BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Terjemahan antarbahasa pada dasarnya merupakan perbandingan dinamis yang melibatkan dua bahasa dan dua kultur sekaligus. Perbandingan ini pada kenyataannya malah seringkali mempertegas perbedaan yang ada di antara keduanya. Cluver (dalam Osimo, 2004), mengatakan bahwa sebuah teks terjemahan sudah barang tentu tidak akan ekuivalen dengan teks aslinya. Bisa dipastikan, sebuah teks terjemahan mengandung sesuatu yang kurang (loss) atau sesuatu yang berlebihan (redundant) bila dibandingkan dengan teks sumber. Dalam kaitan inilah penerjemah yang baik pada akhirnya harus menentukan bagian mana yang harus dikorbankan dari sebuah teks sumber. Proses penerjemahan paling tidak melibatkan dua bahasa, yakni bahasa sumber dan bahasa penerima, dengan segala aspek kebudayaan yang ada di dalamnya. Dari sudut pandang sosiolinguistik, fenomena semacam ini dikenal sebagai gejala kedwibahasaan. Jika dirunut, kegiatan penerjemahan bermula dari adanya berbagai kelompok sosial dari berbagai bangsa yang berkomunikasi untuk saling memahami berbagai persoalan agama, politik, sosial, kebudayaan, dan ekonomi dengan menggunakan sarana bahasa. Sekaitan dengan fenomena kontak bahasa ini seorang
2 penerjemah dapat dikategorikan sebagai dwibahasawan. Jadi, secara sosiolinguistik masalah penerjemahan bermula dari adanya kontak bahasa yang terjadi pada diri dwibahasawan. Dalam menerjemahkan sebuah teks, seorang dwibahasawan mengasosiasikan atau mengidentifikasikan unsur-unsur linguistik yang terdapat dalam bahasa sumber dan bahasa penerima. Sejatinya penerjemah tidak sekadar menguasai bahasa sumber dan bahasa penerima, tetapi juga hendaknya memahami dengan baik kultur yang melekat pada keduanya. Dengan kata lain, penerjemah idealnya adalah seorang bilingual sekaligus juga seorang bikultural, sebab ia tidak saja memainkan peran sebagai pengalih bahasa, tetapi juga sebagai pengalih budaya. Hal ini tidak terelakkan mengingat bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam kaitan ini penerjemahan sejatinya tidak hanya dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna, tetapi juga pengalihan budaya. Konsekuensinya, sebagai bentuk komunikasi penerjemahan tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga hambatan kebudayaan. Karena itu, dalam praktiknya komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dilakukan. Hal ini akan sangat bergantung pada besar-kecilnya perbedaan budaya yang terdapat dalam bahasa sumber dan bahasa penerima. Salah satu tema, yang secara langsung atau tidak, turut mempengaruhi sudut pandang para penerjemah dan mufasir dalam memahami pesan-pesan Alquran adalah aspek kinâyah. Kinâyah merupakan bagian dari ilmu bayan (retorika), yang juga masih berada dalam payung ilmu balaghah (stilistika) bersama-sama dengan ilmu badi’ dan ilmu ma’ani. Menurut al-Hasyimi (2001: 205), kinâyah adalah suatu tuturan yang diungkapkan untuk menunjukkan suatu makna yang dikehendaki, tetapi juga boleh dipahami dalam pengertian yang hakiki. Menurut Nurbayan (2005), adanya kebolehan mengambil makna yang tersurat dan yang tersirat dalam ungkapan kinâyah
