BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, setiap orang dimungkinkan menggunakan humor dalam berbagai situasi komunikasinya sehingga humor dapat dikatakan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Secara implisit, tidak ada seorang pun yang tidak pernah berhumor. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orangtua dapat menuturkan humor dalam setiap berkomunikasi dengan siapa pun. Akan tetapi, penuturan humor amat bergantung pada frekuensi dan tujuan para penuturnya masing-masing. Ada orang yang memiliki selera humor tinggi, tetapi ada pula yang memiliki selera humor rendah. Menurut Inu Wicaksana (2010: 14), humor itu perlu untuk kesehatan. Orang bijak mengatakan, humor itu menyehatkan. Tentu saja, humor yang baik, yaitu humor yang segar dan tidak melukai siapa pun. Membuat humor segar paling mudah adalah apabila menceritakan kekonyolan, kekurangan, dan kegagalan diri sendiri. Humor-humor demikian cukup menyehatkan, karena membuat manusia dapat mengambil jarak atau distansi dengan kehidupan dirinya. Dengan distansi, manusia dapat melihat kekonyolan sendiri, memberi kesegaran yang meredakan ketegangan, dan stres akibat tekanan kehidupan. Dengan kata lain, humor dapat dijadikan sebagai alat psikoterapi bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia, humor merupakan bagian dari bentuk folklor yang khas. Menurut Brunvand seperti dikutip oleh James Danandjaya (1991: 21), ada tiga
1
kelompok tipe folklor, yaitu folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Beberapa contoh folklor lisan Indonesia adalah bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian. Di antara contoh-contoh folklor tersebut, cerita prosa rakyatlah yang mengandung unsur humor. Umumnya, cerita humor tersebut berupa anekdot dan lelucon (Norrick, 2006: 335). Menurut James Danandjaja (1999: xiii), anekdot ialah cerita yang menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang tokoh masyarakat, atau beberapa tokoh masyarakat yang benar-benar ada. Misalnya, anekdot-anekdot politik yang dilontarkan Gus Dur guna menyindir penguasa Orde Baru (Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, 2001: vii). Sementara itu, lelucon ialah cerita fiktif lucu dari anggota suatu kelompok (folk), seperti suku bangsa, golongan, bangsa, ras, dan lain-lain. Contohnya, lelucon Gus Dur tentang orang Madura yang banyak akal dan cerdik (Muhammad Wahab Hasbullah, 2010: 62). Di samping itu, berdasarkan perbedaan sasaran lelucon, lelucon dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu lelucon dan humor. Menurut James Danandjaja (1999: xv), sasaran dalam lelucon adalah orang atau kelompok lain, sedangkan sasaran dalam humor adalah diri pribadinya sendiri atau kelompok si pembawa cerita sendiri. Jadi, seorang pelawak pembawa lelucon berbeda dengan seorang pelawak humoris. Seorang pelawak pembawa lelucon sering dibenci orang karena sering menyinggung perasaan orang lain, sedangkan seorang pelawak humoris justru
2
disenangi orang lain. Dengan ilustrasi tersebut, dapat dipahami bahwa lelucon yang berupa humor disenangi oleh banyak orang. Humor dapat membuat orang tertawa apabila mengandung satu atau lebih dari
keempat
unsur,
yaitu
ketidakmasukakalan, dan
kejutan,
yang
mengakibatkan
yang membesar-besarkan masalah
rasa
malu,
(Muhammad
Rohmadi, 2008: 111). Keempat unsur tersebut dapat terlaksana melalui rangsangan verbal berupa kata-kata atau satuan-satuan bahasa yang hadir tidak sebagaimana mestinya. Penggunaan bahasa dalam konteks humor dapat secara sengaja dikreasikan, seperti humor teka-teki, dan dapat pula secara tidak sengaja dikreasikan, seperti humor-humor pesantren yang mengandung unsur keluguan para santri dan kiai pesantren yang sikapnya sederhana, polos, dan apa adanya (M. Sholekhudin, 2005: 116-117). Selain membuat orang tertawa, dalam tradisi pesantren, humor juga menjadi alat menyampaikan pesan atau nasihat. Akhmad Fikri AF (2005: vii) menyebutnya sebagai “tawa-show” sekaligus “tawashow”, yang berarti „saling menasihati‟ (bahasa Arab). Menurut Mohamad Sobary seperti dikutip oleh M. Sholekhudin (2005: 119) bahwa humor dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) merupakan bagian dari kearifan. Dengan memakai humor, nasihat, saran, atau kritik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain akan cukup mengena, selain juga akan menimbulkan tawa bagi penikmatnya. Hal ini senada dengan pendapat Muhammad Rohmadi (2008: 111) bahwa humor dapat menjadi sarana untuk menyampaikan pesan secara tersirat dan tersurat bagi penciptanya sehingga penikmat humor tidak merasa tersindir atau tersinggung secara langsung.
