BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana perpajakan dewasa ini lagi semarak dikalangan pemerintahan maupun perusahaan baik dalam skala lingkup yang kecil maupun yang besar, dikarenakan lemahnya pengawasan dibidang perpajakan sehingga sering kali terjadi kecurangan-kecurangan dibidang perpajakan. Saat ini pemerintah sangat ekstra menjaga dan mengawasi dibidang perpajakan, dimana dampak tindak pidana perpajakan sangat dirasakan selain dapat menggangu pemasukan uang ke Kas Negara yang sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan dan juga menghambat kesejahteraan masyarakat. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1 Pajak dalam prakteknya sering kali dinilai sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri atau oranglain dengan cara memanipulasi hasil penghitungan pajak terutang yang harus dibayarkan kepada Negara. Tindak pidana perpajakan tidak hanya berdampak buruk terhadap pendapatan Negara tetapi juga berdampak buruk kepada kemakmuran masyarakat. Langkah pemerintah untuk memperkecil atau menanggulangi kecurangan dibidang perpajakan yakni dengan cara melakukan perbaikan di dalam Undang 1
Pasal 1 Undang-undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan
Universitas Sumatera Utara
undang perpajakan serta penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan tersebut. Sehingga sanksi atau hukuman untuk tindak pidana perpajakan lebih efektif dan memberikan efek jerah terhadap pelakunya. Pengaturan tindak pidana perpajakan diatur dalam Pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang RI No. 6 Tahun 1983 (selanjutnya disebut Undangundang Perpajakan) tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 jo, Pasal 64 ayat (1) KUHP bahwa setiap orang yang karena kealpaannya: a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;atau b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.2 Adapun jenis-jenis perbuatan yang terdapat di dalam tindak pidana perpajakan melihat dari pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perpajakan yakni : “ setiap orang yang dengan sengaja : a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena pajak. b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. 2
Pasal 38 Undang-undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan
Universitas Sumatera Utara
d. Menolak untuk melakukan pemeriksaan e. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar f. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memeperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengn pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar3 Tindak pidana perpajakan tidak hanya dilakukan untuk kepentingan kekayaan memperkaya diri sendiri, tetapi juga dapat dilakukan secara korporasi. Hukum tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum. Dengan demikian, disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia memberikan perlindungan terhadap manusia. Konstruksi yang demikian itu disebut korporasi.4 Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, terlebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia tetapi juga mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan
3 4
Ibid, hal. 21 Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 67
Universitas Sumatera Utara
hukum. Dalam hal ini korporasi juga dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (crimes for corporation). 5 Menurut Konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional6 dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, bersama-sama. Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi atau pengurusnya. Pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perpajakan RI sebagai upaya untuk mengatasi dan meminimalisasi kasus-kasus perpajakan serta mengawasi pihakpihak yang terkait dalam sistem perpajakan itu sendiri baik di dalam ruang lingkup kantor-kantor pemerintahan, maupun perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak diberikan wewenang oleh pemerintah untuk memungut pajak dengan cara-cara yang telah ditentukan, yang mana pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh masyarakat kepada Negara tanpa mengharapkannya suatu imbalan. Pengaturan hukum pidana dalam suatu tindak pidana tidak hanya sebagai dampak penderitaan saja terhadap pelakunya, tetapi seringkali juga berisi nilai 5
Penjelasan Buku Kesatu angka 4 Konsep KUHP Baru. Dalam Penjelasan Pasal 48 Konsep KUHP Baru dijelaskan, bahwa kedudukan fungsional diartikan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan mengambil putusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut. Termasuk disini orang-orang tersebut berkedudukan sebagai orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tindak pidana tersebut. 6
Universitas Sumatera Utara