3 ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam memahami ayat-ayat Alquran. Dalam menghadapi sebuah teks, seorang penerjemah sejatinya merenungkan tiga pertanyaan berikut. (1) Apa yang penutur katakan? (2) Apa yang penutur maksudkan? (3) Dan bagaimana si penutur mengungkapkannya? Hal ini berarti menerjemahkan sebuah teks tidak semata-mata mengalihkan kata demi kata dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima, tetapi juga sejatinya mengalihkan pesanpesan yang ingin disampaikan oleh si pembuat teks. Untuk itu penerjemah harus mengetahui pula bagaimana gaya si pembuat teks dalam menyampaikan pesanpesannya. Boleh jadi, misalnya, si pembuat teks mengungkapkan pesan yang ingin disampaikannya dalam kemasan kinâyah. Dalam kinâyah, makna yang dimaksud dan dikehendaki oleh si penutur sebenarnya adalah makna konotatif, bukan makna denotatif. Walaupun makna yang terakhir ini diabaikan, tetapi makna denotatif ini bisa menjadi pengantar kepada makna yang dimaksud, sebab kedua makna ini memiliki nuansa kesamaan. Mengenai hal ini al-Hasyimiy (2001) mengatakan bahwa kinâyah adalah suatu tuturan yang diungkapkan untuk menunjukkan maknanya yang lazim disertai konteks yang tidak menghalanginya dari makna asal. Berbeda dengan al-Hasyimiy, pendapat lain dikemukakan al-Maidaniy (1996: 135) yang menyebutkan bahwa dalam kinâyah terkadang makna denotatif dan konotatif ini boleh dipergunakan secara bersamaan seperti pengertian ( اءkamu menyentuh perempuan) yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 6. Kata اء pada ayat ini merupakan ungkapan kinâyah untuk menyebut bersetubuh (makna konotatif). Makna konotatif ini juga dipertegas dengan bentuk musyârakah (resiprokal) kata lâmasa pada ayat tersebut, yang berarti saling bersentuhan. Di sini
4 terdapat keterkaitan antara makna menyentuh dan bersetubuh, sebab menyentuh atau saling bersentuhan sudah pasti merupakan bagian tak terpisahkan dari bersetubuh. Sungguh pun begitu, Imam asy-Syafi’i memahami ayat tersebut dalam pengertian denotatif, yaitu menyentuh. Karena itu, dalam mazhab Syafi’i, seorang laki-laki menjadi batal wudu hanya karena menyentuh perempuan. Jadi, perbedaan cara pandang terhadap ungkapan kinâyah ini dapat berimplikasi pada perbedaan terjemahan, dan sekaligus juga pada penetapan hukum fikihnya. Keunikan kinâyah, sebagaimana tergambar dari contoh di atas, sudah barang tentu cukup menggelitik sekaligus menjadi persoalan pelik tersendiri dalam dunia penerjemahan. Di satu sisi, yang dikehendaki makna kinâyah adalah makna konotatif, tetapi di sisi lain memahami kinâyah dalam pengertian denotatif juga tidak terlarang. Menurut Nurbayan (2005), adanya kebolehan mengambil makna yang tersurat dan yang tersirat dalam sebuah ungkapan kinâyah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya perbedaan dalam menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran. Tidak mengherankan kalau fleksibilitas ungkapan kinâyah ini seringkali melahirkan penerjemahan dan penafsiran yang berbeda, baik pada ungkapanungkapan kinâyah yang berhubungan dengan matra akidah, ibadah, maupun muamalah. Perbedaan pemahaman ini semakin kentara mengingat, sebagaimana disinyalir az-Zuhaili (1998), banyaknya ungkapan kinâyah yang terdapat dalam Alquran. Secara spesifik Nurbayan (2005) dalam disertasinya mengungkapkan bahwa dalam Alquran terdapat 77 ayat yang mengandung ungkapan kinâyah. Namun, dalam satu ayat kinâyah adakalanya termaktub dua, tiga, bahkan empat ungkapan kinâyah, sehingga secara keseluruhan di dalam Alquran terdapat 84 ungkapan kinâyah. Ungkapan-ungkapan kinâyah ini tersebar di 42 surah atau di 28 juz Alquran.