3
Humor menjadi salah satu bentuk (genre) folklor para santri dan mantan santri (kiai) di pesantren (James Danandjaja, 1999: xi-xii). Humor para santri dan kiai itu dapat berbentuk dongeng, teka-teki, dan sebagainya. Dalam kerangka ini, humor dunia pesantren dipergunakan dalam arti sesuatu yang bersifat dapat menimbulkan atau menyebabkan penikmat atau penciptanya terhibur, tergelitik, dan tertawa. Meskipun demikian, humor pesantren atau “humor NU”, sering hanya dapat dipahami oleh pembaca yang mengerti idiom-idiom pesantren sehingga khazanah humor tersebut menjadi tidak terkenal. Namun demikian, ada seorang kiai NU yang justru dikenal oleh publik di Tanah Air dengan humor-humornya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid (alm.) alias Gus Dur. Menurut Zainal Arifin Thoha (2010: 49), humor menjadi kekhasan Gus Dur. Di berbagai situasi dan tempat, baik kunjungan kenegaraan di luar negeri yang resmi, berceramah di lingkungan pondok pesantren, maupun saat-saat berbincang informal, Gus Dur tetap berhumor. Gus Dur tidak hanya piawai melontarkan humor-humor berkenaan dengan dunia politik, tetapi juga humorhumornya berkenaan dengan dunia metafisik, budaya, hukum, pendidikan, agama, dan ekonomi. Bahkan, lebih dari itu, lanjut Zainal, Gus Dur cukup brilian menghumori (baca: melecahkan) diri sendiri. Mantan Ketua PBNU dan mantan Presiden keempat RI itu dalam hal melucu, tidak jarang memulai dengan menertawai dirinya sendiri sehingga orang lain tidak tersinggung (Bambang Haryanto, 2007: 14). Humor dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti peribahasa, tekateki, nyanyian rakyat, karikatur, kartun, dan cerita-cerita unik. Wacana humor
4
verbal tulis Gus Dur yang dijadikan bahan kajian penelitian ini termasuk jenis cerita-cerita yang pernah disampaikan oleh Gus Dur di berbagai situasi dan forum, baik formal maupun informal. Umumnya, cerita-cerita tersebut ditulis kembali oleh beberapa orang penulis dan diterbitkan menjadi buku, seperti Ngakak bareng Gus Dur (2010, cetakan pertama) karya Muhammad Wahab Hasbullah, Saya Nggak Mau Jadi Presiden Kok..! Ger-geran Lagi Bersama Gus Dur (2001, cetakan pertama) karya Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, dan Tawashow di Pesantren (2005, cetakan kelima) karya Akhmad Fikri AF. Maraknya penerbitan buku-buku humor Gus Dur belakangan ini, menjadi alasan utama untuk dilakukannya kajian wacana humor verbal tulis Gus Dur dalam bahasa Indonesia. Hal ini mengingat, bahwa dalam wacana humor dinilai adanya kreasi berhumor dengan menggunakan sarana bahasa, yaitu aspek semantik dan aspek pragmatik (Attardo, 2001: 168). Para pencipta humor memanfaatkan kedua aspek tersebut secara kreatif dan memunculkan humor-humor yang menghibur. Selain itu, dengan humor tersebut mereka juga telah mengembangkan kreativitas berbahasa yang diidentifikasikan oleh Chomsky sebagai komponen utama kompetensi linguistik (Bergen & Binsted, 2003: 12). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wacana humor muncul di dalam konteks penggunaan bahasa secara kreatif. Wacana humor memiliki perbedaan esensial dengan wacana nonhumor. Bila kaidah-kaidah pragmatik yang terjabar di dalam berbagai maksim dan parameter pragmatik dipatuhi secara ketat oleh wacana nonhumor, oleh wacana humor kaidah-kaidah itu disimpangkan, baik secara tekstual maupun interpersonal.
