BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau terdapat legalitas terhadap perbuatan tersebut, baik berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap tindakan pemerintah dilandasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip Negara hukum. Indonesia adalah Negara hukum modern yang meletakkan sendi-sendi hukum di atas segalasegalanya. Bukan hanya setiap warga Negara harus tunduk, akan tetapi juga kekuasaan dan penyelenggaraan Negara pun harus didasarkan dan dibatasi oleh hukum.1 Indonesia dalam posisinya sebagai salah satu negara berkembang di dunia, berusaha membuat pembenahan di segala bidang dan berbagai aspek untuk
mengangkat
ketertinggalannya.
Dengan
perbaikan
melalui
pembangunan, ternyata di dalammnya terjadi segudang persoalan yang tidak 1
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-Analisisi Yuridis Normatif tentang unsur-unsurnya, UI-PRESS, Jakarta, 1995. Hlm. 29-30
1
terselesaikan. Salah satunya adalah korupsi yang terjadi dalam proses pembangungan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Dengan kondisi tersebut, sebuah predikat berhasil dipegang oleh Indonesia antara lain sebagai salah satu Negara terkorup di dunia.2 Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktik korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian Negara maupun dari segi kualitas semakin sistematis, canggih serta ruang lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat.3 Saat ini, Indonesia tercatat sebagai Negara terkorup di kawasan Asia, bahkan dalam skala dunia, Indonesia tergolong sebagai Negara yang korupsinya tinggi. Hal ini tampak dari hasil survey terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebagai berikut :
Versi Transparency International (TI)4 : Tahun 2006 : 2,4 urutan ke 130 dari 163 negara Tahun 2007 : 2,3 urutan ke 143 dari 179 negara Tahun 2008 : 2,6 urutan ke 126 dari 180 negara Tahun 2009 : 2,8 urutan ke 111 dari 178 negara
2
Chaerul Amir, 2014, Kejaksaan Memberantas Korupsi (Suatu Analisis : Historis, Sosiologis, dan Yuridis), PRO dealeader, Jakarta, Hlm. 6 3 Ibid. 4 Transparancy International, dapat diakses di : http://www.transparency.org/cpi2014/results, diakses pada tanggal 13 September 2015 Pukul 14.34 WITA
2
Tahun 2010 : 2,8 urutan ke 110 dari 180 negara Tahun 2011 : 3,0 urutan ke 100 dari 182 negara Tahun 2012 : 3,2 urutan ke 118 dari 176 negara Tahun 2013 : 3,2 urutan ke 114 dari 177 negara Tahun 2014 : 3,4 urutan ke 107 dari 174 negara Adapun
sasaran/target
yang
diharapakan
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014 adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dengan nilai 5.5 Riset dari Transparency International (TI)
menyebutkan, bahwa
Indeks Korupsi Indonesia terus naik dari 3,0 pada Tahun 2012 menjadi 3,2 Tahun 2013 dan yang terkahir pada Tahun 2014 menjadi 3,4. Hal tersebut menujukkan bahwa Indek Persepsi Korupsi Indonesia terus naik setiap tahunnya tetapi tidak mencapai apa yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tentunya tidak terlepas dari upaya Aparat Penegak Hukum sebagai Bagian dari struktur hukum dalam melakukan upaya penegakan hukum. Saat ini di Indonesia terdapat tiga lembaga yang berhak melakukan penegakan hukum terhadap tindak
pidana
korupsi
yaitu
Kepolisian,
Kejaksaan,
dan
Komisi
5
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Laporan Hasil Rapat Kerja Kejaksaan RI., dengan Tema “Optimalisasi Kinerja dengan Mengedepankan Peran Pengawasan Melekat untuk Mewujudkan Aparatur Kejaksaan yang Profesional, Proporsional, dan Behati Nurani:, Cianjur 20-23 November, hlm. 106. Dalam, Chaerul Amir, Op. Cit., Hlm. 8
3
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang mempunyai wewenang melakukan penegakan hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana disebutkan didalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan bahwa Jaksa Agung RI mengkordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer. Selain melakukan upaya represif seperti memberikan hukuman yang berat kepada koruptor guna menimbulkan efek jera bagi pelaku dan menimbulkan daya cegah bagi masyarakat agar menghindari segala bentuk korupsi dan penyalagunaan wewenang, diperlukan juga upaya preventif dalam melakukan pencegahan korupsi yang bersifat inovatif seperti memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat terkhusus generasi penerus dengan melakukan penerangan dan penyuluhan hukum ke masyarakat tentang menanamkan budaya malu untuk melakukan korupsi dan nilai-nilai kejujuran. Tidak dapat dikesampingkan, bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum. Menurut C. G. Howard & R. S. Mumners yang juga diakui oleh Achmad Ali dalam Law : Its Nature and Limits, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah Sosialisasi 4
yang optimal kepada seluruh target aturan hukum yaitu seluruh masyarakat. kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu Negara, dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya. Tidak mungkin penduduk atau warga masyarakat secara umum, mampu mengetahui keberadaan sautu aturan
hukum
dan
subtansinya,
jika
aturan
hukum
tersebut
tidak
disosialisasikan secara optimal.6 Prioritas Pendekatan
ini
utama
dalam
berupa
pendidikan
penguatan
adalah
kesadaran
perubahan masyarakat
sosial. dengan
membentuk pemahaman mereka bahwa korupsi telah merenggut hak warga untuk hidup sejahtera. Metode pendekatan ini adalah melalui pendidikan nilai seperti melakukan sosialisasi dan penyuluhun hukum ke masyarakat. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat kata “Pencegahan” dalam “Penjelasan” tetapi tidak mengutarakan lebih lanjut tentang perbuatan-perbuatan pencegahan tersebut. Pada hakikatnya tidak dapat disangkal bahwa tindakan represif mengandung juga tindakan preventif, namun perlu disadari bahwa preventif yang sesungguhnya berupa upaya maksimal untuk tidak terjadi tindak pidana
6
Achmad Ali, 2009,Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, Hlm. 376
5
korupsi. Ibarat “imunisasi” tentang suatu penyakit hingga orang yang telah diimunisasi tersebut tidak terkena penyakit dimaksud.7 Kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang berwenang dan bertugas untuk melakukan penerangan hukum dan penyuluhan hukum ke masyarakat sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam Pasal 30 ayat (3) huruf a yang menyatakan “Dalam Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, Kejaksaan terus menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat”. hal tersebut dapat menjadi instrument Kejaksaan guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hukum terutama dalam hal pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu penulis mencoba mengkaji wewenang dan tugas kejaksaan dalam memberikan penerangan hukum dan penyuluhan hukum ke masyarakat terutama dalam hal pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi. Menarik untuk dicermati bahwa selama ini masyarakat hanya melihat kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana, tetapi ternyata kejaksaan juga memiliki fungsi melakukan upaya pencegahan tindak pidana seperti melakukan penerangan dan penyuluhan hukum ke masyarakat. Masalah pemberatasan korupsi tidak hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum saja, Masyarakat dan
7
Laden Marpaung, 2001, Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta, Hlm. 74-75
6
penegak hukum
diharapkan dapat berperan dalam pencegahan korupsi
sejak dini. Pendidikan sebagai wadah untuk membentuk generasi penerus bangsa menjadi wadah yang efektif dalam rangka pencegahan korupsi. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan menghukum dan memberikan ceramah atau seminar anti korupsi. Agar tidak terjadi tumbuh silih bergantinya korupsi di Indonesia, maka perlu dicari sampai dari akar masalahnya. Dengan membekali pendidikan anti korupsi yang cukup akan memberikan perlindungan kepada para calon generasi penerus bangsa dari maraknya tindak korupsi.
Dari uraian diatas penulis mengangkat judul
tentang “Fungsi Edukatif Yustisi Kejaksaan dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah : 1. Bagaimanakah Implementasi Fungsi Edukatif Yustisi Kejaksaan dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Kendala apakah yang di hadapi oleh pihak Kejaksaan dalam melaksanakan Fungsi Edukatif Yustisi Kejaksaan dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ?
7
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, yaitu : 1. Untuk Mengetahui Implementasi Fungsi Edukatif Yustisi Kejaksaan dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. 2. Untuk mengetahui Hal Apa saja yang menjadi kendala Kejaksaan terkait Fungsi Edukatif Yustisi Kejaksaan dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.
D. Manfaat Penelitian Diharapkan dengan penelitian ini, dapat memberikan saran dalam hal fungsi edukatif kejaksaan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi serta hal apa saja yang menjadi kendala kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya tersebut sehingga proses pemberantasan korupsi di Indonesia dapat berjalan dengan maksimal.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kejaksaan 1. Sejarah Perkembangan Kejaksaan Republik Indonesia Pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1390) di Majapahit telah dikenal adanya jabatan yang dinamakan dhyaksa dan adhyaksa yang dibebani tugas untuk menangani masalah-masalah peradilan di bawah pimpinan dan pengawasan Gajah Mada. Dhyaksa adalah hakim pengadilan, sedangkan adhyaksa adalah hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa.8 Tugas Gajah Mada dalam urusan penegakan hukum bukan hanya sekadar bertindak sebagai adhyaksa, melainkan juga bertugas menjalankan segala peraturan raja (shitinarendan) dan sebagai astapada Raja Hayam Wuruk yang bertugas memberikan laporan kepada raja mengenai segala peradilan perkara-perkara yang sulit.9 Tugas yang terakhir ini mirip tugas jaksa sebagai lembaga penegak hukum selaku pihak yang menyerahkan perkara ke pengadilan agar diperiksa dan diadili, seperti yang dikenal pada 8
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 1985, Hlm. 8, Dalam, Yudi Kristina, Independesi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hlm. 30. 9 Gunawan Goetomo, Sejarah Perkembangan Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Fakultas Hukum Undip, Semarang, tanpa tahun, Hlm. 18, Dalam, Yudi Kristina, Ibid., Hlm. 31.
