1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara. Sebelum amandemen, kedaulatan rakyat tercermin dalam kekuasaan lembaga tertinggi negara yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk kemudian kekuasaan tersebut dibagikan kepada lembagalembaga tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau division of power). Paham yang dianut bukanlah paham pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal, melainkan pembagian kekuasaan dalam arti vertikal.1 Setelah perubahan pertama, UUD 1945 meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan dan mengadopsi gagasan pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal (horizontal separation of power) dengan menerapkan prinsip checks and balances di
antara
lembaga-lembaga
konstitusional
yang
sederajat
dan
saling
mengendalikan satu sama lain.2 Secara garis besar, Soimin berpendapat untuk menjalankan kekuasaan negara sebagai bentuk implementasi dari otoritas kepentingan negara atas nama rakyatnya, diwujudkan dalam bentuk pemisahan
1
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 94. Dikutip kembali oleh Zafrullah Salim, Pengujian Undang-Undang Pada Mahkamah Konstitusi Dan Permasalahan Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pembentukan Peraturan perundang-Undangan, Jurnal Legislasi Indonesia No. 2 vol. 10 Juni 2013, hlm. 151. 2 Ibid.
2
beberapa institusi lembaga negara yang sering kita kenal dengan sebutan “trias politica”.3 Pelaksanaan kekuasaan negara sesuai dengan konsep trias politica merupakan suatu prinsip normatif, bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang atau institusi yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Trias politica adalah suatu kekuasaan negara yang terdiri dari tiga cabang kekuasaan; pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang yang sering disebut dengan rule making function; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang yang sering disebut dengan rule application function, dan yang ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yang mengadili atas pelanggaran undang-undang yang sering disebut dengan rule adjudication function.4 Selain melakukan perubahan konsep dari distribution of power menjadi separation of power, UUD 1945 pasca amandemen juga menganut paham kedaulatan rakyat atau demokrasi sekaligus juga menganut paham kedaulatan hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum. Di samping itu, Pasal 1 ayat (2) nya berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dua pasal tersebut bahwa UUD NRI Tahun 1945 menganut paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, tetapi demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang bersifat konstitusional 3
Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 1. 4 Miriam Budiardjo, 2002, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 151. Dalam buku: Soimin, 2010, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 1.
3
atau constitutional democracy, yaitu demokrasi yang berdasar atas hukum.5 Dengan perkataan lain, konsepsi Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) tersebut terkait erat satu sama lain. Negara Indonesia di satu segi adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy), tetapi dari segi yang lain adalah negara hukum yang demokratis.6 Sebagai bentuk komitmen terwujudnya negara hukum yang demokratis serta komitmen menjadikan UUD sebagai pijakan dalam bernegara, amandemen UUD 1945 mengamanatkan lahirnya sebuah peradilan konstitusi guna menjaga konsistensi implementasi UUD NRI Tahun 1945. Pendirian MK sejalan dengan upaya mewujudkan negara hukum konstitusional dimana UUD 1945 sebelum amandemen tidak memberikan ruang untuk menguji undang-undang terhadap UUD ke dalam sebuah lembaga peradilan (judicial review). Maka dari itu keberadaan MK memberikan nafas segar bagi terbentuknya negara hukum, terciptanya demokrasi, dan terjaminnya hak-hak warga negara yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945. Fungsi Mahkamah Konstitusi di Indonesia sama halnya dengan fungsi MK di negara lainnya, yaitu lembaga yang berfungsi sebagai the guardian of the constitution atau sebagai lembaga yang mengawal dan menegakkan konstitusi. Dasar konstitusional keberadaan Mahkamah Kostitusi (MK) ini terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.7 Sebagai lembaga yang bertugas
5
Jimly Asshiddiqie, 2009, Green Constitution, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 108. Ibid. 7 Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oeh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” 6
4
mengawal konstitusi, MK diberi kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945: Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam melakukan fungsi peradilan terhadap keempat bidang tersebut, MK berwenang melakukan penafsiran terhadap UUD. Oleh karena itu, disamping berfungsi sebagai pengawal UUD, MK juga dapat disebut sebagai the Sole Interpreter
of
the
Constitution8,
bahkan
dalam
rangka
menjalankan
kewenangannya memutus perselisihan hasil pemilu, MK juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi dengan cara menyediakan sarana dan jalan hukum untuk menyelesaikan perbedaan pendapat diantara penyelenggaraan pemilu dengan peserta pemilu yang dapat memicu terjadinya konflik politik dan bahkan konflik sosial di tengah masyarakat. Dengan adanya MK, potensi konflik semacam itu dapat diredam dan bahkan diselesaikan melalui cara-cara yang beradab. Oleh karena itu, MK disamping berfungsi sebagai (i) pengawal konstitusi, (ii) penafsir konstitusi; juga sebagai (iii) pengawal demokrasi (the guardian and the sole interpreter of the constitution, as well as the guardian of the process of the democratization), bahkan MK juga merupakan (iv) pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights)9, disebut sebagai pelindung HAM karena MK sendiri bertugas menegakkan konstitusi di mana HAM 8
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 131-132. 9 Ibid., hlm. 132.