5
I Dewa Putu Wijana (2004: 6) menyatakan bahwa secara tekstual, wacana humor melakukan penyimpangan prinsip kerja sama (cooperative principle), dan secara interpersonal, wacana humor melakukan penyimpangan prinsip kesopanan (politeness principle) dan parameter pragmatik. Terjadinya kedua penyimpangan tersebut muncul karena adanya ketidaksejajaran (incongruity) dan pertentangan (conflict) yang terkait dengan norma-norma pragmatik bahasa. Akhirnya, penyimpangan itu dilakukan dengan maksud untuk membebaskan (relief) para pembaca dari beban kejenuhan, keseriusan, dan sebagainya. Apte (1985: 179) menjelaskan bahwa konsep ketidaksejajaran menjadi hal penting dalam humor. Hal itu terjabarkan ke dalam berbagai penyimpangan yang ada, seperti penyimpangan elemen fonologis dan gramatikal, kekacauan hubungan bentuk dan makna, reinterpretasi pemakaian kata-kata dan frase, dan berbagai bentuk penggunaan bahasa yang tidak semestinya. Dengan demikian, humor secara kultural disampaikan dengan bentuk bahasa tertentu. Sejalan dengan kerangka teori Hymes, genre wacana humor memiliki wujud bahasa yang berbeda dengan genre-genre wacana lainnya. Penggunaan bahasa informal lebih cocok untuk aktivitas berhumor karena sifatnya yang fleksibel, tidak terlalu terikat pada konvensi dan kaidah-kaidah bahasa baku, serta berbagai aturan-aturan serupa, seperti dikemukakan Apte (1985: 190-191) berikut ini: In many societies with emphasis on linguistic niceties, although a formal diglossia situation may not exist. In such societies the least formal talk, sometimes labeled “idle talk” or “frivolous speech,” is used for joking and humor primarily because it is flexible and is least burdened with rigid conventions, rules of formality, and other similar restrictions. (Apte, 1985: 190-191).
6
Di samping itu, wacana humor verbal tulis Gus Dur kaya akan permainan bahasa (pun) yang sejauh ini belum mendapatkan perhatian yang memadai dari para ahli bahasa. Kelucuan-kelucuan permainan bahasa dalam wacana humor verbal tulis Gus Dur tentunya ada yang bersifat universal, dan ada pula yang khas. Bersifat universal berarti dapat ditemui pula dalam humor dengan media bahasa lain, sedangkan bersifat khas berarti hanya ditemui dalam wacana humor berbahasa Indonesia sebagai refleksi sosial-budaya, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya. Untuk itu, wacana humor yang ada di dalam buku-buku humor Gus Dur tersebut masih sangat diperlukan bila ingin memahami wacana humor verbal tulis Gus Dur dalam bahasa Indonesia sebagai salah satu aspek penggunaan bahasa yang cukup layak diperhatikan. Wacana humor terbentuk melalui pemanfaatan berbagai aspek kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya. Terkait hal itu, ragam bahasa informal cenderung lebih banyak digunakan sebagai sarana berhumor sehubungan dengan sifat-sifatnya yang tidak terikat pada kaidah kebakuan sehingga ketaksaan yang merupakan aspek penting dalam humor mudah dimunculkan. Selain ketaksaan, aspek-aspek kebahasaan lainnya yang dimanfaatkan dalam penciptaan wacana humor, yaitu penyimpangan aspek fonologis, metonimi, sinonimi, antonimi, eufemisme, dan sebagainya. Analisis wacana dapat mengaplikasikan semua unsur kebahasaan. Namun demikian, analisis wacana teks tidak dapat meninggalkan analisis konteks. Konteks memiliki peran penting untuk mengungkap makna yang ada di dalam teks. Wacana humor di sini dipandang diciptakan oleh pencipta humor yang
7
didukung oleh konteks penciptaan humor. Menurut I Dewa Putu Wijana & Muhammad Rohmadi (2009: 73), konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi saat teks diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Kemudian, wacana di sini dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.
B. Identifikasi Masalah Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari kajian sosiopragmatik yang tekanannya pada pemakaian bahasa dalam kondisi sosial tertentu dan terikat pada konteks tertentu. Oleh karena itu, masalah penelitian ini mencakup bagaimana aneka konteks dan implikatur yang mendukung penciptaan wacana humor verbal tulis Gus Dur dalam bahasa Indonesia, serta penyimpangan aspek-aspek pragmatik yang terjadi di dalamnya. Secara singkat, masalah penelitian tersebut dapat dirinci menjadi beberapa submasalah yang dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan berikut ini. 1. Bagaimanakah aneka konteks dan implikatur yang mendukung penciptaan wacana humor verbal tulis Gus Dur? 2. Bagaimanakah penyimpangan aspek-aspek pragmatik dalam wacana humor verbal tulis Gus Dur? 3. Bagaimanakah pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dalam wacana humor verbal tulis Gus Dur sebagai refleksi realitas sosial-budaya yang khas? 4. Apakah pesan yang terkandung dalam wacana humor verbal tulis Gus Dur?