9
saat ini.10 Para adhiyaksa sebagai pejabat yang mengurus bidang peradilan di bawah kekuasaan raja, sedangkan dalam rangka menjalankan tugas-tugas peradilan di bawah pimpinan dan pengawasan Gajah Mada yang bergelar adhyaksa. Berdasarkan sebutan jabatan-jabatan penegak hukum pada zaman Majapahit, yaitu dhyaksa dan adhyaksa, sampai saat ini masih dipergunakan secara resmi sebutan jaksa sebagai suatu jabatan penegak hukum di lingkungan instansi Kejaksaan Republik Indonesia.11 Dalam perkembangan selanjutnya kejaksaan dan badan peradilan yang ada berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Badan-badan peradilan yang sudah mulai tertata secara modern dimulai pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.12 Badan-Badan peradilan yang ada pada masa pemerintahan Belanda didasarkan pada Reglement od de Rechterlyke en het Beleid der Justitie (RO) S.1847-23 dengan wilayah yustisi Pulau Jawa dan Madura, sedangkan di luar Pulau Jawa dan Madura berlaku Recht Reglement Buitengewestern (RBG).13 Hukum acara yang dipergunakan adalah Indlandsch Reglement (IR) berlaku sejak Tahun 1845, yang kemudian mengalami perbahan menjadi Het Herziene Inlands Reglement (HIR) pada Tahun 1941. Berdasarkan Pasal 1 10
Chaerul Amir, Op.Cit, Hlm. 31 Yudi Kristina, 2006, Independesi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 31. 12 Ibid. 13 Ibid. 11
10
RO terdapat tujuh unit badan-badan umum sementara kejaksaan sendiri berperan penting dan Pengadilan Negeri (Landraad) Pengadilan Justisi (Raad van Justitie) dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof). Dalam ketiga jenjang tersebut tugas dan wewenang jaksa disebut Openbaar Ministerie.14 Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 55 RO dan Pasal 30 HIR serta Reglement of de Strafvondering (SV) tugas dan wewenang Openbaar Ministerie tersebut adalah mempertahankan ketentuan undang-undang. Melakukan penyidikan dan penyidikan lanjutan, penuntutan kejahatan, dan pelanggaran, serta melaksanakan putusan pengadilan pidana.15 Openbaar Menisterie pada pengadilan negeri (Laandraad) serta Raad van Justitie dilaksanakan oleh Officer van Justitie atau subtitusi, sedangkan pada tingkat Hoogerecht oleh Procureur General atau subtitusinya disebut Advocat General. Pada Officer van Justitie pada Landraad adlah penuntut umum yang penuh (vowarding) dan mempunyai hubungan hierarkis dengan procureur general demikian juga pada Raad van Justitie sehingga tidak masuk ke dalam korps pengreh praja (Bestuursambtenaren). Hal ini berbeda dengan posisi para residen/asisten residen yang tetap masuk korps pangreh praja meskipun di dalam pengadilan bertindak sebagai Magistraat.16 Pada masa pemerintahan Jepang, terjadi perubahan pada lembaga pernuntutan, yaitu penghapusan jabatan Magistraat dan Officer van Justitie. 14
Ibid. Ibid. 16 Chaerul Amir, Op.Cit., Hlm. 32 15
11
Selanjutnya memberikan tugas dan wewenang penuntutan pada Penuntut Umum Bumi Putra (jaksa) di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan, yaitu seorang jaksa berkebangsaan Jepang. Perubahan tersebut menjadikan jaksa sebagai satu-satunya pejabat di bidang penuntutan sebagai Penuntut Umum yang penuh. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Osamu Seirei Tahun 1942, tugas dan wewenang kejaksaan adalah mencari atau menyidik kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan criminal, dan mengurus pekerjaan lain menurut hukum.17 Pada Seikoo Hooin terdapat kantor Kejaksaan (Kensatsu Kyoku), yaitu Seiko Kensatsu Kyoku (Kejaksaan Pengadilan Agung), Kootoo Kensatsu Kyoku
(Kejaksaan
Pengadilan
Tinggi),
dan
Tihoo
Kensatsu
Kyoku
(Kejaksaan Pengadilan Negeri)18 Secara
Yuridis,
keberadaan
kejaksaan
terbentuk
semenjak
pengumuman pemerintah Tanggal 19 Agutsus 1945 tentang susunan menteri-menteri Kabinet Presidensial pertama, ketika Mr. Dr. Kusumaatmaja dan Mr. Gatot menjabat sebagai Ketua MA dan Jaksa Agung yang pertama.19 Istilah Kejaksaan sendiri dipergunakan secara resmi dalam undangundang buatan Jepang, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942, yang diganti dengan Osamu Seirei Nomor 3 Tahun 1942, Nomor 2 Tahun 1944, dan Nomor 49 Tahun 1994. Peraturan-peraturan tersebut tetap berlaku 17
Yudi Kristina, Op. Cit., Hlm. 33 Ibid. 19 Ibid. 18
12
dengan adanya Pasal II AP Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948. Kedudukan kejaksaan di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia tetap berada di lingkungan kekuasaan eksekutif, dan bertindak selaku Penuntut Umum dibebani tugas penegakan Hukumm bersama-sama dengan penegak hukum lain di dalam lingkungan kekuasaan Yudikatif.20 Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), kedudukan Kejaksaan secara organic fungsional dan operasional berada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman sehingga dalam melaksanakan penegakan hukum Jaksa Agung bertanggungjawab kepada menteri Kehakiman. Sementara pada Periode Negara Kesatuan Tahun 1950, kejaksaan tetap berada di dalam Departemen Kehakiman. Kejaksaan menjadi lembaga yang terpisah dari Departemen Kehakiman baru terlaksana pada Keppres Tanggal 15 Agustus Nomor 204 Tahun 1960, berlaku surut Tanggal 22 Juli 1960.21 Pada masa orde baru, status kejaksaan sebagai departemen ditiadakan dan Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa Agung tidak berkedudukan sebagai menteri.
20 21
Ibid. Hlm. 34 Ibid.
13
Ketentuan tersebut tertian dalam SK Presidium Kabinet Ampera Nomor 26/U/KEP/9/66 Tanggal 6 September 1966 yang berlaku hingga sekarang. Pada Masa Reformasi Kejaksaan Republik Indoensia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang22. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan Negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan Hak Asasi Manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dalam Undangundang tentang Kejaksaan, Kejaksaan RI sebagai lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus melaksanakan
22
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
14
fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.23 Di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda Serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada setiap Provinsi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan, bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa.24 2. Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia a. Bidang Pidana Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan merumuskan tugas Jaksa sebagai berikut :25 1. Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang;
23
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 24 Chaerul Amir, Op.Cit., Hlm. 60 25 Pasal 2 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
15
2. Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud dilaksanakan secara merdeka; 3. Kejaksaan adalah salah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. Di bidang pidana ini, Kejaksaan mempunyai tugas :26 1. Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; 2. Melaksanakan penetapan Hakim dan Putusan Pengadilan; 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; 4. Melakukan
Penyelidikan
terhadap
tindak
pidana
tertentu
berdasarkan Undang-undang; 5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dillimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. b. Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Di dalam bidang perdata dan tata usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.27
26
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejasakaan Republik Indonesia 27 Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejasakaan Republik Indonesia
16
Di dalam menjalankan tugas perdata dan tata usaha Negara, Kejaksaan terus berupaya meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pemberi kuasa dalam hal ini Negara, dengan kinerja yang berhasil guna dan berdaya guna serta proaktif untuk “menjual jasa” bidang DATUN sebagai “Kantor Pengacara Negara” dengan cara membina hubungan dengan stakeholder dan melakukan presentase mengenai apa dan bagaimana (know-how) serta keuntungan dan kelebihan Jaksa Pengacara Negara (JPN).28 Membangun Kantor Pengacara Negara memerlukan penerapan budaya perusahaan yang baik, dengan melakukan perubahan pola pikir (mindset) JPN, perubahan budaya kerja (culture set), dan perubahan tata laku (Behaviori). Perubahan dimaksud meliputi; (i) Sikap mental: ruang lingkup JPN terbatas pada apa yang tersurat dan tersirat dalam SKK dengan status sebagai pihak yang kedudukannya sama dengan pihak lawan. JPN tidak menampilkan jabatan strukturalnya, melainkan berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan praktik beracara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku; (ii) Mengubah potensi menjadi kompetensi melalui minat baca dan mengikuti kegaitan in house training/seminar; (iii) Memantapkan pemahaman akan tugas dan fungsi DATUN, sehingga setiap JPN yakin dan 28
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Laporan Hasil Rapat Kerja Kejaksaan Republik Indonesia., dengan Tema “Optimalisasi Kinerja dengan Mengedepankan Peran Pengawasan Melekat Untuk Mewujudkan Aparatur Kejaksaan yang Profesional, Proporsional, dan Berhati Nurani”, Cianjur 20-23 November 2012, Hlm. 108-109, Dalam, Chaerul Amir, Op. Cit., Hlm. 83
17
bangga dalam mengemban tugas dan fungsi DATUN; (iv) kearifan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangan yang harus selalu mewarnai sikap JPN di samping sikap mengedepankan pada tugas pelayanan dan bukan wewenang.29 c.
Bidang Ketertiban Umum
Di dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :30 1. Peningkatan Kesadaran hukum masyarakat; 2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; 3. Pengamanan peredaran barang cetakan; 4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; 5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; 6. Penulisan dan pengembangan hukum serta statistik criminal. Selain wewenang dalam bidang pidana untuk melakukan penyidikan dan penuntutan, Kejaksaan juga memiliki wewenang dalam hal ketertiban dan ketertiban umum
antara lain turut menyelenggarakan kegiatan
peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Tugas dan wewenang Kejaksaan dalam ketentuan tersebut bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan 29
Ibid.Hlm. 84 Pasal 30 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 30
18
peraturan
perundang-undangan.
Yang
dimaksud
kegiatan
bersifat
membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, Kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait. Kejaksaan
harus
mampu
terlibat
sepenuhnya
dalam
proses
pembangunan, antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangungan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.31
3. Fungsi Intelijen Yustisial Kejaksaan Republik Indonesia Di dalam ketentuan undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, meyebutkan bahwa salah satu kewenangan lain sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tersebut ialah di bidang intelijen sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, Penyelenggara Intelijen Negara terdiri atas : 1. Badan Intelijen Negara; 2. Intelijen Tentara Nasional Indonesia;
31
Chaerul Amir, Op.Cit., Hlm. 86
19
3. Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4. Intelijen Kejasaksaan Republik Indonesia; 5. Intelijen kementrian/lembaga pemerintah non kementrian.32 Selanjutnya, dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, “Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d menyelenggarakan fungsi intelijen penegakan hukum”. Fungsi Intelijen sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 13 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2011 ialah Fungsi Intelijen sebagaimana yang diatur pada Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2011 yang menyebutkan : 1. Intelijen
Negara
menyelenggarakan
fungsi
penyelidikan,
pengamanan dan penggalangan. 2. Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan
secara
terencana
dan
terarah
untuk
mencara,
menemukan, mengumpulkan dan mengolah informasi menjadi intelijen, serta menyajikanya sebagai bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. 3. Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terencana dan terarah
32
M. Said Karim, Slamet Sampurno Soewondo, Zainal Abidin, Jurnal, “Implementasi Kewenangan Intelijen Yustisial Kejaksaan dalam Melakukan Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Vol.2 No. 3, Mei 2013, Hlm. 426
20
untuk mencegah dan/atau melawan upaya, pekerjaan, kegiatan intelijen, dan/atau pihak lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional. 4. Penggalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang dilakukan secara terncana dan terarah untuk mempengaruhi sasaran
agar
menguntungkan
kepentingan
dan
keamanan
nasional. 5. Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Tugas dan wewenang Jaksa Agung Muda Intelijen berdasarkan Pasal 132 Peraturan Jaksa Agung R.I. Nomor : PER-009/A/JA/01/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI adalah melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang Intelijen Kejaksaan yang meliputi kegiatan Intelijen Penyidikan, Pengamanan dan Penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana untuk mendukung pengakan hukum baik preventif maupun repre sif di bidang Ideologi, Politik ,Ekonomi, Keuangan , Sosial Budaya, Pertahanan Keamanan, melaksanakan Cegah
21
Tangkal terhadap orang-orang tertentu dan / atau turut menyelenggarakan Ketertiban dan Ketentraman Umum.33 Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut Jaksa Agung Muda Intelijen Menyelenggarakan fungsi sebagai berikut : 1. Merumuskan kebijakan dibidang Intelijen 2. Melakukan Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang Intelijen; 3. Melaksanakan hubungan kerja dengan instansi / lembaga, baik di dalam maupun di luar negri; 4. Memberikan dukungan teknis secara Intelijen kepada bidangbidang lain dilingkungan Kejaksaan; 5. Melakukan pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di bidang Intelijen; 6. Melaksanakan tugas lain yang di berikan oleh Jaksa Agung. Asisten bidang intelijen mempunyai tugas dan wewenang34 : 1. Melakukan kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk melakukan pencegahan tindak pidana guna mendukung penegakan hukum baik preventif maupun represif di bidang ideologi, politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya, 33
Kejaksaan Agung Republik Indoneisa,Dapat di akses di ://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=22&sm=2, diakses pada tanggal 21 September 2015 Pukul 15.00 WITA. 34 Peraturan Jaksa Agung No. : PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia
22
pertahanan dan keamanan, melaksanakan cegah tangkal terhadap orang-orang tertentu dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum dan penanggulangan tindak pidana serta perdata dan tata usaha negara di daerah hukumnya; 2. Memberikan dukungan intelijen kejaksaan bagi keberhasilan tugas dan kewenangan kejaksaan, melakukan kerjasama dan koordinasi serta pemantapan kesadaran hukum masyarakat di daerah hukumnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
pasal
516
ayat
(1)
Peraturan
Jaksa
Agung
No.