positif. 7 Dalam perkembangannya terlihat antara lain dengan dimasukkannya pasal-pasal 14a-14f ke dalam W.v.S 1915 pada tahun 1926 (S.1926-251 jo. 486) beserta ordonansi pelaksanaannya (S.1926-487) tentang pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Pidana bersyarat bukanlah merupakan pidana pokok sebagaimana pidana pokok yang lain, melainkan merupakan cara penerapaan pidana, sebagaimana pidana yang tidak bersyarat. Pasal 14a KUHP menyatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat berikut : 1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun, pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara, dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun. Yang menentukan bukanlah pidana yang dilakukan, tetapi pidana yang akan dijatuhkan. 2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini idak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun. 3. Dalam hal menyangkut denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betulbetul akan dirasakan berat oleh terdakwa. Selanjutnya dalam pasal 14b KUHP ditentukan masa percobaan selama tiga tahun bagi kejahatan dan bagi pelanggaran lainnya dua tahun. Dalam pasal 14c 7
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. (Bandung Penerbit Alumni. 1985) hal. 62
Universitas Sumatera Utara
KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan pidananya. Disamping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. Syarat-syarat diatas tersebut tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana. Bilamana syarat umum atau khusus tersebut tidak dipenuhi, maka berdasar pasal 14f ayat (1) hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas namanya diberikan peringatan pada terpidana.8 Sehubungan dengan asas-asas penerapan pidana bersyarat, tercakup satu hal yang sangat penting yakni manfaat yang diharapkan dari sanksi pidana bersyarat. Pidana bersyarat diharapkan dapat menjadi suatu kemungkinan pilihan yang sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemula. Kontak-kontak yang teratur terhadap masyarakat akan sangat bermanfaat dan menghindarkan pelaku tindak pidana dari proses prisonisasi yang sangat berbahaya bagi kepribadian seseorang. Manfaat ini tidak hanya akan dirasakan baik oleh penguasa maupun masyarakat. Manfaat lain yang dapat disebut adalah dari segi ekonomi, yakni 8
Ibid, hal. 64
Universitas Sumatera Utara
sepanjang menyangkut pembiayaan, maka pembiayaan bagi pelaksanaan pidana bersyarat akan jauh lebih murah dibandingkan dengan sanksi pidana perampasan kemerdekaan, sekalipun misalnya saja sanksi pidana bersyarat tersebut akan dijalankan secara efektif. Manfaat selanjutnya adalah, bahwa pidana bersyarat akan mengurangi penderitaan anggota-anggota keluarga lain yang hidupnya tergantung kepada pelaku tindak pidana, sebab dengan pidana perampasan kemerdekaan jelas akan meniadakan sumber utama kehidupan suatu keluarga.9 Pidana bersyarat sebagai salah satu pidana alternatif daripada pidana perampasan kemerdekaan yang mempunyai keunggulan-keunggulan tersendiri disbanding pidana perampasan kemerdekaan lainnya, karena dalam hal ini pembinaan pelaku tindak pidana dilakukan di dalam masyarakat, sehingga kerugian-kerugian yang mungkin terjadi akibat penerapan pidana perampasan kemerdekaan dapat dihindari. 10 Skripsi ini akan membahas dan menganalisa secara yuridis terkait dengan penerapan hukum pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan studi kasus Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012. Dengan Terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak yang bertindak sebagai Tax Manager Asian Agri Group (AAG) bertanggung jawab membuat Laporan Keuangan Konsolidasi (Neraca dan Laporan Rugi Laba) dan mempersiapkan, mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahuhan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Badan untuk seluruh perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group, pada tanggal 29 Maret 2003 sampai dengan tanggal 14 November 9
Ibid, hal. 193 Ibid, hal. 219
10
Universitas Sumatera Utara
2006 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006. Kesemuanya itu akan dirangkum dalam penulisan skripsi ini. Kasus tindak pidana perpajakan dalam Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012. Dengan terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak yang bertindak sebagai Tax Manager Asian Agri Group (AAG) Terdakwa melakukan beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atas nama PT. Dasa Anugrah Sejati, PT. Raja Garuda Mas Sejaati, PT. Saudara Sejati Luhur, PT. Indo Sepadan Jaya, PT. Nusa Pusaka Kencana, PT. Andalas Intiagro Lestari, PT. Tunggal Yunus Estate, PT. Rigunas Agri Utama, PT. Rantau Sinar Karsa, PT. Sispra Matra Abadi, PT. Mitra Unggul Pusaka, PT. Hari Sawit Jaya, PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Gunung Melayu yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara sebesar Rp. 1.259.977.695.652,- (satu trilyun dua ratus lima puluh sembilan milyar sembilan ratus tujuh puluh tujuh juta enam ratus sembilan puluh lima ribu enam ratus lima puluh dua rupiah).11 Jaksa Pununtut Umum dalam dakwaannya pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 19 Desember 2011 menuntut Terdakwa dipidana penajara selama 3 11
