BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering dijumpai. Hasil survei the Beaver Dam Study mendapatkan prevalensi miopia sebesar 26,2% (Wang dkk.; 1994), The Baltimore Eye Survey di Baltimore mendapatkan prevalensi miopia pada dewasa sebesar 22,7% (Katz dkk.; 1997). Lim dkk. (2005) melaporkan prevalensi miopia di Singapura mencapai 30% - 65% populasi dan untuk Indonesia Saw dkk. (2002) melaporkan prevalensi miopia sebesar 48,1%. Hasil survei Riskesdas 2013 melaporkan proporsi ketersediaan koreksi refraksi (kacamata atau lensa kontak) sebesar 4,6% dan prevalensi low vision 0,9% (Kemenkes RI, 2013). Derajat
miopia berdasarkan dioptrinya dibagi menjadi 3 yaitu miopia ringan
(< -3 Dioptri), miopia sedang (-3 sampai dengan -6 Dioptri) dan miopia berat/tinggi (> -6 Dioptri). Prevalensi miopia tinggi di dunia kira-kira 0,3% - 9,6% dan di populasi orang muda Asia prevalensi miopia tinggi bahkan mencapai 16%. Laporan dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi miopia tinggi
cenderung
meningkat. Peningkatan prevalensi miopia tinggi ini perlu mendapat perhatian karena didapatkan kelainan di retina dan koroid pada 30% - 70% penderita miopia tinggi (McBrien dkk., 2001). Laporan Dimitrova dkk. (2002) dan Flitcroft dkk. (2005) menyebutkan bahwa kelainan refraksi sering kali terkait dengan terjadinya abnormalitas struktur dinding bolamata (retina, koroid dan sklera). Dikemukakan pula oleh Curtin (1985) dan Jonas dkk. (2004) bahwa perubahan degeneratif banyak dijumpai pada sumbu bolamata > 26 mm atau setara dengan miopia tinggi.
1
Salah satu kelainan mata yang
terkait dengan miopia dan
berpotensi
menyebabkan kebutaan adalah glaukoma sudut terbuka primer (GSTaP) (Leung dkk. (2006).
Mitchell dkk. (1999) mendapatkan hubungan yang
kuat antara GSTaP
dengan miopia, dengan Rasio Odd 2,3 pada miopia ringan ( ≥ - 1,0 sampai < - 3,0 D) dan Rasio Odd 3,3 pada mata miopia sedang- tinggi ( ≥ - 3,0 D). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan laporan Grodum dkk. (2001) yang menyebutkan individu dengan miopia berisiko 2-3 kali lebih sering menderita glaukoma dibanding non miopia. Mata miopia mempunyai probabilitas menjadi glaukoma 1/35, lebih tinggi dibanding mata emmetropia (1/70) atau mata hiperopia (1/183) (Curtin, 1985). Prevalensi glaukoma pada miopia berbeda-beda pada berbagai penelitian, berkisar antara
7,5% - 28% dan prevalensi ini meningkat seiring dengan bertambahnya
panjang sumbu bola mata.
penyakit tidak terdeteksi
Perubahan pd SSR (tak terdeteksi) Kematian sel ganglion & hilangnya akson peningkatan apoptosis
penyakit asimtomatik
perubahan SSR (terdeteksi) perubahan LP pd SWAP
Perubahan LP pd SAP
kegagalan fungsi
kebutaan
perubahan LP (berat)
perubahan LP (sedang)
normal
Gambar 1. Glaukoma adalah penyakit neurodegeneratif yg dapat berlangsung dari kondisi tidak terdeteksi sampai muncul gejala dan menimbulkan gangguan fungsi. Pada awal perjalanan penyakit perubahan awal di dalam retina dan N. Optikus seringkali asimtomatis dan tidak terdeteksi dengan tes-tes diagnostik yang ada. Kepastian diagnosis menunggu sampai didapatkan tanda klinis penyakit yang jelas. Pada saat itu seringkali kerusakan yang terjadi sudah irreversibel.( SSR= serabut saraf retina; SWAP= short wavelength automated perimetry; SAP= standart automated perimetry; LP= lapang pandang ).