8
5. Apakah fungsi sosial dari wacana humor verbal tulis Gus Dur?
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah tersebut tampak bahwa wacana humor verbal tulis Gus Dur itu layak untuk diteliti, khususnya dengan kajian sosiopragmatik. Dengan dibatasinya penelitian ini pada wacana humor verbal tulis Gus Dur, objek kajian penelitian ini akan terpusat pada permasalahan aneka konteks dan implikatur dalam penciptaan wacana humor tersebut, serta penyimpangan aspek-aspek pragmatik yang terjadi di dalamnya.
D. Rumusan Masalah Dengan pembatasan masalah tersebut berarti fokus masalah penelitian ini dapat dirumuskan secara garis besar sebagai berikut. 1. Bagaimanakah aspek konteks dan implikatur yang mendukung penciptaan wacana humor verbal tulis Gus Dur? 2. Bagaimanakah penyimpangan aspek-aspek pragmatik dalam wacana humor verbal tulis Gus Dur?
E. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wacana humor verbal tulis Gus Dur dalam bahasa Indonesia, khususnya dengan kajian sosiopragmatik. Tujuan tersebut selanjutnya dapat dirinci sebagai berikut.
9
1. Mendeskripsikan aneka konteks dan implikatur yang mendukung penciptaan wacana humor verbal tulis Gus Dur. 2. Mendeskripsikan penyimpangan aspek-aspek pragmatik dalam wacana humor verbal tulis Gus Dur.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Pada tataran teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu bagi ahli bahasa mengenai kajian sosiopragmatik wacana humor verbal tulis Gus Dur dalam bahasa Indonesia, serta melengkapi khazanah penelitian pragmatik bahasa Indonesia pada umumnya, dan wacana humor pada khususnya, seperti I Dewa Putu Wijana (2004), Tommi Yuniawan (2007), Muhammad Rohmadi (2008), D. Jupriono (2009), dan Dwi Budiyanto (2009). Sementara itu, pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang Gus Dur yang dikenal sebagai kiai NU, cendekiawan Muslim, dan mantan Presiden keempat RI. Seperti dikemukakan Piliang (2002: 58), buku biografi Gus Dur karya Greg Barton, Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, dinilai belum memunculkan salah satu sisi yang sebetulnya amat kuat dari Gus Dur, yaitu aspek humorisnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang aspek humoris Gus Dur, terutama dari anekdot-anekdot yang dilontarkannya dalam berkomunikasi dengan siapa pun dan di mana pun.
10
G. Batasan Istilah 1. Humor merupakan rangsangan verbal yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya. 2. Implikatur merupakan berbagai interpretasi yang dapat ditarik dari suatu tuturan. 3. Ketaksaan merupakan hal yang bersangkutan dengan kegandaan makna satuansatuan lingual. Kegandaan makna yang potensial mengacaukan persepsi pembaca atau pendengar merupakan sumber yang sangat penting bagi kreasi humor verbal. 4. Konteks lingual merupakan bentuk-bentuk lingual yang mengikuti atau mendahului satuan lingual yang dibicarakan. 5. Konteks pragmatis merupakan konteks ekstralingual pemakaian bahasa, seperti penutur dan lawan tutur, tujuan tutur, waktu dan setting tuturan, serta bendabenda yang ada di sekitar penutur dan lawan tutur yang ditimbulkan oleh peristiwa penuturan itu. 6. Lucu merupakan sifat rangsangan yang dapat menimbulkan senyum dan tawa pendengar atau orang yang membacanya. 7. Maksim merupakan prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. 8. Parameter pragmatik merupakan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan tingkat kesopanan tuturan seseorang.
11
9. Pertuturan merupakan peristiwa diutarakannya satuan(-satuan) lingual oleh seorang penutur dalam suatu situasi tutur. 10. Pragmatik merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Yang lebih dipentingkan dalam studi pragmatik adalah maksud pembicara (speaker sense), bukan makna satuan lingual yang bersangkutan (linguistic sense). 11. Sosiopragmatik merupakan cabang pragmatik umum yang kajiannya menitikberatkan pada aspek nonlinguistik, terbatas pada pemakaian bahasa dalam kondisi sosial tertentu, dan terikat oleh konteks tertentu. 12. Wacana merupakan seluruh peristiwa bahasa yang membawa ujaran dari pembicara sampai ke pendengar, termasuk ujaran dan konteksnya. 13. Wacana humor merupakan seluruh peristiwa bahasa yang membawa ujaran dari pembicara sampai ke pendengar dengan maksud agar pendengar dapat tersenyum atau tertawa. 14. Wacana humor verbal tulis merupakan seluruh peristiwa bahasa yang dituliskan dan membawa ujaran dari pembicara sampai ke pendengar dengan maksud agar pendengar tersenyum atau tertawa.
12