BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terletak di wilayah cincin api atau ring of
fire. Berada dalam situasi yang dilematis, disatu sisi karena memiliki sejumlah gunung api yang aktif membuat tanah Indonesia subur dan kaya akan sumber daya alam melimpah, selain itu lautan yang mengitari negara kepulauan ini menjadikan Indonesia kaya akan sumber daya laut dan perikanan. Namun dibalik keindahan dan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia justru menjadi salah satu negara di dunia yang diindikasikan memiliki wilayah yang rawan dan sangat berpotensi mengalami bencana alam. Dimulai pada tahun 2004, di bulan Desember telah terjadi bencana dahsyat tsunami di bagian wilayah paling barat Indonesia, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (mediaindonesia, 2004). Selanjutnya bencana alam secara beruntun terjadi di Indonesia. Mulai dari gempa bumi, banjir bandang, longsor, gunung meletus, kekeringan bahkan bencana yang dibuat oleh manusia-manusianya sendiri dengan cara yang tidak bertanggung jawab, seperti konflik bersenjata yang menimbulkan kerusuhan sosial, perambahan hutan secara liar dan eksploitasi mineral tambang yang mengakibatkan longsor bahkan lumpur panas yang menenggelamkan beberapa wilayah.Tak terhitung jumlah korban jiwa yang meninggal dunia karena bencana ini, belum lagi korban yang kehilangan kualitas kehidupan sebelum terjadinya bencana, seperti selamat dari bencana, namun menderita sakit dan cacat bahkan seumur hidup. Harta benda seperti rumah, tempat kerja, hewan peliharaan dan peralatan seperti kendaraan berupa mobil,
dan lainnya rusak dan hancur. Sebagian besar korban juga mengalami dampak psikologis. Menurut Crocq, Crocq, Chiapello dan Damian (2005), bencana yang terjadi di Indonesia memenuhi lima kriteria aspek bencana, yaitu (1) Terjadinya peristiwa negatif yang membawa penderitaan kepada sebuah masyarakat atau rakyat, (2) Menyebabkan kerusakan material yang secara signifikan mengubah lingkungan manusia, (3) Sejumlah besar korban meninggal dunia, terluka baik secara fisik bahkan psikologis dan kehilangan tempat tinggal, (4) Terjadinya kerusakan secara besar-besaran terhadap sarana dan pra-sarana publik, dan (5) Terjadinya gangguan pelayanan publik. Dengan kriteria aspek bencana seperti itu, membutuhkan sebuah penanganan yang dilakukan secara terkoordinasi dari pihak-pihak terkait, agar pemulihan dan pertolongan bagi korban segera teratasi. Rentetan bencana yang terjadi secara beruntun membuat berbagai kalangan
termasuk
masyarakat
sipil
terusik
semangat
kerelawanannya
(voluntarism) dan solidaritas kemanusiaan (genuine solidarity). Pernyataan Gerrity dan Steingless (1994), kehancuran dan kerusakan yang sedemikian besar membuat banyak kalangan memberi perhatian, guna membantu para korban yang terkena bencana sebagai bentuk kepedulian, karena intensitas trauma dan rasa terancam yang dialami korban bencana tidak sebatas pada individu tapi juga bersifat kolektif, sehingga muncul rasa memiliki dimana kemalangan individu juga kemalangan kolektif. Sehingga sebagian besar masyarakat sipil mengambil peran untuk menjadi relawan. Mereka, para relawan berniat memberikan bantuan bagi para korban. Hal ini merupakan bentuk kepedulian sosial yang patut dihargai walau tidak semua atau sebagian besar dari para relawan justru bukan professional atau tenaga terlatih untuk bantuan
bencana yang disebut juga “relawan terafiliasi spontan” atau spontaneous unaffiliated volunteers (Suwa, Atsumi & Seki, 2006). Persoalan untuk mengatasi kerusakan akibat yang ditimbulkan bencana bukanlah hal yang mudah. Perlu sebuah perencanaan dan program yang akan mempercepat kondisi pulih seperti semula. Menurut Crocq et. al (2005), dalam berbagai tahap bencana telah dibuat program yang dirancang untuk medis, psikologis dan intervensi psikososial dengan prinsip : (a) Mempertimbangkan sejumlah tekanan psikologis, (b) Mengelola dampak psikososial pada individu dan masyarakat, (c) Mencegah perkembangan gejala yang ditimbulkan akibat bencana yang mengganggu fungsi individu dan kelompok. Program-program untuk mengatasi bencana yang telah dirancang oleh pengelola program kerja di daerah bencana, merupakan tanggung jawab dari pemerintah, sebagaimana termaktub dalam peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 3 tahun 2008 yang berbunyi : “Pemerintah penanggulangan
daerah bencana
bertanggungjawab di
wilayahnya
dalam :a).