: PER-
009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, asisten bidang intelijen menyelenggarakan fungsi : 1. Perumusan kebijakan teknis kegiatan dan operasi intelijen kejaksaan berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya; 2. Melakukan koordinasi, perencanaan dan penyusunan kebijakan di bidang intelijen dengan didasarkan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan dengan bidang terkait; 3. Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian teknis kegiatan dan operasi intelijen kejaksaan berupa penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif
maupun
represif
mengenai
upaya
penyelamatan, 23
pemulihan keuangan negara dan perekonomian negara, kinerja tindak pidana umum; 4. Pelaksanaan supervisi serta pemberian dukungan terhadap lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah serta lembaga lainnya dalam rangka pelaksanaan sistem pengawasan dan pengendalian internal/eksternal dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana; 5. Pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan tindak pidana, sosialisasi pencegahan dan penanggulangan tindak pidana kepada pejabat negara, penyelenggara negara, organisasi non pemerintah serta elemen masyarakat lainnya; 6. Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian teknis kegiatan dan operasi intelijen kejaksaan berupa penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif maupun represif mengenai cegah tangkal, pengawasan media massa, barang cetakan, orang asing, pengawasan aliran kepercayaan masyarakat dan keagamaan meliputi aliran-aliran keagamaan,
kepercayaan-kepercayaan
keagamaan,
mistik-mistik
budaya,
budaya,
mistik-mistik
perdukunan,
pengobatan
pertabiban secara kebatinan, peramalan paranormal, akupuntur, shin-she, metafisika dan lain-lain yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan dan penyalahgunaan 24
dan/atau penodaan agama, ideologi, politik, sosial, budaya dan pertahanan dan keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa, pelanggaran hak asasi manusia, pencarian dan penangkapan buron kejaksaan, serta pemberian dukungan kinerja pelaksanaan tugas bidang pembinaan dan bidang pengawasan; 7. Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian teknis kegiatan dan operasi intelijen kejaksaan berupa penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif maupun represif dalam rangka menyelenggarakan persandian, administrasi dan produksi intelijen; 8. Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian teknis kegiatan penerangan dan penyuluhan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, hubungan media massa, hubungan kerjasama antar lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah, pengelolaan pos pelayanan hukum dan penerimaan pengaduan masyarakat, pengelolaan
informasi dan dokumentasi untuk
mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik secara nasional dalam rangka mendukung keberhasilan tugas, wewenang dan fungsi serta pelaksanaan kegiatan kejaksaan; 9. Pengamanan teknis dan non teknis di lingkungan unit kerja asisten bidang intelijen terhadap pelaksanaan tugas pada unit kerja bidang 25
intelijen dan unit kerja lainnya di lingkungan kejaksaan tinggi, meliputi
sumber
informasi/dokumen
daya
manusia,
melalui
material/aset,
kegiatan/operasi
data
intelijen
dan
dengan
memperhatikan prinsip koordinasi; 10. Pembinaan dan pelaksanaan kerjasama dengan kementerian, lembaga pemerintahan non kementerian, lembaga negara, instansi dan organisasi lain terutama pengkoordinasian dengan aparat intelijen lainnya di tingkat provinsi; 11. Pemberian saran pertimbangan kepada kepala kejaksaan tinggi dan pelaksanaan tugas lain sesuai dengan petunjuk kepala kejaksaan tinggi. Asisten bidang intelijen dalam tugasnya dibantu oleh 4 (empat) kepala seksi, yaitu : a. Seksi I, mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut : Melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi jaksa agung muda bidang intelijen dalam rangka penyelamatan, pemulihan keuangan negara dan perekonomian negara, kinerja tindak pidana umum serta tugas lain sesuai petunjuk asisten intelijen. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 519 Peraturan Jaksa Agung No. : PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia seksi I menyelenggarakan fungsi :
26
1. Perumusan
rencana
dan
program
kinerja
serta
laporan
pelaksanaannya; 2. Penyiapan perumusan kebijakan dan pemberian bimbingan serta pembinaan teknis intelijen berkaitan dengan penyelamatan, pemulihan keuangan negara dan perekonomian negara, kinerja tindak pidana umum; 3. Perencanaan dan pelaksanaan teknis kegiatan dan operasi intelijen
kejaksaan
berupa
penyelidikan,
pengamanan
dan
penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif
maupun
tantangan,
represif
ancaman
dan
guna
menanggulangi
gangguan
berkaitan
hambatan, dengan
penyelamatan, pemulihan keuangan negara dan perekonomian negara, kinerja tindak pidana umum; 4. Pengendalian dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan dan operasi intelijen kejaksaan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna; 5. Penerapan dan pelaksanaan prinsip koordinasi kerja dengan bidang teknis terkait di lingkungan kejaksaan tinggi; 6. Pelaksanaan
kerjasama
dengan
kementerian,
lembaga
pemerintah non kementerian, lembaga negara, instansi dan organisasi lain terutama dengan aparat intelijen lainya di tingkat provinsi; 27
7. Penyusunan laporan uraian situasi intelijen berkala, insidentil dan pembuatan
perkiraan
keadaan
mengenai
penyelamatan,
pemulihan keuangan negara dan perekonomian negara, kinerja tindak pidana umum; 8. Penyiapan bahan evaluasi dan laporan pelaksanaan rencana dan program
kinerja, pengumpulan, penelitian,
penelaahan
serta
pengadministrasian
pengolahan
laporan
dan
mengenai
penyelamatan, pemulihan keuangan negara dan perekonomian negara, kinerja tindak pidana umum yang berasal dari kejaksaan negeri, cabang kejaksaan negeri dan instansi lain di tingkat provinsi untuk diteliti, diolah, ditelaah dan disertai dengan pendapat untuk bahan pertimbangan bagi pimpinan.
b. Seksi II, mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut : Seksi II mempunyai tugas melakukan kegiatan dan operasi intelijen berupa penyelidikan, pengamanan dan penggalangan yang berkaitan dengan cegah tangkal, pengawasan media massa, barang cetakan, orang asing, pengawasan aliran kepercayaan masyarakat dan keagamaan meliputi aliran-aliran keagamaan, kepercayaan-kepercayaan
budaya,
mistik-mistik
keagamaan,
mistik-mistik budaya, perdukunan, pengobatan pertabiban secara kebatinan, peramalan paranormal, akupuntur, shin-she, metafisika 28
dan lain-lain yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa, pelanggaran hak asasi manusia, pencarian dan penangkapan buron kejaksaan, pemberian dukungan kinerja pelaksanaan tugas bidang pembinaan dan bidang pengawasan serta pelaksanaan tugas lain sesuai petunjuk asisten intelijen. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 521 Peraturan Jaksa Agung No. : PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, seksi II menyelenggarakan fungsi : 1. Perumusan
rencana
dan
program
kinerja
serta
laporan
pelaksanaannya; 2. Penyiapan perumusan kebijakan dan pemberian bimbingan dan pembinaan teknis intelijen di bidang cegah tangkal, pengawasan media massa, barang cetakan, orang asing, pengawasan aliran kepercayaan masyarakat dan keagamaan meliputi aliran-aliran keagamaan,
kepercayaan-kepercayaan
keagamaan,
mistik-mistik
budaya,
budaya,
mistik-mistik
perdukunan,
pengobatan
pertabiban secara kebatinan, peramalan paranormal, akupuntur, shin-she, metafisika dan lain-lain yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan 29
keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa, pelanggaran hak asasi manusia, pencarian dan penangkapan buron kejaksaan, pemberian
dukungan
kinerja
pelaksanaan
tugas
bidang
pembinaan dan bidang pengawasan; 3. Perencanaan dan pelaksanaan teknis kegiatan dan operasi intelijen
kejaksaan
berupa
penyelidikan,
pengamanan
dan
penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif
maupun
represif
guna
menanggulangi
hambatan,
tantangan, ancaman dan gangguan berkaitan dengan cegah tangkal, pengawasan media massa, barang cetakan, orang asing, pengawasan aliran kepercayaan masyarakat dan keagamaan meliputi budaya,
aliran-aliran mistik-mistik
keagamaan, keagamaan,
kepercayaan-kepercayaan mistik-mistik
budaya,
perdukunan, pengobatan pertabiban secara kebatinan, peramalan paranormal, akupuntur, shin-she, metafisika dan lain-lain yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa, pelanggaran hak asasi manusia, pencarian dan penangkapan buron kejaksaan, pemberian dukungan kinerja pelaksanaan tugas bidang pembinaan dan bidang pengawasan;
30
4. Pengendalian dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan operasi intelijen kejaksaan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna; 5. Penerapan dan pelaksanaan prinsip koordinasi kerja dengan bidang teknis terkait di lingkungan kejaksaan tinggi; 6. Pelaksanaan
kerjasama
dengan
kementerian,
lembaga
pemerintah non kementerian, lembaga negara, instansi dan organisasi lain terutama dengan aparat intelijen lainnya di tingkat provinsi; 7. Penyusunan laporan intelijen berkala, insidentil dan pembuatan perkiraan keadaan berkaitan dengan cegah tangkal, pengawasan media massa, barang cetakan, orang asing, pengawasan aliran kepercayaan masyarakat dan keagamaan meliputi aliran-aliran keagamaan,
kepercayaan-kepercayaan
keagamaan,
mistik-mistik
budaya,
budaya,
mistik-mistik
perdukunan,
pengobatan
pertabiban secara kebatinan, peramalan paranormal, akupuntur, shin-she, metafisika dan lain-lain yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa, pelanggaran hak asasi manusia, pencarian dan penangkapan buron kejaksaan,
31
pemberian
dukungan
kinerja
pelaksanaan
tugas
bidang
pembinaan dan bidang pengawasan; 8. Penyiapan bahan evaluasi dan laporan pelaksanaan rencana kinerja, pengumpulan, penelitian, pengolahan dan penelaahan serta pengadministrasian laporan berkaitan dengan cegah tangkal, pengawasan media massa,
barang cetakan,
orang asing,
pengawasan aliran kepercayaan masyarakat dan keagamaan meliputi budaya,
aliran-aliran mistik-mistik
keagamaan, keagamaan,
kepercayaan-kepercayaan mistik-mistik
budaya,
perdukunan, pengobatan pertabiban secara kebatinan, peramalan paranormal, akupuntur, shin-she, metafisika dan lain-lain yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa, pelanggaran hak asasi manusia, pencarian dan penangkapan buron kejaksaan, pemberian dukungan kinerja pelaksanaan tugas bidang pembinaan dan bidang pengawasan yang berasal dari kejaksaan tinggi, kejaksaan negeri, cabang kejaksaan negeri dan instansi lain di tingkat provinsi untuk diteliti, diolah, ditelaah dan disertai dengan pendapat untuk bahan pertimbangan pimpinan;