5
merupakan salah satu hal yang diatur dan dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945). Seiring perkembangan situasi ketatanegaraan, fungsi MK yang begitu esensi ini mengalami beberapa perluasan. Hingga saat ini terdapat 2 (dua) kewenangan MK yang mengalami perluasan. Perluasan pertama adalah kewenangan dalam memutus perselisihan hasil pemiluka (PHPU.D). Perluasan kewenangan ini dimulai karena adanya pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khusus mengenai pasal tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. Terdapat ambiguitas yang melahirkan pemikiran bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E dalam UUD NRI Tahun 1945 karena diselenggarakan secara langsung maka pilkada harus berlandaskan asas sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 10 Putusan MK mengenai pengujian pasal pilkda langsung dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tersebut dituangkan dalam Putusan MK Nomor 72-73/PUU-II/2004. Putusan MK inilah yang dijadikan dasar oleh pembuat undang-undang untuk kemudian merevisi istilah pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Selanjutnya, UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melimpahkan kewenangannya menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada dari
10
Pasal 22E ayat (1): “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
6
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi menjadikan perluasan kewenangan MK semakin nyata.11 Seiring dengan perkembangan permasalahan ketatanegaraan khususnya dalam pemilukada, terdapat beberapa putusan MK yang dinilai beberapa kalangan kontroversial. Pasalnya dalam beberapa putusannya, MK tidak hanya memeriksa perselisihan hasil semata tetapi juga dapat memeriksa proses-proses selama penyelenggaraan
pemilukada.
Mahkamah
Konstitusi
beragumen
bahwa
“Mahkamah Konstitusi harus menegakkan keadilan dan demokrasi dalam proses pemilukada, sehingga apabila dalam prosesnya terdapat pelanggaran yang telah mencederai nilai demokrasi yang telah mempengaruhi hasil, maka MK dapat memeriksa perkara”.12 Dasar argumen MK ini menyebabkan MK tidak saja memutus mengenai perselisihan hasil, tetapi juga memerintahkan pemungutan suara ulang, pendiskualifikasian pasangan calon kepala daerah, bahkan MK juga dapat memutuskan salah satu pasangan calon kepala daerah sebagai pemenang. Fokus pemeriksaan di MK tidak lagi hanya menyangkut soal hasil, tetapi juga sengketa administrasi dan pelanggaran pidana.13 Mengenai hal tersebut MK berpendapat bahwa meskipun menurut undang-undang yang dapat diadili oleh MK adalah hasil perhitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang
11
Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008: “Penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” 12 Iwan Satriawan, dkk, 2012, Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 3. 13 Ibid., hlm. 5.
7
menyebabkan
terjadinya
hasil
penghitungan
suara
yang
kemudian
dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan.14 Sengketa pemilukada Provinsi Jawa Timur tahun 2008 merupakan awal dari perluasan MK yang tidak hanya sebatas mengenai hasil pemilukada. Dalam putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang perselisihan hasil pemilukada provinsi Jawa Timur, MK menemukan penyimpangan-penyimpangan yang telah melanggar prosedur sehingga hasil pemilukada di beberapa kabupaten (Bangkalan,
Sampang,
Pamekasan)
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Dengan demikian, MK perlu menetapkan agar dilakukan penghitungan suara ulang dengan metode dan pencatatan yang didasarkan pada formulir yang ditetapkan KPU dan terbuka bagi masing-masing pasangan calon. Keputusan MK untuk melaksanakan pemilihan ulang tersebut merupakan salah satu terobosan hukum karena banyak yang menilai putusan MK tersebut bukan merupakan kompetensi MK, melainkan kompetensi KPUD selaku penyelenggara pemilukada. Namun demikian, meskipun peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa MK hanya berwenang sebatas pada hasil penghitungan suara, MK tidak boleh membiarkan aturan-aturan (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice) karena fakta-fakta hukum dalam sengketa pemilukada provinsi Jawa Timur secara nyata merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang mengharuskan pemilukada dilakukan secara demokratis dan tidak melanggar asas14
Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia, Gagasan Perluasan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 158.