http://www.Mahkamah Agung.go.id. diakses pada hari senin, tanggal 29 April 2013 pukul 12.30
Universitas Sumatera Utara
(tiga) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar Terdakwa segera ditahan, ditambah dengan denda sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan12. Selanjutnya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tanggal 23 Juli 2012 menerima permohonan banding Jaksa Penuntut Umum yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian sebagai upaya hukum luar biasa kasus ini di putus oleh Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dengan masa percobaan 3 (tiga) tahun dengan syarat khusus selama 1 (satu) tahun 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan diwakili Terdakwa membayar 2 (dua) kali pajak terhutang yakni sebesar Rp. 2.519.955.391.304,- (dua trilyun lima ratus sembilan belas milyar sembilan ratus lima puluh juta tiga ratus Sembilan puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah) secara tunai. Kasus-kasus seperti ini penting untuk disoroti oleh kacamata publik dikarenakan sangat meresahkan masyarakat, dan merugikan Negara. Mengingat tindak pidana perpajakan secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem perekonomian nasional dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Negara. Disamping itu juga menarik untuk ditelaah berbagai peraturan yang terkait dengan tindak pidana perpajakan, maupun tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana itu sendiri.
12
Opcit, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di Indonesia? 2. Bagaimanakah penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan pada Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka yang menjaadi tujuan penelitian ini antara lain : 1. Menganalisa dan mengkaji ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana perpajakan yang dapat menjerat pelaku pidana perpajakan tersebut. 2. Menganalisa dan mengkaji penerapan hukum pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh para pelaku pidana perpajakan dengan melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara dengan Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan tindak pidana perpajakan sehingga kemungkinan untuk terjadinya ketidakselarasan hukum dapat diminimalisir.
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugasnya memperjuangkan keadilan yang sebenarnya serta mewujudkan tujuan hukum yang di cita-citakan. E. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi mengenai Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012) berdasarkan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan. Penulisan Skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran penulis secara pribadi tanpa ada penipuan, penjiplakan, atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak tertentu. Oleh karena itu skripsi ini adalah hasil dari karya penulis sendiri yang disusun dengan cara mempelajari, membaca, mengutip datadata yang ada pada buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan perundangundangan dan pihak lain yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya. F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit.
Universitas Sumatera Utara
Tidak ditemukannya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat13. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang tersebut merupakan tindak pidana atau tidak. 14 Barda Nawawi Arief menyebutkan, 15 bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “starfbaar feit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian maupun batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun adakalanya pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif ) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Pompe mengatakan, bahwa menurut teori (defenisi menurut teori) strafbaar feit 13
C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nasional, (Jakarta, Jala Permata Aksara. 2009) hal. 1 14 Mohammad Eka Putra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Medan, USU Press. 2010) hal. 73-74 15 Ibid, hal. 75
Universitas Sumatera Utara
itu adalah perbuatan, yang bersifat melaean hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup, dengan adanya tindak pidana, akan tetapi selain itu harus ada orang yang dapat dipidana. 16 Pembentuk Undang-undang menggunakan kata “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana, di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan tentang “strafbaar feit”. Oleh karena itu muncul di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit”.