32
9. Pemberian bimbingan, pembinaan dan pengendalian terhadap pejabat fungsional dan staf di lingkungan kerjanya.
c. Seksi III, mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut : Seksi III mempunyai tugas melakukan kegiatan dan operasi intelijen berupa penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dalam rangka menyelenggarakan persandian yang meliputi penyelenggaraan
telekomunikasi,
pengamanan
data
dan
informasi, pengelolaan operasional bank data intelijen, sistem persandian, kontra penginderaan, pemantauan dan penginderaan, pengolahan dan analisa data, pembinaan sumber daya teknologi intelijen, administrasi intelijen dan penyediaan produksi intelijen di tingkat kejaksaan tinggi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 523 Peraturan Jaksa Agung No. : PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, seksi III menyelenggarakan fungsi : 1. Perumusan
rencana
dan
program
kinerja
serta
laporan
pelaksanaannya; 2. Penyiapan perumusan kebijakan, pemberian bimbingan serta pembinaan
teknis
intelijen
dalam
rangka
penyelenggaraan
telekomunikasi, pengamanan data dan informasi, pengelolaan 33
operasional bank data intelijen, sistem persandian, kontra penginderaan, pemantauan dan penginderaan, pengolahan dan analisa
data,
pembinaan
sumber
daya
teknologi
intelijen,
administrasi intelijen dan penyediaan produksi intelijen; 3. Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian teknis kegiatan intelijen
kejaksaan
berupa
penyelidikan,
pengamanan
dan
penggalangan untuk mendukung kebijakan penegakan hukum baik preventif tantangan,
maupun
represif
ancaman
penyelenggaraan
guna
dan
menanggulangi
gangguan
telekomunikasi,
hambatan,
dalam
pengamanan
data
rangka dan
informasi, pengelolaan operasional bank data intelijen, sistem persandian, kontra penginderaan, pemantauan dan penginderaan, pengolahan dan analisa data, pembinaan sumber daya teknologi intelijen, administrasi intelijen dan penyediaan produksi intelijen; 4. Penerapan dan pelaksanaan prinsip koordinasi kerja dengan bidang teknis terkait di lingkungan kejaksaan tinggi; 5. Pengendalian dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan operasi intelijen kejaksaan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna; 6. Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah serta lembaga lain terutama dengan aparat intelijen lainnya di tingkat provinsi; 34
7. Penyusunan laporan berkala dan insidentil, dan pembuatan perkiraan
keadaan
berkaitan
dengan
penyelenggaraan
telekomunikasi, pengamanan data dan informasi, pengelolaan operasional bank data intelijen, sistem persandian, kontra penginderaan, pemantauan dan penginderaan, pengolahan dan analisa
data,
pembinaan
sumber
daya
teknologi
intelijen,
administrasi intelijen dan penyediaan produksi intelijen; 8. Penyiapan bahan evaluasi dan laporan pelaksanaan rencana kinerja mengenai penyelenggaraan telekomunikasi, pengamanan data dan informasi, pengelolaan operasional bank data intelijen, sistem
persandian,
kontra
penginderaan,
pemantauan
dan
penginderaan, pengolahan dan analisa data, pembinaan sumber daya teknologi intelijen, administrasi intelijen dan penyediaan produksi intelijen yang berasal dari kejaksaan tinggi, kejaksaan negeri, cabang kejaksaan negeri serta instansi lain di tingkat provinsi untuk diteliti, diolah, ditelaah dan disertai dengan pendapat untuk bahan pertimbangan pimpinan; 9. Pemberian bimbingan, pembinaan dan pengendalian terhadap pejabat fungsional dan staf di lingkungan kerjanya. d. Seksi penerangan hukum mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
35
Seksi penerangan hukum mempunyai tugas melakukan kegiatan penerangan dan penyuluhan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, hubungan media massa, hubungan kerjasama antar lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah di tingkat
provinsi,
pengelolaan
pos
pelayanan
hukum
dan
penerimaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi dan dokumentasi untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik secara nasional dalam rangka mendukung keberhasilan tugas, wewenang dan fungsi serta pelaksanaan program kegiatan di daerah hukumnya. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 525 Peraturan Jaksa Agung No. : PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, seksi penerangan hukum menyelenggarakan fungsi : 1. Perumusan
rencana
dan
program
kinerja
serta
laporan
pelaksanaannya ; 2. Penyiapan perumusan kebijakan dan pemberian bimbingan serta pembinaan
teknis
penerangan
dan
penyuluhan
hukum,
peningkatan kesadaran hukum masyarakat, hubungan media massa, hubungan kerja sama antar lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah di tingkat provinsi, pengelolaan 36
informasi dan dokumentasi untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik secara nasional dalam rangka mendukung keberhasilan tugas, wewenang dan fungsi serta pelaksanaan program kegiatan di daerah hukumnya ; 3. Perencanaan
dan
pelaksanaan
teknis
penerangan
dan
penyuluhan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, hubungan media massa, hubungan kerjasama antar lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah di tingkat provinsi, pengelolaan pos pelayanan hukum dan penerimaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi dan dokumentasi untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik secara nasional dalam rangka mendukung keberhasilan tugas, wewenang dan fungsi serta pelaksanaan program kegiatan di daerah hukumnya ; 4. Pengendalian dan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan penerangan dan penyuluhan hukum, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, hubungan media massa, hubungan kerjasama antar lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah di tingkat
provinsi,
pengelolaan
pos
pelayanan
hukum
dan
penerimaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi dan 37
dokumentasi untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik secara nasional dalam rangka mendukung keberhasilan tugas, wewenang dan fungsi serta pelaksanaan program kegiatan di daerah hukumnya ; 5. Penerapan dan pelaksanaan prinsip koordinasi kerja dengan bidang teknis terkait di lingkungan kejaksaan tinggi ; 6. Penyiapan bahan evaluasi dan laporan pelaksanaan
rencana
kinerja, pengumpulan, penelitian, pengolahan dan penelaahan serta pengadministrasian laporan mengenai kegiatan penerangan dan
penyuluhan
hukum,
peningkatan
kesadaran
hukum
masyarakat, hubungan media massa, hubungan kerjasama antar lembaga negara, lembaga pemerintah dan non pemerintah di tingkat
provinsi,
pengelolaan
pos
pelayanan
hukum
dan
penerimaan pengaduan masyarakat, pengelolaan informasi dan dokumentasi untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana sesuai petunjuk teknis standar layanan informasi publik secara nasional dalam rangka mendukung. B. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah strafbaar feit dalam bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada 38
terjemahan resmi strafbaar feit. Menurut Simons tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang bertentangan dengan
hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab.35 Vos merumuskan bahwa suatu Strafbaar feit itu sebenarnya adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan36 Pembentukan Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan ”strafbaar feit”, maka timbulah dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut.37 Pendapat beberapa ahli mengenai tindak pidana adalah : a. Menurut Pompe38 “strafbaar feit” secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu : “.... pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tindak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
35
Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia - Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, Hlm. 97. 36 Adam Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajagrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-5, Hlm.72 37 Erdianto Efendi, Op.Cit. 38 Lamintang PAF, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hlm. 182, Dalam, Erdianto Efendi, Ibid., Hlm. 98.
39
b. Van Hammel39 merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu “ tindakan menggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat di pertanggungjawabkan dengan sengaja oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”40 c. Menurut E. Utrecht41 “Strafbaar feit” dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Sementara Moeljatno42 menyatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat. Komariah E. Sapardjaja43 mengatakan, tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan
39
Ibid. Ibid. 41 Ibid. 42 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum PIdana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, Hlm. 22-23., Dalam, Erdianto Efendi, Ibid., Hlm. 98. 43 Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudens, Alumni, 40
40
pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. Hal senada juga dikemukakan oleh Indriyanto Seno Adji44 mengatakan tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 2. Pemidanaan Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan, “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Pernyataan diatas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :45
Jakarta, 2002, Hlm. 22, Dalam, Chairul Huda, Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menjadi kepada „Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan‟, Kencana, Jakarta, 2013, Hlm. 27 44 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum PIdana, Kantor pengacara & Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & rekan, Jakarta, 2002, Hlm 155, Dalam, Chairul Huda, Ibid., Hlm. 28 45 Teguh Prasetyo, 2012, Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta, Hlm. 49
41
1. Pemberian pidana oleh pembentuk Undang-undang; 2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang; 3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang. Ada beberapa teori yang telah dirumuskan oleh para ahli mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemid anaan itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu :46 a. Teori Pembalasan atau Teori Absolute Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana. Penganjur teori ini antara lain Immanuel Kant yang mengatakan “Fiat Justitia ruat coelom”(walaupun kiamat, namun penjahat terakhir
harus
menjalankan
pidananya).
Kant
mendasarkan
teorinya
berdasarkan prinsip moral/etika. Penganjur lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan. Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.
46
Erdianto Efendi, Op.Cit. Hlm. 141
42
b. Teori Tujuan atau Teori Relatif Teori ini mendasarkan pandangan kepada maksud dari pemidanaan, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Artinya, dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan teori pembalasan. Kalau dalam teori pembalasan itu tindakan pidana dihubungkan dengan kejahatan, maka pada teori tujuan ditujukan kepada hari-hari yang akan dating, yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat tadi, agar menjadi baik. c. Teori Gabungan Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat memberi kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun kepada masyarakat.
43
C. Korupsi 1. Pengertian Korupsi Menurut Fockema Andreae47 kata Korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptio atau Corruptus (Webster Student Dictionary:1960). Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal pula dari kata asal Corrumpere, sautu kata Latin yang lebih tua. Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, Corrup; Prancis, yaitu : Corruption; dan Belanda, yaitu Corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.48 Arti harfiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, pernyimpangan arti dari kesucian, dapat disuap. Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.49 Sudarto mengatakan, bahwa istilah korupsi berasal dari perkataan Corruptio yang berarti kerusakan. Di samping itu perkataan korupsi dipakai
47
Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, huruf c, Terjemahan Bina Cipta. Dalam, Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 4. 48 Andi Hamzah, 2008, Pemberantasan Korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional, Rajawali Pers, Jakarta , hlm. 4 49 Poerwadarminta, Korupsi di Indonesia, Citra aditya, Bandung, 1999, hlm. 543, Dalam, Chaerul Amir, Op.Cit., Hlm. 90.
44
pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutpautkan kepada ketidakjujuran seorang dalam bidang keuangan.50 Robert
Klitgaard51yang
mengupas korupsi dari
dari
perspektif
administrasi Negara, mendefinisikan Korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan menyagkut tingkah laku pribadi. Konsepsi di atas timbul ketika adanya pemisahan antara kepentingan keuangan pribadi dari seorang pejabat dengan keuangan jabatannya. Prinsip pemisahan
ini
berhubungan
erat
dengan
konsep
demokrasi
yang
memandang pejabat atau pengusaha adalah orang yang diberi kepercayaan (otoritas/wewenang) oleh rakyat. Mereka yang menyalahgunakan wewenang dianggap telah mengkhianati kepercayaan yang diberi kepadanya. Jika dia berkhianat dalam masalah keuangan disebut telah melakukan tindak pidana korupsi.52 Ada tiga tipe fenomena yang tecakup dalam istilah korupsi : Penyuapan (Bribery), Pemerasan (exortion), dan Nepotisme. Ketiga tipe itu 50
Sajipto Rahardjo, “Hukum Progresif : Hukum yang Membebaskan” Jurnal Hukum Progresif, Semarang: PDIH Undip, Volume 1/Nomor 1/April 2005, hlm. 17 Dalam, Yudi Kristina, “Menuju Kejaksaan Progresif : Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi”. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia bekerjasama dengan National Legel Reform Program (NLRP), 2009, hlm. 49, Chaerul Amir, Ibid., Hlm. 90 51 Wasingatu Zakiah, “Penegakan HukumUndang-Undang Korupsi”, Makalah, Jakarta, 2001, hlm. 23. Dalam, Chaerul Amir, Ibid., Hlm. 90 52 Ibid.
