1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Profesi hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri. Kerap
sekali
terjadi
masalah
yang
memicu
kekecewaan
masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara – perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas, terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif. Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang hakim harus membuat keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi
2
dalam masyarakat. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsur yuridis (kepastian hukum) dengan unsur filosofis (keadilan) ditampung didalamnya. Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat. Dalam praktek Peradilan, ada tiga istilah yang sering dipergunakan oleh hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini, istilah penemuan hukum paling sering di pergunakan oleh hakim, sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara. Penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena penemuan hukum itu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan, ilmuwan, peneliti hukum, para hakim, jaksa, polisi, advokat,
3
dosen, notaris dan lain-lain.1 Akan tetapi menurut Sudikno Mertokusumo2 profesi yang paling banyak melakukan penemuan hukum adalah para hakim, karena setiap harinya hakim dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik yang harus diselesaikan. Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa, sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu di tuangkan dalam bentuk putusan. Dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan, Majelis Hakim dapat mencarinya dalam: (1) kitab-kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, (2) Kepala Adat dan penasihat agama sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 15 Ordonansi Adat bagi hukum yang tidak tertulis, (3) sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusanputusan yang terdahulu itu, ia dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika ia yakin terdapat ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara, (4) tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkut-pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa itu, hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut di atas. Jika tidak diketemukan dalam sumber-sumber tersebut maka 1
Jazim Hamidi, 2005,Hermeneutika Hukum : Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta,hlm 19. 2 Sudikno Mertokusumo,2007, Penemuan Hukum Sejarah Pengantar, Edisi Kelima, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta,hlm 5
4
hakim harus mencarinya dengan mernpergunakan metode interpretasi dan konstruksi. Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undangundang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.3 Dahulu dikenal dengan doktrin Sens clair yang mengatakan bahwa penemuan oleh hakim hanya boleh dilakukan kalau peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto atau peraturannya sudah ada tetapi belum jelas, di luar ketentuan ini penemuan hukum oleh hakim tidak dibenarkan atau tidak ada. Tetapi sekarang doktrin Sens clair ini sudah banyak ditinggalkan, sebab sekarang muncul doktrin baru yang menganggap bahwa hakim dalam setiap putusannya selalu
melakukan penemuan hukum karena bahasa hukum
senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Dalam arus globalisasi seperti sekarang ini banyak hal terus berkembang dan memerlukan interpretasi, sedangkan peraturan perundangundangan banyak yang statis dan lamban dalam menyesuaikan diri dengan kondisi perubahan zaman. Salah satu tahapan dalam proses litigasi adalah upaya pembuktian. Hukum pembuktian dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks bahkanmenjadi rumit oleh karena pembuktian
3
Ahmad Ali,1996, Mengenal Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, Cet. I, hlm 167.
5
berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth), meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdatabukan kebenaran yang bersifat absolut tetapi kebenaran yang bersifat relatif . Sistem pembuktian dalam hukum acara perdata tidak sama sebagaimana yang dianut dalam sistem pembuktian dalam hukum acara pidana yang dalam proses pemeriksaannya menuntut pencarian kebenaran selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian juga harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran telah terbuktinya kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt), kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran yang hakiki (materiele waarheid). Sedangkan dalam proses peradilan perdata kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim hanya kebenaran formil (formeel waarheid), tidak dituntut adanya keyakinan hakim. Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil penggugat meskipun mengandung kebohongan dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan. Penyelesaian perkara perdata yang lebih menekankan pada pencarian kebenaran formil, mendapat perhatian dari para ahli hukum, karena terkadang menjadi alasan ketidakpuasan pihak-pihak yang berperkara atas putusan hakim. Apabila hakim semata-mata hanya
6
mencari kebenaran formil, sangat mungkin terjadi pihak yang sesungguhnya benar dapat dikalahkan perkaranya, karena tidak dapat menunjukkan buktibukti yang diminta di muka persidangan. Oleh karena itu, putusan hakim dalam praktek tidak selalu mencerminkan keadaan yang senyatanya. Sebagai akibatnya,
para
pencari
keadilan
merasa
dirugikan
hak-hak
dan
kepentingannya. Oleh karena itu, upaya penyelesaian perkara perdata yang berpijak pada kebenaran formil belum dapat sepenuhnya memberikan perlindungan dan jaminan terciptanya keadilan bagi para pencari keadilan. Kalau hal itu terus dipertahankan, maka nampaknya semboyan bahwa lembaga peradilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan dalam mencari kebenaran dan keadilan tentunya menjadi tidak signifikan lagi. Pada gilirannya akan berakibat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja dan integritas institusi peradilan. Sehingga dalam praktek peradilan perdata, ada kecendrungan mulai menuju kepada kebenaran materil, karena pencarian kebenaran formil semata dirasakan belum cukup. Seiring berkembangnya waktu muncul aliran aktif argumentatif yang menentang ajaran peran dan kedudukan hakim bersifat pasif, dengan argumentasi bahwa hakim tidak boleh dijadikan mahluk tak berjiwa (antre anemimes) tidak mempunyai hati nurani dan kesadaran moral, karena tidak layak dan tidak pantas hakim membiarkan para pihak berlaku sewenangwenang menyodorkan dan menyampaikan kebenaran yang berisi kebohongan dan kepalsuan. Argumentasi kedua, tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice).
