BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada awalnya sistem pemerintahan di Indonesia adalah sentralisasi, yang mempunyai arti memusatkan seluruh wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial, maupun di zaman kemerdekaan. Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya dengan kontrol terhadap sebuah kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik saja. Tetapi sentralisasi sendiri mempunyai kelemahan yakni seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama dan pemerintah pusat belum pasti mengenal dan mengetahui apa yang dibutuhkan disuatu daerah, apalagi Negara Indonesia yang memiliki keadaan geografis sedemikian rupa dan berbeda-beda kebutuhan disetiap daerahnya. Kelebihan sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.1 Runtuhnya kekuatan rezim orde baru, telah mendorong masyarakat luas untuk menggugat pondasi kekuatan ekonomi dan politik agar tidak lagi sentralistik. Lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 1
Rya Anggryani, Sentralisasi dan Desentralisasi, terdapat dalam: http://ranggryani.wordpress.com/2013/05/16/sentralisasi-dan-desentralisasi/
1
2
32 Tahun 2004 membagi Negara Kesatuan Republik Indonesia atas daerah-daerah provinsi dan daerah itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahannya sendiri. Pemerintahan daerah memiliki peran untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang (spreiding van bevoegdheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Hal ini dikarenakan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom, maka setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.2 Lahirnya otonomi daerah setidaknya memiliki dua misi, yaitu : Pertama, untuk memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi melalui „desentralisasi politik‟ dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal, pemilihan Kepala Daerah). Kedua, untuk memuaskan daerahdaerah yang kaya akan sumber daya alam dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati dan mengelola sumberdaya alam yang ada didaerah mereka masing-masing sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan daerahnya dari sumber daya alam daerahnya sendiri. 3
2
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2004, hlm. 174 3 VOA'khtur, Spekulasi Analisis Wacana Pengembalian Desentralisasi di Indonesia, terdapat dalam: http://voa-khtur.blogspot.com/2013/02/spekulasi-analisis-wacana-pengembalian.html
3
Pakar pemerintahan di Indonesia, Irawan Soedjito, membedakan desentralisasi ke dalam tiga teori, yaitu “desentralisasi teritorial”, “desentralisasi fungsional”, dan “desentralisasi administratif atau dekonsentrasi”.4 Pengertian “desentralisasi teritorial” dan “desentralisasi fungsional” sama dengan pengertian yang telah lazim diikuti (Pendapat Van der Pot), sedangkan “desentralisasi administratif atau dekonsentrasi” (ombtelijk decentralisatie) mengandung arti; “Pemerintah Pusat melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ pemerintah sendiri di daerah, yakni pejabat-pejabat pemerintah yang ada di daerah untuk dilaksanakan.”5 Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota didasarkan kepada asas desentralisasi dan tugas pembantuan dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas, yang mempunyai maksud keleluasaan daerah untuk menyelesaikan pemerintahan yang mencangkup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi mencangkup pula kewenangan yang bulat dan utuh dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai revisi dari UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang menjadi pedoman penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Prinsip otonomi seluas-luasnya, prinsip otonomi yang nyata, dan otonomi yang bertanggung jawab menjadi dasar otonomi yang berlaku di Indonesia. Yang dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya yakni daerah diberikan kewenangan 4
Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintahan Pusat Dan Pemerintahan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1981,
hlm. 29 5
Irawan Soedjito, Ibid, hlm. 33-34
4
untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan diluar urusan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah tentang pemberian pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.6 Diberikannya keleluasaannya pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintahannya diharapkan demokrasi yang ada di daerah akan menjadi lebih baik karena DPRD adalah wakil rakyat yang ada di daerah yang seharusnya lebih bersifat peka terhadap tuntutan dan aspirasi masyarakat di daerah guna untuk menciptakan kemakmuran di daerahnya masing-masing. Sosok DPRD sebagai lembaga legislatif di Daerah memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan Pemerintahan di Daerah serta sebagai perpanjangan tangan dalam penyampaian aspirasi dari rakyat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah daerah dan DPRD. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat Daerah memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam melaksanakan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berhak untuk mengatur daerahnya dengan membuat Peraturan Daerah dan peraturan lainnya dalam menjalankan tugasnya dengan mendapatkan persetujuan dari Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota yang tujuan untuk mengatur daerahnya. Pembentukan Peraturan Daerah tersebut berdasarkan pada tuntutan dan aspirasi masyarakat dengan ketentuan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Akan tetapi tidak
6
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Ctk Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm 22.
