BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu-isu mengengai Perdagangan Manusia atau dikenal juga dengan Human Trafficking merupakan isu yang paling sering diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Kasus Human Trafficking merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus Human Trafficking telah menjadi masalah kemanusiaan berskala global. Kasus Human Trafficking tak jarang melintasi batas-batas negara, dimana adanya negara-negara yang dijadikan sebagai negara asal, negara tujuan maupun negara transit. Sehingga menyebabkan isu mengenai Human Trafficking menjadi semakin kompleks. Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) lebih dari 800 ribu orang diperdagangkan ke seluruh dunia setiap tahunnya. Mereka dijadikan sebagai korban prostitusi, kerja paksa, dan segala bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Jumlah tersebut, belum termasuk kasus perdagangan manusia yang terjai di dalam satu negara. Diperkirakan sejumlah 17 ribu orang diselundupkan setiap tahunnya ke Amerika Serikat.1 Kasus Human Trafficking yang terjadi di Indonesia rata-rata dari perbudakan di lingkup rumah tangga dan pekerja seks perempuan, serta
1
Sukawarsini Djelantik, Globalisasi, Migrasi Tenaga Kerja, Kejahatan Lintas Negara dan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak, Bandung, 2010, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol.6 No.2, Hlm.100
eksploitasi terhadap anak-anak, terutama pada remaja putri. Hal ini merupakan ancaman tersendiri bagi Indonesia, mengingat tingkat kemiskinan yang terjadi dikarenakan oleh banyaknya pertumbuhan penduduk di Indonesia dan banyaknya orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan yang disertai dengan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal tersebut juga merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya kasus pekerja anak. Kasus Pekerja Anak merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak-anak atas tenaga mereka, yang dengan mempertimbangkan perkembangan kepribadian mereka, keamanan, kesehatan, serta masa depannya. Anak-anak dan Perempuan sangat rentan akan terjadinya kasus eksploitasi. Khususnya terhadap kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak. Motif utama perempuan dan anak-anak di bawah umur untuk menyetujui tawaran pelaku perdagangan orang adalah mendapatkan kesempatan ekonomi yang lebih baik bagi dirinya dan bagi keluarganya.2 Terkait masalah Kasus Pekerja Anak tersebut, IPEC3 (International Programme on the Elimination of Child Labor) Organisasi
Internasional
dibawah
naungan
yang merupakan Sebuah
ILO
(International
Labor
Organization) mencatat bahwa, jumlah total pekerja seks komersial di Indonesia hampir mencapai 650.000 orang perempuan yang masih dalam usia anak-anak (di bawah 18 tahun), telah terjerumus dalam kegiatan prostitusi. Anak-Anak tersebut
2 3
Ibid, hlm.106 Ibid
di perdagangkan di berbagai kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Batam, dan berbagai tempat-tempat tujuan wisata, atau daerah-daerah perbatasan. Tak jarang dari kasus perdagangan anak-anak tersebut melintasi batas-batas negara seperti, Malaysia, Hongkong, dan Brunei.4 Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan untuk dijadikan buruh migrant/TKI. Banyak perempuan-perempuan yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri atau di luar daerah. Namun, mereka sama sekali tidak mengetahui bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka, hingga sampai di tempat tujuan. Para pelaku perdagangan tersebut memalsukan dokumen para pekerja tersebut. Dan para pekerja tidak memiliki keberanian unuk mengadukannya kepada pihak yang berwenang, hal ini dikarenakan mereka takut akan dideportasi atau bahkan dikenakan sanksi, dan hukuman. Tidak jarang para perekrut tersebut mengunakan kekerasan atau ancaman agar para korban tersebut tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara paksa dan dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemuian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersil5. Tak jarang dari mereka yang masih berusia di bawah dari 18 tahun dan turut dipekerjakan di industry seks komersil.
4
5
Kusumawardhani, Human Trafficking: “Pola Pencegahan dan Penanggulangan terpadu terhadap perdagangan perempuan”, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, Jakarta, 2010, hal.1. diunduh dari http://km.ristek.go.id/assets/files/LIPI/1135%20D%20S/1135.pdf, diakses pada 23 April 2013
Ibid, hlm.9
Mengingat banyaknya kasus pekerja anak yang terjadi, maka dari itu sangat diperlukan adanya partisipasi dari berbagai pihak, baik Lembaga atau Pihak Pemerintah setempat, serta berbagai Organisasi-organisasi yang diharapkan dapat membantu pihak pemerintah dalam menangani kasus tersebut. Baik dalam memberikan bantuan secara teknis, maupun pengawasan terhadap programprogram nasional pemerintah, serta bantuan dalam memberikan kampanyekampanye terkait kasus pekerja anak yang merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap anak. Mengenai kasus eksploitasi anak, terdapat berbagai organisasi-organisasi yang memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan anak, salah satunya Organisasi Save The Children. Organisasi ini merupakan sebuah Organisasi Internasional Non-Pemerintah, yang bertujuan untuk menangani permasalahanpermasalahan yang sering terjadi di negara berkembang. Sebagai aktor nonnegara, Organisasi Save The Children bekerjasama dengan pemerintah setempat seperti Departemen Kesehatan, Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Departemen Pendidikan dalam menangani berbagai kasus-kasus permasalahan anak di Indonesia.6 Kerjasama tersebut dilakukan untuk memudahkan mereka dalam menjalankan program-progam kerjanya. Pada tahun 2008, Organisasi Save The Children ini melakukan penelitian mengenai
6
Gugus Trafficking. Organisasi Internasional: „Save the Children Organization‟, diunduh dari http://bit.ly/1a4xjnB. diakses pada 23 April 2013
kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak di berbagai daerah seperti, Pontianak, Bandar Lampung, Bandung dan Surabaya. Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA) adalah salah satu bentuk atau tindakan kriminal yang melanggar HAM, khususnya Hak Anak. Yang mana pada kasus ESKA tersebut, anak digunakan sebagai objek dalam kegiatan prostitusi tersebut dan dilakukan dengan melakukan pembayaran/pemberian uang sebagai imbalan terhadap pihak-pihak tertentu.7 Dengan adanya, atau tanpa adanya imbalan yang diberikan terhadap korban, segala kegiatan yang melibatkan anak dalam kegiatan prostitusi merupakan bentuk Pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran terhadap Hak Anak.8 Sebagaimana yang telah diatur dalam Konvensi Hak Anak bahwa, anak-anak sebagai generasi penerus bangsa berhak untuk mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan. Perlindungan anak yang dimaksudkan adalah melindungi anak dalam kegiatannya untuk menjamin hak-haknya sehingga, anak dapat hidup, tumbuh dan berkembang, serta turut berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, dan juga setiap anak perlu mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.9 Dengan demikian, penulis melakukan
7
ECPAT International Report, dalam “Memperkuat Hukum Penanganan Eksploitasi Seksual Anak”, terj. Oleh KONAS PESKA , Indonesia, 2010, hal. 40. Diunduh dari http://www.ecpat.net/ei/Publications/Legal_Reform/Strengthening_law_CSEC_Bahasa.pdf, diakses pada 28 April 2013. 8 Ibid, hlm. 73 9 Tim Permata Press, „Undang-Undang HAM‟, dalam UU Perlindungan Anak Pasal 1 (1), Permata Press, 2012, hlm.191.
penelitian dengan judul “Peran Organisasi Save The Children Dalam Penangan Kasus Pekerja Anak di Indonesia”. B. Batasan dan Rumusan Masalah Kasus-kasus Eksploitasi Anak, umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Hal ini dikarenakan tingginya tingkat kepadatan penduduk, dan disertai dengan tingginya angka kemiskinan yang merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya tindak kejahatan. Kasus Eksploitasi Anak, seperti Kasus Pekerja Anak yang terjadi di Indonesia ini, turut mengundang perhatian khusus dari berbagai kalangan, salah satunya Organisasi Save The Children yang turut menangani berbagai permasalahan anak di berbagai negara berkembang. Adapun batasan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini terdiri dari tiga (3) hal, yakni: a. Pelanggaran HAM dibatasi oleh Pelanggaran Hak-Hak Anak sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Hak Anak (The Convention On The Rights Of The Child) atas perlindungan anak terhadap segala bentuk kekerasan, pelecehan seksual, dan diskriminasi serta, perlindungan terhadap bentukbentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dalam kasus pekerja anak, penulis akan lebih memfokuskan terhadap isu Eksploitasi Seksual Komersil Anak. Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah anak-anak yang berkerja sebagai pekerja seks komersil. b. Objek kajian organisasi non-pemerintah (Non-Goverment Organization) dibatasi pada Organisasi Save The Children. Sebab, Organisasi tersebut
merupakan Organisasi Non-Pemerintah yang fokus utamanya adalah menangani permasalahan anak di berbagai negara-negara berkembang, dan juga telah melakukan penelitian mengenai Kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak di Indonesia. c. Jangka waktu kasus yang akan dikaji dibatasi pada tahun 2008-2012. Sebab, Pada tahun 2008 Organisasi Save The Children telah melakukan penelitian dan penanganan mengenai prostitusi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Serta di tahun 2009 menjalankan program EXCEED Project (Elimination eXploitative Child labour through Education & Economic Development). Project tersebut bertujuan meminimalisir terjadinya kasus perkeja anak, untuk itu perlu diketahui hambatan dan strategi yang dilakukan oleh Organisasi Save The Children tersebut dalam menangani kasus tersebut. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk merumuskan dua (2) pertanyaan penelitian sebagai rumusan masalah dalam penulisan penelitian, sebagai berikut: 1. Bagaimana strategi yang dilakukan oleh Organisasi Save The Children dalam menangani kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak di Indonesia? 2. Bagaimana kendala yang dihadapi oleh Organisasi Save The Children dalam menangani kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan peranan dan strategi yang dilakukan oleh Organisasi Save The Children dalam menangani kasus Pekerja Anak yang terjadi di Indonesia. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan apa saja faktor-faktor yang menghambat Organisasi Save The Children dalam penanganan kasus Pekerja Anak di Indonesia dan seperti apakah langkah yang ditempuh untuk mengatasi hambatan tersebut. Penelitian yang dibuat ini, membahas mengenai „Peran Organisasi Save The Children dalam penanganan kasus Pekerja Anak di Indonesia.‟ Seiring dengan dibuatnya penelitian ini, diharapkan: 1. Memberi sumbangan pemikiran dan informasi bagi Akademisi Ilmu Hubungan Internasional, yaitu Dosen dan Mahasiswa dalam mengkaji dan memahami masalah organisasi kerjasama internasional maupun organisasi non-pemerintah. 2. Memberikan masukan dan pemahaman mengenai bagaimana pihak Pemerintah dan Organisasi Non-Pemerintah melakukan kerjasama dalam penegakan HAM di sebuah negara.
D. Kerangka Konseptual Pada dasarnya Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebaradaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.10 Terkait Kasus Pekerja Anak, Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO (International Labour Organization) Untuk melindungi pekerja anak di Indonesia, pemerintah telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor: 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 1999 dan Konvensi ILO Nomor: 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan UndangUndang Nomor: 1 Tahun 2000. Ratifikasi Konvensi ILO tersebut menunjukkan komitmen pemerintah dalam penghapusan pekerja anak Merujuk pada kasus Pekerja Anak, khususnya kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak, yang umerupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Anak yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB mengenai Hak-
10
Tim Permata Press, „Undang-Undang HAM‟, dalam Ketentuan Umum Undang-Undang HAM, Permata Press, April 2012, hlm.2
Hak Anak.11 Secara unversal Hak-Hak Anak diatur dalam The Declaration On The Right Of The Child, atau yang biasa dikenal juga dengan Konvensi Hak Anak. Dalam konvensi tersebut ditegaskan bahwa anak-anak harus senantiasa dijauhkan dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, pornografi dan pelecehan seksual. Sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak pada Pasal 34 dan 36 mengenai eksploitasi terhadap anak12, sebagai berikut: Pasal 34: Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk ekploitasi seks dan penyalahgunaan seksual. Untuk maksud itu, Negara peserta akan secara khusus mengambil langkah-langkah nasional, bilateral, multilateral untuk mencegah: a. Bujukan atau pemaksaan terhadap anak untuk melakukan kegiatan seksual apapun yang bertentangan dengan hukum; b. Pemanfaatan eksploitasi anak-anak dalam pelacuran atau praktekpraktek seksual yang bertentangan dengan perundang-undangan lainnya; c. Pemanfaatan eksploitasi anak-anak dalam pertunjukan dan bahanbahan pornografi. Pasal 36: Negara-negara peserta akan melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi yang merugikan setiap aspek kesejahteraan anak. Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi perjanjian tersebut, dan sebagai wujud implementasinya di wujudkan melalui keputusan presiden No. 36 Tahun 1990. Dalam hal ini, Indonesia telah terikat secara hukum
11 12
Ibid, hlm. 220 UNICEF INDONESIA: Konfensi Hak Anak, diunduh dari http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf, diakses pada 23 April 2013
untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Konvensi Hak Anak tersebut. Kasus Eksploitasi Anak merupakan kasus transnasional, yang seringkali melibatkan berbagai pihak dalam proses penanganannya. Hal ini dikarenakan, banyaknya korban yang dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain, bahkan terkadang para korban dibawa ke negara lain tanpa menggunakan surat izin yang resmi. Untuk itu, dalam menangani kasus ini diperlukan adanya kerjasama antara berbagai pihak. Hal ini dijelaskan dalam definisi Kerjasama Internasional, yang diungkapkan oleh Teuku May Rudy dalam bukunya Administrasi dan Organisasi Internasional, sebagai berikut: Kerjasama Internasional merupakan segala bentuk kerjasama dalam berbagai bidang, dan melintasi batas-batas negara, yang mana kerjasama tersebut dilakukan oleh Badan/Lembaga-lembaga yang berdaulat seperti; Organisasi Antar Pemerintah (Inter-Govermental Organization), maupun Organisasi Internasional Non-Pemerintah (International NonGovernmental Organization). Adapun Perbedaan antara NGO dan INGO terletak pada keanggotaan organisasi, mitra kerjasama, serta ruang lingkup kegiatan organisasinya.13 Hubungan Internasional bukan hanya tentang hubungan negara-negara; tetapi juga hubungan antara masyarakat, kelompok-kelompok, dan organisasiorganisasi yang berasal dari negara yang berbeda.14 Organisasi Internasional, menurut Teuku May Rudy15, didefinisikan sebagai berikut :
13
Teuku May Rudy, Administrasi & Organisasi Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 19 14 Robert J. Dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 144 15 Teuku May Rudy, Op.Cit. hlm. 3
pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antar pemerintah dengan pemerintah, maupun antara negara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda. Organisasi Save The Children merupakan sebuah organisasi internasional yang didirikan di Inggris pada tahun 1919. Organisasi ini memiliki tujuan utama menangani kasus atau permasalahan anak di berbagai negara-negara berkembang. Organisasi Save The Children merupakan salah satu bagian dari Organisasi Internasional yaitu, Organisasi Non-Pemerintah (Non-Government Organization). Sebagaimana definisi Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang diungkapkan oleh Adi Suryadi Culla dalam buku Rekonstruksi Civil Society bahwa, Organisasi Non-Pemerintah pada dasarnya mengandung arti independen, tidak terkooptasi pemerintah, entitas gerakan yang dibentuk oleh masyarakat di luar negara, dan memiliki karakter tersendiri yang disepakati oleh dunia internasional sebagai organisasi kerelawanan di luar pemerintah. 16
Organisasi Non-Pemerintah juga memiliki peran penting yaitu, dapat berkeja sama dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mempromosikan sikap menghormati norma, mengubah perilaku negara, mengawasi perjanjian-perjanjian yang disepakati, kompromi-kompromi yang dibuat, dan hasil-hasil yang dicapai
16
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 68
dengan berbagai cara terutama lembaga-lembaga yang menangani berbagai isu yang kompleks.17 Dalam hal ini, Save The Children sebagai salah satu Organisasi NonPemerintah telah bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan instansi pemerintah, maupun Non-Pemerintah dalam menangani kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak di Indonesia. Dengan adanya kerjasama tersebut diharapkan dapat membantu pihak pemerintah dalam menangani kasus tersebut. Baik dalam memberikan bantuan secara teknis, maupun pengawasan terhadap programprogram nasional pemerintah, serta bantuan dalam memberikan kampanyekampanye terkait kasus Pekerja Anak, khususnya kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak.