(adaptasi dari http://www.alleyesonglaucoma.com). 2
Mata miopia memiliki sumbu bolamata lebih panjang dan ruang vitreus lebih dalam (Scott dan Grosvenor, 1993; Saw dkk., 2005) yang disebabkan oleh peregangan dinding bolamata (sklera, koroid dan retina). Pemanjangan sumbu bolamata terjadi karena abnormalitas pertumbuhan (Curtin, 1985) dan
kerentanan (susceptibility)
terhadap kenaikan tekanan intra okular (TIO) (Liu dkk., 2002). Pada mata dengan kondisi demikian sering didapatkan nisbah cup:disc yang lebar, penipisan serabut saraf retina (SSR) dan abnormalitas (Dimitrova, 2002).
lamina cribrosa serta disfungsi vaskuler
Perubahan-perubahan akibat pemanjangan sumbu bolamata
membuat mata miopia lebih rentan terhadap perubahan glaukomatosa (Fong dkk., 1990; Jonas dkk., 2004 ; Saw dkk., 2005; Lim dkk., 2005; Leung dkk., 2006; Lou dkk., 2006). Miopia telah diketahui merupakan salah satu faktor risiko GSTaP namun tidak mudah untuk mengetahui apakah pada seorang penderita miopia telah mulai terjadi proses kerusakan glaukomatosa. Perjalanan penyakit yang berlangsung kronis insidous dan tidak disertai rasa sakit
menyulitkan untuk mendeteksi defek
glaukomatosa pada tahap dini dan baru diketahui setelah kerusakan struktural dan fungsional cukup bermakna (Gambar 1). Glaukoma sudut terbuka primer (GSTaP) adalah sindroma yang ditandai dengan neuropati optik glaukomatosa, degenerasi sel-sel ganglion retina dan aksonaksonnya
disertai defek lapang pandang yang khas dengan sudut iridokornealis
terbuka. Diagnosis GSTaP
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan struktural dan
fungsional papil N Optikus dan ketebalan SSR (Stamper dkk., 2009). Prevalensinya paling tinggi di seluruh dunia dibandingkan tipe glaukoma lain (Quigley dan Broman, 2006; Leske, 2007; Loyo-Berrios dan Blustein, 2007) dengan rasio kurang lebih 3:1 dibandingkan dengan glaukoma sudut tertutup (Stamper dkk., 2009) . 3
Kebutaan akibat glaukoma bersifat permanen dan merupakan
penyebab
kebutaan ke dua terbanyak setelah katarak (Quigley, 2005; Quigley dan Broman, 2006; Loyo- Berrios and Blustein, 2007).
Prevalensi penderita glaukoma
cenderung
meningkat, sebagaimana dilaporkan oleh Quigley dan Broman (2006) bahwa pada tahun 2010 diperkirakan ada 60 juta orang di dunia menderita glaukoma, baik sudut terbuka maupun sudut tertutup dan diperkirakan 8,4 juta orang diantaranya akan mengalami kebutaan. Pada tahun 2020 diperkirakan akan ada kurang lebih 80 juta penderita glaukoma. Grus dan Sun (2008) mengemukakan bahwa perlu waktu kurang lebih 10 tahun sejak mulai terjadi perubahan di tingkat seluler sampai muncul tanda klinis yang dapat dideteksi (Gambar 1). Deteksi adanya perubahan glaukomatosa pada individu yang memiliki faktor risiko dapat mencegah atau memperlambat terjadinya kebutaan akibat glaukoma. Patogenesis GSTaP bersifat multifaktorial dan sampai saat ini masih belum diketahui pasti. Mekanisme kerusakan sel-sel ganglion retina dan akson-akson pada GSTaP diduga terjadi dalam 2 fase. Fase pertama adalah degenerasi sel akibat trauma primer yang dapat berupa TIO yang tinggi
atau disfungsi vaskuler yang
menyebabkan kematian sebagian sel-sel ganglion retina dan aksonnya. Fase kedua terjadi karena efek toksik produk
degenerasi neuron primer ditambah keadaan
abnormal yang masih tetap berlangsung. Degenerasi sekunder terjadi lebih lambat namun lebih hebat dan meluas ke sel-sel dan serabut-serabut akson di sekitarnya sehingga kerusakan menjadi lebih luas dan berat (Caprioli, 2007; Agarwal, 2009).