5 Berikut ini dihadirkan salah satu ungkapan kinâyah yang terdapat dalam surah al-Qamar ayat 13, yang berbunyi ( و ذات أاح ودDan Kami mengangkut Nuh ke atas papan-papan dan paku-paku). Ungkapan ini merupakan kinâyah maushûf untuk perahu, yang tergambar dari ungkapan ( أاح ودpapan-papan dan paku-paku). Penyebutan papan-papan dan paku-paku –bukan perahu– tentu saja memiliki alasan tersendiri. Seperti kata Ibnul Atsir (tanpa tahun), ada alasan teologis di balik ungkapan tersebut. Pertama, papan dan paku merupakan dua material pokok dalam pembuatan perahu. Kedua, banjir bandang yang terjadi pada zaman Nabi Nuh as itu sangat-sangat dahsyat. Tidak ada seorang atau apa pun yang sanggup menyelamatkan manusia dari kedahsyatannya, apalagi sekadar perahu yang hanya terbuat dari papan dan paku. Ini dimaksudkan supaya manusia sadar akan kekuasaan Allah Ta’ala seraya hanya bersandar kepada-Nya, dan tidak bersandar semata-mata kepada sarana. Paparan di atas memperlihatkan betapa tidak mudah menerjemahkan ungkapan-ungkapan kebudayaan yang ada dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima, termasuk menerjemahkan ungkapan-ungkapan kinâyah. Konsep kinâyah, sebagaimana telah dipaparkan, sangat unik, sebab bisa dipahami secara denotatif dan konotatif. Dan konsep semacam ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Wajar kiranya muncul pertanyaan, “Apakah amanat yang terdapat ungkapan kinâyah terterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?”
1.2 Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah Tidak jarang para penerjemah Alquran berbeda pendapat dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan kinâyah. Sebagian lebih memilih menerjemahkan ungkapan kinâyah dalam pengertian konotatif, karena pengertian inilah yang dikehendaki
6 sebuah ungkapan kinâyah. Namun, sebagian lainnya cenderung menerjemahkan ungkapan kinâyah dalam pengertian denotatif sesuai dengan makna leksikal yang ada. Kecenderungan ini disebabkan penerjemah lebih setia kepada teks sumber ketimbang kepada makna yang dikehendaki. Kenyataan ini juga disinyalir oleh Abdelwali (2003) yang
mengatakan
bahwa
beberapa
penerjemah
Alquran
masih
memiliki
kecenderungan text-centered. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin terjemahan ayat-ayat yang berpotensi mengandung ungkapan kinâyah ini menimbulkan kebingungan di kalangan umat Islam, terutama yang masih awam dalam ilmu bayan. Pada gilirannya, kebingungan ini sangat boleh jadi menyebabkan silang pendapat, atau lebih jauh lagi saling klaim sebagai pihak yang paling benar. Padahal, seperti kata Ibnul Atsir, dalam kinâyah itu terdapat dua sisi pengertian yang tarik-menarik, yakni antara pengertian denotatif dan konotatif. Bahkan, suatu ungkapan kinâyah boleh saja dipahami dalam kerangka dua pengertian ini sekaligus. Dalam kaitan inilah peneliti akan mencoba menelaah terjemahan ayat-ayat yang berpotensi mengandung ungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya yang disusun oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran, Departemen Agama RI. Penelitian ini akan menelaah bagaimana ayat-ayat yang berpotensi mengandung ungkapan kinâyah diterjemahkan dalam Al-Quran dan Terjemahnya. Sejauhmana amanat yang terdapat dalam ungkapan kinâyah terterjemahkan dalam Al-Quran dan Terjemahnya. Supaya lebih jelas, peneliti merumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut ini.
7 1) Apakah ayat-ayat Alquran yang berpotensi mengandung ungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya diterjemahkan secara denotatif atau konotatif? 2) Prosedur/teknik apa yang digunakan dalam penerjemahan ungkapanungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya? 3) Apakah amanat yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan kinâyah terterjemahkan dalam Al-Quran dan Terjemahnya? 4) Adakah penerjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah memiliki implikasi terhadap hukum fikih atau akidah?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ihwal keterjemahan kinâyah dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk, 1) mengetahui apakah ayat-ayat Alquran yang berpotensi mengandung ungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya diterjemahkan secara denotatif atau konotatif; 2) mengetahui prosedur/teknik apa yang digunakan dalam penerjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya; 3) mengetahui apakah amanat yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan kinâyah terterjemahkan dalam Al-Quran dan Terjemahnya; 4) mengetahui adakah penerjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah memiliki implikasi terhadap hukum fikih atau akidah.