5
sedikit masyarakat yang melakukan pelanggaran, sehingga untuk mengontrol, mengawasi, dan menegakkan Peraturan Daerah maka dilakukanlah kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten dengan suatu perangkat daerah, yaitu Satuan Polisi Pamong Praja. Satuan Polisi Pamong Praja memliki kewenangan untuk membantu pemerintah kabupaten dalam penegakan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Klaten yang mempunyai tugas dan kedudukan dalam bidang ketertiban dan ketentraman. Selain itu, ditegaskan lagi dalam Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rincian Tugas dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Klaten yang mempunyai tugas pokok untuk memimpin penyelenggaraan urusan pemerintah daerah di bidang penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati serta koordinasi PPNS pada unit kerja lain.7 Pada sekitar tahun 2009 usaha toko modern berjejaring mulai merambah dan muncul di Kabupaten Klaten. Pada setiap tahunnya jumlah toko modern berjejaring di Kabupaten Klaten semakin bertambah sehingga hal tersebut terkesan menghimpit ruang gerak usaha tradisional (pasar dan toko kelontong pribadi). Karena pada dasarnya usaha tradisional dan toko modern mempunyai andil yang sama dalam pemasukan pendapatan daerah, agar dapat berjalan beriringan antara toko modern dengan usaha tradisional maka dari itu Pemerintah Kabupaten Klaten mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Peraturan Daerah tersebut bertujuan untuk melindungi dan/atau memberdayakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan untuk mengawasi ruang gerak toko modern.
7
Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rincian Tugas dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Klaten
6
Tetapi di dalam realita yang ada di masyarakat tidak sedikit dari toko modern yang telah melanggar Peraturan Daerah tersebut.8 Berdasarkan hal-hal di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh terhadap Peran Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Klaten dalam penegakan Peraturan Daerah No 12 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, sebagaimana yang telah disebutkan di atas ke dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul : “
PERANAN
SATUAN
POLISI
PAMONG
PRAJA
DALAM
PENEGAKAN
PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN DI KABUPATEN KLATEN”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka secara spesifik permasalahan yang akan dikaji dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peran yang sudah dilaksanakan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Klaten dalam penegakan Peraturan Daerah No 12 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Pembelanjaan, dan Toko Modern selama tahun 20122013? 2. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan perannya?
C. Tujuan Penelitian 8
Buka 24 Jam, Toko Modern di Klaten Langgar Perda! , http://www.solopos.com/2012/12/14/buka-24-jamtoko-modern-di-klaten-langgar-perda-357899?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter , 13 maret 2014 pada pukul 02.30.
7
Dari rumusan masalah tersebut diatas, dapat dilihat penelitian ini mempunyai tujuan untuk : 1. Mengetahui peran apa saja yang telah dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Klaten dalam penegakan Peraturan Daerah No 12 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Pembelanjaan, dan Toko Modern dalam kurung waktu satu tahun (2012-2013). 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam melaksanakan perannya sebagai Perangkat Daerah yang mempunyai kewenangan dalam hal penegakan Peraturan Daerah.