4
Pengaruh genetik
immunitas normal
autoimunitas ringan
autoimunitas patologis
gejala/tanda klinis
Faktor-faktor lingkungan
Gambar 2. Fase dalam perkembangan kelainan autoimunitas. Autoimunitas normal berkembang menjadi autoimunitas ringan karena pengaruh genetik dan lingkungan. Selanjutnya reaksi autoimun ringan berkembang menjadi autoimunitas patogenik. Gejala dan tanda klinis muncul segera setelah terjadi autoimunitas patogenik. (adaptasi dari Arbuckle dkk., 2003).
Salah satu faktor yang diduga ikut berperan dalam degenerasi sekunder pada glaukoma adalah faktor adanya
imunologis. Kesimpulan
perubahan profil autoantibodi alamiah
ini berdasarkan pada
temuan
(Gramlich dkk., 2013) atau
peningkatan antibodi terhadap protein okuler tertentu di dalam serum dan humor aquos penderita glaukoma (Reichelt, 2000). Pada dasarnya individu sehat memiliki profil kompleks antibodi alamiah yang bersifat
stabil sepanjang periode
kehidupannya. Profil antibodi alamiah ini dapat digunakan sebagai baku-emas untuk dibandingkan dengan profil antibodi penderita penyakit imun tertentu (Grus dkk., 2004; Grus dan Sun, 2008; Cojocaru dkk., 2009; Nagele dkk., 2013). Perubahan profil autoantibodi secara taat azas didapatkan pada
penderita glaukoma tekanan normal
(GTN) maupun glaukoma tekanan tinggi (GSTaP) dari ras yang berbeda (Grus dkk, 2006; Grus dan Sun, 2008). Protein okuler yang memicu pembentukan antibodi dapat berasal dari struktur seluler serabut saraf retina, N. Optikus atau matriks ekstra seluler.
5
Tabel 1 menyajikan
antibodi yang didapatkan pada penderita glaukoma
dari
berbagai penelitian. Arbuckle (2003) dan Grus dkk. (2006) mengemukakan bahwa adanya antibodi tertentu mungkin tidak secara langsung bertanggung jawab atas munculnya penyakit autoimun namun adanya antibodi tertentu atau profil antibodi tertentu sering kali menandai adanya penyakit pada individu yang memiliki faktor risiko walau secara klinis tampak sehat (Gambar 2). Berbagai penelitian telah
melaporkan
adanya
perubahan profil antibodi di dalam humor akuos dan serum penderita GSTaP. Gramlich dkk., (2013) mengemukakan bahwa masih belum diketahui apakah antibodi anti protein okuler itu merupakan penyebab atau akibat penyakit, namun perubahan profil antibodi tersebut
dapat digunakan sebagai penanda biologis yang
spesifik dan akurat untuk deteksi dini kerusakan glaukomatosa sebelum muncul tanda-tanda klinis. Dalam penelitiannya Gramlich dkk. (2013) mendapatkan bahwa pola autoantibodi mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas mendekati 93% untuk
membedakan penderita glaukoma dengan individu sehat. Mekanisme imun pada glaukoma diduga disebabkan oleh disfungsi sawar perivaskuler yang memungkinan pertemuan autoantibodi alamiah dengan protein retina sehingga timbul reaksi antigen-antibodi (Wax dkk., 1998; Tezel, 2010). Di sisi lain, menurut hasil penelitian Kitaya dkk. (2000) pada hewan coba yang dibuat miopia terjadi peningkatan permeabilitas ke arah dalam (inward permeability atau Pin) yang dapat menyebabkan kebocoran substrat dari sirkulasi masuk ke retina. Pertemun antibodi alamiah di dalam darah dan protein retina dapat memicu reaksi imunologis. Penelitian tentang respon antibodi serum pada glaukoma telah banyak dilakukan sedang pada miopia sampai saat ini belum didapatkan referensi. Berdasarkan teori tersebut, penelitian ini bertujuan menganalisis dan membandingkan respon antibodi 6
terhadap protein retina pada kelompok emetropia dengan kelompok miopia, kelopok miopia + GSTaP , dan kelompok GSTaP.
Tabel 1. Antibodi anti protein okuler pada Glaukoma sudut terbuka primer No
Antibodi
BM
1.
Anti Glutation S- 29 kDa transferase
2. 3.
Anti myelin basic 16 kDa protein ( MBP ) Anti γ-enolase 50 kDa
4.
Anti –rhodopsin
5.
Anti α-fodrin 120 kDa ( spectrin ) Anti small heat shock protein (hsp) αA-crystallin ~20 kDa αB-crystallin hsp 27 27 kDa
6.