E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah tipe penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan proses atau langkah-langkah yang ditempuh Organisasi Internasional Save The Children dalam penanganan kasus pekerja anak, khusunya kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA) di Indonesia. 2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan 17
Walter Carlsnaes, et. al., Handbook Hubungan Internasional, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 421
Deputy Program Manager untuk project EXCEED, Save the Chidren, Bambang Ertanto. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bukubuku, dokumen-dokumen artikel, majalah, surat kabar dan internet. Adapun data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain; data mengenai Kerjasama dan Perjanjian Internasional, data mengenai Undang-undang Perlindungan HAM di Indonesia, data mengenai Peran dan Fungsi Organisasi Internasional, serta perkembangan kondisi sosial anak di Indonesia. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah berupa telaah pustaka (library research) dan studi dokumen yaitu dengan mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas berupa buku, dokumen, jurnal, artikel, majalah atau surat kabar. Bahan-bahan tersebut telah dikumpulkan dari tempat-tempat berikut: a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar b. Perpustakaan Ali Alatas, Kementerian Luar Negeri Indonesia c. Organisasi Save The Children d. Komisi Nasional Perlindungan Anak e. Teknik Analisis Data Teknik Analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, dengan menganalisa kemudian disimpulkan sedangkan data kuantitatif digunakan sebagai data pelengkap untuk menjelaskan data kualitatif yang diamati.
f. Metode Penulisan Metode Penulisan yang penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif. Di mana penulis terlebih dahulu menggambarkan secara umum, lalu menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
BAB II TELAAH PUSTAKA
A. Hak Asasi Manusia Secara Universal, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada semua manusia, apapun kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis kelamin, asal-usul kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Kita semua sama-sama berhak atas HAM tanpa diskriminasi. Hak-hak ini semua saling bergantung, saling terkait dan tak terpisahkan.18 Adapun definisi Hak Asasi Manusia dikemukakan oleh Lunn H. Miller, merupakan istilah yang mengacu pada nilai-nilai khusus dan melekat pada manusia yang dianggap sedemikian fundamental pentingnya sehingga nilai-nilai tersebut harus ditegakkan apabila ingin mewujudkan apa yang dipandang sebagai aspirasi-aspirasi terpenting dalam tatanan sosial. Pengakuan atas martabat alamiah dan hak yang sama dari keluarga manusia adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Hak Asasi Manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum agar orang tidak memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir dalam menentang kedzaliman dan penindasan. Untuk itu, Pada tanggal 10 desember 1948 Majelis Umum
18
United Nations Human Rights. 2010. What is Human Rights. http://www.ohchr.org/en/issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx (diakses pada tanggal 12 Januari 2014)
PBB menetapkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai instrumen universal sebagai standar umum penegakan HAM di dunia. Terbentuknya Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of Human Right di latar belakangi oleh usainya perang dunia II. Selain itu, semakin banyaknya negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perang dunia kembali. Deklarasi tersebut merupakan dokumen tertulis pertama tentang HAM yang diterima oleh semua bangsa. Oleh karena itu, Majelis umum PBB menyatakan bahwa deklarasi HAM Universal 1948 adalah pencapaian standar bersama bagi semua orang dan semua bangsa. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)19 pasal 25 ayat 2, secara spesifik menjelaskan mengenai pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak yang berbunyi: “Para ibu dan anak-anak berhak mendapatkan perawatan dan batuan istimewa. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama”. Pasal tersebut kemudian menjadi landasan terbentuknya Konvensi Hak Anak (KHA). Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang memberikan pengakuan serta menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB 19
Goran Melander, Gudmundur Alfredsson, dan Leif Holmstrom, Kompilasi Instrumen Hak Asasi Manusia Raoul Wallenberg Institute, Jakarta, Raoul Wallenberg dan Depkumham Indonesia, 2004, hlm.7
mengemukakan pernyataan mengenai Hak Anak.20 Pada tahun 1979 saat dicanangkannya tahun Anak Internasional, pemerintah Polandia mengusulkan mengenai perumusan dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah yang menjadi awal dari perumusan Konvensi Hak Anak, yang disahkan pada tanggal 20 November 1989. Dalam Konvensi Hak Anak21 terdapat pasal-pasal yang secara spesifik mengatur mengenai kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA), diantaranya, pasal 34 yang berbunyi : Negara – Negara peserta berusaha melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi dan penganiayaan seksual. Untuk maksud itu, Negara-negara peserta akan secara khusus mengambil langkah-langkah Nasional, bilateral, dan multilateral untuk mencegah; (a) Bujukan atau pemaksaan terhadap anak untuk melakukan kegiatan seksual apapun yang bertentangan dengan hukum; (b) Pemanfaatan eksploitatif anak-anak dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual yang bertentangan dengan perundangan lainnya; (c) Pemanfaatan eksploitatif anak-anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografi. Adapun pada pasal 35 yang berbunyi sebagai berikut : Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral, dan multilateral yang tepat untuk mencegah penculikan, penjualan, atau penyelundupan anak untuk tujuan dan dalam bentuk apapun.
20
Supriyadi W. Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005, hlm.1. 21 UNICEF INDONESIA: Konfensi Hak Anak, diunduh dari http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf, diakses pada 23 April 2013
Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut. Dengan diratifikasinya Konvensi Hak Anak tersebut, berarti Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak. Hal ini, dapat dilihat melalui keputusan Presiden No.36 tahun 1990.22 Dalam keputusan presiden tersebut terdapat dua (2) pasal sebagai pengesahan Konvensi Hak Anak. Dalam mengesahkan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa yang diterima pada tanggal 20 November 1989 dengan pernyataan (declaration). Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional untuk pertama kalinya pada tahun 2002, melalui keputusan presiden nomor 87 untuk periode 2003-2007. Yang terdiri atas delapan (8) pasal yang mengatur tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Selain itu, terkait masalah Eksploitasi Seksual Komersil Anak adalah diratifikasinya Konvensi ILO No.138 tentang batas minimum seseorang bias bekerja melalui undang-undang Nomor 20 tahun 1999 dan konvensi ILO Nomor 182 tentang penghapusan segera bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
22
Lihat lampiran 1, hlm.83
bagi anak melalui Undang-undang No.1 tahun 2000 dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada
tingkat
implementasi,
Indonesia
telah
menyusun
dan
mengesahkan Rencana Aksi Nasional yang merupakan mandate dari setiap deklarasi dan Konvensi yang telah disetujui/diratifikasi. Beberapa Rencana Aksi Nasional yang ditetapkan oleh Indonesia seperti,
Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Segera bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui keputusan presiden Nomor.52 tahun 2002. RAN-RAN untuk periode berikutnya juga telah disahkan23, termasuk RAN yang menggabungkan antara persoalan Perdagangan Manusia, yaitu Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual terhadap Anak (RAN PTPPO dan ESA) untuk periode 2009-2014 melalui keputusan Menteri Koordnator Kesejahteraan Rakyat (KEPMENKOKESRA) Nomor 25 Tahun 2009.
B. Organisasi Internasional Aktor-aktor dalam Ilmu Hubungan Internasional dewasa ini, tidak lagi didominasi oleh Aktor Negara saja. Hubungan Internasional menurut Evans Graham dan Jeffney Newham dalam bukunya The Dictionary Of World Politics
23
Hening Budiyawati dan Odi Shalahuddin, Laporan Studi Mengenai Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak di Empat Kota, Yogyakarta, Save The Children, 2011, hlm. 10.
“Hubungan Internasional merupakan suatu istilah yang digunakan untuk melihat seluruh interaksi antara aktor-aktor negara dengan melewati batas-batas negara”.24 Aktor hubungan internasional tidak lagi hanya didominasi oleh negara dan isu-isu yang diperdebatkan kini semakin kompleks. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Peu Ghosh25, International relations represent the study of foreign affaris and global issues among states including the role of states, intergovernmental Organizations (IGO), nongovernmental organizations (NGO) and Multi national Coorprations (MNCs) … Organisasi Internasional menurut Teuku May Rudy26, pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antar pemerintah dengan pemerintah, maupun antara negara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda.
Sementara definisi Organisasi internasional menurut L. Leonard menjelaskan
bahwa “Souvereign states recognized the need for more
sustained methods of collaboration on numerous problem. State established
24
Diah Ayu, “What is International Relations?”, http://diah_faid-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail59025-PIHI-What%20is%20International%20Relation%201st%20Jurnal.html, diakses pada tanggal 22 April 2013 25 Peu Ghosh, International Relations, New Delhi, PHI, 2009, hlm 1-2 26 Teuku May Rudy, Administrasi & Organisasi Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm.. 19
internationals organizations to meet these specific needs”.27 Artinya negaranegara berdaulat menyadari perlunya pengembangan cara atau metode kerjasama berkesinambungan yang lebih baik mengenai penanggulangan berbagai masalah. Negara-negara membentuk organisasi internasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut Berdasarkan definisi organisasi internasional tersebut, terdapat 2 (dua) poin penting yaitu, pertama, ruang lingkup kegiatan dari organisasi internasional melintasi batas-batas Negara. Kedua, Organisasi Internasional didirikan sesuai dengan tujuannya yang telah disepakati bersama, baik antar pemerintah maupun non-pemerintah dan juga, harus memiliki struktur organisasi yang jelas. Misalnya, Organisasi Save The Children yang merupakan salah satu organisasi Internasional yang berdiri di Inggris dan memiliki fokus atau tujuan utama dalam menangani berbagai permasalahan anak di Negara-negara berkembang. Adapun unsur-unsur Organisasi internasional adalah : 1. Kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara. 2. Mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama. 3. Baik antar pemerintah maupun non pemerintah. 4. Struktur organisasi yang jelas dan lengkap. 5. Melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan
27
Ibid, hlm. 4
Selanjutnya Clive Archer mengemukakan adanya sembilan fungsi Organisasi Internasional28, yaitu sebagai berikut: 1. Artikulasi dan agregasi kepentingan nasional negara-negara anggota. 2. Menghasilkan norma-norma 3. Rekrutmen 4. Sosialisasi 5. Pembuatan keputusan 6.
Penerapan keputusan
7. Penilaian/penyelerasan keputusan 8. Tempat memperoleh informasi 9. Operasionalisasi, antara lain pelayanan teknis, penyedia bantuan. Dengan banyaknya isu-isu mengenai Human Trafficking, Lingkungan, Penanganan bencana alam, dan penyakit menular yang bermunculan, disertai pula dengan berbagai kehadiran organisasi-organisasi internasional dengan fokus dan tujuan utama yang berbeda-beda. Untuk itu, diperlukan adanya pengklasifikasian mengenai karakteristik organisasi-organisasi internasional. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Teuku May Rudy29, secara terperinci terdapat delapan hal penggolongan organisasi internasional, yaitu:
28 29
Ibid, hlm 29 Ade Suherman, Organisasi Internasional & Intergrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 59
1. Kegiatan Administrasi: organisasi internasional antarpemerintah (intergovernmental organization/IGO) dan organisasi internasional non-pemerintah (non-government organization/NGO). 2. Ruang lingkup (wilayah) kegiatan dan keanggotaan: organisasi internasiona global dan organisasi internasional regional. 3. Bidang kegiatan (operasional) organisasi, seperti bidang ekonomi, lingkungan hidup, pertambangan, komoditi (pertanian, industri), bidang bea cukai dan perdagangan internasional, dan lain-lain. 4. Tujuan dan luas bidang kegiatan organisasi: organisasi internasional umum dan organisasi internasional khusus. 5. Ruang lingkup (wilayah) dan bidang kegiatan: global-umum, globalkhusus, regional-umum dan regional-khusus. 6. Menurut taraf kewenangan (kekuasaan): organisasi supranasional (supranational organization) dan organisasi kerja sama (co-operative organization). 7. Bentuk dan pola kerjasama: kerja sama pertahanan-keamanan (collective security) yang biasanya disebut “institutionalized alliance” dan kerja sama fungsional (functional co-operation). 8. Fungsi organisasi; organisasi politik (political organization), yaitu organisasi yang dalam kegiatannya menyangkut masalah-masalah poitik dalam hubungan internasional; organisasi administrati, yaitu organisasi yang sepenuhnya hanya melaksanakan kegiatan teknis
secara administratif; dan organisasi peradilan (judicial organization), yaitu organisasi yang menyangkut penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek (politik, ekonomi, sosial dan budaya) menurut prosedur hokum dan proses peradilan (sesuai ketentuan internasional dan perjanjian internasional). Organisasi internasional dalam dalam arti yang luas pada hakikatnya tidak hanya meliputi organisasi internasional public (Public International Organization)
tetapi
juga
organisasi
internasional
privat
(Private
International Organization)30. a. Organisasi Internasional Publik atau organisasi Antar-Pemerintah (Intergovernmenal Organization). Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah mewakili negaranya sebagai pihak dari organisasi internasional tersebut. b. Organsasi Internasional Privat (Private International Organization) merupakan organisasi yang dibentuk atas dasar non-pemerintah, atau disebut juga dengan organisasi non-pemerintah (Non-Government Organization/NGO) atau yang dikenal juga dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang anggotanya badan-badan swasta atau perorangan.
30
Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. PT.Alumni. Bandung, 2012, hlm..37.