8
asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.15 Dengan adanya terobosan hukum ini, hingga saat ini MK tidak saja berwenang mengadili sebatas hasil saja, tetapi juga memeriksa jika terjadi indikasi kecurangan dan ketidakberesan dalam proses pemilukada. Namun demikian, pada tanggal 19 Mei 2014 MK mengeluarkan Putusan Nomor 97 / PUU – XI / 2013 tentang Pengujian Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 236C UU Nomor 12 tahun 2008 merupakan dasar perluasan kewenangan MK memutus sengketa hasil pemilukada yang sebelumnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 merupakan dasar pembenaran terhadap Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008. Pasal 29 ayat (1) berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. memutus pembubaran partai politik; d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
15
Ibid.
9
Huruf e dalam Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ini disebut sebagai dasar pembenaran terhadap Pasal 236C UU Nomor 12 tahun 2008 yang menambahkan kewenangan memutus sengketa hasil pemilukada ke dalam kewenangan MK karena secara jelas dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 tahun 2009 disebutkan bahwa: “Dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”16 Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 lahir setelah berlakunya Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008, sehingga sangat tepat jika keberadaan huruf e dalam Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 merupakan dasar pembenaran terhadap Pasal 236C UU Nomor 12 tahun 2008 yang lahir terlebih dahulu. Selain itu terdapat permasalahan mendasar, apakah kewenangan MK yang diatur dan disebutkan secara rinci dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) dapat ditambahkan melalui instrumen undang-undang yang notabennya tingkatannya dibawah UUD? Atas dasar inilah MK menyatakan bahwa Pasal 236C UU Nomor 12 tahun 2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat disamping persoalan penafsiran pemilu dan pemilukada yang dimaksud UUD NRI Tahun 1945. Dasar
perluasan
kewenangan
MK
yang
kedua
berdasar
pada
yusrisprudensi atau putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang 16
Kehakiman.
Lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
10
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan yurisprudensi perluasan kewenangan MK yang tidak hanya menguji undang-undang terhadap undangundang dasar, tetapi juga peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap undang-undang dasar. Putusan ini juga menjadi dasar dalam permohonan uji materi Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dimuat dalam pertimbangan hakim bahwa MK mempunyai kewenangan dalam menguji perpu terhadap undang-undang dasar. Dasar para pemohon dalam mengajukan pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang PLT KPK adalah bahwa Pasal 22 yang mengatur tentang Perpu terdapat di dalam Bab VII tentang DPR. Materi Bab VII terdiri atas Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A, dan Pasal 22B, yang mengatur tentang kelembagaan DPR (Pasal 19, Pasal 20A, Pasal 21, dan Pasal 22B) serta materi mengenai pembuatan Undang-Undang sebagai hasil Perubahan I dan II (Vide Pasal 20). Dalam hubungannya dengan materi yang diatur dalam Bab VII ketentuan Pasal 22 sangat erat hubungannya dengan kewenangan DPR dalam pembuatan Undang-Undang. Selain itu, UUD NRI Tahun 1945 membedakan antara perpu dengan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) yang tujuannya adalah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Karena perpu diatur dalam bab tentang DPR sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang, maka materi perpu seharusnya adalah materi yang
11
menurut UUD diatur dengan undang-undang dan bukan materi yang melaksanakan undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan materi perpu juga bukan materi UUD. Apabila terjadi kekosongan undang-undang karena adanya berbagai hal sehingga materi undang-undang tersebut belum diproses untuk menjadi undang-undang sesuai dengan tata cara atau ketentuan yang berlaku dalam pembuatan undang-undang namun terjadi situasi dan kondisi yang bersifat mendesak yang membutuhkan aturan hukum in casu undang-undang untuk segera digunakan mengatasi sesuatu hal yang terjadi tersebut maka Pasal 22 UUD 1945 menyediakan pranata khusus dengan memberi wewenang kepada Presiden untuk membuat peraturan pemerintah (sebagai) pengganti undang-undang. Pembuatan undang-undang untuk mengisi kekosongan hukum dengan cara membentuk undang-undang seperti proses biasa atau normal dengan dimulai tahap pengajuan rancangan undang-undang oleh DPR atau oleh Presiden akan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga kebutuhan hukum yang mendesak tersebut tidak dapat diatasi.17 Namun demikin, perluasan kewenangan MK dalam melakukan pengujian Perpu terhadap UUD menuai banyak pro dan kontra. Beberapa metode penafsiran yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara Perpu dengan UUD menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Hakim MK menggunakan metode penafsiran gramatikal, sosiologis, dan teleologis hingga sampai pada kesimpulan bahwa Perpu dapat diuji oleh MK. Sedangkan apabila menggunakan metode penafsiran original intent, penafsiran historis, dan penafsiran sistematis maka
17
Ibid.