7.
40 kDa
Didapatkan pada
Sumber kepustakaan GTN (55%), GSTaP (48%), Yang dkk., 2001 kontrol (20%), hepatitis autoimun GTN, GSTaP, SM Joachim dkk., 2008 GTN (26%), GSTaP (25%), Maruyama dkk., kontrol (11%), cancer 2000 associated retinopathy GTN ( 68% ), GSTaP Romano dkk., 1995 GTN (95%), GSTaP (78%), Gruss dkk., 2006 kontrol GTN , GSTaP, kontrol Tezel dkk., 1998 Tezel dan Wax, 2000 ; Tezel dkk., 2000; Grus dkk., 2004 ; Reichelt dkk., 2008 GTN, GSTaP, kontrol Tezel dkk., 1999
Anti GAG (chondroitin sulfat / heparan sulfat) Anti αB-crystallin, vimentin, Hsp 70 Hsp 60 Hsp 90
40 kDa90 kDa 21 kD, 57 kDa, 70 kDa 60 kDa 90 kDa
GSTaP ( humor aquos)
Joachim 2006
GSTaP (serum, kultur sel)
9.
Histon H4
12 kD
GSTaP
10.
Retinaldehydebinding protein
29 kD
GSTaP, HTO
Wax dkk., 2008 Joachim dkk., 2009 Reinchelt dkk., 2008 Reinchelt dkk., 2008
8.
dkk.,
GTN: Glaukoma Tekanan Normal , GSTaP: Glaukma Sudut Terbuka Primer, SM : sklerosis multipel, HTO : Hipertensi Okuler, GAG:Glikosamino glikan.
Emetropia, miopia dan GSTaP merupakan keadaan dengan gambaran klinis dan histologis berbeda. Mata emetropia diasumsikan sebagai mata sehat-normal, mata miopia adalah mata ‘di luar normal’ dan mata GSTaP adalah mata dengan kondisi 7
patologis yang nyata. Penelitian tentang respon antibodi terhadap protein okuler pada GSTaP dengan kontrol individu normal/ sehat telah banyak dilaporkan namun belum didapatkan referensi yang membandingkan respon antibodi pada miopia. Perbedaan antara emetropia, miopia dan GSTaP diduga
juga akan menyebabkan perbedaan
respon antibodi terhadap protein retina. Pada penelitian ini dilakukan analisis perbedaan respon antibodi terhadap protein retina antara kelompok emetropia, miopia, miopia+ GSTaP dan GSTaP, antara kelompok-kelompok bukan GSTaP dan kelompokkelompok GSTaP serta dianalisis pula protein-protein
retina tertentu yang dapat
dipertimbangkan atau dijajagi sebagai penanda biologis degenerasi glaukomatosa. Beberapa keadaan patologis seperti pemanjangan sumbu bolamata, pelebaran nisbah cup/disc serta penipisan
lapisan SSR dapat dijumpai pada miopia dan GSTaP.
Korelasi antara ketebalan SSR, panjang sumbu bolamata dan nisbah cup/disc dengan respon antibodi juga akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
B. Rumusan masalah: Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Adakah perbedaan respon antibodi subjek penelitian terhadap protein retina antara kelompok miopia dibandingkan dengan kelompok emetropia, kelompok miopia + GSTaP dan kelompok GSTaP ?
2.
Adakah perbedaan respon antibodi subjek penelitian
terhadap protein
retina antara kelompok-kelompok bukan GSTaP (kelompok emetropia dan kelompok miopia) dengan kelompok-kelompok GSTaP (kelompok miopia + GSTaP dan kelompok GSTaP) ?
8
3.
Adakah protein-protein
retina tertentu yang dapat dipertimbangkan
sebagai penanda biologis degenerasi glaukomatosa ? 4.
Adakah hubungan ketebalan serabut saraf retina (SSR), nisbah cup/ disc panjang sumbu bola mata
dan status ada tidak GSTaP dengan respon
antibodi subjek penelitian terhadap protein retina
C. Tujuan Peneltian Berdasarkan masalah penelitian maka ditentukan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mengetahui respon antibodi subjek penelitian kelompok miopia, kelompok emetropia,
terhadap protein retina pada
kelompok miopia + GSTaP dan
kelompok GSTaP. 2. Menganalisis dan membandingkan perbedaan respon antibodi subjek penelitian terhadap protein retina pada kelompok-kelompok bukan GSTaP
dengan
kelompok-kelompok GSTaP. 3. Menjajagi protein-protein retina tertentu yang dapat dipertimbangkan sebagai penanda biologis degenerasi glaukomatosa. 4. Mengetahui dan menganalisis hubungan ketebalan serabut saraf retina (SSR), nisbah cup:disc, panjang sumbu bolamata dan status ada tidak GSTaP dengan respon antibodi subjek penelitian terhadap protein retina.