penyelenggaraan
Bupati/Walikota
sebagai
penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya. b).Gubernur memberikan dukungan perkuatan penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya”. Program rekonstruksi dan rehabilitasi kebencanaan, pada pelaksanaannya tidak mungkin hanya ditangani oleh pemerintah sendiri,
mengingat begitu
kompleksitasnya kerja, sehingga perlu adanya koordinasi dan kerja sama dengan pihak-pihak lain. Hal ini juga tercantum dalam peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 3 tahun 2008, yang berbunyi : “Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui kerjasama
dengan lembaga/organisasi dan pihak-pihak lain yang terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Maka
dengan kebutuhan tersebut pemerintah
melakukan kerjasama dengan beberapa lembaga atau organisasi yang concern dalam masalah ini. Program penanganan bencana yang telah dibuat dan dirancang oleh pemerintah maupun lembaga, seperti organisasi non profit harus segera dilaksanakan. Hal ini mengingat perlunya percepatan pemulihan kondisi pasca bencana. Dan biasanya ini menjadi sebuah pekerjaan yang besar. Relawan merupakan pelaksana dari program yang telah dibuat. Untuk itu peran relawan tidak kalah penting dan besarnya, relawan teramat dibutuhkan sebagai pekerja yang memberi bantuan bencana sebagai pelaku pelayanan darurat, yang sebagian besar dari mereka adalah personil yang terlatih, seperti pemadam kebakaran, tenaga medis, dan sebagian berasal dari masyarakat, yang jarang menerima pelatihan ketrampilan kerelawanan (Miller & Garret, 2009). Ada sebuah fenomena menarik dari keberadaan para relawan yang jumlahnya cukup banyak ini. Mereka terafiliasi dalam sebuah organisasi non profit
(Lembaga
Swadaya
Masyarakat)
atau
NGO
(Non
Government
Organization). Kemunculan mereka dari berbagai wilayah dengan latar belakang berbeda-beda, terjadi akibat bencana yang tidak terduga sebelumnya. Sebagian dari mereka sudah cukup lama bergabung dengan organisasi tempat mereka berafiliasi, dan cukup memiliki pengalaman dalam kerja-kerja kemanusiaan. Namun sebagian besar, karena tuntutan yang tidak terduga dari kondisi bencana, membuat mereka berafiliasi dan melakukan tindakan kerelawanan secara dadakan. Maka kondisi ini tentu saja akan dapat mempengaruhi kinerja
pelayanan dari relawan dalam melaksakan program yang telah dibuat oleh organisasi. Pada saat preliminary research para subjek penelitian menyatakan beberapa hal terkait dengan kinerja relawan di lapangan. Pernyataan SB mengenai kasus temannya sesama relawan yang memutuskan untuk lari malam karena merasa tidak sanggup menjadi relawan, seperti ungkapan : “ kontrak udah dibuat dan terikat tiga bulan untuk pelaksanaan program, cuma seminggu dia bertahan, lari malam, gak tahu kenapa, di lapangan semua baik aja, tapi gak tahu, gak siap mungkin, kurang bisa adaptasi, lagian kadang juga bingung mau ngapain aja, karena di lapangan banyak gak terprediksi, ya nyerah mungkin.” (SB) Sementara AM juga menceritakan, kasus temannya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, tapi karena kurangnya tenaga dan relawan ahli yang akan melakukan sebuah pelayanan, maka lembaga memintanya untuk berperan sebagai relawan konselor. Hal ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi si relawan, sebagaimana ungkapan AM : “ dia kayak stress berat, gak tau mo ngapa-ngapain, gak bisa apa-apa, minta resign, ngerasa gak sanggup lagi dengar orang cerita masalahnya, gak sanggup melakukan konseling, tapi karena kita kurang orang dan program juga udah mau berakhir, lembaga buat kebijakan, dia gak dikasi resign, disuruh di kantor bantu-bantu admin, tugasnya dialihkan ke kami.” (AM) Viswesvaran (dalam Widyarini, 2011) berpendapat kinerja merupakan salah satu aspek utama yang ingin dicapai oleh organisasi, dan merupakan konstruksi sentral dalam psikologi kerja. Kinerja individu-individu yang terlibat sebagai anggota dalam sebuah organisasi sangat menentukan kinerja dari organisasi itu sendiri, sehingga menyebabkan setiap organisasi menghendaki agar setiap anggotanya memiliki kinerja yang tinggi. Dengan kinerja yang tinggi maka harapan organisasi dalam mencapai tujuan dapat terpenuhi dengan