Organisasi Non-Pemerintah (Non-Government Organization/NGO) dapat dibedakan atas dua, yaitu NGO (Non-Government Organization) dan INGO (International Non-Government Organization). Perbedaan antara NGO dan INGO dapat dilihat dari wilayah operasionalnya, di mana organisasi nonpemerintah (NGO) beroperasi di dalam negeri, sedangkan organisasi internasional non-pemerintah (INGO) beroperasi di tingkat global yang melintasi batas-batas Negara. Baik NGO maupun INGO dibentuk oleh individu-individu atau masyarakat yang memiliki misi atau tujuan tertentu. Keduanya tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, untuk itu organisasi seperti ini merupakan organisasi sukarela, yang tak jarang dibentuk untuk misi-misi kemanusiaan. Terdapat beberapa peran dari NGO menurut Andra L Corrithers dan Estie W Suryatna31 sebagai berikut: 1. Katalisasi Perubahan Sistem. Hal ini dilakukan dengan jalan mengangkat sejumlah masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk sebuah kesadaran global, melakukan advokasi demi perubahan kebijaksanaan Negara, dan mengadakan ekperimen yang medorong inisiatif masyarakat. 2. Memonitor pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan Negara, bahkan bila perlu melakukan protes. Hal tersebut dilakukan karena bias saja terjadi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hukum di suatu Negara.
31
Afan Gaffar. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, dalam Adi Suryadi, Rekonstruksi Civil Society, LP3ES, Jakarta, 2006, Hlm. 80-81.
3. Memfasilitas rekonsiliasi warga Negara dengan lembaga peradilan. Hal ini dilakukan karena tidak jarang masyarakat menjadi korban kekerasan. Kalangan Organisasi Non-Pemerintah muncul secara aktif untuk melakukan pembelaan bagi mereka yang menjadi korban ketidak-adilan. 4. Implementasi
program
pelayanan.
Organisasi
Non-Pemerintah
menempatkan diri sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat. Secara singkat Teuku May Rudy menjelaskan mengenai peran Organisasi Internasional sebagai berikut: 1. Wadah atau Forum untuk menggalang kerjasama, serta untuk mencegah atau mengurangi intenstas konflik (sesame anggota); 2. Sebagai sarana untuk perundingan dan menghasilkan keputusan bersama yang saling menguntungkan. 3. Adakalanya bertindak sebagai lembaga yang mandiri untuk melaksanakan kegiatan yang diperlukan (antara lain kegiatan social kemanusiaan, bantuan untuk pelestarian lingkungan hidup, pemugaran monument bersejarah, peace keeping operation, dan lain-lain). Adapun tipe-tipe kegiatan NGO dan INGO yang dikemukakan oleh Ade Suherman32 bahwa, pada dasarnya kegiatan NGO terbagi atas dua tipe, yang pertama NGO yang sifatnya operasional, dan yang kedua adalah NGO yang bergerak di bidang kampanye atau “operational and campaigning 32
Ade Suherman, Op.Cit, hlm. 200
NGOs.” Kesamaan dari kedua tipe ini dapat dilihat dari mekanisme atau sistem kerjanya, dimana kedua tipe NGO tersebut harus memobilisasi sumberdaya yang ada, baik dalam bentuk donasi, materi, maupun kesukarelaan menjadi relawan (volunteer labor). Diperlukan adanya kantor pusat bagi NGO yang bersifat operasional dalam menjalankan birokrasi dan juga diperlukan adanya staf operasional dalam bidangnya. Berikut adalah tipe NGO yang bergerak dalam mengkampanyekan isu tertentu (Campaigning NGO). Campaign NGO memiliki tujuan untuk membuat kegiatan yang mengandung unsur publisitas yang tinggi dan cenderung untuk tidak menggalakkan pengumpulan dana.
1. Kerjasama Organisasi Internasional Non-Pemerintah dan Pemerintah di Negara Host Sebagai Organisasi Internasional, harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku di Negara tuan rumah (head quarter). Hal ini erat kaitannya antara hubungannya antara organisasi Internasional dengan Negara Host (head quarter) atau tempat di mana sekertariat organisasi internasional tersebut berada, organisasi internasional tersebut33. Hubungan antara INGO (International Non-Government Organization) dengan Negara tuan rumah dapat dilihat dari bagaimana suatu negara dapat bekerjasama dengan INGO tersebut dalam menyelesaikan suatu permasalahan di negara tersebut. 33
Ibid, hlm.84
Suatu negara yang memiliki system demokrasi yang baik, tidak akan menganggap NGO sebagai ancaman bagi kekuasaan negaranya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Adi Suryadi Culla dalam bukunya “Rekonstruksi Civil Society” bahwa keberadaan NGO tidak dapat terlepas dari realitas sistem politik suatu negara. 34 Kehadiran NGO dianggap dapat mengisi ruang publik dala rangka pembentukan agenda publik di suatu negara.
2. Kerjasama Organisasi Internasional Non-Pemerintah dengan NGO di Negara Host Dalam
konvensi
Wina
1975,
dijelaskan
bahwa
organisasi
internasional yang bersifat universal adalah organisasi PBB, badan-badan khusus yang berada dibawah naungan PBB, dan organisasi lainnya yang keanggotaannya dan tingkat pertanggungjawabannya berskala internasional.35 Hubungan antara Organisasi Internasional Non-Pemerintah atau INGO (International Non-Government Organization) dengan sesama Organisasi lainnya dapat dilihat dari bagaimana mereka dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam menjalankan kegiatannya, organisasi internasional tidak hanya melakukan kerja sama dengan pihak pemerintah setempat, namun juga dengan berbagai organisasi lainnya di negara Host. Hal ini dilakukan untuk mempermudah INGO tersebut dalam menjalankan
34 35
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 28 Ade Suherman, Op.Cit, hlm. 97
program-programnya. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa sebagai sebuah organisasi internasional non-pemerintah/INGO juga dapat membantu sebuah negara dalam menangani sebuah isu atau permasalahan yang terjadi di dalam sebuah negara, dalam hal ini organisasi internasional non-pemerintah/INGO tersebut bekerjasama dengan pihak pemerintah, maupun dengan sesama organisasi Non-pemerintah di negara host tersebut. Atau yang juga deikenal dengan sebutan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
BAB III ORGANISASI SAVE THE CHILDREN DAN KASUS PEKERJA ANAK DI INDONESIA
A. Organisasi Save The Children di Indonesia Dalam dunia internasional, kasus mengenai pekerja anak telah mengundang perhatian khusus dari berbagai kalangan. Hal ini tunjukkan melalui adanya gerakan-gerakan yang menentang akan adanya berbagai kasus-kasus pekerja anak. Khususnya gerakan-gerakan yang dilakukan oleh organisasiorganisasi non-pemerintah dalam menangani isu-isu mengenai permasalahan anak. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa anakanak adalah generasi penerus bangsa yang merupakan generasi penentu kualitas suatu bangsa di masa depan. Untuk itu sudah sewajarnya jika anak-anak tersebut mendapatkan perlindungan dari segala bentuk-bentuk kegiatan yang dapat menghambat proses tumbuh dan berkembangnya seorang anak sebagai manusia yang berkualitas. 1. Profil Singkat Organisasi Save the Children merupakan organisasi non-pemerintah yang didirikan di Inggris pada tahun 1919, yang selanjutnya disingkat menjadi SC. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi memiliki fokus utama dalam menangani berbagai permasalahan anak di Negara-negara berkembang. Oganisasi SC telah berkerja di 120 negara. Organisasi SC masuk ke Indonesia
pada tahun 1976 dan miliki kantor di Jakarta. Organisasi SC melaksanakan berbagai programnya di bidang kesehatan dan gizi, mata pencaharian, pendidikan, perlindungan anak, kesiapan tanggap darurat, serta hak anak. Selain di Indonesia, organisasi SC juga bekerja di berbagai negara-negara berkembang lainnya. Salah satunya Bangladesh. Di Bangladesh, anak-anak yang bertempat tinggal di Char Karikata dan Shakhipur, tidak memiliki akses untuk dapat mengenyam pendidikan. Hal tersebut dikarenakan jarak dari sekolah umum dan desa terpencil tersebut sangat jauh. Anak-anak harus berjalan beberapa kilometer dan menyeberangi sungai. Hal tersebut tentu saja sangat beresiko bagi anak-anak. Maka dari itu, tidak jarang dari mereka yang putus sekolah. Untuk itu organisasi SC bekerjasama dengan bersama dengan pemerintah setempat mendirikan sebuah sekolah dasar, melalui program NFPS (Non-Formal Primary School) yang diadakan oleh SC di Char karikata, Bangladesh. Keberhasilan program tersebut dapat dilihat dari antusiasme anakanak dalam mengikuti pembelajaran yang diberikan. Lebih dari Sembilan puluh (90) anak, hadir selama berjalannya program yang semuanya selesai di kelas 5, kelas terakhir sekolah dasar di Bangladesh. Lebih dari 90% anak-anak tersebut lulus dan melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Pada dasarnya program-program kerja yang ditawarkan oleh organisasi SC di Bangladesh, hampir sama dengan yang dilaksanakan di berbagai negaranegara berkembang yang menjadi negara host/negara yang menjadi tempat SC beroperasi. Langkah-langkah yang ditempuh juga cenderung sama. Namun, yang
membedakan hanyalah nama program yang diusung oleh SC. Seperti halnya program pendidikan yang diusung oleh SC di Bangladesh, NFPS (Non-Formal Primary School). Sedangkan program pendidikan yang diusung oleh SC di Indonesia adalah ECCE (Early Childhood Care Education). Program-program pendidikan yang diusung oleh SC di kedua negara berkembang tersebut, ditempuh dengan melakukan kerjasama dengan dinas pendidikan di daerah yang menjadi tempat berlangsungnya program. Kemudian tim peneliti dari organisasi SC membentuk tim pengajar yang juga didampingi oleh tim ahli dari dinas pendidikan di daerah setempat. Program pendidikan tersebut bertujuan untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negaranya. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa, dalam menjalankan program-programnya, organisasi SC senantiasa mendapatkan dukungan dari pemerintah, organisasi multilateral, perusahaan, individu, dan yayasan. Di Indonesia, untuk mencapai perbaikan bagi hidup anak-anak, organisasi SC juga turut menjalin kerjasama dengan berbagai pihak seperti organisasi, pemerintah, sektor non-profit, dan mitra lokal. Sebagaimana visi organisasi SC adalah sebuah dunia dimana setiap anak mendapatkan hak untuk hidup, perlindungan, pengembangan dan partisipasi. Sedangkan misi dari organisasi SC adalah menginspirasi terobosan-terobosan dalam memperlakukan anak-anak dan untuk mencapai perubahan cepat dan berkelanjutan pada kehidupan anak.
2. Program Kerja organisasi Save the Children di Indonesia Dalam menjalakan visi dan misinya organisasi SC memiliki beragam program kerja dalam menangani berbagai permasalahan anak. Program-program tersebut antara lain, ECCE (Early Childhood Care Education), SHN (School Health, Hygiene, and Nutrition), FBC (Family Based care), EXCEED (Eliminate Exploitive Child labor through Education and Economic Development). ECCE (Early Childhood Care Education) merupakan salah satu program pendidikan pra-sekolah dasar tidak wajib di Indonesia dan lebih dari dua pertiga anak di bawah usia enam tahun di beberapa tempat tertentu tidak memiliki akses terhadap pendidikan pra-sekolah dasar. Sejak tahun 2009, organisasi SC telah melengkapi peralatan permainan edukatif dan guru-guru ECCE yang terlatih dengan topik-topik yang relevan termasuk tahap-tahap awal perkembangan anak, metodologi
pembelajaran
aktif,
dan
evaluasi
individual.
Kami
lebih
memfokuskan pada kesehatan, gizi, perkembangan motorik kasar untuk anak yang lebih muda; dan pengembangan motorik halus, sosial dan kognitif bagi anak-anak usia pra-sekolah. Program ini diimplementasikan di daerah Sumatera Utara, Aceh, Jawa barat, Jawa tengah, Maluku, NTT, dan Sulawesi Selatan. SHN (School Health, Hygiene, and Nutrition) atau Kesehatan, Kebersihan dan Gizi di sekolah. Indonesia masih menghadapi tantangan yang berat terkait dengan kondisi sanitasi, kebersihan, kesehatan dan gizi, karena masih adanya keterbatasan sumber daya yang tersedia. Dalam menjalankan
program tersebut, Organisasi Save the Children telah bekerja dengan 450 sekolah dasar di Indonesia bagian timur, terutama di daerah pedesaan. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan praktik kebersihan, kesehatan dan gizi yang berbasis sekolah dan meningkatkan infrastruktur untuk mengurangi angka penyakit yang terjadi pada siswa, Kegiatan ini termasuk pelatihan bagi para pendidik mengenai teknik komunikasi yang dapat mengubah perilaku untuk meningkatkan praktik-praktik kesehatan kunci seperti mencuci tangan, menyikat gigi. Selain itu juga kegiatan ini termasuk meningkatkan kurikulum kesehatan dan kebersihan. Organisasi ini juga mengadvokasikan sumber daya sekolah ditingkat kabupaten dan nasional untuk mendukung program kesehatan, kebersihan dan gizi sekolah. FBC (Family Based Care). Pada tahun 2011, lebih dari 90% (sekitar 500.000) anak Indonesia yang tinggal di panti asuhan masih memiliki satu orang tua. Save the Children bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk mengimplementasikan standar nasional pengasuhan anak di panti, meningkatkan kebijakan untuk reunifikasi anak dan keluarganya atau pengasuhnya, dan menunjukkan program pengasuhan anak berbasis keluarga dan berbasis masyarakat yang efektif. Save the Children saat ini bekerja sama dengan beberapa panti di Bandung, Jawa Barat dan Yogyakarta, Jawa Tengah, dalam meningkatkan kualitas pengasuhan anak yang diberikan kepada anak-anak di panti asuhan. Organisasi SC juga mendukung upaya pencegahan masuknya anak-anak ke dalam panti asuhan dan mendorong agar anak-anak tersebut diasuh
oleh keluarga, atau pengasuh lainnya. Bersama dengan Kementerian Sosial, organisasi SC berupaya meningkatkan mutu dari kegiatan yang telah dilakukan dengan cara memberikan pelatihan bagi staf Kementerian Sosial dan institusi rumah yatim piatu mengenai standar pengasuhan. Kegiatan ini dilakukan di daerah Jawa Barat, Lampung, jawa tengah, jawa timur, dan Kalimantan barat. Adapun program yang dimiliki organisasi SC dalam menangani kasus pekerja anak, khususnya kasus Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA) yaitu, EXCEED Project. EXCEED (Eliminate Exploitative Child labor through Education and Economic) merupakan sebuah program yang diusulkan oleh Organisasi SC kepada USDOL (United States Department Of Labor) untuk menangani kasus pekerja anak yang terjadi di Indonesia. Program tersebut dilakukan pada tanggal 30 September 2009 hingga 30 September 2013. Dengan donasi yang diberikan oleh USDOL36 sebesar USD 5.500.000,00. Adapun tujuan utama dalam EXCEED project tersebut adalah meminimalisir terjadinya kasus eksploitasi pekerja anak, termasuk bentukbentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Khususnya dalam bidang-bidang berikut: anak-anak yang berkerja sebagai pekerja sex komersial, pekerja rumah tangga anak, anak jalanan, anak-anak yang dipekerjaan di perkebunan (kelapa sawit). Adapun lokasi penelitian yang dilakukan untuk EXCEED project tersebut dilaksanakan di empat kota yaitu, Surabaya, Bandung, Lampung, dan Pontianak.