D. Manfaat: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:
9
1. Manfaat Teoritis: a. Penelitian ini memberikan informasi tentang respon antibodi tsubjek penelitian terhadap protein retina pada
emetropia, miopia, miopia
dengan GSTaP dan GSTaP serta antara kelompok-kelompok bukan GSTaP dengan kelompok-kelompok GSTaP. b. Penelitian ini memberikan informasi tentang protein-protein retina yang dapat
dipertimbangkan dan dijajagi lebih lanjut sebagai penanda
biologis degenerasi glaukomatosa. c. Penelitian ini memberi informasi tentang hubungan ketebalan serabut saraf retina (SSR), nisbah cup:disc dan panjang sumbu bolamata dengan respon antibodi subjek penelitian terhadap protein retina. d. Dengan mengetahui
korelasi
antar vaiabel maka akan menambah
pengetahuan tentang faktor risiko dan etiopatogenesis penyakit.
2.
Manfaat klinis: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dan untuk aplikasi atau penerapan klinis hasil penelitian ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Manfaat klinis yang dapat dikembangkan dari hasil penelitian ini adalah: a. Pengetahuan tentang perbedaan respon antibodi subjek penelitian antara miopia dibandingkan dengan emetropia, miopia + GSTaP dan GSTaP, perbedaan respon antibodi subjek penelitian antara kelompok-kelompok bukan GSTaP dengan kelompok-kelompok GSTaP serta protein-protein retina yang dapat dipertimbangkan sebagai penanda biologis degenerasi
10
glaukomatosa
dapat menjadi
dasar untuk mengembangkan prosedur
diagnosis pada penderita dengan faktor risiko GSTaP khususnya miopia. b. Pengetahuan tentang hubungan antara ketebalan SSR, nisbah cup:disc dan panjang sumbu bola mata dan status ada tidak GSTaP dengan respon antibodi subjek penelitian terhadap protein retina akan membantu dalam pengelolaan pasien karena diketahui adanya faktor
risiko yang dapat
memperberat penyakit khususnya pada penderita miopia.
E. Keaslian Penelitian: Miopia adalah kelainan refraksi terbanyak dan merupakan salah satu faktor risiko GSTaP, khususnya miopia aksial. Perubahan struktural jaringan dan fungsional akibat pemanjangan sumbu bolamata pada miopia aksial yang berupa peregangan dinding bola mata, penipisan serabut saraf retina, gangguan perfusi, atrofi peripapil dan peningkatan permeabilitas sawar darah-retina diduga menyebabkan mata miopia lebih rentan terhadap glaukoma (Kitaya dkk., 2000; McBrien dkk., 2001; Dimitrova dkk., 2002). Gambaran klinis yang hampir sama dan perjalanan penyakit yang bersifat kronis insidous menyebabkan tidak mudah untuk mengetahui apakah pada seorang penderita miopia telah mulai terjadi degenerasi glaukomatosa kecuali telah muncul tanda-tanda klinis GSTaP. Patogenesis GSTaP bersifat multifaktorial. Perubahan pola autoantibodi alamiah di dalam serum dan humor akuos penderita glaukoma menunjukkan indikasi kuat keterlibatan komponen autoimun dalam patogenesis penyakit (Grus dkk., 2004; Joachim dkk., 2007 & 2008; Reinchelt dkk., 2008; Gramlich dkk., 2013). Adanya peningkatan atau perubahan pola
respon antibodi terhadap protein retina dan N.