17
Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus
memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan
seseorang
yang
dapat
dimintai
pertanggungjawaban
(toerekeningwatbaar) atau schuldfahig. Penjelasan Pasal 37 Konsep KUHP Baru menyebutkan bahwa dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. 18 Tindak pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan sebagaimana ditetapkan dalam suatu peraturan perundangan saja. Apakah pembuat tindak pidana yang telah melakukan perbuatan yang dilarang dan kemudian dijatuhi pidana, sangat tergantung pada persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pembuat tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, apakah pembuat
16
Ibid, hal. 81 Ibid, hal. 78 18 Ibid, hal. 83 17
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana mempunyai kesalahan. Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alas an pemaaf. Menurut Konsep KUHP Baru, tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materil. Pasal 11 Konsep KUHP Baru menyebutkan : 1. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. 3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Penjelasan Pasal 11 Konsep KUHP Baru menyebutkan bahwa hukum pidana Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya (daad-daderstrafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan. Dengan demikian maka tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana memperoleh kontur yang jelas. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan suatu perbuatan yang disebut tindak pidana. Perbuatan yang dimaksudkan meliputi baik perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak melakukan (pasif) yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan dan diancam pidana. Pencegahan akibat dari
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana pada dasarnya merupakan kewajiban menurut hukum, kecuali terdapat alasan yang meyakinkan dan diterima berdasarkan pertimbangan akal yang wajar. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka seemakin besar pula kemungkinan aspek keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktek dapat diatasi dengan
memberikan
penafsiran
atas
peraturan
hukum
tersebut
dalam
penerapannya pada kejadian-kejadian kongkrit. Apabila dalam penerapan dalam kejadian kongkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum.19 2. Tindak Pidana Perpajakan Tindak pidana ialah perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan dalam ketentuan pidana. Perlu dipahami bahwa ketentuan pidana tidak sematamata terdapat dalam KUHP saja, melainkan dapat juga dijumpai dalam undangundang lain seperti Undang-undang Pajak, Undang-undang Bea dan Cukai, dan sebagainya. Agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, perbuatan tersebut harus sesuai dengan perumusan yang diberikan dalam ketentuan undang-undang. 20 Kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak untuk mengarahkan pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain agar mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini didasarkan bahwa hukum pajak tidak dapat memberikan suatu kegunaan bila 19 20
Ibid, hal. 88 T.N. Syamsah, Tindak Pidana Perpajakan. (Bandung, P.T. Alumni, 2011), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
pihak-pihak dalam kedudukan sebagai stakeholder tidak memilki rasa keadilan dalam menunaikan atau melaksanakan tugas maupun kewajiban hukum masingmasing. 21 Pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 jo, Pasal 64 ayat (1) KUHP merumuskan bahwa : “ setiap orang yang karena kealpaannya : a.) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;atau b.) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.22 Secara yuridis, kejahatan dibidang perpajakan menunjukkan bahwa kejahatan ini merupakan substansi hukum pajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak. Kejahatan dibidang perpajakan dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pada
hakikatnya,
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau
21
Muhammad Djafar Saidi, Kejahatan dibidang perpajakan. (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada 2012), hal. 1 22 Pasal 38 Undang-undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undangundang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan
Universitas Sumatera Utara
tidak melakukan dibidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang perpajakan karena memenuhi rumusan kaidah hukum pajak. 23 Tindak pidana lazimnya dikelompokkan dalam : a) Pelanggaran Pelanggaran adalah tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan (culpoos) artinya bahwa tindak pidana itu dilakukan tidak dengan sengaja, melainkan terjadi karena pelakunya alpa, kurang memerhatikan keadaan atau khilaf (pasal 38 KUP, dan pasal 24 UU PBB. UU No. 12 Tahun 1994). b) Kejahatan Kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan dilakukan dengan sadar dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri yang merugikan oranglain atau masyarakat. Suatu perbuatan itu termasuk “pelanggaran” atau “kejahatan” ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 38 dan 39 UU No. 28 Tahun 2007. Sanksi tindak pidana “kejahatan” adalah lebih dari sanksi “pelanggaran”. Sanksi pidana untuk tindak pidana dibidang perpajakan dalam Undang-undang Perpajakan tidak ada yang berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup, tetapi hanya hukuman penjara yang tidak lebih dari 6 (enam) tahun. Perlu diperhatikan bahwa ketentuan hukum pidana umum yang tercantum dalam pasal 1 sampai dengan 85 berlaku juga untuk fakta tindak pidana yang diatur dalam UU lain (seperti UU Pajak, Bea dan Cukai, dan Imgrasi).