36
Lihat Lampiran 2, hlm. 85
Melalui program ini, SC akan mencegah anak-anak yang rentan terjerumus dalam kasus eksploitasi dan berusaha menarik kembali anak-anak yang telah terjerumus dari kasus eksploitasi pekerja anak dan memastikan anakanak tersebut diberikan layanan pendidikan. Program EXCEED ini, terdiri atas empat komponen untuk memenuhi tujuannya seperti Pelayanan Langsung, berkerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah setempat, meningkatkan kesadaran masyarakat setempat.
B. Kasus Pekerja Anak di Indonesia Pekerja Anak adalah anak yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi secara rutin dan mendapatkan imbalan atas kegiatan yang dilakukannya.37 Dalam penelitian ini, definisi anak mengacu pada Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan juga telah diadopsi oleh beberapa peraturan perundangan tentang perlindungan anak (UU NO. 23 tahun 2002) yaitu seseorang yang belum berumur 18 tahun. Anak-anak di Indonesia pada dasarnya dilindungi secara baik oleh undang-undang. Namun, yang menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia adalah penegakan hukum. Sebab, hingga saat ini di Indonesia masih banyak anak-anak yang bekerja dan memiliki resiko tinggi untuk menjadi korban berbagai bentuk pelecehan atau tindak kekerasan lainnya. Sebagaimana yang
37
Novi Widyaningrum dan Ekandari Sulistyaningsih, Laporan Pemetaan Dasar Pekerja Anak di Indonesia, Save The Children, Yogyakarta, 2011, hlm. 9.
dicatat dalam KOMNAS HAM (1998) bahwa38, “anak-anak yang bekerja pada gilrannya akan mengakibatkan sumber daya manusia berkualitas buruk bagi suatu bangsa.” Sesuai dengan isi Pasal 4 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.39 Undangundang tersebut merupakan bentuk dari hasil ratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC). Konvensi ini merupakan instrumen internasional di bidang Hak Asasi Manusia. CRC terdiri dari 54 pasal yang hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia khususnya bagi anak-anak yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Indonesia merupakan negara asal perdagangan orang, selain negara transit dan negara tujuan. United Nations Children Funds (UNICEF) memperkirakan bahwa sebanyak 100 ribu perempuan dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya, untuk dapat dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK) di Indonesia. Dan 30% dari PSK di Indonesia berusia
38
39
INTERNATIONAL LABOR ORGANIZATION: Pekerja Anak di Indonesia. diunduh dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_123584.pdf, hlm. 2. diakses pada 5 April 2014. KOMNAS Perlindungan Anak dan Save the Children, Mengenal Lebih Dekat UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2004, hlm.19
dibawah 18 tahun. sebanyak 40-70 ribu anak di Indonesia merupakan korban dari eksploitasi seksual.40 Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IOM Indonesia (International Of Migration), mencatat bahwa pada tahun 2008, sebanyak 3.127 korban perdagangan manusia. Dimana korban dengan proporsi 25,6% umur anak (laki-laki dan perempuan), 67,6% perempuan dan 6,7% laki-laki dewasa. Berdasarkan daerah asal, sebagian besar berasal dari Kalimatan Barat (707), Jawa Barat (650), Jawa Timur (384), Jawa Tengah (340), Nusa Tenggara Barat (217), Sumatera Utara (211), Lamung (157), Nusa Tenggara Timur (122), Sumatera Selatan (65), Banten (64), Sulawesi tengah (55), DKI Jakarta (42). Para korban tersebut, diperdagangkan di dalam negeri maupun ke luar negeri. Sebagian besar diperdagangkan ke Malaysia, Saudi Arabia, Singapura, Jepang, Syira, Kuwait, Taiwan, dan Irak.41 Dengan diperkerjakannya anakanak sebagai pekerja seks komersil, hal tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas hidup anak sebagai generasi penerus bangsa. Salah satu aspek penting untuk melihat kualitas anak adalah dari sisi pendidikan. Hasil Susenas42 (Survey Sosial Ekonomi Nasional) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa, anak usia 5-17 tahun yang berstatus sekolah
40
Sukawarsini Djelantik, Globalisasi, Migrasi Tenaga Kerja, Kejahatan Lintas Negara dan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak, Bandung, 2010, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol.6 No.2, Hlm.107 41 Ibid, Hlm. 108 42 Al Huda Yusuf dan Budi Santoso, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Profil Anak Indonesia 2011, CV. Miftahur Rizky, 2011, hlm. 2
sebesar 82,58 persen dan masih terdapat 8,12 persen yang tidak bersekolah lagi dan yang belum pernah sekolah sebesar 9,30 persen. Persentase anak usia sekolah yang masih bersekolah cukup tinggi, namun kualitas dari anak tersebut juga perlu untuk terus ditingkatkan demi terciptanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas bagi bangsa dan negara di masa depan. Hal tersebut dikarenakan masih adanya permasalahan terhadap akses pendidikan berkualitas bagi anak, terutama bagi anak keluarga miskin dan di masyarakat terpencil. Dampaknya dapat dilihat dari semakin meningkatnya kasus-kasus kekerasan, jumlah anak yang bermasalah dengan hukum, eksploitasi (termasuk trafficking) dan diskriminasi terhadap anak. Adapun bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Konvensi ILO 182, yaitu: a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dmanfaatkan dalam konflik bersenjata; b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau pertunjukan-pertunjukan porno; c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana yang diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak. Konvensi ILO tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi, Komite Aksi Nasional (KAN) untuk penghapusan bentuk-bentuk terburuk dari pekerja anak dibentuk melalui keputusan presiden Nomor 12 Tahun 2001.43 Komite Aksi Nasional (KAN) kemudian membentuk Rancangan Aksi Nasional (RAN) yang bertujuan untuk mencegah dan menghapuskan anak-anak yag terlibat dalam semua jenis bentuk-bentuk terburuk pekerja anak. Tidak semua jenis pekerjaan sifatnya berbahaya bagi anak-anak. Pekerja anak dikategorikan sebagai pekerjaan anak-anak yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan mereka atau berbahaya bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka. Sedangkan, berbeda halnya dengan pekerjaan ringan. Bila dipantau dengan seksama, hal tersebut dapat menjadi bagian penting untuk proses sosialisasi dan perkembangan anak-anak, dimana mereka belajar bertanggung jawab, dan merasa bangga atas prestasi mereka sendiri. Dengan cara ini, anak-anak mendapatkan keterampilan dan perilaku yang dibutuhkan bila mereka bekerja suatu hari nanti. Jenis pekerjaan ini bukanlah tidak memiliki risiko, namun pekerjaan ini umumnya bukan yang dimaksud dengan pekerja anak.
43
Lihat Lampiran 3, hlm. 86
Kekhawatiran diberikan kepada anak-anak yang kehilangan masa kecil mereka dan bahkan masa depan mereka. Hal tersebut dikarenakan anak-anak bekerja terlalu dini dengan jam kerja yang panjang hanya sekedar untuk memperoleh upah yang sedikit. Serta anak-anak yang bekerja pada kondisikondisi yang membahayakan kesehatan, fisik atau perkembangan mental mereka, terpisah dari keluarganya, atau kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pekerja anak seperti ini dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi para pekerja anak, serta melanggar undang-undang internasional dan juga melanggar undang-undang nasional. Terkait upaya perlindungan terhadap anak-anak dari pengaruh pekerjaan-pekerjaan
terburuk
bagi
anak,
Kepres
59
tahun
2002
mengidentifikasi 13 jenis pekerjaan terburuk bagi anak, antara lain: 1. Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur 2. Mempekerjakan anak-anak di pertambangan 3. Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara 4. Mempekerjakan anak-anak di bidang konstruksi 5. Menugaskan anak-anak di anjungan perkapalan ikan lepas pantai 6. Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung 7. Melibatkan anak-anak sebagai pembuat dan kegiatan yang membuat bahan peledak 8. Mempekerjakan anak-anak di jalanan 9. Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga
10. Mempekerjakan anak-anak di industry rumah tangga 11. Mempekerjakan anak-anak di perkebunan 12. Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan pengangkut kayu gelondongan dan kayu olahan. 13. Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Berdasaarkan Kepres 59 tahun 2002 tersebut, kasus pekerja anak dalam kegiataan prostitusi atau yang dikenal juga dengan ESKA (Eksploitasi Seksual Komersil Anak) sangat bertentangan dengan kovensi ILO 182 dan kepres 59 tahun 2002 di atas. Pengertian ESKA44 mengacu pada Konvensi Hak Anak, yang mana dalam kasus tersebut terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa, serta pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, maupun orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak, dalam kasus ini diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersil anak merupakan bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.
44
Ibid. Hlm. 11
ESKA diidentifikasi kedalam tiga bentuk, yaitu prostitusi anak, pornografi anak, dan perdagangan anak. Adapun pengertian dari masingmasing bentuk kasus ESKA, sebagai berikut45: a. Prostitusi Anak adalah tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tidakan seksual demi mendapatkan uang atau bentuk imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun. b. Porografi Anak adalah kegiatan mempertunjukkan apapun dengan melibatkan anak dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. c. Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual adalah proses prekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual, baik yang masih berada dalam wilayah suatu negara maupun lintas batas negara. Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di dunia khususnya di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan fenomena ESKA merupakan fenomena yang sulit untuk ditangani. Sebagaimana dalam aksinya, setiap pelaku yang melakukan Eksploitasi Seksual Anak memiliki berbagai cara atau modus operandi untuk dapat menjerumuskan anak-anak ke dalam prostitusi. Rata-rata yang menjadi korban ESKA adalah anak-anak yang berumur 13-18 tahun. Anak-anak tersebut 45
Ibid. Hlm. 12
seringkali menjadi obyek perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial. Namun, masalah ESKA sulit terindikasi karena pada umumnya kegiatan tersebut dilakukan secara tertutup dengan transaksitransaksi yang sulit diungkapkan. Kasus ESKA terjadi karena adanya daerah pengirim, penerima, dan daerah transit seperti yang tertera dalam tabel berikut: Tabel 1 Daerah Pemasok Perdagangan Anak Perempuan
Daerah Pemasok Anak-anak Perempuan yang diterjunkan ke Industri Seks Komersial di Indonesia Provinsi Jakarta Jawa Timur
Jawa Tengah
Daerah Daerah-daerah sekitar Jakarta Jember, Banyuwangi, Situbondo, Sampang (Madura), Gresik dan Nganjuk
Lampung
Jepara, Pati, Purwodadi-Grobogan, Pekalongan, Banyumas, Cirebon, Wonogiri, Semarang, Solo, Wonogiri, Pemalang dan Boyolali Indramayu, Garut, Sukabumi, Kerawang, Banjarnegara, Bandung, Subang, Bogor, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Cirebon, dan Bekasi Desa-desa di sekitar Lampung
Sumatera Barat
Pariaman
Pontianak
Singkawang
Sumatera Utara Sulawesi Utara
Kec. Tembung, Kec. Belawan, Binjai, Belawan, Medan Manado
Sulawesi Tenggara
Kendari
Daerah lain di luar Pulau Jawa
Palembang, Makasar, Bali, dan Samarinda
Jawa Barat
Sumber: Irwanto, Perdagangan Anak Indonesia, ILO, 2001, hal.51
Pada tahun 2009, International Labor Organization (ILO) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data mengenai jumlah Pekerja Anak di Indonesia. Dimana anak yang berumur 10-17 tahun mencapai 35,7 juta. Dan berdasarkan jumlah tersebut 10% diantaranya (3,7 juta) dikategorikan sebagai pekerja anak. Sedangkan dalam pelaksanaan EXCEED program untuk kasus ESKA di empat daerah di Indonesia (Bandung, Surabaya, Lampung, dan Pontianak), terdapat data kasus ESKA yang terjadi di masing-masing daerah pada tahun 2011 sebagai berikut: Tabel 2 Jumlah Kasus ESKA di Empat Kota
Kasus ESKA NO
Wilayah Laki-laki
Perempuan
1
Bandung
4
46
2
Surabaya
37
33
3
Lampunng
-
50
4
Pontianak TOTAL:
170
Sumber: Save The Children, 2011.
Dari 170 anak yang dilacurkan, 96 anak (56%) menyatakan bahwa kedua orangtua mereka masih lengkap. Sedaangkan 27 anak (16%) menyatakan hanya salah satu dari kedua orangtuanya yang masih hidup. 4 anak (2%) tidak
mengungkapkan siapa dari salah satu orangtuanya yang masih hidup. Sedangkan 46 anak (27%) lainnya diketahui sudah tidak memiliki kedua orangtua.46 Tingkat pendidikan anak-anak yang terjerumus dalam kasus ESKA tercatat sebanyak 65 anak dari 170 (15 laki-laki dan 50 perempuan) atau 38% anak yang menjadi subjek penelitian berstatus masih bersekolah. Adapun anakanak yang berstatus putus sekolah sebanyak 105 anak atau 62%. Alasan anak putus sekolah yang dikemukakan oleh anak, sebagian besar menyatakan bahwa orangtua mereka tidak mampu membiayai, serta adapun yang menyatakan malas atau tidak suka bersekolah. Berdasarkan hasil pemetaan dasar yang dilakukan oleh Organisasi SC bahwa, 106 anak (29 laki-laki dan 77 perempuan) atau 62% dari 170 anak yang menjadi subyek survey 4-8 jam dalam sehari. Sedangkan 44 anak, (9 laki-laki dan 35 perempuan) menyatakan bahwa mereka melakukan kegiatannya di bawah 4 jam. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel di berikut ini :
46
Ibid. hlm.93
Tabel 3 Lamanya Waktu Kegiatan
Waktu Bekerja Surabaya
Bandung
Lampung
L
P
L
L
1-3 Jam
9
13
4-8 Jam
25
14
>8 Jam
2
Sub Total
37
TOTAL
(Per Hari) P
4
P
L
P
20
2
9
35
19
44
29
77
1
1
41
129
1 33
Total
70
4
46 50
50 50
170
Sumber: Save The Children, 2011.