D. Tinjauan Pustaka Sebagai wujud dari tanggung jawab pemerintah untuk mengatur perilaku masyarakat, menjaga ketertiban dan keadilan maka dibentuklah perundang-undangan. Adanya perundangundangan karena suatu bentuk dari produk hukum. Maka dari itu sangatlah perlu untuk mengetahui makna dari hukum itu sendiri. Pengertian hukum menurut R. Soeroso, adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Selain itu hukum dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan sosial, hukum dimaksudkan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, damai, dan adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan
8
individu atau masyarakat dapat terlindungi dan untuk mewujudkan suatu tatanan yang dikehendaki oleh penguasa tersebut. Peraturan perundang-undangan sendiri mempunyai arti semua peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan. Hierarki Peraturan Perundang-undangan Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011: 1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UU 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah daerah Propinsi dan daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Masuknya Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Selain itu Peraturan daerah ini juga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Dengan demikian kalau Peraturan Daerah tersebut dibuat sesuai kebutuhan daerah, dimungkinkan Perda yang berlaku di suatu daerah Kabupaten/Kota belum tentu diberlakukan di daerah kabupaten/ kota lain. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
9
Selain mempunyai kewenangan dalam membuat Peraturan Daerah, Pemerintahan Daerah juga mempunyai prinsip-prinsip dalam pelaksanaan Pemerintah Daerah, antara lain9: 1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asa otonomi dan tugas pembantuan, prinsip ini menjelaskan bahwa dalam pemerintahan daerah hanya ada pemerintahan otonomi. Pemerintah membentuk pemerintahan yang mandiri di daerah demokratis, tidak ada lagi unsur pemerintahan sentralistik dalam pemerintahan daerah. Gubernur, Bupati, Walikota semata-mata sebagai penyelenggara otonomi di daerah. 2. Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya yang berarti bahwa daerah berhak untuk mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan. 3. Prinsip kekhususan dan keagamaan daerah dijelaskan bahwa di daerah mengandung keanekaragaman bukan hanya suatu bentuk kekhususan saja. 4. Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. 5. Prinsip mengakui dan menghormati pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. 6. Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam pemilihan umum, para pejabat dipilih secara demokratis. 7. Prinsip hubungan antara pusat dengan daerah dijalankan secara selaras dan adil. Dengan adanya desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan 9
Ni‟matul Huda, OTONOMI DAERAH (Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika), Ctk Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm 1
10
masyarakat daerah. Kalau dalam sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapi.10 Daerah otonom yang memiliki kewenangan atributif dan sebagainya subjek hukum, maka berwenang membuat peraturan perundang-undangan di daerah atau Peraturan Daerah dan Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah mempunyai fungsi legislatif di daerah. Menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, wewenang Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah membentuk Peraturan Daerah dilakukan bersama Gubernur, Bupati atau Walikota (joint authority). Dalam pasal 69 masih terlihat bahwa Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah mendominasi dominasi dalam pembentukan Peraturan Daerah dengan menyebutkan bahwa Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah. Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah mempunyai kekuasaan membentuk hak inisiatif mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) dan mengesahkannya setelah disetujui oleh Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah.11 Pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah tergantung kepada kemampuan para penyelenggara negara pada tingkat pusat dan daerah dalam mempersiapkan ketentuan pelaksaan dan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksanaan dan mewujudkan otonomi daerah luas, nyata dan bertanggungjawab. Namun demikian tidak boleh mengabaikan bahwa ada prasyarat yang harus dipenuhi sebagai daerah otonomi, yaitu12: 1. Adanya kesiapan SDM aparatur yang berkeahlian. 10
H. Syaukani, Affan Gaffar, dan M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 172 11 Deddy Supriadi Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Ctk. Kedua, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hlm. 1 12 HAW, widjaja, Otonomi Daerah & Daerah Otonom, Rajawali PersDevisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 15.