maksimal. Campbell (1990) menegaskan bahwa kinerja merupakan prilaku atau tindakan yang dilakukan oleh individu yang relevan dengan tujuan organisasi. Pada organisasi non profit, khususnya yang memberikan pelayanan sosial kemanusiaan di daerah bencana, relawan merupakan individu-individu yang menentukan kinerja organisasi. Para relawan merupakan pekerja garis depan sebagai pelayan operasional kegiatan yang dilakukan di lapangan, sehingga relawan merupakan wakil dari keberhasilan sekaligus pemberi citra suatu lembaga atau organisasi non profit, dalam memberikan pelayanan sosial kemanusiaan. Kinerja relawan merupakan persoalan yang memerlukan perhatian tersendiri, sebagaimana menurut Wright, Larsen dan Higgs (dalam Kiangura & Nyambegera, 2012) bahwa relawan adalah kelompok yang paling penting dari pelanggan untuk sebuah organisasi kerelawanan. Oleh karena itu, ketika organisasi melihat masalah kinerja yakni penurunan motivasi dan output dari relawan, sebaiknya tidak saja melihat masalah ini sebagai masalah yang dialami sendiri oleh relawan akibat kurangnya keahlian dan ketrampilan. Hasil penelitian dari People in Aid (2007) menyatakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah menghadapi isu-isu utama yang berhubungan dengan tingginya turnover dan kinerja yang buruk diantara staf dan relawan. Kualitas kerja dari para relawan ini akan sangat mempengaruhi eksistensi dari lembaga atau organisasi tersebut. Sebagaimana pendapat Savitri (2005) ada beberapa manfaat tentang program kerelawanan yang diungkapkan oleh organisasi non profit atau LSM, antara lain : relawan dapat menjadi penghubung antara lembaga dan
masyarakat, sehingga memperkuat hubungan lembaga
kemasyarakat; lembaga memperoleh tenaga, waktu, dan keahlian gratis yang bernilai sama atau bahkan lebih besar dari pekerjaan staf yang digaji dan bekerja
penuh waktu; lembaga membangun dukungan publik, yang akhirnya dapat memperluas gerakan sosial lembaga. Pernyataan
dan
ungkapan
pengalaman
diatas
mempertegas,
ada
kebutuhan akan pengelolaan yang baik, terhadap pelayanan seperti apa yang seharusnya dilakukan para relawan di lapangan, khususnya dalam menjalankan program yang telah dibuat oleh organisasi. Mungkin tidak diragukan, jika sejumlah relawan yang bergabung penuh dengan niat baik, membantu. Namun organisasi sepertinya harus mampu mengelola relawan, agar relawan mampu secara maksimal memberikan kontribusi sesuai dengan harapan. Karena situasi bencana selalu menuntut adanya perubahan dari hari ke hari, akibat tuntutan tugas yang sifatnya khusus dan mendesak terutama pada saat darurat, seperti menyelamatkan korban yang masih hidup, mencari atau menemukan mayat korban yang meninggal, mencari informasi korban meninggal dan hilang lalu menghubungi keluarganya. Tetapi ada juga tugas yang berlangsung dalam waktu cukup lama, seperti rehabilitasi dan pengembangan masyarakat, pembangunan fasilitas tempat tinggal, sekolah, membantu mengajar anak-anak, memberi ketrampilan atau kerajinan kepada korban. Melihat kondisi dan fenomena ini, menjadi menarik bagi peneliti untuk memahami lebih jauh, mengenai model kinerja pelayanan yang dilakukan oleh relawan bencana, khususnya yang bertugas di lapangan, yang dipersiapkan oleh organisasi tempat relawan berafiliasi, sehingga relawan benar-benar mengerti apa yang harus dilakukannya, kapan melakukannya, seperti bentuk pengarahan dari organisasi kepada para relawannya, bagaimana cara relawan melakukan pelayanan untuk melaksanakan sebuah program yang diberikan kepada korban bencana.