Kegiatan di dalam prostitusi tentu sangat berbeda dengan kegiatankegiatan ekonomi lainnya seperti pelayan toko, pelayan restaurant, buruh pabrik, pekerja anak dalam industry rumah tangga, dan lain-lain. Dalam penelitian yang dilakukan oleh organisasi SC, anak-anak yang dilacurkan, memiliki alokasi waktu yang sangat beragam. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi durasi waktu kegiatan tersebut seperti status pendidikan (masih bersekolah atau sudah putus sekolah), status tempat tinggal anak (tinggal bersama orang tua atau tidak), memiliki kegiatan ekonomi lain atau tidak, bekerja di bawah pengawasan atau control dari pihak lain. Sementara itu, alasan anak bekerja untuk mendapatkan uang, dikemukakan oleh 164 anak dari 170 yang telibat dalam survey. Sedangkan jawaban yang diberikan oleh anak bisa lebih dari satu. Hasil tersebut terdapat dalam tabel di berikut ini :
Tabel 4 Alasan Anak Bekerja
Alasan
Surabaya
Bandung
Lampung
L
P
L
L
Di ajak/disuruh keluarga
1
8
Diajak teman
26
18
Diajak
orang
lain
P
Total
P
L
P
8
10
1
26
4
34
28
30
80
9
1
4
6
1
19
3
1
2
3
5
yag
dikenal Diajak orang lain yang 2 tidak dikenal Membantu
membayar 1
1
hutang orang tua Melamar
langsung
ke 4
5
majikan Ditipu/terperdaya
6
4
Sub Total
35
43
Total
78
2 6
52 56
49
6
6
41
142
49
Sumber: Save The Children, 2011.
Berdasarkan tabel di tersebut, alasan anak-anak mencari penghasilan merupakan faktor pendorong anak-anak untuk bekerja. Adapun faktor-faktor pendorong terjerumusnya anak-anak dalam kasus ESKA, sebagai berikut47:
47
Odi Shalahuddin dan Hening Budiyawati, Laporan Studi Mengenai Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak di Empat Kota, Save the Children, Yogyakarta, 2011, hlm.8
183
1. Kondisi Ekonomi, khususnya kemiskinan di pedesaan yang diperberat oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan penggerusan disektor pertanian; 2. Perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan pertumbuhan pusatpusat industri di perkotaan; 3. Ketidaksetaraan jender dan praktek-praktek diskriminasi; 4. Tanggung jawab anak untuk mendukung keluarga; 5. Peningkatan konsumtifisme; 6. Disintegrasi keluarga; 7. Pertumbuhan jumlah anak gelandangan; 8. Tidak adanya kesempatan pendidikan; 9. Tidak adanya kesempatan kerja; 10. Diskriminasi terhadap etnis minoritas; 11. Meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa masuk ke perdagangan seks. Dari sekian banyak kasus pekerja anak yang terjadi di negara-negara berkembang, faktor utama yang menyebabkan anak-anak bekerja adalah faktor kemiskinan. Para pekerja anak memutuskan untuk bekerja disebabkan karena mengetahui bahwa keluarga mereka membutuhkan uang, ataupun pengaruh dari teman-teman mereka untuk bergabung dengan mereka di jalan atau di lokasi lain. Adapun permintaan pasar terhadap para pekerja anak dikarena anak-anak biasanya lebih patuh, penurut, dan lebih murah dalam pemberian upah
dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak tidak membutuhkan investasi jangka panjang di bidang industri, dalam hal asuransi atau jaminan sosial. Selain itu, para pekerja anak yang murah dianggap sebagai elemen penting bagi industriindustri yang hendak mempertahankan persaingan mereka di pasar nasional maupun internasional. Anak-anak tidak memiliki kekuasaan dan terkesan lebih “pendiam” atau patuh dalam hal hak-hak mereka sebagai pekerja. Anak-anak sering lebih disukai bekerja di industri-industri, bekerja dengan teknologi sederhana (belum sempurna) yang mengharuskan pekerjaan dilakukan secara berulang-ulang atau membutuhkan tenaga yang besar dengan jam kerja yang lama. Selain itu, ada pula anak-anak yang bekerja kaerena adanya paksaan dari orangtuanya. Dalam hal ini, kemungkinan orang tua sang anak dalam keadaan yang sangat tertekan. Para orang tua mereka mungkin tidak merasa bahwa hasil jangka panjang yang diperoleh dari pendidikan, jauh lebih menguntungkan daripada hasil ekonomi jangka pendek serta keterampilan yang diperoleh dari pekerjaan anak. Dan juga, pendidikan untuk anak-anak miskin mungkin terlalu mahal, sulit dijangkau, bermutu rendah atau dianggap tidak relevan. Di tingkat pendidikan dasar, putus sekolah merupakan salah satu persoalan tersendiri dalam upaya penuntasan wajib belajar sembilan tahun. Putus sekolah didefinisikan sebagai seseorang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan atau berhenti bersekolah dalam suatu jenjang pendidikan sehingga
belum memiliki ijazah pada jenjang pendidikan tersebut48. Anak-anak yang putus sekolah juga sangat rentan akan terjerumus ke kasus pekerja anak. Berikut ini adalah faktor-faktor penarik anak-anak yang terjerumus dalam kasus ESKA49: 1. Jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut anakanak; 2. Praktek-praktek pekerja anak termasuk kerja paksa (bondage labor); 3. Permintaan dari wisatawan seks atau pedofil 4. Promosi internasional mengenai industri seks anak melalui teknologi informasi; 5. Ketakutan akan penyakit AIDS yang membuat pelanggan menginginan perempuan yang masih perawan atau lebih muda usianya 6. Kehadiran militer yang menciptakan kebutuhan terhadap pelacuran anak; 7. Permintaan dari para pekerja migran. Adapun dampak-dampak dari kasus ESKA yang dihadapi anak-anak yang menjadi korban ESKA: 1. Kekerasan bersifat fisik, mental, seksual, dan dalam lingkungan sosial. 2. Kehamilan yang tidak dikehendaki 3. Ancaman penyakit menular seksual atau terinfeksi HIV/AIDS
48 49
Al Huda Yusuf dan Budi Santoso, Op.Cit, hlm.64 Ibid, hlm.9
4. Terabaikannya pendidikan 5. Trauma bagi korban, serta dikucilkan dari lingkungan sekitar Berdasarkan dampak-dampak dari kasus ESKA di atas, terdapat 4 (empat) anak yang menjadi subjek penelitian dalam EXCEED program yang telah mengidap penyakit PMS (Penyakit Menular Seksual)50, dan 1 anak di Surabaya yang mengaku telah terinfeksi HIV/AIDS. Adapun anak-anak yang mengkonsumsi rokok, minuman keras, obat-obatan dan berbagai jenis NAPZA, telah banyak dilakukan oleh anak-anak. Bahkan dalam kasus ini, anak-anak tersebut telah mengkonsumsinya sebelum terjerumus ke dalam kegiatan prostitusi. Ketergantungan akan obat-obat terlarang ini juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak rentan akan terjerumus ke dalam kegiatan prostitusi. Dampak-dampak
kasus
ESKA
tersebut
menyebaban
terjadinya
penurunan terhadap kualitas hidup anak. Khususnya dalam bidang kesehatan dan pendidikan anak. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa anak-anak adalah generasi penerus dan menjadi penentu kualitas suatu bangsa di masa depan.
1. Gambaran Umum Lokasi ESKA di Empat Kota Surabaya Surabaya merupakan ibukota Propinsi Jawa Timur yang merupakan kota besar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Sejarah industry seks di Surabaya 50
Ibid, Hlm.98
muncul sekitar tahun 1884, bersamaan dengan kegiatan pembangunan kereta api. Pada tahun 1950, Bangunrejo yang merupakan sebuah kompleks pelacuran di Surabaya, merupakan salah satu lokalisasi terbesar di Asia. Pada saat ini, lokalisasi turut berpindah ke kawasan lain seperti Dolly. Pada tahun 2004 organisasi buruh internasional atau yang lebih dikenal dengan ILO (International Labor Organization) mencatat bahwa jumlah Pekerja Seks Komersial di Surabaya51 sebanyak 12,432 PSK. Dan 2,329 (18%) diantaranya adalah anakanak yang dilacurkan. Bandung Bandung adalah Ibukota dari Jawa Barat. Bandung juga dikenal sebagai pusat mode dan perbelanjaan. Dengan banyaknya mall dan factory outline yang tersebar di kota ini. Sejarah pelacuran di Bandung, hampir serupa dengan berbagai daerah di Jawa, yaitu adanya perluasan areal perkebunan dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api yang membuat terjadinya migrasi tenaga kerja besar-besaran, khususnya kaum laki-laki. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah lelaki yang masih bujang atau belum berkeluarga. Selama pembangunan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Yogyakarta,Surabaya di tahun 1884. Tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tetapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan
51
Ibid, hlm. 37
dan fasilitas lainnya. Untuk itu, tak heran jika kasus pelacuran semakin kompleks. Bandar Lampung Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi Lampung. Provinsi ini terletak di bagian paling selatan dari pulau Sumatra. Wilayah ini, merupakan salah satu daerah tujuan bagi kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah pada masyarakat di daerah jawa. Keberadaan anak-anak yang dilacurkan di kota Bandar Lampung, berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Advokasi Anak (LADA) yang merupakan mitra kerja dari organisasi SC ini, mencatat bahwa di tahun 2009 terdapat 200 anak yang dilacurkan masih berumur 15-17 tahun. 4. Pontianak Pontianak merupakan ibukota provinsi Kalimantan Barat, yang secara geografis kota ini terletak di lintasan garis khatulistiwa. Sehingga kota ini dijuluki juga sebagai Kota Khatulistiwa atau Kota Equator. Secara Administrasi kota Pontianak ini, di bagi atas 5 kecamatan dan 27 kelurahan. Pontianak dikenal sebagai kota yang tidak pernah memiliki tempat Rehabilitasi Sosial (Resos) bagi para pekerja Seksual Komersial. Meskipun praktek prostitusi mudah dijumpai di berbagai tempat. Tidak adanya data mengenai ESKA menunjukkan bahwa pemerintah di kota Pontianak belum memberikan perhatian, dan belum melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi persoalan tersebut.
Berdasarkan data kasus ESKA di empat kota, kasus ESKA di kota Pontianak tidak berhasil didapatkan. Pada dasarnya penelitian yang dilakukan oleh organisasi SC akan dilakukan di empat kota, namun dalam melakukan penelitian di kota Pontianak terkendala dalam melakukan survey. Hal tersebut dikarenakan mitra kerja organisasi SC di Pontianak mengalami permasalahan internal, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya. Hal tersebut menyebabkan tidak diperolehnya data mengenai anak-anak yang terjerumus kasus ESKA di Pontianak. Adapun layanan EXCEED yang diterima oleh anak-anak yang terjerumus kasus ESKA52 dan terlibat dalam penelitian ini, mendapatkan layanan berupa program pendidikan (81,9%). Yang mendapatkan layanan kesehatan 84,4%. Dan karena kasus ESKA bekerja dalam situasi terburuk bagi anak, maka organisasi SC menyediakan layanan konsling, Home Visit dan pemberian shelter. Program konseling telah diperoleh oleh 77,8% anak, sedangkan home visit diterima oleh 69,4% anak. Sementara program shelter telah melayani 71,1% ESKA.