Optikus pada penderita glaukoma tekanan normal (GTN) maupun tekanan tinggi 11
(GSTaP) dibandingkan dengan kelompok kontrol telah dilaporkan dalam beberapa penelitian. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut maka kemudian GSTaP juga dikelompokkan sebagai penyakit autoimun. Penelitian tentang perubahan respon antibodi dalam serum dan humor aquos pada GSTaP telah banyak dilakukan. Pada umumnya diteliti respon antibodi pada GSTaP atau GTN dibandingkan dengan kelompok kontrol individu normal atau individu dengan hipertensi okuler sebagaimana ditampilkan pada tabel 1 (Grus dkk., 2004; Joachim dkk., 2007 & 2008; Reinchelt dkk., 2008; Gramlich dkk., 2013). Penelitian juga dilakukan dengan hewan coba untuk memahami mekanisme atau patogenesis perubahan respon antibodi terhadap protein retina secara in vivo/ in vitro dan dikaitkan dengan GSTaP atau kondisi yang menjadi faktor risiko GSTaP. Laspas dkk. (2011) meneliti patomekanisme penurunan jumlah sel ganglion dan respon antibodi setelah pemberian antigen okuler dan antigen non okuler. Wax dkk. (2008) meneliti aktivasi sel T setelah hewan coba diimunisasi dengan Hsp 27 dan Hsp 60. Perubahan profil atau pola respon antibodi pada penyakit autoimun seringkali muncul beberapa tahun sebelum didapatkan gejala dan tanda klinis yang nyata pada penderita
(Joachim dkk., 2008; Arbuckle dkk., 2003). Suatu kompleks
protein
spesifik yang menjadi penanda proses glaukomatosa akan dapat membantu mendeteksi penyakit lebih awal sebelum muncul tanda klinis. Pemeriksaan laboratorium imunologis untuk mengetahui pola respon antibodi terhadap protein retina atau protein papil N. Optikus,
atau perubahan kadar antibodi tertentu diharapkan dapat
memberikan informasi tentang mulai adanya kerusakan glaukomatosa (Romano dkk., 1995; Grus dkk., 2006; Grus dan Sun, 2008). Penelitian yang telah dilakukan selama ini adalah respon antibodi pada GTN, GSTaP atau hipertensi okuler (Yang dkk., 2001;
12
Grus dkk, 2006; Grus dan Sun, 2008; Joachim dkk. 2008; Reinchelt, 2008) dan tidak terkait dengan status refraksi, dalam hal ini miopia. Laporan tentang aspek imunologi miopia sejauh ini hanya dikemukakan oleh Shmalyey dan Redka (2012) namun tanpa ada kelompok kontrol sebagai pembanding dan tidak melakukan immunoblotting. Penelitian-penelitian tersebut di atas belum mengaitkan aspek imunologi miopia sebagai salah satu faktor risiko GSTaP dengan aspek imunologi GSTaP. Patogenesis miopia dan GSTaP berbeda namun kedua kelainan tersebut dapat saling terkait, diduga respon antibodi pada miopia juga akan berbeda dengan GSTaP. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Tabel 2) karena dalam penelitian ini dilakukan analisis respon antibodi terhadap protein retina pada miopia dibandingkan dengan respon antibodi pada emetropia, miopia + GSTaP dan GSTaP saja, analisis respon antibodi terhadap protein-protein
retina pada
kelompok-kelompok bukan GSTaP dengan kelompok-kelompok GSTaP. Perbedaan profil atau pola respon antibodi antara kelompok-kelompok yang diteliti diasumsikan disebabkan oleh degenerasi glaukomatosa. Hasil penelitian ini dapat
menjadi
informasi awal bagi penelitian selanjutnya, yaitu penelitian untuk menjajagi kandidat protein yang dapat menjadi penanda biologis adanya degenerasi glaukomatosa.