7
Sehingga untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan maka fungsi dan peran hakim harus aktif mencari dan menilai kebenaran yang diajukan para pihak dengan menyingkirkan fakta atau bukti yang berisi kebohongan dan kepalsuan serta menolak alat bukti yang mengandung fakta abstrak sebagai dasar penilaian dalam mengambil putusan. Oleh karena itulah dalam proses peradilan perdata hakim tidak dilarang mencari dan menemukan kebenaran materiil karena tujuan pembuktian adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir serta mengambil keputusan berdasarkan pada pembuktian tersebut, sehingga kebenaran formil dan kebenaran materiil hendaknya harus dicari dan diwujudkan secara bersaamaan dalam pemeriksaan suatu perkara. Untuk itulah, menjadi sangat menarik apabila dilakukan suatu kajian intensif untuk mempertimbangkan dinamika penerapan konsep kebenaran formal dalam acara perdata dengan konsep kebenaran materiil dalam acara pidana dengan memberikan pengertian yang sama guna mempertajam kualitas penegakan hukum di bidang hukum perdata di Indonesia.
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas ada pokok permasalahan yang ingin penulis teliti, yaitu: 1. Faktor-faktor yuridis apa saja yang menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara perdata ? 2. Bagaimanakah korelasi penerapan konsep nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan terhadap suatu putusan pengadilan menurut keyakinan hakim dalam perkara perdata?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Mengetahui penerapan dinamika konsep kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran filosofis (keadilan) yang digunakan hakim dalam praktek hukum acara perdata di pengadilan dalam hal pengambilan suatu putusan perkara perdata. 2. Mengetahui seberapa besar relevansi penerapan konsep kebenaran formil dengan kebenaran materiil terhadap suatu putusan menurut keyakinan hakim dalam perkara perdata di pengadilan. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu hukum pada umumnya,dan hukum
9
acara perdata pada khususnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi manfaat dari dua sisi baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, yaitu: 1. Sacara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dalam berbagai konsep untuk kajian ilmiah yang pada akhirnya juga dapat menjadi sumbangan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan khususnya di tujukan pada perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum acara perdata dalam hal putusan yang di jatuhkan oleh hakim yang dasar putusan tersebut menggunakan keyakinan hakim dalam memutus perkara tersebut.
2. Secara praktis, penulis juga berharap bahwa tulisan ini bermanfaat untuk memberikan tambahan informasi dan pengetahuan bagi mesyarakat pada umumnya dan bagi mahasiswa hukum pada khususnya tentang penggunaan kebenaran materiil dalam suatu putusan perkara perdata apabila seorang hakim kurang yakin dengan adanya kebenaran formiil dalam persidangan yang dijalaninya.