Alokasi pelayanan yang diberikan relawan amat tergantung sesuai dengan spesifikasi pelayanan. Pelayanan jangka panjang dengan kinerja yang baik akan membuat relawan menempati sebuah posisi seperti manajer dalam sebuah perusahaan profit, di lapangan mereka disebut koordinator lapangan. Sedangkan relawan dengan jangka waktu pelayanan yang pendek, dengan pengalamannya akan memberikan ide-ide mengenai pengembangan program dan proyek yang dapat diolah lebih lanjut oleh organisasi. Dan mereka, para relawan yang bertugas dalam pelayanan jangka pendek ini, dapat diandalkan untuk menjadi penanggung jawab atau pimpinan proyek jangka pendek dan mengelola relawan trampil. Terkait dengan fenomena keberadaan relawan di lapangan dalam menjalankan program dari organisasi. Maka bentuk pelayanan yang seperti apa sebenarnya yang dilakukan para relawan yang merupakan kinerja mereka sebagai bagian dari organisasi, menjadi jelas bahwa prilaku relawan yang mendukung tercapainya program organisasi tidak sekedar hanya penyelesaian dalam memberi pelayanan kemanusiaan dan kegiatan sosial di lapangan, yang dianggap menjadi tugas-tugas relawan, melainkan juga prilaku-prilaku secara sukarela yang mendukung visi dan misi organisasi. Sumbangan individu dalam hal ini relawan kepada organisasi tempatnya berafiliasi agar tercapai efektivitas organisasi merupakan hal yang menarik dan telah menjadi pemikiran tersendiri bagi para ilmuwan psikologi organisasi dan psikologi kerja walau lingkupnya masih menyoroti organisasi laba dan pekerja bayaran. Resiko kerja yang tinggi yang dihadapi relawan di lapangan, membuat relawan banyak mengalami tekanan dalam pekerjaan yang berakibat pada kinerja pelayanan yang akan diberikan. Hal ini patut menjadi perhatian, karena
akan menjadi masalah serius bagi kerja kerelawanan maupun, kelanjutan dari organisasi non profit yang beranggotakan para relawan. Dan yang paling utama, merasakan tidak efektifnya sebuah pelayanan dari kinerja relawan adalah masyarakat sebagai korban dari bencana tersebut. Bukan tidak mungkin akan memunculkan kekhawatiran, pelayanan yang diberikan tidak membantu, malah menambah beban bagi korban, karena kinerja relawan dalam menjalankan program tidak sesuai dengan harapan dan tujuan. Penelitian di Indonesia mengenai kinerja relawan dalam hal ini sangat spesifik, yakni relawan yang tergabung dalam suatu organisasi non profit atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu-isu kebencanaan, masih sangat sedikit. Beberapa penelitian masih terkait pada konteks masalah yang dialami sebagai resiko menjadi relawan di daerah bencana seperti vicarious trauma pada relawan bencana (Halimah & Widuri, 2012) atau berkaitan dengan konteks budaya, seperti penelitian Maesy (2006) yang mendeskripsikan masalah kultural dan pemecahan masalah yang dialami relawan yang bukan berlatar belakang dari suku Aceh asal Indonesia saat bertugas membantu rekonstruksi dan rehabilitasi pasca tsunami di Aceh. Dilihat dari dua penelitian tersebut, maka perspektif kajian yang digunakan adalah psikologi klinis dan psikologi sosial. Sementara perbedaannya dalam penelitian ini, penulis mencoba meneliti kinerja relawan secara khusus bentuk pelayanan yang dilakukan relawan, dan dinamikanya yang terikat dalam sebuah organisasi non profit, yang berfokus pada pelayanan sosial kemanusiaan, khusus di daerah bencana, dengan sudut pandang psikologi industri organisasi. Merupakan bentuk perhatian organisasi dalam mengembangkan sumber daya relawannya.