52
Novi Widyaningrum dan Ekandari Sulistyaningsih, Op.Cit, hlm.80
BAB IV PERAN ORGANISASI SAVE THE CHILDREN DALAM PENANGANAN KASUS PEKERJA ANAK DI INDONESIA
A. Strategi Organisasi Save the Children dalam Penanganan Kasus Pekerja Anak di Indonesia Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989, melalui Keputusan Presiden No.36 tahun 1990. Dengan diratifikasinya KHA tersebut, berarti Indonesia telah menyatakan persetujuannya untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam KHA sebagai bagian dari hukum nasional. KHA adalah salah satu instrument Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan standar minimal yang wajib dipenuhi oleh Negara tehadap anak-anak. Sebagai Organisasi Internasional, Save The Children yang merupakan organisasi non-pemerintah yang memiliki tujuan utama dalam menangani berbagai permasalahan anak di negara-negara berkembang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam konsep organisasi internasional yang dikemukakan oleh Teuku May Rudi53 bahwa, Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya 53
Teuku May Rudy, Administrasi & Organisasi Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 19
tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antar pemerintah dengan pemerintah, maupun antara negara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda. Berdasarkan konsep organisasi internasional tersebut, dapat dikatakan bahwa organisasi SC merupakan salah satu organisasi internasional. Hal ini dikarenakan organisasi SC adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang berdiri di Inggris pada tahun 1919, dan masuk ke berbagai negara-negara berkembang yang salah satunya adalah Indonesia. Oleh karena itu organisasi SC ini area kerjanya di negara-negara berkembang, maka sudah pasti melintasi batas-batas negara. Untuk itu organisasi SC dapat dikategorikan sebagai organisasi internasional. Sebagai negara berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara tujuan Organisasi SC dalam melaksanakan berbagai program-programnya. Untuk menjalakan program-program yang dimilikinya, organisasi SC harus mendapatkan izin dari pemerintah negara tujuannya dan sebagai organisasi internasional, sudah seharusnya untuk mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di Negara setempat. Sebagai organisasi intenasional yang fokus menangani permasalahan anak di negara berkembang, organisasi SC memiliki sebuah program khusus dalam menangani kasus pekerja anak. Sebagaima yang telah di atur dalam konvensi ILO, pekerja anak mencakup semua orang yang berusia 5-17 tahun (di bawah 18 tahun), yang selama jangka waktu tertentu, terlibat dalam suatu atau lebih dari kegiatan yang dikategorikan berikut:
1. Bentuk-bentuk terburuk pekerja anak54 2. Pekerjaan dibawah usia minimum untuk bekerja (18 tahun). Terkait kasus ESKA, Organisasi SC yang telah melaksanakan sebuah program di empat kota di Indonesia sepeti Surabaya, Bandung, Bandar Lampung, dan Pontianak. EXCEED program (Elimination eXploitative Child Labor through Education & Economic Development) merupakan salah satu program organisasi SC di Indonesia yang khusus menangani kasus pekerja anak di Empat kota tersebut. Dalam penanganan kasus pekerja anak, khususnya ESKA, strategi yang dilakukan organisasi SC dalam menjalankan programnya antara lain seperti: 1. Melakukan penjangkauan (Outreach). Dalam melakukan kegiatan penjangkauan ini, staff SC di lapangan mencoba memberi informasi dan sosialisasi mengenai EXCEED program yang dilaksanakan oleh organisasi SC tersebut. Pihak organisasi SC juga melakukan screening, dalam hal ini dimaksudkan untuk memilah yang mana termasuk kategori ESKA dan yang tidak termasuk kategori ESKA. 2. Menyediakan layanan konseling bagi para korban. Dalam menyediakan layananan konseling, pihak organisasi SC berusaha untuk mendengar dan memberikan saran/masukan terhadap masalah-masalah yang tengah dihhadapi anak-anak korban ESKA. Layanan konseling tersebut dilakukan dengan didampingi oleh dokter/psikiater dari 54
Lihat Bab III, hlm.38
masing-masing kota yang menjadi tempat penelitian organisasi SC. Hal ini bertujuan untuk mencari jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak korban ESKA. Menurut penulis, layanan konseling yang dilakukan organisasi SC kepada para korban ESKA tersebut sangatlah bermanfaat. Hal ini dikarenakan dengan adanya layanan konseling tersebut, para tim peneliti dapat mengetahui bagaimana dapat terjerumus ke dalam kasus ESKA, dan juga anak-anak korban ESKA tersebut akan mendapatkan saran-saran dari psikiater yang menjadi pendamping para tim peneliti selama melakukan kegiatan konseling. Dengan adanya layanan konseling ini, anak-anak korban ESKA dapat menceritakan berbagai permasalahan yang dihadapinya, sehingga anak-anak tersebut akan merasa memiliki tempat untuk berbagi. Dengan adanya layanan ini juga, para tim peneliti dapat mengetahui langkahlangkah apa yang akan ditempuh selanjutnya untuk menangani permasalah anak-anak korban ESKA tersebut. 3. Memberikan layanan kesehatan. Layanan kesehatan yang dilakukan oleh SC berupa pemeriksaan IMS (Infeksi Menular Seks), dan HIV/AIDS bagi para korban. Layanan kesehatan yang dilakukan oleh organisasi SC ini diberikan secara gratis bagi anak-anak korban ESKA. Layanan kesehatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit yang kerap kali dihadapi anak-anak korban ESKA.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab III mengenai dampak-dampak yang dialami oleh anak-anak korban ESKA55, pada poin ke tiga (3) yang menjelaskan bahwa; “Dampak yang ditimbulkan dari kasus ESKA adalah ancaman penyakit menular seks atau terinfeksi HIV/AIDS”. Hal inilah yang mendasari organisasi SC membuat layanan kesehatan bagi anak-anak korban ESKA. Sehingga para tim peneliti dapat segera memberikan layanan kesehatan lebih lanjut apabila terdapat anak-anak korban ESKA yang terjangkit penyakit menular atau terinfeksi HIV/AIDS. 4. Memberikan layanan pendidikan. Layanan pendidikan diberikan kepada anak-anak korban ESKA yang putus sekolah. Dalam pemberian layanan pendidikan ini, organisasi SC membentuk tim pengajar yang khusus untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak korban ESKA tersebut. Sehingga anak-anak yang putus sekolah masih terus dapat melanjutkan pendidikan dengan mengikuti program paket A, B, maupun C. Dalam melakanakan program layanan pendidikan ini, organisasi SC bekerjasama dengan Dinas pendidikan di daerah setempat. Layanan pendidikan ini dilakukan dengan tujuan untuk membatu pemerintah setempat dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan adanya layanan pendidikan ini, anak-anak korban ESKA dapat melanjutkan pendidikan mereka yang sempat terbengkalai. Sebagaimana yang telah
55
Bab III, hlm.51
jelaskan juga pada bab III mengenai dampak dari adanya kasus ESKA56 pada poin ke empat (4) yaitu: “Dampak yang ditimbulkan dari kasus ESKA adalah terabaikannya pendidikan”. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya anakanak putus sekolah yang dikarenakan terjerat kasus ESKA. 5. Melakukan Home Visiting. Layanan Home Visiting dilakukan untuk melihat kondisi keluarga korban. Tim SC melakukan kegiatan Home Visiting atau kunjungan langsung terhadap anak-anak korban ESKA. Hal ini bertujuan untuk melihat secara langsung kondisi dan lingkungan dimana anak-anak yang menjadi korban ESKA tersebut tinggal. Berdasakan penjelasan sebelumnya mengenai faktor-faktor pendorong anak-anak bekerja57; kondisi ekonomi, diskriminasi keluarga, peningkatan konsumtifisme. Dengan adanya faktor-faktor pendorong anak-anak bekerja, khususnya anak-anak yang bekerja dalam kegiatan ESKA, penulis menganggap bahwa kegiatan home visiting perlu untuk dilakukan. Dengan adanya kegiatan home visiting tersebut, tim peneliti dari organisasi SC dapat mengetahui bagaimana situasi dan kondisi lingkungan sekitar korban ESKA tinggal. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa lingkungan sekitar turut mempengaruhi anak-anak tersebut untuk terjerumus ke dalam kasus ESKA.
56 57
Ibid Lihat Bab III, hlm.49
6. Melakukan metode 3R (Right, Responsibilities, and Representative) Kegiatan ini diberikan kepada anak-anak korban ESKA, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman bagi anak-anak untuk menghindari terjadi hal serupa yang pernah dialaminya. Hal ini dilakukan agar anak-anak tersebut tidak lagi terjerumus kedalam kasus ESKA. Dengan adanya kegiatan ini, anak-anak korban ESKA diberikan pemahaman mengenai bahaya dan dampak-dampak dari kasus ESKA. Sehingga anak-anak korban ESKA tersebut harus lebih waspada agar tidak kembali terjerumus kedalam kegiatan ESKA. 7. Layanan Shelter Layanan shelter merupakan layanan yang diberikan terhadap anakanak korban ESKA. Shelter merupakan sebuah tempat tinggal sementara yang dibuat untuk para korban ESKA dengan jangka waktu tertentu dan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Anak masih dalam proses hukum b. Anak tidak berani pulang ke rumah c. Anak yang memiliki keluarga di luar daerah d. Anak yang hamil dan keluarganya belum siap untuk menerimanya. Shelter bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi anak dan juga sebagai tempat belajar anak untuk bias menjadi anak yang lebih baik secara fisik dan psikis.
Menurut penulis, layanan shelter sangatlah bermanfaat bagi anak-anak korban ESKA. Hal ini dikarenakan layanan shelter dapat dikatakan sebagai tempat rehabilitasi bagi anak-anak korban ESKA yang tentu saja mengalami trauma. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya pada bab III mengenai dampak yang ditimbulkan dengan adanya kasus ESKA58; trauma bagi korban dan dikucilkan dari lingkungan sekitar. Untuk itu, layanan shelter sangatlah dibutuhkan bagi korban ESKA. Sebagaimana yang diketahui bahwa anak-anak korban ESKA seringkali dikucilkan dalam dari lingkungannya. Berdasarkan pemaparan di atas, strategi-strategi yang dilakukan oleh organisasi SC tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menarik anak dari dunia ESKA. Sedangkan peranan dari organisasi SC dalam penanganan kasus pekerja anak, sebagaimana konsep peran dari NGO yang telah dikemukakan pada bab I yang menjelaskan bahwa: Organisasi Non-Pemerintah juga memiliki peran penting yaitu, dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mempromosikan sikap menghormati norma, mengubah perilaku negara, mengawasi perjanjian-perjanjian yang telah disepakati, kompromi-kompromi yang dibuat, dan hasil-hasil yang dicapai dengan berbagai cara terutama lembaga-lembaga yang menangani berbagai isu yang kompleks.59 Berdasarkan pada konsep peran NGO tersebut, penulis menganalisis mengenai peranan organisasi SC dalam penanganan kasus pekerja anak di Indonesia.
58 59
Ibid Walter Carlsnaes, et.al, Handbook Hubungan Internasional, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm.421
1. Kampanye Melalui Media Media sebagai salah satu saluran komunikasi yang merupakan alat dan sarana yang dapat mempermudah untuk memperoleh informasi. Dalam hal ini, kampanye memiliki beberapa tujuan untuk memperkenalkan sebuah isu yang hendak disampaikan ataupun pengingatan kembali terhadap isu yang hendak disampaikan. Sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi SC dalam menjalankan melakukan kampanye anti pekerja anak yaitu, dengan memberikan informasi baik melalui media sosial, maupun media cetak. Pada kasus pekerja anak, Organisasi SC bersama KOMNAS Anak menerbitkan beberapa buku mengenai pekerja anak di Indonesia. Hal tersebut juga merupakan salah satu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh SC dan KOMNAS Anak dalam memerangi kasus ESKA. Melalui pemanfaatan media yang dilakukan oleh organisasi SC dalam penanganan kasus pekerja anak di Indonesia dalam berbagai bentuk, yaitu: a. Pembuatan buku mengenai perlindungan anak, “Mengenal Lebih Dekat UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak”. Buku ini diterbitkan atas kerjasama organisasi SC dengan KOMNAS Perlindungan Anak. Buku ini dapat diperoleh melalui donasi sebesar Rp.30.000 per buku. b. Merchandise. Organisasi SC melakukan kampanye melalui poster-poster, gelas, kalender, dan berbagai kerajinan tangan yang dapat diperoleh dengan donasi sebesar Rp. 20.000 – 40.000.
c. Penerbitan buku yang berjudul “Suara-suara Dunia Senyap”, yang merupakan catatan pengalaman anak-anak yang bekerja. Buku ini, diterbitkan atas kerjasama organisasi SC dengan Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat. Barang-barang tersebut diperjual belikan terhadap seluruh lapisan masyarakat. Hasil dari penjualan tersebut merupakan bentuk donasi masyarakat terhadap kegiatan organisasi SC dalam menjalankan kegiatannya.
2. Melakukan Monitoring Dalam melakukan kegiatan monitoring, terkait dengan kasus pekerja anak khususnya ESKA, Organisasi SC melakukan kerjasama dengan sesama NGO di masing-masing daerah. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah jalannya program kerja yang dilakukan oleh SC. Monitoring ini bertujuan untuk mengawasi dan membantu pemerintah daerah dalam menegakkan hukum, khususnya dalam meminimalisir terjadinya kasus ESKA di empat kota tersebut. Selama melakukan kegiatan monitoring terkait kasus ESKA terdapat persoalan yang dianggap tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan anak. Maksudnya adalah, tindakan yang umum dilakukan di setiap kota yang melakukan razia-razia terhadap keberadaan para pekerja seks komersial yang berpraktek di tempat-tempat umum dan dinilai sebagai praktek prostitusi liar. Belum adanya kebijakan apabila dalam razia-razia tersebut diketahui ada
anak-anak,
sehingga
kecenderungannya
mereka
diperlakukan
sama
sebagaimana orang dewasa. Respon pemerintah ditingkat propinsi, kota/kabupaten dinilai belum memadai. Hal tersebut dikarenakan tidak tersedianya data yang pasti mengenai kasus ESKA serta, Kebijakan dari tingkat pusat belum atau tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah setempat seperti Rencana Aksi Propinsi atau Kota/Kabupaten dan pembentukan gugus tugas untuk mengatasi masalah ESKA. 3. Kerjasama dengan Pemerintah dan NGO Dalam upaya penanganan kasus pekerja anak, khususnya kasus ESKA yang ditangani oleh organisasi SC tersebut, tidak terlepas dari kerjasama dengan berbagai pihak. Baik pihak pemerintah setempat, maupun dengan NGO. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II, mengenai relasi INGO dengan pemerintah di negara host, dan juga relasi antara INGO dengan NGO di negara host. Pada dasarnya INGO (International Non-Government Organization) dan NGO (Non-Government Organization) sama. Kedua organisasi tersebut samasama merupakan organisasi non-pemerintah. Yang membedakan hanyalah wilayah kerjanya saja. Untuk itu, dalam menjalakan EXCEED Program di empat kota, Organisasi SC bekerjasama dengan pihak pemerintah dan juga turut bekerjasama dengan beberapa NGO di daerah setempat. Adapun NGO yang merupakan mitra kerja organisasi SC tersebut adalah Lembaga Advokasi Anak (LADA) dan
Children Crisis Centre (CCC) di Lampung, Yayasan Masyarakat Sehat (YMS) dan Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) di Bandung, serta Yayasan Abdi Asih di Surabaya. Sedangkan Lembaga pemerintah yang menjadimitra kerja SC di empat kota tersebut antara lain sebagai berikut : a. Pontianak : Dinas Sosial dan tenaga kerja kota Pontianak, Dinas Kesehatan kota Pontianak, Polresta Pontianak. b. Lampung : Binmas Pol PP kota Bandarlampung, Pelayanan dan rehabilitasi Sosial Dinas Sosial kota Bandarlampung. c. Bandung : Bidang Penyidik Satpol PP kota Bandung, Kasi Tuna Sosial Dinas Sosial Bandung, dan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polrestabes kota Bandung. d. Surabaya : Dinas Sosial Kota Surabaya, dan Satpol PP Kota Surabaya. Berdasarkan banyaknya mitra kerja SC di empat kota tersebut, dapat dilihat bahwa sebagai organisasi internasional, SC telah melakukan kerjasama dengan berbagai NGO dan pemerintah setempat dalam menjalankan programnya. Hal ini bertujuan untuk mempermudah organisasi SC untuk melakukan penelitian dan menjalankan program tersebut. Dengan adanya kerjasama-kerjasama dari berbagai pihak tersebut, dapat dikatakan bahwa organisasi SC medapatkan respon yang positif dari pihak pemerintah setempat dan berbagai kalangan. Sehingga cukup mempermudah para tim peneliti dari SC dalam menjalankan programnya di masing-masing daerah.
Dalam kasus ESKA anak-anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersial dianggap sebagai korban eksploitasi anak. Sedangkan orang yang menerima jasa dari anak tersebut dianggap sebagai pelaku tindak kejahatan. Hal ini dikarenakan anak-anak dengan usia di bawah dari 18 tahun, masih dianggap belum memiliki pola pemikiran yang matang. Sehingga sangatlah mudah untuk diperdaya, sehingga sangat rentan akan terjerumus ke dalam kasus eksploitasi anak. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak pada pasal 82 bahwa60: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling sedikit 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Sedangkan, para pelaku ESKA yang bekerja sebagai penyalur anakanak ke dalam kasus ESKA juga telah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak pada pasal 83, yang menyatakan bahwa61 : Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculikanak untuk diri sendiri atau dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan dengan denda paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Selama menjalankan program EXCEED, respon pemerintah di tingkat pusat dinilai sangat positif dengan menempatkan posisi anak sebagai korban. 60
Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Save the Children, Mengenal Lebih Dekat UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2004, hlm 48 61 Ibid
Sedangkan pihak yang memanfaatkan seksualitas anak telah ditempatkan sebagai pelaku kriminal.62 Namun, di sisi lain, respon pemerintah di tingkat propinsi, kota/kabupaten dinilai belum memadai. Ada berbagai kebijakan di tingkat pusat, belum ditindak lanjuti oleh pihak pemerintah daerah setempat seperti Rencana Aksi Propinsi atau Kota/Kabupaten dan pembentukan Gugus Tugas untuk mengatasi masalah ESKA.