23
Muhammad Djafar Saidi, Opcit, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, ketentuan (perumusan dan sanksi) tentang percobaan (poging Pasal 53-54 KUHP) turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum (medeplichtig, deelneming, Pasal 55-62 KUHP), tentang gabungan perbuatan yang dapat dihukum (samenloop starfbare feiten Pasal 63 KUHP dan seterusnya.), berlaku juga untuk tindak pidana yang diatur dalam undang-undang perpajakan. 24 3. Sanksi Pidana Bersyarat Muladi mengemukakan bahwa pidana bersyarat adalah suatu pidana, dimana terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syaratsyarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.25 Sanksi pidana bersyarat dan bentuk-bentuk pemidanaan lain yang bersifat non-institusional merupakan hasil perkembangan yang sangat menonjol di dalam administrasi peradilan pidana. Perkembangan ini seharusnya mendapatkan tanggapan yang responsif dari perundang-undangan, dalam bentuk pelembagaan sanksi pidana bersyarat dalam peraturan-peraturan tentang standar pelaksanaan pidana bersyarat, sesuai dengan kondisi perkembangan zaman, berdasarkan pendekatan teoritis dan praktis. Hal ini berarti bahwa harus selalu dihindari semaksimal mungkin pidana perampasan kemerdekaan yang secara tidak alamiah 24 25
T.N. Syamsah, Opcit, hal. 27-30 Marlina, Hukum Penitensir (Bandung, PT. Reflika Aditama. 2011) hal. 135
Universitas Sumatera Utara
mengisolasi narapidana dari masyarakat yang terbukti akan berakibat fatal, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat.26 Pengaruh pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan berupa perlindungan masyarakat terlihat pada tujuan negatif pidana bersyarat, yakni untuk menyelamatkan terpidana dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya. Alasan ini sangat penting bilamana benar-benar tidak perlu dikhawatirkan bahwa yang bersalah akan mengulangi suatu tindak pidana yang agak berat. Dengan menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan, maka masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat, dengan memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, yang secara fakultatif dapat dbantu oleh lembaga kemasyarakatan. 27 Pidana bersyarat dalam hukum pidana Indonesia merupakan salah satu alternatif yang sangat penting dari pidana perampasan kemerdekaan, karena penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa keutungan, yakni : a. Memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat. b. Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan sehari-hari sebagai manusia, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. c. Mencegah terjadinya stigma. d. Memberikan kesempatan bagi terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaanpekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarganya. 26 27
Muladi, Opcit.hal. 191 Ibid, hal. 230
Universitas Sumatera Utara
e. Biaya efektif lebih murah dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan. f. Dengan pembinaan diluar lembaga, maka para petugas Pembina dapat menggunakan segala fasilitas yang ada dimasyarakat untuk mengadakan rehabilitasi terpidana.28 Fungsi-fungsi pemidanaan berupa pencegahan umum dan pengimbalan hanya dapat terpenuhi, apabila tindak pidana terasa begitu berat, sehingga pidana dapat ditentukan sebagian bersyarat dan tidak bersyarat. 29 Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam Pasal 18 ayat 1 KUHP menayatakan, bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan tidak dapat dikenakan pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan. Dalam menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terpidana.30 Syarat umum daripada pidana bersyarat yakni, terpidana bersyarat tidak boleh melakukan pelanggaran hukum selama masa percobaan. Disamping itu pengadilan dapat membebankan syarat-syarat khusus yang berkaitan dengan keadaan masing 28
Ibid, hal. 236 Ibid, hal. 238 30 Marlina, Opcit, hal. 142 29
Universitas Sumatera Utara
masing perkara. Adapun syarat-syarat khusus ini adalah bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Disamping itu juga dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaannya. Adapun syarat yang dijatuhkan oleh pengadilan tersebut diarahkan untuk membantu terpidana bersyarat menaati hukum, dalam kerangka rehabilitasi dan tidak terlalu membatasi kemerdekaannya aatau bertentangan dengan kebebasannya beragama dan berpolitik, dan juga persyaratan tersebut tidak boleh terlalu samar-amar sehingga tidak jelas.31 Pidana bersyarat secara otomatis berhenti dengan berhasilnya terpidana bersyarat melampaui jangka waktu percobaan yang telah ditentukan oleh pengadilan dengan mengeluarkan surat keterangan tentang penghentian tersebut, dan sebuah turunan surat keterangan tersebut harus diberikan kepada berkas terpidana bersyarat. Pengadilan yang menjatuhkan pidana bersyarat memiliki wewenang untuk menghentikan pidana bersyarat setiap saat, wewenang yang dilakukan mendahului jangka waktu berakhirnya pidana bersyarat, sebagaimana yang telah ditentukan dalam keputusan pengadilan ini harus didasarkan atas kenyataan bahwa terpidana bersyarat telah dapat melakukan penyesuaian dengan baik dan bahwa pengawasan serta pengenaan syarat-syarat lain tidak lagi diperlukan.32
31 32
Muladi, Opcit, hal. 249-250 Ibid, hal. 251
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan penerapan pidana pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan menelaah Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 atas nama terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui sebagai Tax Manager Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.33 Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normative bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi focus penelitian. 34