Pihak
organisasi
perlu
membangun
pola
atau
sistem
pengembangan sumber daya relawan yang dapat menunjang efisiensi dan efektifitas program pelayanan yang dilakukan.
B.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka persoalan
pokok yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah kinerja relawan bencana, dengan pola pertanyaan bagaimanakah pelayanan yang merupakan kinerja relawan, yang berafiliasi pada organisasi non profit (lembaga sosial kemanusiaan) dalam melakukan tindakan kemanusiaan di daerah bencana ?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja relawan serta dinamika
kinerja pada saat menjadi relawan bencana, yang berafiliasi dengan organsasi non profit pada saat melaksanakan program penanganan bencana, sesuai dengan rancangan dan rencana yang dibuat organisasi. Dengan mengetahui kinerja dan dinamika kinerja akan diperoleh suatu pelayanan yang efektif, untuk melaksanakan program dan gambaran kinerja relawan yang berbentuk sebuah pelayanan bagi penanganan para korban bencana. Sehingga hal ini menjadi bahan pertimbangan penting bagi organisasi, dalam membuat rancangan dan perencanaan program yang dapat dilaksanakan relawan, sesuai dengan tujuan dan harapan yang telah ditetapkan.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan manfaat secara
teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat teoritis a. Pengembangan keilmuan psikologi, khususnya dalam bidang psikologi industri dan organisasi, yakni mengenai kinerja kerelawanan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (human resources management). Kinerja relawan dan dinamika maupun temuan dalam bentuk pelayanan akan menjadi masukan penting bagi proses pelatihan dan pengembangan kapasitas relawan yang merupakan sumber daya manusia
berharga
bagi
organisasi
yang
mengelola
kegiatan
kerelawanan. b. Mendapatkan sebuah pelayanan yang merupakan gambaran kinerja bagi aktivitas kerelawanan. Diharapkan memberikan informasi untuk kepentingan teoritis maupun praktik, yaitu sebuah pelayanan sosialpsikologis,
berupa
tindakan
kerelawanan
yang
manusiawi
dan
berorientasi kemanusiaan. c. Merangsang penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pemahaman yang lebih baik terhadap relawan yang bergabung dalam organisasi sosial kemanusiaan, agar diperoleh pemahaman terhadap persoalan ini secara menyeluruh dan saling menyempurnakan. d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi organisasi penanggulangan kebencanaan di Indonesia sebagai negara yang sering mengalami bencana alam, yakni sebuah pelayanan yang efektif dalam melaksanakan program penanganan bencana, sehingga memiliki relawan yang menjadi agen-agen perbaikan dan perubahan, dengan sistem organisasi sosial kemanusiaan dan kerelawanan, dengan
perangkat model kinerja berbasis pelayanan yang sangat efektif untuk diterapkan. 2. Manfaat praktis a. Bagi para pengurus organisasi sosial kemanusiaan dan pemerhati badan pelayanan sosial dapat mengembangkan dan menerapkan sebuah pelayanan relawan yang lebih profesional dengan dipenuhi nilainilai dan jiwa kemanusiaan. b. Bagi para relawan diharapkan makin mencapai nilai-nilai profesionalitas dan
berkualitas
sehingga
memperlancar
pelayanan
yang
akan
memuaskan penerima atau pengguna manfaat pelayanan tersebut. c. Bagi para donatur atau dewan penyantun badan pelayanan sosial kemanusiaan mampu memahami peran dari organisasi dan peran dari para relawan sehingga menambah penghargaan dan pengakuan tersendiri sehingga tercipta sebuah kepercayaan dalam interaksi ini.