Tabel 2. Penelitian imunoreaktivitas pada glaukoma sudut terbuka primer Nama peneliti Maruyama, I. Ohguro, H dan Ikeda, Y. (2000)
Topik penelitian
Metode penelitian
Simpulan
Sel-sel ganglion retina dikenali oleh antibodi thd γenolase pada pasien glaukoma
Penelitian belah lintang thd 23 pasien glaukoma tekanan normal, 56 pasien glaukoma dan 60 individu sehat. Dilakukan pemeriksaan western
Serum pasien glaukoma memperlihatkan imunoreaktivitas thd protein dengan BM 50 kDa yang teridentifikasi sebagai γ-enolase. 13
blotting thd serum pasien dan status oftalmologis lain 6 mata postmortem dari pasien dg glaukoma sudut terbuka primer, 6 mata dari pasien dg glaukoma tekanan dan 6 mata dari individu sehat sebagai kontrol. Penelitian belah lintang thd 60 pasien glaukoma masingmasing dari Jerman dan Amerika.Dilakukan pemeriksaan immunoblotting dari serum pasien
Tezel, G. Hernandez, R and Wax, MB . (2000)
Immunostaining Hsp dalam retina dan papil N. Optikus pada mata normal dan mata glaukomatous
Grus, FH. dkk (2006)
Autoantibodi serum thd alfa –fodrin didapatkan pada pasien glaukoma di Jerman dan Amerika Serikat
Joachim, SC. dkk (2007)
Pola antibodi IgG dlm humor aquos pasien dg glaukoma sudut terbuka primer dan glaukoma pseudoexfoliasi
Penelitian belah lintang terhadap 15 pasien dg glaukoma sudut terbuka primer, 14 pasien denga glaukoma pseudoexfoliasi dan 15 kontrol. Dilakukan pemeriksaan western blot thd humor aquos pasien dan kontrol
Joachim, SC. dkk (2007)
Antibodi thd alfaBkristalin, vimentin, dan Hsp 70 di dalam humor aquos pasien dengan glaukoma tekanan normal dan pola antibodi IgG thd antigen retina di dalam humor aquos
Joachim, SC. dkk (2009)
Perubahan profil kompleks antibodi pada model hewan coba dengan glaukoma eksperimental Antibodi autoreaktiv dan hilangnya sel
Penelitian belah lintang terhadap 21 pasien glaukoma tekanan normal dan 21 kontrol. Dilakukan pemeriksaan immunoblotting thd humor aquos kedua kelompok Penelitian eksperimental dengan imunisasi tikus dengan Hsp27 intraperitoneal
Laspas, P. Dkk (2011)
Penelitian eksperimental
Terdapat peningkatan immunostaining Hsp 60 dan Hsp 17 pada mata glaukomatous.
Pasien glaukoma memiliki karakteristik respon antibodi yg berbeda dengan kontrol. Didapatkan respon antibodi terhadap alfa-fodrin pada kelompok Jerman maupun Amerika Terdapat perbedaan pola antibodi yang bermakna antara pasien glaukoma sudut terbuka primer dengan glaukoma pseudoexfoliasi. Protein yang teridentifikasi adalah Hsp27, α-enolase, aktin GAPDH (gliseraldehid -3fosfat dehidrogenase) Terdapat perbedaan bermakna antara pola antibodi kelompok glaukoma dengan kelompok kontrol
Imunisasi Hsp 27 meningkatkan hilangnya sel ganglion retina dan mempengaruhi pola anti antibodi sistemik Autoimmunitas terhadap antigen
14
ganglion retina pada tikus yang diinduksi dengan imunisasi antigwn okuler
dengan pemberian antigen homogenat N. Optikus, keratin dan kontrol pada tikus
Joachim, SC. dkk (2011)
Peningkatan respon antibodi terhadap heat shock protein dan antigen jaringan pada model iskemi okuler
Shmalyey, S. and Redka, I. (2012)
Aspek imunologis miopia pada anak usia sekolah dasar
Rahmi, FL (2013, penelitian ini)
Respon autoantibodi thd protein retina pada miopia dibandingkan dg emtropia dan glaukoma sudut terbuka primer
Penelitian eksperimental dengan membuat iskemi okuler (dg meningkatkan TIO) kemudian diperiksa respon antibodi serum. Penelitian belah lintang melibatkan 60 anak seha dan 40 anak dg miopia stabil usia 7-11 th. Pengamatan meliputi identifikasi sub populasi limfosit, aktifitas fagosit, konsentrasi IgA, IgM dan IgG serum. Penelitian observasional analitik dg subjek emtropia, miopia, miopia+ GSTaP dan GSTaP. Dilakukan pemeriksaan immunoblotting dan pemeriksaan klinis mata lainnya
okuler neuronal dg diperantarai oleh antibodi autoreaktif berperan dalam proses inflamasi yg menyebabkan degenerasi sel ganglion retina. Iskemia akibat kenaikan TIO memicu perubahan yg kompleks dlm reaktivitas antibodi serum pada hewan coba. Anak dg miopia stabil mengalamai imunodefisiensi.
Terdapat perbedaan pola respon autoantibodi thd potein retina diantara kelompok yg diteliti. Protein sebagai kandidat penanda biologis degenerasi glaukomatosa adalah kelompok protein dg BM 40 kDa, 60-90 kDa dan 125 kDa
15