33
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2004) hal. 118 34 Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, Teori dan metodelogi penelitian hukum normative, Malang, Bayumedia Publishing, 2006, hal.321
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Data Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka (data sekunder). 35 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja.36 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.37 a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari; 1. Norma Kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945; 2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah di ubah dengan Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000, dan telah di ubah dan menjadi Perubahan Terakhir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009; 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah di ubah dan terakhir dengan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan; 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 Tentang pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasadan Pajak Penjualan Atas Barang 35
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Singkat (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2009) hal. 12 36 Amiruddin dan Zainal Asikin, Opcit, hal. 31 37 Ibid, hal. 118
Suatu Tinjauan
Universitas Sumatera Utara
Mewah, sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir menjadi Undangundang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak Pertambahan 1984; 6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak; 8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung awab Keuangan Negara; 9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara; 10. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001; 11. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1998 tentang Hukum Acara Pidana; 12. Kitab Undang-undang Hukum Pidana; 13. Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 Tanggal 18 Desember 2012 atas nama terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui. 14. Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya;
Universitas Sumatera Utara
1. Buku-buku yang terkait dengan hukum; 2. Artikel di jurnal hukum; 3. Komentar-komentar atas putusan Mahkamah Agung; 4. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum; 5. Karya dari kalangan praktisi hukum, maupun akademisi yang yang ada hubungannya dengan penelitian ini. c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hokum primer dan sekunder, diantaranya; 1. Kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia; 2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini; 3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana perpajakan. 3. Pengumpulan Data Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.
38
Studi kepustakaan
yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan tindak pidana perpajakan beserta penerapan hukumnya, termasuk juga bahanbahan lainnya yang ada kaitannt\ya dan dibahas dalam skripsi ini.
38
Ibid, hal. 63
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data Patton mengemukakan, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. 39 Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. 40 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti. H. Sistematika Penulisan. Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4 (empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut: BAB I : Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai gambaran umum dari skripsi 39
Patton membedakan proses analisis data dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencar pola hubungan antar dimensidimensi uraian. (Lexy J. Moeloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal.103)` 40 Ibid, hal. 190
Universitas Sumatera Utara
ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi. BAB II : Menguraikan tentang pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di Indonesia. Bab ini secara khusus menguraikan perbuatan pidana perpajakan dalam undang-undang perpajakan berikut dengan pertanggungjawaban tindak pidana perpajakan dalam hukum pidana. Bab ini juga memuat sanksi pidana perpajakan dalam hukum pidana di Indonesia. BAB III : Merupakan pembahasan mengenai analisis juridis penerapan pidana besyarat dalam tindak pidana perpajakan dalam kasus dengan Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012. Pada bab ini akan diuraikan bagaimana posisi kasus dari perkara ini, dakwaan, tuntutan pidana, alasan pengajuan kasasi, amar putusan, dan pertimbangan hakim yang selanjutya akan dianalisa dan dikaji secara mendalam terhadap putusan yang di berikan majelis hakim terhadap terdakwa dalam perkara ini. BAB IV : Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DI INDONESIA Hukum pidana adalah suatu kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang,dan sanksi dalam hukum pidana jauh lebih keras dibanding dengan akibat sanksi hukum yang lainnya.41 Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:42 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan tersebut dan dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara yang bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Menurut Simons, hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh Negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemua aturan-aturan 41 42
Marlina, Opcit, hal. 15 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002), hal. 1
Universitas Sumatera Utara