45
berbeda, namun terdapat benang merah yang menghubungkan ketiga tipe korupsi itu, yaitu penempatan kepentingan-kepentingan public di bawah tujuan-tujuan
pribadi
dengan
pelanggaran
norma-norma
tugas
dan
kesejahtraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian atas kepentingan publik.53 Korupsi pada hakikatnya bukan sekedar masalah kriminal, melainkan juga masalah soosial. B. Sudarso54 dalam bukunya Korupsi di Indonesia mengatakan bahwa : Menghadapi masalah korupsi yang sudah meluas dan berurat berakar, yang oleh sementara kalangan dikatakan sudah merupakan “way of life”, orang setengah putus asa dan acuh tak acuh. Malahan, ada pendapat yang menyebutkan bahwa sebaiknya kita tidak berbicara mengenai korupsi lagi, tetapi pembangunan saja. Pada saat-saat tertentu memang seakan-akan timbul harapan bahwa penyakit itu akan sungguh-sungguh dapat diatasi, tetapi saat-saat penuh harapan demikian biasanya tidak berlangsung lama yang segera disusul oleh keraguan, keprihatinan, kekecewaan, dan kemudian sinisme. Ketika pembicaraan tentang korupsi dikaitkan dengan penyebab terjadinya
korupsi,
pada
umumnya
orang
akan
berpaling
untuk
menghubungkan tumbuh suburnya korupsi dengan sebab yang paling gampang untuk dikaitkan, misalnya, kurangnya gaji pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat kurang baik, administrasi dan manajemen yang
53
Syed Hussai Alatas, “Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi”, LP3ES, Jakarta, 1997, hlm. 15, Dalam, Chaerul Amir, Ibid., Hlm. 91. 54 B. Sudarso dalam Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Persada Indonesia, 1990, Hlm. 70, Dalam, Yudi Kristina, Op.Cit., Hlm. 10.
46
kacau
yang
menghasilkan
adanya
prosedur
yang
berliku-liku,
dan
sebagainya.55 Baharuddin Lopa56 menyatakan bahwa : Tampaknya masalah korupsi ini selalu ada. Ia akan ada dalam masyarakat primitive (tradisional), ia akan ada di suatu masyarakat yang sedang membangun, dan bahkan ia akan ada dalam masyarakat yang sudah maju sekalipun. Rupa-rupanya perbuatan korupsi ini sejak semula lahir bersama kelahirannya dunia ini dan agaknya umurnya pun akan seumur dengan dunia, apabila kita tidak mulau dari sekarang bersungguh-sungguh mencegah/memberantasnya. Berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan menurut Indriyanto Seno Adji57, pengertian korupsi tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan Negara saja. Tindakan Bribery (penyuapan), dan Kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah, seperti bureaucratic corruption atau tidak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk Offences beyond the reach of the law
(Kejahatan-kejahatan yang tidak
terjangkau oleh hukum).
55
Ibid. Baharuddin Lopa, Korupsi, Sebab-sebabnya dan Penanggulangannya, Prisma : 3, 1986, Hlm. 24, Dalam, Yudi Kristina, Ibid., Hlm. 11. 57 Indriyanto Seno Adji, 1996, “Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif”, Kompas Online, Dalam, Chaerul Amir, Op.Cit., Hlm. 93 56
47
Silalahi58 mengatakan, bahwa korupsi bukan hanya terjadi pada aparatur pemerintahan, korupsi di kalangan pegawai swasta malah jauh lebih besar, seperti terjadinya kredit macet di sejumlah Bank swasta yang disebabkan oleh adanya kolusi antara direktur bank dengan pengusaha. Di samping itu, korupsi di kalangan aparatur Negara tidak semata-mata disebabkan oleh gaji yang kecil, sebab yang justru melakukan korupsi secara besar-besaran adalah mereka yang bergaji besar, akan tetapi tidak puas dengan apa yang mereka terima sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan. Masood Ahmed59, Direktur pengurangan kemiskinan dan Manajemen Ekonomi Bank Dunia mengingatkan Negara-negara miskin, bahwa korupsi merupakan rintangan utama pertumbuhan ekonomi, karena korupsi membuat para investor menyingkir. Bukti-bukti yang berkembang menunjukkan, korupsi di Negara-negara sedang berkembang menjadi penghambat utama investasi sektor swasta dan bagaimana seharusnya jalan hidup rakyat biasa. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat pula pengertian korupsi sebagai tindakan melawan hukum, dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
58
Silalahi, Tak Perlu Dibentuk Badan Anti Korupsi, Alumni, Bandung, 1997, Hlm. 32, Dalam, Ibid., Hlm. 95 59 Masood Ahmed, “Korupsi dalam Menyongsong Era Liberalisasi”, Suara Pembaharuan Online, 1997, Dalam, Ibid., Hlm. 96
48
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 2. Bentuk-bentuk Korupsi Terdapat juga beberapa bentuk tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berupa : 1) Melawan hukum untuk memperkaya diri dan merugikan Negara; 2) Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara; 3) Menyuap pegawai negeri; 4) Memberi hadiah kepada pegawai negei karena jabatannya; 5) pegawai negeri menerima suap; 6) pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya; 7) Menyuap hakim; 8) Menyuap advokat; 9) Hakim dan advokat menerima suap; 10) Pegawai
negeri
menggelapkan
uang
atau
membiarkan
untuk
pemeriksaan
penggelapan; 11) Pegawai
negeri
memalsukan
buku
administrasi; 49
12) Pegawai negeri merusakkan bukti; 13) Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti; 14) Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti; 15) Pegawai negeri memeras; 16) Pegawai negeri memeras pegawai lain; 17) Pemborong berbuat curang; 18) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; 19) Rekanan TNI/Polri berbuat curang; 20) Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang; 21) Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang; 22) Pegawai negeri menyerobot tanah Negara dan merugikan orang lain; 23) Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya; 24) Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor ke Pihak berwajib; 25) Merintangi proses pemeriksaan; 26) Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya; 27) Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; 28) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan/keterangan palsu; 29) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; 30) Saksi yang membuka identitas pelapor. 50
3. Penyebab Korupsi Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi. Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian terpaksa korupsi kalau sudah menjabat”. memberikan pandangan bahwa penyebab korupsi adalah karena tergoda materi60 Arifin mengemukakan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain karena aspek perilaku individu, aspek organisasi dan aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain karena sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, gaya hidup konsumtif, tidak mau bekerja keras. Erry Riyana Hardjapamekas menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan karena keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa, rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil, lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan, rendahnya integritas dan profesionalisme, mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan, kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika. Secara umum faktor penyebab korupsi 60
Yogi Prasetyo, Makalah : “Pendidikan Anti Korupsi sebagai Upaya Preventif Pencegahan Korupsi”, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Ponorogo, Jawa Timur, 29 Juni, 2013, Hlm. 5
51
dapat
terjadi
karena
faktor
politik,
hukum
dan
ekonomi.
yang
mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu:61
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi Terrence Gomes memberikan gambaran bahwa politik uang (money politik) sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari
sisi
penerimaan,
pemerasan
uang
suap,
pemberian
perlindungan, pencurian barang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong
korupsi
yang
disebabkan
oleh
konstelasi
politik.
Sementara menurut De Asis, korupsi politik misalnya politik uang pada pemilu penyelesaian konflik parlemen melalui cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang.
Hukum dilihat dari lemahnya perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum oleh aparat Negara. Dikemukakan pula oleh Basyaib, yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Rahman Saleh merinci ada empat faktor dominan penyebab merajalelanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan rendahnya “political will”.
61
Ibid.
52
Ekonomi, korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi. Kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang merupakan faktor yang paling menonjol dalam arti menyebabkan merata dan meluasnya korupsi di Indonesia dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker dengan situasi demikian para pegawai terpaksa mencari penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya dengan meminta uang ekstra Pada dasarnya korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi kemiskinan disebabkan oleh korupsi.
Birokrasi, kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Fenomena korupsi menurut Baswir pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial. Secara teori Handoyo menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan social. Teori lain yang menjabarkan terjadinya korupsi adalah teori Solidaritas Sosial yang dikembangkan oleh Emile Durkheim memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakatnya. Emile Durkheim berpandangan bahwa masyarakatlah yang
53
menciptakan kepribadiannya. Jack Bologne, yang dikenal dengan teori GONE.
Ilustrasi
GONE
Theory
menyebabkan
terjadinya
korupsi
Opportunities
(kesempatan),
terkait
dengan
meliputi
Needs
faktor-faktor
Greeds
(kebutuhan)
yang
(keserakahan), dan
Exposure
(pengungkapan) Faktor internal penyebab korupsi adalah aspek perilaku Individu, seperti sifat tamak/rakus, moral yang kurang kuat; cenderung mudah tergoda untuk korupsi, gaya hidup yang konsumtif tidak diimbangi dengan pendapatan.62 Faktor eksternal peneyebab korupsi adalah aspek sikap masyarakat terhadap korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Aspek ekonomi, pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Aspek Politis menurut Satjipto Rahardjo bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Aspek organisasi, kurang keteladanan pimpinan, pengawasan lemah
serta
kurangnya
kepatuhan
pada
etika
hukum
maupun
pemerintahan.63
62 63
Ibid. Ibid.
54
4. Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Menurut Andi Hamzah, Strategi Pemberantasan korupsi disusun dalam tiga tindakan terprogram, yaitu Prenvention (Pencegahan), Public Education (Pendidikan Publik), dan Punishment (Hukuman).64 a. Strategi Preventif Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan
cara
menghilangkan
atau
meminimalkan
faktor-faktor
penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Konvensi PBB Anti Korupsi, United Nation Againts Corruption (UNCAC), menyepakati langkah-langkah untuk mencegah terjadinya korupsi. Masing-masing Negara setuju untuk : “…. Mengembangkan dan Menajalankan Kebijaksanaan anti-korupsi terkoordinasi dengan mempromosikan partisipasi masyarakat dan menunjukkan prinsip-prinsip supremasi hukum, manajemen urusan public dan property public dengan baik, integritas, transparan, dan akuntable,…. Saling bekerjasama untuk mengembangkan langkah-langkah yang efektif untuk pemberantasan korupsi.” b. Public Education Public Education
atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat
perlu digalakkan untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan 64
Academia.edu, dalam http://www.academia.edu/3097181/STRATEGI_PEMBERANTASAN_KORUPSI_DI_INDONE SIA, Diakses pada tanggal 2 Oktober 2015 pukul. 11.36 WITA
55
anti-korupsi ini bias dilakukan melalui berbagai pendekatan, agama, budaya, sosial, ekonomi, etika, dsb. Adapun sasaran pendidikan anti-korupsi secara garis besar bias dikelompokkan menjadi dua : a) Pendidikan anti-korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur pemerintah. b) Public Education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembaga-lembaga
keagamaan,
dan
tokoh-tokoh
masyarakat. semua itu dilakukan untuk meningkatkan moral anti korupsi. Public perlu mendapat sosialisasi konsep-konsep seperti kantor public dan pelayanan public berikut dengan konsuekensi-konsuekensi tentang biayabiaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi. c. Strategi Punishment Strategi Punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dibandingkan Negara-negara lain, Indonesia memiliki dasar hukum pemberantasan korupsi paling banyak, mulai dari peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum era reformasi sampai dengan produk hukum era reformasi, tetapi pelaksanaannya kurang konsisten sehingga korupsi tetap subur di negeri ini. 56
Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan anti-korupsi yang ada, salah satu yang paling popular barangkali Undang-undang Nomor 30/2002 tentang KPK. KPK adalah lembaga Negara yang bersifat
independen
yang
dalam
pelaksanaan
tugas
dan
kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 41 ayat (5) menyatakan bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut diwujudkan dalam bentuk :65 a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Korupsi; b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mecari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c. Hak menyampaikan saran dan pendapat serta bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menagani perkara tindak pidana korupsi;
65
Surachmin (et.al), 2011, Strategi & Teknik Korupsi : Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 149
57
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam : i.
Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksu dalam huruf a, b, dan c;
ii.
Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
iii.
Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak
dan
tanggung
jawab
dalam
upaya
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Berhubung karena judul yang diajukan oleh penulis yaitu analisis mengenai Fungsi Edukatif Yustisi Kejaksaan dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, maka penulis melakukan penelitian di kantor Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang berlokasi di Jalan Jendral Urip Sumoharjo No. 244, Panakukkang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
B. Jenis dan Sumber Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu : 1. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara
secara
langsung
dengan
pihak
terkait
untuk
memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan judul penulis.
59
2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literature, dokumen-dokumen serta peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dengan materi penulisan. Data jenis ini diperoleh melalui perpustakaan dan dokumentasi pada instansi terkait.
C. Teknik Pengumpulan data Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua metode penelitian, yaitu : 1. Metode Penelitian Pustaka (Library Research) Penelitian pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan sejumlah data, meliputi bahan pustaka yang bersumber dari buku-buku, dan dokumen-dokumen
perkara
serta
peraturan-peraturan
yang
berhubungan dengan penelitian ini. 2. Metode Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan penulis memperoleh data primer dengan menggunakan dua metode, yaitu : a. Metode Observasi yaitu penulis mendatangi langsung ke lokasi penelitian. b. Metode
wawancara
(Interview)
sehubungan
dengan
kelengkapan data yang akan dikumpulkan maka penulis 60
melakukan
wawancara
dengan
pihak-pihak
yang
dapat
memberikan informasi yang berkaitan dengan judul yang ditulis.
D. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian ini dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.
61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Fungsi Edukatif Yustisi Kejaksaan dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Secara internasional kejahatan korupsi tidak dikelompokkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), tetapi dikelompokkan sebagai kejahatan terorganisir yang dapat merusak sendi-sendi sosial dan rule of law. Oleh karena itu konvensi anti koupsi mengamanatkan kepada Negara-negara peserta untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi di masing-masing Negara. Artikel 30, dari the Convention against Corruption, mengatur mengenai penuntutan, pengadilan dan saksi dari kejahatan korupsi. Artikel 30, menyatakan “each state party should, “maximize the effectiveness of law enforcement measures in respect of those offenses and with due regard to the nedd to deter the commission of such offenses.” Pada prinsipnya, upaya untuk menanggulangi berbagai jenis tindak pidana (termasuk tindak pidana korupsi) ditempuh dengan 2 (dua) metode, yaitu : 1. Upaya preventif, Upaya Preventif adalah upaya awal atau langkah awal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana atau kejahatan. Usaha-usaha yang dilakukan adalah dengan menanamkan
62
nilai-nilai moral dalam diri seseorang. Tindakan awal dapat berupaberupa penyuluhan-penyuluhan hukum hukum kepada masyarakat serta pendidikan agama sejak dini. Usaha Preventif merupakan usaha yang ditujukan untuk mencegah dan menangkal timbulnya kejahatan yang pertama kali, dan usaha ini selalu diutamakan. 2. Upaya represif, merupakan suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan atau penindakan terhadap pelaku kejahatan suatu dengan perbuatannya. Cara ini merupakan altenatif lain yang terpaksa harus ditempuh kalau upaya preventif tidak berhasil. Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kejahatan baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Peran pemerintah yang begitu luas, maka kunci dan strategi dalam menanggulangi kejahatan meliputi, ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hiddup yang rendah, pengangguran, dan kebodohan di antara golongan besar penduduk. Bahwa upaya penghapusan sebab dari kondisi 63
menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. Oleh karena itu, peran seta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan. Selain melakukan upaya represif seperti memberikan hukuman yang berat kepada koruptor guna menimbulkan efek jera bagi pelaku dan menimbulkan daya cegah bagi masyarakat agar menghindari segala bentuk korupsi dan penyalagunaan wewenang, diperlukan juga upaya preventif dalam melakukan pencegahan korupsi yang bersifat inovatif seperti memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat terkhusus generasi penerus dengan melakukan penerangan dan penyuluhan hukum ke masyarakat tentang menanamkan budaya malu untuk melakukan korupsi dan nilai-nilai kejujuran. Setelah melakukan wawancara dengan Asisten Bidang Intelijen Kejaksaan Bapak Marang, S.H., Upaya Preventif yang bersifat edukatif dalam rangka pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. a. Dasar Hukum Dasar
Hukum
dibetuknya
Tim
Pengawal
dan
Pengaman
Pemerintahan yaitu Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
64
akasi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di instansi pemerintahan yang perlu didukung dan dilaksanakan secara terncana dan sungguh-sungguh sehingga kegiatan pencegahan korupsi yang dilakukan kejaksaan RI dapat berlangsung efektif dan optimal. Kemudian Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2015 tentang aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 menjadi dasar pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-152/A/JA/10/2015 tanggal 1 Oktober 2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu : 1. Membentuk Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan yang selanjutnya disebut TP4 untuk mengawal dan
mengamankan
keberhasilan
pemerintahan
dan
pembangunan. 2. TP4 terdiri dari TP4 Pusat yang berkedudukan di Kejaksaan Agung RI, TP4 Daerah yang berkedudukan di Kejaksaan Tinggi, dan TP4 Daerah yang berkedudukan di Kejaksaan Negeri. b. Landasan Filosofis Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum harus diletakkan untuk tujuan meningkatkan kesejahtraan rakyat dengan menjaga kelancaran
pogram pembangunan,
sementara
kejaksaan sebagai 65
lembaga penegak hukum harus berperan mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sehingga perlu adanya pengawalan dan pengamanan baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun pemanfaatan hasil pembangunan, termasuk dalam upaya mencegah timbulnya penyimpangan dan kerugian Negara. Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan Republik Indonesia dibentuk untuk melakukan pendampingan pada
kegiatan
pembangunan
baik
yang
akan
maupun
sedang
dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Selama ini Para pejabat pemerintah gamang menggunakan anggaran yang ada karena takut tersandung kasus korupsi, sehingga peneyerapan anggaran rendah yang berimplikasi pada kinerja dan pembangunan yang tidak maksimal. Mengatasi hal tersebut untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan mendorong pelaksanaan pembangunan di daerah maka sejak dini perlu dilakukan pendampingan terhadap pejabat pemerintah terkait pengelolaan
anggaran
dan
pelaksanaan
program-program
pembangunan. c. Tugas dan Fungsi TP4D Berdasarkan
Keputusan
Jaksa
Agung
RI
Nomor
:
Kep-
152/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan RI, tugas dan fungsi TP4 adalah : 66
1. Mengawal, mengamankan dan mendukung keberhasilan jalannya pemerintahan
dan
pembangunan
melalui
upaya-upaya
pencegahan/preventif dan persuasive di daerah hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, dengan cara : a. Memberikan
penerangan
hukum
di
lingkungan
instansi
pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak lain yang terkait materi tentang perencanaan, pelelangan, pelaksanaan pekerjaan, pengawasan pelaksanaan pekerjaan, perijinan, pengadaan barang dan jasa, tertib administrasi, dan tetib pengelolaan keuangan Negara; b. Melakukan pemerintah,
diskusi
atau
BUMN,
pembahasan BUMD
untuk
bersama
instansi
mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi dalam penyerapan anggaran dan pelaksanaan pembangunan; c. Memberikan penerangan hukum dan penyuluhan hukum baik atas inisiatif TP4D maupun atas permintaan pihak-pihak yang memerllukan yang tempat dan waktu pelaksanaan ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan sesuai kebutuhan; d. TP4D dapat melibatkan instansi atau pihak lain yang memiliki kapasitas, kompetensi dan relevan dengan materi penerangan hukum yang akan disampaikan kepada instasi pemerintah, BUMN, dan BUMD. 67
2. Dapat memberikan pendampingan hukum dalam setiap tahap pogram pembangunan dari awal sampai akhir, berupa : a. Pembahasan hukum dari sisi penerapan regulasi, peratuan perundang-undangan,
mekanisme
dan
prosedur
dengan
pejabat pengelola anggaran atas pemasalahan yang dihadapi dalam hal penyerapan anggaran; b. Pendapat hukum dalam tahapan perencanaan, pelelangan, pelaksanaan pekerjaan, pengawasan pelaksanaan pekerjaan, perijinan, pengadaan barang dan jasa atas inisiatif TP4D maupun
atas
permintaan
instasi
dan
pihak-pihak
yang
memerlukan. 3. Melakukan
kordinasi
dengan
Aparat
Pengawasan
Intern
Pemerintahan untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang berpotensi
menghambat,
menggagalkan,
dan
menimbulkan
kerugian bagi keuangan Negara; 4. Bersama-sama melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pekerjaan dan program pembangunan; 5. Melaksanakan penegakan hukum represif ketika ditemukan bukti permulaan yang cukup setelah dilakukan koordinasi dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah tentang telah terjadinya perbuatan melawan hukum, penyalagunaan kewenangan dan/atau perbuatan
68
lainnya yang berakibat menimbulkan kerugian bagi keuangan Negara. Dari Hasil wawancara dengan Asisten Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Bapak Ma’rang, S.H. pada tanggal 21 Desember 2015, Program Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4D) yang dibentuk oleh kejaksaan mendapatkan respon positif dari pemerintah, hal ini dibuktikan dengan surat Menteri Kordinator Bidang
Politik,
Hukum,
dan
Keamanan
B.158/Menko/Polhukam/HK.04.04.1/10/2015
Republik
Indonesia
Nomor
perihal Pembentukan Sentra
Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4D) yang ditujukan kepada seluruh Gubernur yang ada di Indonesia. Di Sulawesi Selatan, Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4D) telah melakukan kerjasama dengan Dinas Pertanian Provinsis Sulawesi Selatan dan Politeknik Negeri Ujung Pandang. 2. Program Pembinaan Masyarakat Taat Hukum (Binmatkum) Partisipasi masyarakat bukan sekedar keterlibatan masyarakat dalam pembangunan saja. Partisipasi masyarakat juga bukan sekedar alat atau mobilisasi tertentu untuk mencapai tujuan individu atau kelompok tertentu. Partisipasi merupakan suatu porses dan tujuan dalam mencapai tujuan pembangunan. Partisipasi masyarakat terlibat secara aktif baik fisik maupun
69
psikis. Partisipasi mengandung makna keterlibatan adanya kesadaran untuk berubah, terjadinya proses belajar menuju kearah perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan.66 Makna
Partisipasi
dalam
penyuluhan
pembangunan
atau
pemberdayaan menurut Asngari adalah individu atau masyarakat secara aktif terlibat dalam : (1) Keterlibatan dalam pengambilan keputusan, (2) Keterlibatan dalam pengawasan, (3) Keterlibatan dimana masyarakat mendapatkan
manfaat
dan
penghargaan,
(4)
partisipasi
kemitraan
(partnership), dan (6) partisipasi sebagai akibat dari pengaruh stakeholder menyangkut
pengambilan
putusan,
pengawasan,
dan
pembangunan
resource yang bermanfaat bagi mereka. Ini artinya dalam pemberdayaan, sasaran/masyarakat pengawasan,
perlu
mendapatkan
dilibatkan manfaat
dalam
pengambilan
keputusan,
atau
penghargaan
dari
hasil
pembangunan tersebut, serta bermitra dengan berbagai pihak terkait. 67 Dalam rangka memberikan kontribusi dalam pembangunan bidang hukum sebagaimana diamanatckan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangungan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 di bidang hukum, Kejaksaan Republik Indonesia Memberikan respon dalam peningkatan kesadaran 66
Oos. M. Anwas, 2013 Pemberdayaan Masyarakat di Era Global, Alfabeta, Bandung, Hlm. 93 67 Ibid.