8 1.3.2 Manfaat Penelitian Bahasa Indonesia terjemahan merupakan salah satu ragam pemakaian bahasa Indonesia yang relatif berkembang di Indonesia, terutama dengan maraknya penerjemahan teks-teks keagamaan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari peran penerjemah yang nota bene adalah seorang bilingual. Sebagai seorang bilingual (Arab-Indonesia) boleh jadi penerjemah tidak terlepas dari pengaruh struktur bahasa sumber. Jika membaca buku-buku terjemahan Arab-Indonesia yang ada, interferensi struktur bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia seringkali begitu terasa. Interferensi ini sesungguhnya dapat dihindari manakala penerjemah menguasai bahasa sumber dan bahasa penerima dengan baik. Di samping itu, penerjemah juga idealnya adalah seorang bikultural, sebab ia tidak saja memainkan peran sebagai pengalih bahasa, tetapi juga sebagai pengalih budaya. Dalam kaitan inilah penerjemah Arab-Indonesia dituntut untuk memahami konsepkonsep kebudayaan yang terdapat dalam dua bahasa tersebut dengan baik. Secara teoretis penguasaan konsep-konsep kebudayaan yang ada dalam bahasa Arab, termasuk konsep kinâyah, merupakan keniscayaan bagi seorang penerjemah. Dengan begitu, barulah amanat teks bahasa sumber dapat terungkapkan dalam bahasa penerima. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi umat Islam Indonesia, khususnya bagi para penerjemah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mereka dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan kinâyah, menerapkan teknik penerjemahan yang tepat, merevisi hasil terjemahan, serta menjadi masukan yang berguna bagi siapa saja yang berminat menggeluti penerjemahan Arab-Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi revisi terjemahan Alquran, terutama yang berkaitan dengan penerjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah.
9 1.4 Asumsi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa Al-Quran dan Terjemahnya merupakan terjemahan yang berkualitas, sebab diterjemahkan oleh tim ahli dalam kurun waktu delapan tahun serta dipublikasikan oleh banyak penerbit dan dibaca oleh jutaan umat Islam Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dengan berpegang pada beberapa asumsi yang berlaku dalam teori terjemah dan stilistika sebagaimana berikut ini. 1) Dalam penerjemahan terjadinya loss dan redundant tidak dapat dihindari. 2) Penerjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah tidak mudah, dan karena itu memerlukan perlakuan khusus. 3) Ungkapan-ungkapan kinâyah boleh diterjemahkan secara denotatif dan konotatif. Namun, sesungguhnya makna konotatiflah yang dikehendaki si penutur dalam sebuah ungkapan kinâyah. 4) Ungkapan-ungkapan kinâyah lebih banyak diterjemahkan secara konotatif, karena makna inilah yang dikehendaki oleh sebuah ungkapan kinâyah.
1.5 Definisi Operasional Terdapat dua istilah kunci yang akan sering ditemukan dalam penelitian ini. Kiranya kedua istilah kunci ini perlu dijelaskan guna menghindari kekeliruan dalam memahami konsep-konsep yang terdapat dalam penelitian ini. Pertama, kata keterjemahan ekuivalen dengan kata translatability dalam bahasa Inggris atau qâbiliyyatut tarjamah dalam bahasa Arab. Dalam penelitian ini keterjemahan dimaksudkan sebagai ihwal terterjemahkannya amanat atau pesan yang terkandung dalam sebuah tuturan yang terdapat dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.
10 Kedua, kinâyah merupakan bagian dari ilmu bayan, yang juga masih berada dalam payung ilmu balaghah bersama-sama dengan ilmu badi’ dan ilmu ma’ani. Dalam penelitian ini kinâyah dimaksudkan sebagai suatu tuturan yang diungkapkan untuk
menunjukkan
maknanya
menghalanginya dari makna asal.
yang
lazim
disertai
konteks
yang
tidak