B. Hambatan Organisasi Save the Children dalam Penanganan Kasus Pekerja Anak di Indonesia Dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi internasional nonpemerintah, organisasi SC juga menghadapi berbagai hambatan dalam penanganannya. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari narasumber, bapak Bambang Ertanto selaku Deputy Program Manager EXCEED, menyatakan bahwa, Dalam menjalankan EXCEED program, Organisasi NonPemerintah yang menjadi mitra kerja organisasi SC sangat mendukung selama proses di lapangan. Sehingga para peneliti dapat bertemu dan melakukan wawancara dengan anak-anak yang terjerat kasus ESKA. Namun, masalah juga terdapat beberapa faktor yang menghambat organisasi SC dalam
62
Odi Shalahuddin dan Hening Budiyawati, Laporan Studi Mengenai Eksploitasi Seksual Komersil Anak di Empat Kota, Save The Children, Yogyakarta, 2011, hlm.123
menangani kasus Eksploitasi Seksual Komersil (ESKA) di empat kota tersebut63, antara lain : 1.
Masalah yang dihadapi oleh SC adalah ketika menggali data dan informasi di instansi pemerintah setempat, semua menyatakan tidak memiliki data tertulis mengenai ESKA. Informasi diketahui lebih banyak berkaitan dengan Pekerja Seks Komersial, bukan secara khusus mengenai Eskploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA). Dengan tidak dimilikinya data tertulis mengenai kasus ESKA yang terjadi di empat kota tersebut (Bandung, Pontianak, Surabaya, dan Lampung) dapat dikatakan bahwa pemerintah di daerah setempat masih kurang memberikan perhatian mengenai kasus ESKA. Hal tersebut dikarenakan, informasi yang diperoleh lebih cenderung kepada kasus Pekerja Seks Komersial. Sedangkan pada dasarnya, kasus ESKA dan kasus Pekerja Seks Komersial berbeda (batasan usia pekerja). Jadi, jika informasi yang diperoleh mengenai kasus ESKA lebih cenderung mengarah kepada kasus Pekerja Seks Komersial, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan razia-razia yang dilakukan oleh pihak pemerintah setempat tidak memperhatikan kepentingan anak. Sehingga dalam melakukan kegiatan razia tersebut, anak-anak yang terjerumus
63
Hasil Wawancara dengan Bambang Ertanto, Deputy Manager EXCEED Program, melalui Media Elektronik (Email), tanggal 10 Maret 2014
kasus ESKA tersebut cenderung diperlakukan sama layaknya para Pekerja Seks Komersial yang telah berusia dewasa (diatas 18tahun). 2. Adanya permaalahan internal yang terjadi pada mitra kerja SC di Pontianak. Di mana dalam pengumpulan data dan informasi primer, organisasi Save the Children melakukan 4 (empat) cara yaitu, Survey, Pengamatan, Kelompok diskusi terarah, dan Wawancara. a. Survey : Survey direncanakan akan berlangsung di empat wilayah, yaitu Pontianak, Bandar Lampung, Bandung dan Surabaya. Namun, pada pelaksanaannya, kegiatan survey di Pontianak tidak berjalan. Hal ini dikarenakan mitra kerja organisasi SC mengalami masalah internal, sehingga mereka tidak dapat bekerja dalam menjalankan fungsinya. Namun, pada pengambilan data di luar survey, tim peneliti tetap bekerja walaupun tanpa bantuan dari mitra organisasi SC di Pontianak. Pada pelaksanaan survey tersebut, seluruh tim
peneliti dan para
enumerator telah dibekali instrument pertanyaan yang harus diajukan kepada anak-anak yang menjadi subjek survey. Sebagai standar etika dari penelitian yang melibatkan anak-anak, para tim peneliti berserta enumerator berkewajiban untuk memberi informasi dasar mengenai tujuan dilaksanakannya survey, untuk kemudian meminta anak memberikan pernyataan kesediaan (informed consent) tertulis berdasarkan form yang telah disediakan sebagai subyek survey.
Pada Form tersebut, dinyatakan kesediaan anak untuk memberikan keterangan berdasarkan pengalaman, pendapat atau pandangan lain sesuai dengan yang dialami. Serta kesediaan untuk dikutip dan dipublikasikan semua keterangan atau pernyataan yang disampaikan oleh korban baik secara lisan, maupun tulisan. Sehubungan dengan kepentingan publikasi, anak-anak tersebut juga memberikan pernyataan setuju atau tidak setujuuntuk diungkap identitasnya. Namun sekalipun anak-anak tersebut menyatakan setuju untuk dapat diungkapkan identitasnya, para tim peneliti tetp mengacu kepada kebijakan perlindungan anak untuk menjaga kerahasiaan identitas anak. b. Pengamatan : Pengamatan dilakukan oleh tim peneliti selama kunjungan ke empat kota yang menjadi wilayah penelitian. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui lokasi-lokasi kegiatan yang diindikasi sebagai tempat bekumpulnya anak-anak yang dilacurkan. Di Pontianak, pengamatan dilakukan di tiga café, tujuh hotel, dan tempat spa serta di beberapa lokasi di jalanan atau ruang public. Di Bandar Lampung, pengamatan dilakukan di sepanjang Jalan Saburai, sebuah pusat perbelanjaan, dan diskotik, serta lokalisasi Pantai Harapan. Di Bandung, pengamatan dilakukan di seputar alunalun, dua mall, tempat karaoke, dan diskotik. Sedangkan di Surabaya,
pengamatan dilakukan di tempat-tempat mangkal atau berkumpulnya prostitusi jalanan. c. Kelompok Diskusi Terarah : Kelompok Diskusi Terarah atau KDT, dilakukan bersama anak-anak yang dilacurkan dan organisasi nonpemerintah. Kegiatan ini tidak dilangsungkan di semua tempat. Pada KDT bersama anak-anak, ini hanya dilangsungkan di Bandung dan Surabaya. Sedangkan KDT dengan organisasi non-pemerintah hanya dilakukan di Bandar Lampung dan Bandung. Kelompok Diskusi Terarah yang dilakukan bersama Organisasi Non-Pemerintah yang dilaksanakan di Bandar Lampug, pada 14 oktober 2010 dengan Lembaga Advokasi Anak (LADA). Sedangkan, diskusi kelompok terarah bersama Organisasi Non-Pemerintah
yang dilaksanakan di
bandung dilakukan 2 (dua) NGO yaitu Yayasan Mitra Sehat (YMS) dan Koalisi Anti Pemiskinan (KAP) yang berlangsung pada tanggal 20 Oktober 2010. d. Wawancara
:
Wawancara
dilakukan
dengan
para
pemangku
kepentingan. Hal ini dilakukan untuk menggali informasi pada aparat pemeritah setempat. Informasi tersebut, terkait dengan kebijakan dan pelaksanaan
dalam
menangani
persoalan
ESKA.
Sedangkan,
wawancara yang dilakukan bersama para mucikari/germo dilakukan untuk menggali informasi mengenai situasi dan kondisi ESKA yang diketahui di sekitar mereka.
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat 2 (dua) kendala utama yang dihadapi oleh organisasi SC dalam menjalankan EXCEED program. Yaitu, pihak pemerintah setempat tidak memiliki data tertulis megenai kasus ESKA. Sedangkan hambatan lain yang dialami oleh organisasi SC, terjadi pada permasalahan internal mitra kerja organisasi SC di Pontianak. Hambatan yang terjadi di kota Pontianak tersebut, menyebabkan mitra kerja organisasi SC tersebut tidak dapat membantu proses di lapangan, termasuk tidak menjalankan survey di kota ini. Namun, pihak organisasi SC berinisiatif untuk menghubungi anggota NGO lain yang pernah dikenal untuk dapat terlibat dan membantu, terutama dalam melakukan pengamatan di tempat-tempat yang dijadikan sebagai tempat mangkal atau tempat berkumpulnya anak-anak yang dilacurkan. Sehingga, kegiatan lainnya masih tetap dapat dilaksanakan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan survey di kota Pontianak guna proses pengumpulan data, tim peneliti dari organisasi SC tidak dapat melaksanakan kegiatan secara maksimal. Kegiatan survey di kota Pontianak tidak berhasil dilaksanakan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mitra kerja SC di Pontianak mengalami permasalahan internal. Untuk itu pada tabel64 survey mengenai jumlah kasus ESKA di empat kota, Pontianak merupakan satu-satunya kota yang menjadi tempat penelitian SC yang tidak memiliki angka pasti mengenai jumlah kasus ESKA. 64
Lihat tabel 2, Jumlah Kasus ESKA di Empat Kota, bab III, hlm. 45
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Strategi organisasi SC dalam penanganan kasus pekerja anak di Indonesia dapat dilihat dari program kerja organisasi SC. Program yang dimaksudkan adalah EXCEED (Eliminate Exploitative Child Labor through Education and Economic Development). Program tersebut dilaksanakan di empat kota yaitu Pontianak, Bandar Lampung, Bandung, dan Surabaya. Pada pelaksanaannya, organisasi SC bekerjasama dengan pihak pemerintah setempat dan organisasi SC juga memiliki mitra kerja sesame NGO di masing-masing kota tersebut. Dalam pelaksanaan program EXCEED di lapangan, yang pertama dilakukan oleh tim peneliti dari organisasi SC adalah melakukan penjangkauan/Outreach yang didampingi oleh mitra kerjanya untuk dapat bertemu langsung dengan anak-anak yang menjadi korban ESKA. Setelah kemudian mengadakan penjangkauan, tim penelitipun melakukan kegiatan survey guna mendata berapa saja anak yang menjadi korban ESKA dan bersedia untuk diminta keterangannya. Setelah melakukan kegiatan survey tersebut barulah organisasi SC bersama dengan mitra kerjanya melaksanakan programnya yaitu memberikan sosialisasi kepada anak-anak yang terjerumus kasus ESKA, serta masyarakat setempat mengenai bahaya dan dampak dari
kasus ESKA. Anak-anak tersebut juga diberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan diberikan keterampilan khusus bagi anak-anak, serta diberikan pelayanan konseling. 2. Hambatan yang dihadapi oleh organisasi SC dalam penanganan kasus pekerja anak di Indonesia, khususnya kasus ESKA adalah pihak pemerintah setempat tidak memiliki data statistic ataupun data tertulis mengenai kasus ESKA di daerah masing-masing. Hambatan lain yang dihadapi oleh organisasi SC adalah pada pelaksanaan EXCEED program di kota Pontianak. Pada pelaksanaannya, mitra kerja NGO dari organisasi SC yang berada di Pontianak sedang mengalami permasalahan internal. Sehingga NGO tersebut tidak dapat menjalankan fungsi,
yang
menyebabkan organisasi SC tidak dapat menjalankan kegiatan survey di Kota Pontianak tersebut. Namun, pihak organisasi SC berinisiatif untuk menghubungi anggota NGO lain yang pernah dikenal untuk dapat terlibat dan membantu, terutama dalam melakukan pengamatan di tempat-tempat yang dijadikan sebagai tempat mangkal atau tempat berkumpulnya anakanak yang dilacurkan. Sehingga, kegiatan lainnya masih tetap dapat dilaksanakan. Pada prakteknya masih banyak persoalan ESKA yang ditangani tanpa memperhatikan kepentingan anak. Sebagaimana yang biasanya dilakukan di setiap kota/kabupaten yaitu melakukan razia terhadap keberadaan para pekerja seks komersial (PSK) yang melakukan
praktek di tempat-tempat umum dan dinilai sebaga praktek prostitusi liar. Belum adanya kebijakan yang mengatur apabila dala razia-razia yang dilakukan tersebut diketahui adanya anak-anak. Sehingga, mereka lebih cenderung diperlakukan sama sebagaimana orang dewasa.
B. SARAN Kasus
Human
Trafficking
atau
perdagangan
manusia,
khususnya kasus eksploitasi yang terjadi pada perempuan dan anak-anak, kasus tersebut sangatlah memerlukan upaaya-upaya dan kerjasama dari berbagai pihak dalam menanggulanginya. Mengingat bahwa kasus ekploitasi terhadap manusia merupakan permasalahan global yang seringkali melintasi batas-batas negara dalam kegiatannya. Pemberian hukuman bagi pelaku perdagangan manusia dan kampanye-kampanye mengenai perdagangan manusia, khususnya eksploitasi anak, harus terus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masayarakat mengenai bahaya dan dampak dari kasus tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis mengungkapkan saran-saran sebagai berikut : 1. Dalam penanganan kasus pekerja anak yang dilakukan oleh organisasi SC di kota Pontianak, terkendala oleh adanya permasalahan internal yang dialami oleh mitra SC di Pontianak. Untuk itu, penulis menyarankan agar organisasi SC dapat memperluas jaringan kerjasamanya. Jadi, mitra kerja
SC di suatu daerah yang menjadi tempat penelitian SC minimal memiliki 2 atau 3 mitra kerja di masing-masing daerah. Hal ini dimaksudkan, agar mencegah terjadinya permasalahan internal yang dihadapi oleh mitra kerja SC. Jadi, apabila salah satu dari mitra kerja SC mengalami permasalahan baik itu permasalahan internal maupun eksternal, tidak akan menghambat berjalannya program kerja, karena masih ada mitra kerja lainnya yang masih dapat membantu SC dalam menjalankan programnya tersebut. 2. Diperlukan adanya penyediaan data statistik, dan situasi anak-anak yang terjerumus kasus ESKA yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Dan juga mendorong lahirnya Peraturan Daerah di tingkat propinsi dan Kota/kabupaten serta pembentukan Gugus Tugas untuk penanganan korban ESKA. 3. Pemerintah setempat perlu meningkatkan kerjasama dengan berbagai organisasi-organisasi non-pemerintah dan organisasi internasional untuk membuat program-program guna meningkatkan kesadaran masyarakat megenai masalah eksploitasi anak.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Budiyawati Hening dan Odi Shalahuddin, 2011, Laporan Studi Mengenai Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak di Empat Kota, Save The Children, Yogyakarta,. Carlsnaes, Walter., Thomas Risse, dan Beth A Simmons, 2013, Handbook Hubungan Internasional, Media Nusa, Bandung. Culla, Adi Suryadi, 2006, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, LP3ES, Jakarta. Eddyono, Supriyadi W, 2005, Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta. Jackson, Robert. dan Georg Sorensen, 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. KOMNAS Perlindungan Anak dan Save the Children, 2004, Mengenal Lebih Dekat UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta. Peu Ghosh, 2009, International Relations, PHI, New Delhi. Rudy, Teuku May, 2009. Administrasi dan Organisasi Internasional. PT Refika Aditama, Bandung. Suherman, Ade, 2003, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Suryokusumo, Sumaryo, 2012, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. PT.Alumni. Bandung. Tim Permata Press, Permata Press.
2012, „Undang-Undang HAM‟: UU Perlindungan Anak, .
Widyaningrum, Novi dan Ekandari Sulistyaningsih, 2011, Laporan Pemetaan Dasar Pekerja Anak di Indonesia, Save The Children, Yogyakarta.