70
hukum masyarakat. Respon tersebut, ditujukkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam pasal 30 ayat (3) huruf a yang menyatakan, bahwa “ Dalam bidang ketertiban dan ketentraman
Umum,
Kejaksaan
terus
menyelenggarakan
kegiatan
peningkatan kesadaran hukum masyarakat”.68 Program Pembinaan Masyarakat Taat Hukum (Binmatkum) adalah program Penerangan dan Penyuluhan hukum yang meliputi seluruh kegiatan Penerangan dan Penyuluhan hukum yang diselenggarakan Kejaksaan Republik Indonesia dalam rangka membina dan meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat.
sebelumnya
Kejaksaan
sudah
beberapa
kali
mengadakan program yang bersifat preventif dan/atau edukatif sejak tahun 1981/1982 yaitu Program Jaksa Masuk Desa (JMD), Program Jaksa Masuk Laut (JML) dan kemudian pada tahun 22 Maret 1995 Program tersebut dilaksanakan
pada
Program
Pembinaan
Masyarakat
Taat
Hukum
(Binmatkum) berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor : KEP015/J.A/3/1995 kemudian diperbarui dengan Keputusan Jaksa Agung R.I.
68
Kejaksaan Republik Indonesia, dapat diakses di https://www.kejaksaan.go.id/kegiatan.php?idu=29&sm=4&id=150&hal=2 diakses tanggal 15 September 2015 Pukul 20.10 WITA
: pada
71
Nomor : KEP 001/A/J.A./01/2006 Tanggal 2 Januari 2006 Tentang Pelaksanaan Penerangan dan Penyuluhan Hukum.69 Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung Nomor : 001/A/J.A/2009 tentang Petunjuk Pelaksaan Peningkatan Tugas Penyuluhan dan Penerangan Hukum Program Binmatkum, kegiatan pokok yang dilakukan Program Binmatkum terdiri dari : 1. Kegiatan Penyuluhan Hukum Penyuluhan Hukum adalah suatu kegiatan penyampaian materi hukum/ materi perundangan-undangan secara terencana dan terorganisir, yang pada umunya dilaksanakan terhadap masyarakat pedesaan
(terpencil/terisolir),
petani,
buruh,
nelayan
atau
masyarakat berpendidikan rendah agar masyarakat mengetahui, memahami
dan
melaksanakan
ketentuan-ketentuan
yang
terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan70 2. Kegiatan Penerangan Hukum Penerangan Hukum adalah suatu kegiatan penyampaian materi hukum/materi
perundang-undangan
teroganisir, yang umumnya Negara,
organisasi
secara
dilaksanakan
masyarakat,
terencana terhadap
tokoh-tokoh
dan
aparatur
masyarakat,
69
Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : INS-004/A/J.A/08/2012 tentang Pelaksanaan Peningkatan Tugas Penerangan dan Penyuluhan Hukum Program Pembinaan Masyarakat Taat Hukum 70 Ibid.
72
mahasiswa, pelajar, dan lain-lain yang berada di perkotaan atau masyarakat
berpendidikan
memahami
dan
tinggi
melaksanakan
agar
lebih
mengetahui,
ketentuan-ketentuan
yang
terkandung di dalam berbagai macam peraturan perundangundangan.71 3. Kegiatan Pos Pelayanan Hukum dan Penerimaan Pengaduan Masyarakat. Dengan dasar hukum tersebut maka kejaksaan melaksanakan Program Pembinaan Masyarakat Sadar Hukum (binmatkum). Program tersebut untuk mewujudkan masyrakat yang tertib dan berbudaya hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam rangka menjalankan tugasnya di bidang ketertiban dan ketentraman umum, yang dikendalikan oleh Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I sebagai pelaksana tugas dibidang penerangan hukum dan hubungan masyarakat. Program tersebut bukan hanya merupakan upaya pencegahan yang dilakukan oleh Kejaksaan untuk menekan angka kriminalitas tetapi juga upaya preventif menyiapkan generasi muda sedini mungkin, dengan pendekatan kepada sasaran suluh hukum pelajar dan mahasiswa untuk mempunyai tingkat pengetahuan hukum yang
71
Ibid.
73
cukup sehingga memiliki kesadaran hukum dan kelak akan menjadi generasi penerus yang lebih mempunyai ciri khas dalam berbudaya hukum.72 Khusus dalam melakukan penerangan hukum dan penyuluhan hukum tentang tindak pidana korupsi, setelah penulis mengambil data di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, maka penulis memperoleh data Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang tindak pidana korupsi Tahun 2015 yang dilakukan oleh Kejaksaan sebagai berikut : 1.1. Table Data Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Triwulan I Tahun 2015.
No .
1.
Nama Daerah
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan
Watampone
Senin, 23 Maret 2015
Sasaran Peserta Penyuluhan dan Penerangan Hukum/ Materi Kepala SKPD beserta pejabat structural/ Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Jumlah Peserta
Lokasi Peyuluhan
100
Ruang Pola Arung Palakka
72
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dapat diakses di : https://www.kejaksaan.go.id/kegiatan.php?idu=29&sm=4&id=150&hal=2 diakses pada tanggal 15 September 2015 Pukul 21.38 WITA
74
2.
3.
Wajo
Minggu, 15 Maret 2015
Mahasiswa Dosen/ Kenali, Laporkan
dan Korupsi, Cegah,
-
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Lamaddukell eng
Siswa – Siswi/ - UU No. 20 Tahun SMU Negeri Kamis, 12 2001 tentang Maros 100 3 Lau Kab. Maret 2015 Pemberantasan Maros. Tindak Pidana Korupsi. Sumber : Data Laporan Triwulan I Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan dan Penerangan Hukum Program Pembinaan Masyarakat Taan Hukum (BINMATKUM) Tahun 2015 Kejaksaan Tingi Sulawesi Selatan Periode Januari – Maret 2015
1.2.
Table Data Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Triwulan II Tahun 2015.
No .
1.
Nama Daerah
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan
Gowa
Rabu, 22 April 2015
Sasaran Peserta Penyuluhan dan Penerangan Hukum/ Materi Para Camat, Lurah, Kepala Desa/Kelurahan, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat SeKabupaten Gowa./ Sosialisasi terhadap Pengelolaan dana Desa berdasarkan
Jumlah Peserta
Lokasi Peyuluhan
885
Aula Kec. Bontomarann u
75
2.
Soppeng
Selasa, 07 April 2015
3.
Wajo
Kamis, 11 Juni 2015
4.
Belopa
Rabu, 20 Mei 2015
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jo. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Para Pelajar/Mahasiswa dan Masyarakat : - UU Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2002. - UUPengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP No. 54 Tahun 2010. Masyarakat dan para peserta yang berasal dari unsur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kab. Wajo. “Pencegahan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.” Kepala Dinas BKD Kab. Luwu Peserta
80
Kantor Dinas Kesehatan Kab. Soppeng.
92
Ruang Aula Sipakatau Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kab. Wajo, Sulawesi Selatan
±80
Aula Rumah Jabatan
76
5.
Majene
Kamis, 23 April 2015
Diklat Prajabatan angkatan II Tahun 2015 : - Pengertian Hukum Pada Umumnya; - Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; - Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi; - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - Serta peraturan Perundangundangan yang lain. Masyarakat/ - Kitab UU hukum Pidana; - Kitab UU Hukum Acara Pidana; - UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. - UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Bupati Luwu.
100
Kantor Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene
77
Nasional.
6.
Masyarakat Kab. Pinrang khususnya Masyarakat Kab. Lain yang melintas di Kec. Tiroang dengan menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat/ Jalan Poros Penguatan Jaringan PinrangMasyarakat Anti KKN Sidrap, Kab. Pinrang Tahun Kecamatan 2015 (Triwulan II) Tiroang Selasa, 12 adalah mengenai Kabupaten Pinrang ±1000 Mei 2015 Penegakan Hukum Pinrang dan termasuk Tindak mendatangi Pidana Korupsi yang kantor-kantor diatur dalam Undangpemerintah di Undang Republik Kecamatan Indonesia No. 20 Tiroang. Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber : Data Laporan Triwulan II Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan dan Penerangan Hukum Program Pembinaan Masyarakat Taan Hukum (BINMATKUM) Tahun 2015 Kejaksaan Tingi Sulawesi Selatan Periode April - Juni 2015
78
1.3.
Table Data Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Triwulan III Tahun 2015.
No.
Nama Daerah
1.
Soppeng
2.
Wajo
Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan
Sasaran Peserta Penyuluhan dan Penerangan Hukum/ Materi Para Wartawan/ - UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. - UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Rabu, 8 Juli Tahun 1999 2015 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. - UU. No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Para Siswa/I dan Guru di SMA Senin, 14 Negeri 1 September Sengkang/ 2015 Pencegahan Tindak Pidana Korupsi pada
Jumlah Peserta
Lokasi Peyuluhan
10
Aula Kejaksaan Negeri Soppeng
55
SMA Negeri 1 Sengkang
79
3.
4.
Belopa
Pasangkayu, Mamuju Utara
Rabu, 5 Agustus 2015
Selasa, 9 Juni 2015
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Para Peserta Diklat Prajabatan Kota Palopo angkatan 2015/ - Pengertian Hukum Pada Umumnya; - Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; - Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi; - UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasa n Tindak Pidana Korupsi; - Serta peraturan Perundangundangan yang lain. Para Pegawai Lingkup Pemerintahan Kab. Mamuju Utara/ Sosialisasi Pencegahan dan Pemberantasasn Tindak Pidana Korupsi di
50
Ruang Pola Kantor Bupati Mamuju Utara.
80
5.
Lingkungan Pemerintahan Daerah. Para Pegawai/Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa SMA Negeri 7 Mallawa, SMA Negeri 2 - Kantor Camba, Pegawai Camat Kecamatan dan Bantimur - Senin, 29 Masyarakat ung Kab. Juni 2015. setempat./ Maros. - Kamis, 30 - UU No. 16 - Kantor Juli 2015. Tahun 2004 Camat Camba, - Selasa, 4 tentang Cenrana ±50/70//70/70 Maros Agustus Kejaksaan Kab. 2015. Republik Maros. - Rabu, 12 Indonesia. - Aula SMA Agustus - UU No. 20 Negeri 2 2014 Tahun 2001 Camba. tentang - Aula SMA Perubahan Negeri 7 Atas UU No. 31 Mallawa. Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber : Data Laporan Triwulan III Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan dan Penerangan Hukum Program Pembinaan Masyarakat Taan Hukum (BINMATKUM) Tahun 2015 Kejaksaan Tingi Sulawesi Selatan Periode Juli - September 2015 Berdasarkan Hasil data yang diperoleh penulis terkait dengan
Pelaksanaan Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana 81
Korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada tahun 2015 mulai dari triwulan I hingga triwulan III, dapat dilihat bahwa Kejaksaan sudah beberapa kali melakukan penerangan dan penyuluhan hukum tentang tindak pidana korupsi baik di instansi pemerintahan maupun ke Sekolahsekolah atau kampus-kampus yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Pada Triwulan I, Kejaksaan melaksanakan 3 (tiga) kali Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi. Pada Triwulan selanjutnya yaitu Triwulan II dan Triwulan III Kejaksaan meningkatkan intensitasnya dalam melakukan Penyuluhan dan Penerangan Hukum dalam hal Tindak Pidana Korupsi yaitu masing-masing 6 (enam) kali selama Triwulan II dan 5 (lima) kali pada Triwulan III. Data di atas menunjukkan, Kejaksaan selama ini sudah berusaha melakukan Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dengan cara memberikan edukasi baik kepada masyarakat maupun pejabatpejabat di instansi Pemerintahan. Namun, dari data di atas juga penulis melihat kegiatan Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Selama ini belum maksimal dikarenakan hanya ada beberapa daerah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dari jumlah keseluruhan yaitu 30 kabupaten/kota yang mendapatkan Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi. Dari data tersebut di atas juga terdapat daerah yang sampai beberapa kali di
82
adakan Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi. Seharusnya Kejaksaan melakukan Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi di Seluruh Kabupaten di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kejaksaan juga belum pernah mengadakan kegiatan Penyuluhan dan Penerangan Hukum tentang Tindak Pidana Korupsi di Kota Makassar selama tahun 2015 mengingat rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kota Makassar yang berada di Peringkat 47 Nasional dengan IPK 3.97.73 B. Kendala yang dihadapi Kejaksaan dalam melaksanakan Fungsi Edukatif Dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsinya sebagai aparat penegak hukum yang bertanggungjawab untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
Kejaksaan
sering
mengalami
berbagai
kendala
dalam
pelaksanaannya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 8 Desember 2015 dengan Bapak Muliadi S.H., Kepala Seksi Bidang Penerangan dan Penyuluhan Hukum Kejaksaan Sulawesi Selatan, mengemukakan bahwa : Dalam melaksanakan tugas khususnya dalam hal penerangan dan penyuluhan hukum ke masyarakat, tidak sedikit hambatan yang kami 73
Transparency International Indonesia, http://www.ti.or.id/media/documents/2010/11/12/p/r/press_release__ipk_indonesia_2010_final.pdf di akses pada Pukul 22.14 Tanggal 21 Desember 2015.