12
akan didapatkan kesimpulan bahwa MK tidak berwenang melakukan pengujian Perpu terhadap UUD NNRI Tahun 1945.
B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat ditarik 2 (dua) rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945? 2. Apakah perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut secara konstitusional dapat dibenarkan?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui dan mengkaji apa saja yang melatarbelakangi perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi; b. Untuk mengetahui dan menyimpulkan apakah perluasan kewenangan MK dapat dibenarkan secara konstitusional. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh gelar Magister (S2) di Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada;
13
b. Untuk memperoleh tambahan pengetahuan di bidang hukum tata negara khususnya mengenai perkembangan kewenangan Mahkamah Konstitusi dari sejak didirikannya MK hingga dewasa ini.
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, terdapat 2 (dua) judul penulisan hukum yang berkaitan dengan kewenangan MK menguji perpu. Penulisan hukum yang pertama dilakukan oleh saudara Teo Tidiyanto Prabowo (FH UGM) dengan judul Perluasan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sedangkan penulisan hukum yang kedua dilakukan oleh saudara Zaid Mushafi (FH UII) dengan judul Kewenangan Pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Sistem Pengamanan Keuangan oleh Mahkamah Konstitusi. Perbedaan dengan penulisan hukum yang pertama terletak pada rumusan masalahnya. Adapun rumusan masalah dalam penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut: (1). Apa yang menjadi dasar pertimbangan MK berwenang untuk menguji perpu? (2). Apakah dengan adanya kewenangan MK untuk menguji perpu berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga negara antara MK dan DPR dalam hal pengujian perpu? (3). Lembaga negara manakah yang seharusnya mempunyai kewenangan untuk menguji perpu? Dalam penelitian tersebut hanya mengkaji dasar perluasan kewenangan MK dalam menguji perpu dengan metode analisis putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Sedangkan dalam penelitian ini, perluasan kewenangan MK mencakup pada seluruh kewenangan
14
MK yang ditentukan dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 dan dikaji apakah sesuai dengan maksud dan tafsir UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penulisan hukum yang kedua terletak pada rumusan masalahnya. Penulisan hukum yang kedua berupa studi kasus pengujian Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Sistem Pengamanan Keuangan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun rumusan masalah dalam penulisan hukum yang kedua diantaranya: (1). Apakah pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan judicial review terhadap Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK? (2). Apakah MK berwenang dalam menguji Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK? (3). Apakah putusan MK terkait pengujian perpu JPSK memiliki kekuatan hukum mengikat? Apabila dilihat dari tiga rumusan masalah tersebut sangatlah berbeda dengan rumusan masalah dalam usulan penelitian ini.
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat akademis Penelitian ini bermanfaat memperluas kajian keilmuan bidang hukum tata negara khususnya mengenai Mahkamah Konstitusi. Dalam penelitian ini banyak ditemukan perdebatan teoritik mengenai teori konstitusi, teori perundang-undangan,
dan
teori
judicial
interpretation,
diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan; 2. Manfaat praktis
sehingga
15
Penelitian ini juga bermanfaat bagi refleksi perluasan kewenangan MK, apakah dapat dibenarkan secara konstitusional atau tidak. Jika dapat dibenarkan, maka penelitian ini dapat menjadi dasar akademis bagi hal serupa. Jika tidak dapat dibenarkan, penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi agar pelaksanaan kewenangan MK dapat dikembalikan sesuai konstitusi.