E.
Perbedaan dengan Penelitian sebelumnya Penelitian tentang relawan dan kerelawanan terutama yang berkaitan
dengan keberadaan relawan dalam sebuah organisasi sudah cukup banyak dilakukan. Tumbuh dan berkembangnya keberadaan relawan dalam misi-misi kemanusiaan menarik banyak peneliti untuk melihat berbagai fenomena yang terjadi didalamnya, seperti motivasi. Sebagian besar penelitian yang berkaitan dengan relawan, meneliti tentang aspek motivasi dari sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda dan dengan pendekatan hampir secara keseluruhan sama, yakni metode survey.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap fenomena yang terjadi pada relawan dapat mempertegas bahwa penelitian yang akan dilakukan ini tidak sama dengan yang sebelumnya, terutama dengan mengangkat tema kinerja pada relawan, yang cenderung masih sangat sedikit. Apalagi menggunakan sudut pandang psikologi industri dan organisasi, dengan pendekatan kualitatif. Salah satu penelitian tentang relawan berkaitan dengan kinerja dilakukan oleh Cnaan dan Cascio (1998). Penelitian ini bertujuan menilai kinerja dan komitmen relawan yang menjadi isu dalam manajemen organisasi pelayanan kemanusiaan. Menggunakan metode survey, dengan menilai relawan dari tiga variabel yaitu demografi, kepribadian dan situasional. Penelitian ini menghasilkan beberapa poin penting sebagai kesimpulan yang menjelaskan adanya tingkat perbedaan kinerja dan komitmen antara relawan dengan karyawan atau pekerja yang dibayar. Antara lain, adanya perbedaan alasan ekonomi antara relawan dengan karyawan bayaran. Dalam komitmennya pada organisasi relawan memiliki komitmen moral dan emosional sedang para karyawan memiliki komitmen instrumental, terjadi juga perbedaan jam atau waktu kerja antara relawan dengan karyawan. Hasil lainnya menyatakan bahwa banyak relawan yang berafiliasi lebih dari satu organisasi, sedang karyawan berafiliasi hanya pada satu organisasi. Dalam proses perekrutan relawan sering direkrut secara langsung dan informal bahkan cenderung mencoba-coba, sedangkan karyawan melalui proses perekrutan formal, hal ini menimbulkan perbedaan dalam hal komitmen. Penelitian lain terhadap kinerja relawan, dilakukan oleh Kiangura dan Nyambegera (2012). Penelitian ini meninjau pengaruh pengembangan sumber
daya relawan yang dilakukan oleh organisasi tempat relawan tersebut berafiliasi terhadap kinerja relawan, khususnya pada kasus relawan atau kerelawanan yang terjadi di Kenya, Afrika. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ada dua belas praktik motivasi atau penerapan pemberian motivasi yang dilakukan organisasi sehingga mempengaruhi kinerja relawannya, yaitu menerapkan budaya merayakan kesuksesan, menanamkan budaya kerja yang kuat, membuat harapan yang jelas pada pekerjaan, menggunakan metode evaluasi, memberi umpan balik, mengadakan sistem insentif, memiliki ketrampilan yang relevan, memiliki peran yang jelas, menciptakan budaya organisasi yang baik, sistem reward atau penguatan positif secara kelompok, menciptakan lingkungan yang kondusif dan deskripsi peran secara tertulis. Penelitian lain mengenai relawan dari sudut pandang psikologi sosial dilakukan oleh Maesy (2006) bertujuan mendeskripsikan masalah kultural dan strategi pemecahan