83
peroleh; baik itu berasal dari luar institusi kami maupun yang bersumber dari dalam instutsi kami sendiri. Hambatan-hambatan yang kami hadapi mulai dari dalam hal kurangnya koordinasi lembaga pemerintah lainnya hingga masyarakat yang bersifat pasif apabila dilaksanakan penyuluhan hukum ke lingkungan masyarakat. Menurut Bapak Muliadi, S.H., kendala koordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya merupakan masalah yang sering terjadi apabila Kejaksaan ingin melakukan pendampingan dan penerangan hukum terutama saat Rapat Pembahasan Anggaran, sering kali pihak Kejaksaan merasa dihalang-halangi oleh lembaga pemerintah lainnya saat ingin melakukan pendampingan dan penerangan hukum. Hal ini dikarenakan pemerintah merasa dimata-mati dan tertekan apabila didampingi oleh pihak Kejaksaan dalam rapat Pembahasan Anggaran. Penulis Sendiri berpendapat bahwa kendala tersebut dapat diatasi apabila Kejaksaan meningkatkan intensitas kordinasi dan komunikasi dengan lembaga
pemerintah
penerangan
hukum
lainnya. yang
Menurut
dilakukan
penulis
Kejaksaan
pendampingan terhadap
dan
pemerintah
merupakan tindakan preventif Kejaksaan dalam Upaya pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi terutama meminimalisir kecurangan dalam tender dan kebocoran-kebocoran anggaran dengan cara memberikan pendampingan dan penerangan hukum yang bersifat edukatif.
84
Selanjutanya menurut Bapak Muliadi, S.H.,Pasifnya Masyarakat saat melakukan penyuluhan merupakan kendala yang juga sering terjadi. Saat melakukan penyuluhan hukum, partisipasi masyarakat sangat kurang. Penulis hambatan
sendiri
bagi
berpendapat,
Kejaksaan
dalam
kendala
tersebut
meningkatkan
bukan
menjadi
Kesadaran
Hukum
Masyarakat. menurut penulis, Penyampaian materi yang tidak menarik hingga publikasi dan komunikasi ke masyarakat, bisa saja menjadi alasan masyarakat sehingga masyarakat bersifat pasif dan kurang tertarik dengan penyuluhan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa, hambatan-hambatan yang diperoleh Kejaksaan dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terkhusus dalam hal tindak pidana korupsi mencakup : 1. Kurangnya koodinasi pemerintah dengan Kejaksaan terutama dalam hal pendampingan dan penerangan hukum oleh pihak Kejaksaan saat Rapat Pemabahsan Anggaran. 2. Masyarakat yang Pasif dan cenderung Apatis saat Kejaksaan melakukan Penyuluhan Hukum.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulis menyimpulkan bahwa : 1. Upaya Preventif yang bersifat edukatif dalam rangka pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-152/A/JA/10/2015
tanggal
1
Oktober
2015
tentang
Pembentukan Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Kejaksaan Republik Indonesia yang mempunyai tugas : 1) Mengawal,
mengamankan
dan
mendukung
keberhasilan
jalannya pemerintahan dan pembangunan melalui upaya-upaya pencegahan/preventif
dan
persuasive
di
daerah
hukum
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, dengan cara : a) Memberikan penerangan hukum di lingkungan instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak lain yang terkait materi 86
tentang perencanaan, pelelangan, pelaksanaan pekerjaan, pengawasan pelaksanaan pekerjaan, perijinan, pengadaan barang dan jasa, tertib administrasi, dan tetib pengelolaan keuangan Negara; b) Melakukan diskusi atau pembahasan bersama instansi pemerintah,
BUMN,
BUMD
untuk
mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi dalam penyerapan anggaran dan pelaksanaan pembangunan; c) Memberikan penerangan hukum dan penyuluhan hukum baik atas inisiatif TP4D maupun atas permintaan pihak-pihak yang memerllukan yang tempat dan waktu pelaksanaan ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan sesuai kebutuhan; d) TP4D dapat melibatkan instansi atau pihak lain yang memiliki kapasitas,
kompetensi
dan
relevan
dengan
materi
penerangan hukum yang akan disampaikan kepada instasi pemerintah, BUMN, dan BUMD. 2) Dapat memberikan pendampingan hukum dalam setiap tahap pogram pembangunan dari awal sampai akhir, berupa : a) Pembahasan hukum dari sisi penerapan regulasi, peratuan perundang-undangan, mekanisme dan prosedur dengan pejabat pengelola anggaran atas pemasalahan yang dihadapi dalam hal penyerapan anggaran; 87
b) Pendapat hukum dalam tahapan perencanaan, pelelangan, pelaksanaan
pekerjaan,
pengawasan
pelaksanaan
pekerjaan, perijinan, pengadaan barang dan jasa atas inisiatif TP4D maupun atas permintaan instasi dan pihak-pihak yang memerlukan. 3) Melakukan
kordinasi
dengan
Aparat
Pengawasan
Intern
Pemerintahan untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang berpotensi menghambat, menggagalkan, dan menimbulkan kerugian bagi keuangan Negara; 4) Bersama-sama melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pekerjaan dan program pembangunan; 5) Melaksanakan penegakan hukum represif ketika ditemukan bukti permulaan yang cukup setelah dilakukan koordinasi dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah tentang telah terjadinya perbuatan dan/atau
melawan
hukum,
perbuatan
lainnya
penyalagunaan yang
berakibat
kewenangan menimbulkan
kerugian bagi keuangan Negara. b. Program
Pembinaan
berdasarkan
Masyarakat
Keputusan
Jaksa
Taat
Agung
Hukum R.I.
(Binmatkum)
Nomor
:
KEP
001/A/J.A./01/2006 Tanggal 2 Januari 2006 Tentang Pelaksanaan Penerangan dan
Penyuluhan Hukum yang bertujuan
untuk
membina dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dengan 88
cara memberikan Penerangan dan Penyuluhan Hukum yang bersifat edukatif. Adapun Penerangan dan Penyuluhan Hukum tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Kejaksaan
sudah
beberapa
kali
melaksanakan
kegiatan
Penerangan dan Penyuluhan Hukum baik kepada masyarakat maupun kepada Instansi Pemerintah. 2. Kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam menjalankan Fungsi Edukatif dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi antara lain : a. Kurangnya koodinasi pemerintah dengan Kejaksaan terutama dalam hal pendampingan dan penerangan hukum oleh pihak Kejaksaan saat Rapat Pemabahasan Anggaran. b. Masyarakat yang Pasif dan cenderung Apatis saat Kejaksaan melakukan Penyuluhan Hukum.
B. Saran Berdasarkan
hasil
kesimpulan
di
atas,
maka
penulis
merekomendasikan agar : 1. Pihak Kejaksaan harus meningkatkan Kordinasi dan Komunikasi dengan lembaga pemerintah lainnya agar kegiatan pendampingan dan penerangan hukum oleh pihak kejaksaan dapat berjalan dengan maksimal terutama dalam hal pembahasan anggaran. 89
2. Dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan Programprogram yang bersifat Edukatif, kiranya dapat disarankan untuk melakukan
penataran/pelatihan
bagi
petugas
penyuluhan
disamping itu menambah referensi/buku yang dapat menunjang pelaksanaan kegiatan. 3. Program
Penerangan
dan
Penyuluhan
Hukum
terkhusus
peningkatan kesadaran hukum masyarakat tentang bahaya korupsi kiranya dapat menyeluruh ke seluruh kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat agar kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dapat berjalan dengan Optimal.
90
DAFTAR PUSTAKA BUKU Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta Adam Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajagrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-5 Andi Hamzah, 2008, Pemberantasan Korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional, Rajawali Pers, Jakarta Chaerul Amir, 2014, Kejaksaan Memberantas Korupsi (Suatu Analisis : Historis, Sosiologis, dan Yuridis), PRO dealeader, Jakarta Chairul Huda, 2013 Dari „Tiada Pidana Tanpa Kesalahan‟ menjadi kepada „Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan‟, Kencana, Jakarta Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia - Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung Laden Marpaung, 2001 Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta Oos. M. Anwas, 2013, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global, Alfabeta, Bandung Surachmin (et.al), 2011, Strategi & Teknik Korupsi : Mengetahui Untuk Mencegah, Sinar Grafika, Jakarta Teguh Prasetyo, 2012, Hukum PIdana, Raja Grafindo, Jakarta Yudi Kristina, 2006, Independesi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung JURNAL DAN MAKALAH M. Said Karim, Slamet Sampurno Soewondo, Zainal Abidin, Jurnal, “Implementasi Kewenangan Intelijen Yustisial Kejaksaan dalam
91
Melakukan Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Vol.2 No. 3, Mei 2013 Yogi Prasetyo, Makalah : “Pendidikan Anti Korupsi sebagai Upaya Preventif Pencegahan Korupsi”, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Ponorogo, Jawa Timur, 29 Juni, 2013 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Jaksa Agung No. : PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : INS-004/A/J.A/08/2012 tentang Pelaksanaan Peningkatan Tugas Penerangan dan Penyuluhan Hukum Program Pembinaan Masyarakat Taat Hukum INTERNET Transparancy International, dapat diakses di : http://www.transparency.org/cpi2014/results, diakses pada tanggal 13 September 2015 Pukul 14.34 WITA Kejaksaan Agung Republik Indoneisa,Dapat di akses di ://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=22&sm=2, diakses pada tanggal 21 September 2015 Pukul 15.00 WITA. Kejaksaan Republik Indonesia, dapat diakses di : https://www.kejaksaan.go.id/kegiatan.php?idu=29&sm=4&id=150&hal= 2 diakses pada tanggal 15 September 2015 Pukul 20.10 WITA Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dapat diakses di : https://www.kejaksaan.go.id/kegiatan.php?idu=29&sm=4&id=150&hal= 2 diakses pada tanggal 15 September 2015 Pukul 21.38 WITA
92
Academia.edu, dalam http://www.academia.edu/3097181/strategi_pemberantasan_korupsi_d i_indonesia, diakses pada tanggal 2 oktober 2015 pukul. 11.36 wita Transparency International Indonesia, http://www.ti.or.id/media/documents/2010/11/12/p/r/press_release__ipk_indonesia_2010_final.pdf di akses pada Pukul 22.14 Tanggal 21 Desember 2015.
93