemasyarakatan; 2. Untuk mengetahui jenis sanksi yang dapat diterapkan terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganjurkan pelaku untuk melakukan kekerasan.
1.5 Manfaat Penulisan 1.5.1 Manfaat Teoritis Seluruh hasil penelitian skripsi ini untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Universitas Udayana yang dapat dijadikan sebagai bahan laporan bagi Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan. Penulisan ini juga dapat memberi penjelasan tentang pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku
kekerasan
atas
penganjuran
organisasi
kemasyarakatan. 1.5.2 Manfaat Praktis Supaya dapat dijadikan pedoman untuk pembuatan skripsi selanjutnya di Fakultas Hukum Universitas Udayana serta memberikan pengalaman belajar dan bekerja untuk mahasiswa sehingga mengetahui tata cara pembuatan skripsi.
12
1.6 Landasan Teoritis 1.6.1 Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana3. Menurut Andi Hamzah4, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 1. 4
Andi Hamzah, 2008, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 27.
13
penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya5. Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut: 1) Jiwa manusia (leven); 2) Keutuhan tubuh manusia (lyf); 3) Kehormatan seseorang (eer); 4) Kesusilaan (zede); 5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid); 6) Harta benda/kekayaan (vermogen). 6
5
J.M. van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, Binacipta, Bandung, h. 17. 6
Satochid Kartanegara, 1954-1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, h. 275-276.
14
Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh Van Hamel, menurut van Hamel: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara7. 1.6.2
Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana menurut Wirdjono Prodjodikoro yaitu untuk memenuhi rasa keadilan. Diantara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana ialah: a. Untuk menakut nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik menakut nakuti orang banyak (generale preventie), maupun secara menakut nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan ( speciale preventie). b. Untuk
mendidik
atau
memperbaiki
orang-orang
yang
sudah
menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat8. 1.6.3 Tindak Pidana Tindak pidana dalam hukum pidana belanda menggunakan istilah strafbaarfeit, dalam bahasa latin tindak pidana disebut juga
7
8
P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, h. 34.
Wirdjono Prodjodikoro, 1967, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Eresco Jakarta, Bandung, h.16.
15
delictum. Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti tindak pidana diberi batasan yaitu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang–undang pidana. Terdapat dua unsur tindak pidana secara umum yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjekif merupakan unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyebutkan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan. Unsur objektif merupakan unsur diluar diri pelaku. a) Perbuatan manusia, berupa :
Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif.
Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
b) Akibat (result) perbuatan manusia, Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan–kepentingan yang dipertahankan oleh hukum. c) Keadaan–keadaan (circumstances), Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain :
Keadaan pada saat perbuatan dilakukan.
Keadaan setelah perbuatan itu dilakukan. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum, Sifat dapat
dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan pelaku
16
dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum. 1.6.4
Tujuan Pemidanaan Tujuan pemidaan didasarkan pada tiga teori yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Menurut teori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tanpa perlu dicari alasan lain. Teori relatif menurut teori – teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada menjatuhkan hukum pidana agar kejahatan tidak terulang lagi. Teori gabungan menurut teori ini apabila ada dua pendapat yang diametraal berhadapan satu sama lain, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah – tengah.9 1.6.5 Hukum Pidana Sebagai Obat Terakhir (Ultimum Remidium) Hukum Pidana merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yaitu di dalam hal sanksinya, yang membedakan hukum pidana dengan hukum yang lainnya, diantara lain adalah bentuk sanksinya yang bersifat negatif yang disebut dengan pidana (hukuman), karena sifatnya yang khusus maka hukum pidana sering digunakan sebagai obat terakhir (ultimum remidium), jadi tidak dapat digunakan untuk mengatur sesuatu hal, melainkan untuk menindak dan menegakkan
9
Ibid,h.20-23.
17
peraturan, dan mencegah perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Moeljatno menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di sebuah negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : a) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. b) Menetukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana yang telah diancamkan. c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut10. 1.6.6 Pertanggungjawaban Pidana Adanya
pertanggungjawaban
pidana
dibutuhkan
unsur
kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Setiap orang dianggap mengetahui atau mengerti akan adanya undang-undang serta peraturan-peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, maka setiap orang yang mampu memberi pertanggungjawaban pidana, tidak dapat menggunakan alasan bahwa ia tidak mengetahui akan adanya sesuatu peraturan atau perundang-undangan dengan ancaman hukuman tentang 10
h.2.
Teguh Prasetyo, 2012, Hukum Pidana, Cetakan ke III, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
18
perbuatan yang telah dilakukannya. Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya perundang-undang bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan bukan pula alasan untuk memperingan hukuman. Suatu perbuatan dapat dikatakan bersalah apabila perbuatan tersebut terdapat niat jahat. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif. Adapun penelitan hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.11
1.7.2 Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah: a. Pendekatan Undang-undang (The Statute Approach), maksudnya pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua Peraturan Perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani; b. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical & Conseptual Approach), maksudnya pendekatan yang dilakukan dengan
11
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta,h.51.
19
menelusuri tentang keberadaan hubungan antara Peraturan Perundang-undangan yang terkait antara satu dengan yang lainnya. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Dengan berpangkal tolak dari pendekatan masalah yang ada, maka dalam penulisan skripsi ini terdapat bahan-bahan hukum yang terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan meliputi: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin). 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan seterusnya.12
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.12.
20
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Studi kepustakaan merupakan metode yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara memilah dan meneliti data pustaka seperti bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Pencatatan terhadap bahan-bahan temuan dalam studi kepustakaan ini perlu dilakukan secara teliti dan jelas, pencatatan ini juga dilakukan secara menyeluruh terhadap bahanbahan yang ada relevansinya dengan penelitian. 1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan maka dipergunakan beberapa teknik analisis yaitu : 1. Teknik deskriptif, dengan menggunakan teknik ini peneliti menguraikan secara apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dan proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. 2. Teknik evaluasi merupakan merupakan penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap suatu pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. 3. Teknik argumentasi berupa pernyataan-pernyataan yang berasal dari pemikiran atau analisis penulis yang dituangkan dalam bentuk tulisan.