masalah yang dialami oleh relawan atau pekerja kemanusiaan yang bukan berlatar belakang suku Aceh asal Indonesia saat bertugas membantu rekonstruksi dan rehabilitasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang hancur setelah tsunami melanda pada desember 2004 silam. Penelitian bersifat deskriptif kualitatif ini menghasilkan bahwa masalah kultural dialami dalam skala nasional oleh suku-suku yang berbeda. Dan kategori masalah yang muncul sesuai dengan masalah yang terjadi dalam kelompok kerja internasional dengan temuan empat kategori masalah yang baru, yaitu : (1) code of conduct, (2) perceptual difference on psychological activity, (3) perceptual difference on recreational activity, (4) work ethos. Selain itu, penelitian ini menunjukkan penggunaan kelima strategi pemecahan masalah kultural Adler
dan dua strategi pemecahan masalah khas Indonesia, yaitu musyawarah dan menghindari konflik. Strategi lain yang paling banyak digunakan adalah mediating person. Penelitian ini juga menunjukkan beberapa hasil tambahan. Pertama, empat faktor lain yang membantu mengatasi masalah kultural, yaitu mental readiness, individual factors, work related factors, dan culture related factors. Kedua, umumnya pekerja bantuan kemanusiaan Indonesia tidak melakukan persiapan khusus sebelum berangkat, namun melakukan pembelajaran langsung di lapangan. Hal ini memperkuat pernyataan Panggabean (dalam Maesy, 2006) bahwa pembelajaran budaya masyarakat Indonesia cenderung berlangsung alamiah atau learning by doing. Ketiga, adanya rekomendasi work related dan culture adaptation related untuk pekerja bantuan kemanusiaan yang akan bertugas di NAD. Penelitian Wibowo (2007) meneliti bagaimana prilaku prososial relawan bencana tsunami di Aceh. Dan hasil penelitiannya menyimpulkan, yaitu: (1)Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi relawan, meliputi: a)adanya rasa kemanusiaan dalam dirinya yang tinggi terhadap sesama, b)melakukan tindakan prososial sebagai relawan karena dipengaruhi oleh orang lain, c) menjadi relawan karena dorongan hati untuk membantu atau menolong tanpa membedakan siapa yang ditolong, d) menjadi relawan dipengaruhi oleh sifatnya yang suka menolong orang lain, dan e) ada faktor yang menguntungkan pribadi relawan (ada imbalan atau memiliki rasa bangga menjadi relawan); (2)Perilaku sosial relawan pada korban bencana tsunami dibedakan menjadi dua, yaitu: a) perilaku sosial tidak bertemu langsung dengan korban, antara lain dengan kegiatan sebagai petugas informasi bagian logistik, membantu di dapur
umum, dan membantu dalam bidang pendistribusian bantuan makanan, b)perilaku sosial bertemu langsung dengan korban dengan perilaku antara lain menjadi
guru TPA,
memberikan
hiburan,
membina
persahabatan,
dan
menanggapi kesedihan orang lain dengan simpati, membantu psikis anak-anak dan ibu-ibu merubah suasana hati sedih menjadi gembira, dan memberikan bantuan fisik mengevakuasi jenasah; (3) Manfaat perilaku prososial bagi relawan, yaitu :a) rasa senang membantu korban bencana alam sebab dapat meringankan penderitaan orang lain, b) ada rasa bangga menjadi relawan, c) ada imbalan yang menguntungkan bagi pribadi relawan, d) dapat meningkatkan rasa percaya diri, dan e) melatih diri untuk peduli terhadap orang lain.