Yusuf, Al Huda dan Budi Santoso, 2011, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Profil Anak Indonesia CV. Miftahur Rizky, Jakarta
Artikel dalam Jurnal: Diah, Ayu, 2012, “What is International Relations?”, UNAIR, Diunduh dari http://diah_faid-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-59025-PIHIWhat%20is%20International%20Relation%201st%20Jurnal.html Djelantik, Sukawarsini, Globalisasi, 2010, Migrasi Tenaga Kerja, Kejahatan Lintas Negara dan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol.6 No.2, Bandung, KOMPAS. 10 Oktober 2001. dalam Kusumawardhani. 2010. Human Trafficking: „Pola Pencegahan dan Penanggulangan terpadu terhadap perdagangan perempuan‟. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI. Jakarta. Diunduh dari http://km.ristek.go.id/assets/files/LIPI/1135%20D%20S/1135.pdf, Kusumawardhani, 2010, Human Trafficking: “Pola Pencegahan dan Penanggulangan terpadu terhadap perdagangan perempuan”, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, Jakarta. Diunduh dari http://km.ristek.go.id/assets/files/LIPI/1135%20D%20S/1135.pdf Ratri Simunar, Prastika, 2009, „Human Trafficking, Persoalan kita bersama‟, Universitas Islam Indonesia, Diunduh dari http://communication.uii.ac.id/images/artikel/mahasiswa/Human%20Traficking, %20Persoalan%20Kita%20Bersama.pdf
Dokumen: ECPAT International Report. 2010. “Memperkuat Hukum Penanganan Eksploitasi Seksual Anak”. terj. Oleh KONAS PESKA. Indonesia. Diunduh dari http://www.ecpat.net/ei/Publications/Legal_Reform/Strengthening_law_CSEC_ Bahasa.pdf
IOM International Report. 2010. Analisa Kebijakan Program Penanggulangan Perdagangan Orang dan Penularan HIV pada Perempuan dan Remaja Putri di Indonesia. International Of Migration Indonesia: Jakarta. Diunduh dari http://www.iom.or.id/reports/ind/TraffickingHIV%20Report%202010%20%28bhs%29.pdf UNICEF INDONESIA: Konvensi Hak Anak, diunduh dari http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_ version.pdf
Internet: Gugus Trafficking. Organisasi Internasional: „Save the Children Organization‟, diunduh dari http://bit.ly/1a4xjnB. INTERNATIONAL LABOR ORGANIZATION: Pekerja Anak di Indonesia. diunduh dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/--ilo-jakarta/documents/publication/wcms_123584.pdf
ABSTRAK Andi Amalia Pallawarukka, E131 10 101 dengan judul skripsi “Peran Organisasi Save The Children dalam Penanganan Kasus Pekerja Anak di Indonesia” di bawah bimbingan Adi Suryadi selaku pembimbing I dan Husain Abdullah sebagai pembimbing II. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi organisasi Save the Children dalam penanganan kasus pekerja anak di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apa saja hambatan yang dialami oleh organisasi Save the Children dalam penanganan kasus pekerja anak. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif. Sementara itu, teknik pengumpulan data dihimpun dari data primer dan sekunder. Data primer diolah dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap beberapa informan. Data sekunder diolah dari buku, jurnal, laporan tertulis, majalah, dan dokumen-dokumen lainnya yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi yang dilakukan oleh organisasi Save the Children dalam penanganan kasus pekerja anak tersebut adalah dengan membuat EXCEED program (Eliminate Exploitative Child Labor trough Education and Economic). Sedangkan Hambatan yang dialami oleh organisasi Save the Children selama menjalankan program tersebut adalah mitra kerja organisasi Save the Children di Pontianak mengalami permasalahan internal sehingga tim peneliti tidak dapat menjalankan kegiatan survey di daerah Pontianak. Kata Kunci : Organisasi Internasional, Organisasi Non-Pemerintah, Organisasi Save the Children, Pekerja Anak, Eksploitasi Seksual Komersil Anak
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI ........................................... iii ABSTRAK ........................................................................................................ iv KATA PENGANTAR ...................................................................................... v DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................................... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... D. Kerangka Konseptual ...................................................................... E. Metode Penelitian ............................................................................
1 6 8 9 13
BAB II. TELAAH PUSTAKA A. Hak Asasi Manusia ......................................................................... 16 B. Organisasi Internasional .................................................................. 20 1. Kerjasama Organisasi Internasional Non-Pemerintah dengan Pemerintah di Negara Host ............................................ 28 2. Kerjasama Organisasi Internasional Non-Pemerintah dengan NGO di Negara Host ..................................................... 29
BAB III. ORGANISASI SAVE THE CHILDREN DAN KASUS PEKERJA ANAK DI INDONESIA A. Organisasi Save The Children di Indonesia .................................... 31 1. Profil Singkat .............................................................................. 31 2. Program Kerja Organisasi Save The Children di Indonesia ……. 34 B. Kasus Pekerja Anak di Indonesia .................................................... 37 1. Gambaran Umum Lokasi ESKA di Empat Kota ........................ 53 BAB IV. STRATEGI DAN HAMBATAN ORGANISASI SAVE THE CHILDREN DALAM PENANGANAN KASUS PEKERJA ANAK DI INDONESIA A. Strategi Organisasi Save The Children dalam Penanganan Kasus Pekerja Anak di Indonesia ................................................... 1. Kampanye Melalui Media ......................................................... 2. Melakukan Monitoring .............................................................. 3. Kerjasama dengan Pihak Pemerintah dan NGO ....................... B. Hambatan Organisasi Save The Children Dalam Penanganan Kasus Pekerja Anak di Indonesia ...................................................
57 65 66 67 70
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................... 76 B. Saran ............................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80
KATA PENGANTAR Bismilahirrahmanirrahim Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya karena atas berkah dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan dengan diselesaikannya skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Peran Organisasi Save The Children dalam Penanganan Kasus Pekerja Anak di Indonesia” yang ditujukan untuk menempuh ujian sidang sarjana strata 1 (S1) pada program studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Dalam proses pengerjaan dan penyusunan skripsi ini tak lepas dari bantuan, dukungan dan do‟a dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kata pengantar ini penulis hendak menghaturkan rasa terima kasih yang setinggitingginya kepada pihak tersebut. Meskipun ini tak cukup mewakili rasa syukur dan terima kasih penulis, namun biarkan Allah yang membalas segala kebaikan mereka. Ucapan terima kasih dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati serta penghargaan setingg-tingginya diberikan kepada : 1. Kedua orang tua Penulis, Ayahanda Andi Pallawarukka, SH., MH dan ibunda Aida Hasyim. Gelar ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya yang tak kenal lelah dalam memberikan do‟a dan dukungan kepada saya. Terima kasih karena senantiasa membimbing dan mendidik saya agar menjadi pribadi yang lebih baik. Me love both of you! 2. Adik-Adik Penulis, Andi Rahmiah Nanda, Andi Trie Fitriani, dan Andi Achmad Fauzan. Terima kasih karena kalian telah menjadi adik-adik yang baik. Semoga kita dapat terus membanggakan kedua orang tua kita.
3. Tante cerewetku yang tersayang Nilawati dan juga sepupuku yang rese Maipa, terima kasih untuk semua motivasi dan do‟a yang kalian berikan. 4. Pembimbing I Bapak Dr. H. Adi Suryadi B., MA dan Pembimbing II Bapak Drs. H. Husain Abdullah., M.Si yang telah banyak membantu penulis selama proses pengerjaan skripsi dan selalu memberikan motivasi bagi penulis agar dapat menyelesaikan studi dengan baik. 5. Dosen-Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Ibu Puspa, Pak Patrice, Pak Gego, Pak Bur, Pak Nasir, Pak Darwis, Ibu Isda, Ibu Seniwati yang telah membagikan ilmunya selama penulis menempuh studi. Terkhusus kepada Pak Aspi yang telah banyak membantu penulis selama proses penyelesaian skripsi serta banyak mengajarkan bagaimana menjadi penulis yang baik. Kepada Kak Rahma dan Bunda yang telah banyak membantu penulis dalam pengurusan berkas akademik. 6. Teman-teman tercintaku, Egin Dwijayanti Machsus, Ade Suryaningsih, Vina Guwen Pangemanan, Andi Warlia Yulinda, Ulfa Yuninda, Jeanne Sanda Lembang. Terima kasih karena kalian telah menjadi teman-teman terbaikku, sekaligus teman-teman ter-pakbals ku. Salam rempong guys, sayangki :* 7. Teman-teman arisanku, Ayu Pandan Suri, Rere Marjan, Irmaya Pratiwi, Fitrianti, Basri Cyin, Indah Usman. Don‟t stop „Arisannya‟ komandan hehe 8. Kepada sahabat-sahabatku yang tersayang, BYBA. Chintya Sinaga, S.IP yang ter-RESE diantara yang RESE. Semoga drama kehidupanmu berakhir dengan indah. Salam buat klapetart ta‟ yang. Putri Erfya Humaerah, S.IP yang sampai saat ini belum kunjung merasakan indahnya jatuh cinta, semoga segera dipertemukan dengan lelaki yang „mungkin‟ beruntung itu. Miau! Chelsy Yurista, S.IP yang drama percintaannya entah akan dibawa kemana. *dikandatto* hahaha Semoga sukses di negeri orang ya nak. Siti Mutmainna Gaffar, S.IP gadis multi-talentaku, teman senasib seper-jomblo-an. Semoga sukses dengan karya-karyanya kaka ina. Andi Amirah Fuadiah, S.IP yang suaranya paling cempreng, yang ngomong tidak pakai spasi. Satu ji doaku buat
kaka ami, semoga segera dapat restu orang tua. kak, seragam kak. Tri Novitasari, S.IP daeng koro-koronya aku, yang suaranya subhanallah sekali, semoga dilancarkan dalam menggapai cita-citanya menjadi finalis Indonesian idol. Muahahhaha :D Nurul Hidayah, S.IP gadis aussie-ku, yang rapa-rapa sekali bawa motor -.- Semoga dilancarkan juga usahanya untuk melanjutkan studinya di Aussie. Aamiin. Sayangki semua BYBA. Bring Your Brain Always! 9. Kepada seluruh teman-teman terbaikku, HI 2010, HITEN. teman-teman seperjuanganku. Yang tercinta, tersayang, dan terkasih Megawati Irawan, terima kasih buat gadis internasionalku, semoga dimudahkan dalam urusan skripsinya. Sukses selalu ya bu presenter! Dan untuk Geng-gong sarjana bulan Juni, Nana Narundana, semoga tidak lagi terjebak ke dalam drama percintaan yang salah. Andi Hasan Alhusain, duta pariwisata Bulukumba. Ayu Kartika dan Irma Arfianty Akob teman seperjuangan revisi, teman seperguruan, seperbimbingan. Widyadara Ayu teman senasib sepenanggungan, mulai dari ujian proposal hingga ujian skripsi :* Rere Anwar, Anita Novianti, Yuyun Rasulong, Ade Apriliany, salam S.IP. Kepada senior sarjana bulan maret, Nini Salwa yang sudah dengan sabar dan tabah dalam membantu pembuatan skripsi ini, makasih kaka nini. Citra Nayasari yang katanya tidak lama lagi dipinang, janganki lupa seragam kaka. Dan kepada teman-teman HITEN yang sebentar lagi akan segera sarjana, Fahmi jangan mi terlalu buru-buru kerja skripsi, ada ji nanti kak rahma tunggui ko selesai ujian :‟) Maul jangan tagih-tagih ka HD, sudah ku lunasi janjiku. Krisna yang selalu siap sedia menemani kaka lia bimbingan ke pak aspi, terima kasih kaka. Mail semoga cepat sembuh kaka mail, skripsi menanti. Nunu yang galaunya tak kunjung berakhir, salam buat nenekmu yaa. Buccha yang baik hati selalu jemput kaka lia kalau lagi tidak ada kendaraan, thankyou nah. Ikbal semangatki skripsinya, semoga bisa taklukkan hatinya „pace‟, salamakki. Julian yang tidak kenal waktu main COC. Fiqhy yang sabar nah, semoga cacang dibukakan hatinya, dan segera memberi restunya. Vian dan Appu Cell apa kabar? Didi yang kini berprofesi sebagai penyiar radio dengan berbekal popup
card abal-abal. Ignas yang tidak bisa jauh dari didi, yang sabar ya nak. Maju terus pantang mudur. Apakah! Daus cie yang rajin lari tapi nggak ada yang ngejar. Evan KAHIMAAA!! Langgeng ki sama „teman hidup‟ ta yang sekarang nah. Eki sang pujaan hatinya amirah, idolanya ibu-ibu darma wanita imigrasi pare-pare. Windy designer berbakat yang HITEN miliki. Jiji tabe‟ karaeng. Aini Hola mem! Mully kamu kemana aja bah? Kak dito yang terobsesi jadi „Mas Bram‟. Radit sukses selalu buat band DOD-nya. Juned pelawaknya HITEN. Dita halo sahabak! Hendra yang telah menjadi model top-nya ballezza. Kiki teruslah berimajinasi nak. Syahrul salam perjuangan kanda! Nune, Nining, Kak Mamad, semoga anak-anaknya kalian bisa menjadi generasi penerusnya HITEN. Sayangki semua HITEN KU, me love you to the moon and back! 10. Keluarga besar HIMAHI. Terimakasih atas segala cerita dan pembelajaran yang diberikan. Kak Inna, Kak Dila, Kak Dissa, Kak Dwi, Kak Riri yang membuat penulis belajar banyak hal. Special thanks buat KAK SATKAR ULAMA, terima kasih sudah menjadi pembimbing „bayangan‟ ku nah kak. Sampai ketemu lagi! Ade 2011 yang selalu mendadak lapar. Aumi, Nur, Indah, Inggrid cepat sarjana gadis-gadis cantik. Kepada kakak-kakak, adik-adik dan teman-teman HIMAHI yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya dengan segala kerendahan hati permohonan maaf penulis haturkan apabila ada hal yang kurang berkenan. Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Sekali lagi terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan do‟a kepada penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Wassalamu‟alaikum Wr.Wb
DAFTAR TABEL
No
Teks
Halaman
Tabel 1
Daerah Pemasok Perdagangan Anak Perempuan
45
Tabel 2
Jumlah Kasus ESKA di Empat Kota
46
Tabel 3
Lamanya Waktu Kegiatan
48
Tabel 4
Alasan Anak Bekerja
49
DAFTAR LAMPIRAN No
Teks
Halaman
Lampiran 1
Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak
83-84
Lampiran 2
Project Document Under USDOL and Save The Children Federation, INC Coorporation Agreement
85
Lampiran 3
Keputusan Presiden No.12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan Anak
86-92
PERAN ORGANISASI SAVE THE CHILDREN DALAM PENANGANAN KASUS PEKERJA ANAK DI INDONESIA
Skripsi
Disusun Oleh: Andi Amalia Pallawarukka E 131 10 101
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN 2014