10
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan dari hasil – hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya, penelitaian tentang “ TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEYAKINAN HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA PERDATA “ belum pernah di teliti sebelumnya oleh peneliti lain. Akan tetapi penelitian mengenai keyakinan hakim dalam memutus perkara sudah perdah dilakukan oleh : Alfiah yuliastuti (2010) Magister Ilmu Hukum, dengan judul penelitian “KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM “, dimana dalam penelitian tersebut titk berat permasalahan dan pembahasannya adalah menegenai implikasi sosial dari putusan yang di jatuhkan oleh seorang hakim dalam memeberikan putusan yang adil dan bijaksana. Berdasarkan
uraian
diatas,
maka
dapat
dipertegas
bahwa
permasalahan yang diajukan untuk diteliti benar belum pernah dilakukan sebelumnya. Khususnya pada fokus permasalahan mengenai keyakinan hakim dalam putusan perkara perdata yang tidak hanya menggunakan kebenaran formiil saja dalam menjatuhkan putusan tetapi sedikit mencolek kebenaran materiil untuk putusan yang dijatuhkan dengan mengakomodir tiga unsur yang sangat dibutuhkan sebuah putusan yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dengan demikian penelitian ini asli dan belum pernah di publikasikan
11
sepanjang mengenai judul dan permasalahannya yang diuraikan diatas, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian hukum, metode yang digunakan tergantung pada konsep hukum yang akan diteliti. Menurut Soetandyo Wignyosoebroto sebagaimana dikutip oleh Setiono mengatakan bahwa ada lima konsep hukum yaitu : a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. b. Hukum adalah norma-norma positif didalam sistem perundangundangan hukum nasional. c. Hukum adalah apa yang diputuskan ole hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law; d. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik; e. Hukum adalah manisfestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.4
4
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, 2010, hlm. 20.
12
Adapun metode penelitian yang akan digunakan pada skripsi nantinya adalah nomor 2 yaitu Hukum adalah norma-norma positif didalam sistem perundang-undangan hukum nasional dan masuk kategori konsep normatif yang empiris. Menurut Setiono dalam konsep normatif ini hukum adalah norma, baik yang diidentikkan dengan keadilan yang harus di wujudkan (ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan sebagai perintah yang eksplisit dan secara positif telah terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya.5
2. Bahan Penelitian a. Penelitian Kepustakaan Penelitian Kepustakaan merupakan sumber data sekunder yang di dalamnya terdapat bahan hukum primer yaitu bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan diteliti. Bahan hukum primer terdiri dari : 1). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang telah dikaji bahan-bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku tentang hukum
5
Ibid, hlm. 21
13
perdata, buku-buku yang membahas tentang pertimbangan hakim dalam memutus perkara perdata. Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadapa bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi : 1.) Kamus Besar Bahasa Indonesia 2). Kamus Hukum. 3). Bahan-bahan tertulis lainnya yang relevan berupa kamus dan ensklopedi.
b. Penelitian Lapangan 1.) Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Sleman. 2.) Subjek Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah seorang hakim yang pernah memutus perkara perdata menggunakn keyakinan hakimnya yaitu beliau Bpk. Nuryanto, S.H. 3.) Teknik Sampling Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik purposive sampling.
14
3. Cara dan Alat Pengumpulan Data Penelitian Adapun cara yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara kepada narasumber yaitu Bpk. Nuryanto, S.H. selaku hakim di Pengadilan Negeri Sleman, sedangkan alat yang digunakan untuk melakukan wawancara kepada beliau dengan menggunakan pedoman wawancara yang penulis buat untuk menjawab rumusan masalah yang akan penulis lakukan.
4. Analisis Data Penelitian Teknik
yang digunakan dalam menganalisis
data dengan
menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yaitu rumusan mengenai metode penelitian yang berfungsi sebagai penjelas yang kualifikasinya bersifat teoritis yang diolah dan ditarik sebagai suatu kesimpulan dengan metode berfikir deduktif serta penuntun pelaksana yang bersifat sementara. Sehingga didalam proses perumusan penelitian tersebut dapat dilakukan perubahan atau penyempurnaan, selanjutnya pada tahap akhir barulah melakukan reduksi data dengan suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.6
6
Andita Hadi Permana, Proposal Tesis Judul Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 Terhadap Efektifitas peran hakim Pengadilan Agama Indramayu dalam upaya mencegah dan mendamaikan perkara Perceraian Pada Tahun 2012 (studi Kasus Di Pengadilan Agama Indramayu, UNS Surakarta, 2012, h. 39