11
2. Adanya sumber dana yang pasti untuk membiayai berbagai urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah. 3. Tersedianya fasilitas pendukung pelaksanaan pemerintah daerah. 4. Bahwa otonomi daerah yang ditetapkan adalah otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, desentralisasi/otonomi daerah merupakan pilihan yang baik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia ketimbang sentralisasi atau dekonsentralisasi. Adanya desentralisasi daerah akan menjadi kuat, kalau daerah kuat, Negara juga kuat, karena Daerah merupakan pilar bagi sebuah negara dimanapun. Dengan demikian, Jakarta tidak seharusnya menjadi satu-satunya pilar kehidupan negara. Adanya desentralisasi akan muncul pusat-pusat kegiatan ekonomi dan usaha yang baru. Jayapura, Ambon, Makasar, Medan, Palembang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Balikpapan, Bandung, Semarang, Surabaya dan bahkan Kupang misalnya harus menjadi alternatif bagi Jakarta, sebagaimana halnya New York, Chicago, Los Angeles, San Fransisco, Miami, Houston, dan lainnya sebagai alternatif bagi Washington DC. Atau seperti di Australia dimana Sidney, Perth, Brisbane, dan lain-lainnya sebagai alternatif dari pusat pemerintahan di Canberra.13 Kewenangan untuk daerah Kabupaten dan daerah Kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencangkup kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu keleluasaan otonomi mencangkup pula
13
H. Syaukani, Affan Gaffar, dan M. Ryaas Rasyid, Op.Cit, 41-42.
12
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.14 Adanya kewenangan Pemerintah Kabupaten untuk mengatur daerahnya sendiri, maka Pemerintah Kabupaten Klaten mempunyai perangkat daerah sebagai satuan yang mempunyai tugas dalam penegakan Peraturan Daerah, penyelenggaraan ketertiban umum, dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Yang dimaksud perangkat daerah tersebut adalah Satuan Polisi Pamong Praja.15
E. Metode Penelitian Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang mengkonsepsikan hukum sebagai perilaku ajeg dan/atau hukum sebagai interaksi sosial. 1. Objek Penelitian Objek penelitian tulisan ini adalah pelaksaan peran Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan Peraturan Daerah No 12 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern di Kabupaten Klaten. 2. Subjek Penelitian Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Klaten. 3. Sumber Data a. Data Primer Data Primer diperoleh dengan mengadakan wawancara dengan subjek penelitian dan penelitian lapangan. 14
Bagir Manan, Menyongsong.. Op. Cit, 37-38 Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 3 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja kabupaten Klaten 15
13
b. Data Sekunder Bahan hukum primer yang berupa buku-buku tentang Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah, Peraturan Perundang-undangan, hasil penelitian, dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek yang diteliti dan dapat dijadikan sumber data bagi penulis. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer Dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara adalah tanya jawab secara langsung dengan responden dan narasumber. Wawancara dilakukan dengan 2 macam, yaitu: wawancara berstruktur dan tidak berstruktur atau menggambarkan kombinasi keduanya. Wawancara berstruktur adalah wawancara dengan pertanyaan yang diajukan berasal dari pertanyaan yang sudah disiapkan terlebih dahulu, sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah pertanyaan yang timbul pada saat wawancara dilakukan. b. Data Sekunder Dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yaitu dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan peneliti. Selain dengan cara studi kepustakaan, juga dapat dilakukan dengan cara studi dokumentasi, yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen resmi instutisional yang berhubungan dengan permasalahn peneliti. 5. Pendekatan yang digunakan Pendekatan yang digunakan peneliti ini adalah yuridis empiris, yaitu menganalisa permasalahan menurut ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat.
14
6. Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan metode Analisis Kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dikelompokkan, yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang diteliti menurut kualitas kebenarannya, sehingga menjawab permasalahan yang ada, data yang ada akan diuraikan secara deskriptif.
F. Sistematik Penulisan Bab I, merupakan gambaran pengantar dari keseluruhan pembahasan skripsi ini. Didalamnya termuat latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, menjelaskan tinjauan umum tentang Pemerintahan Daerah, yang membahas tentang Peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penegakan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern di Kabupaten Klaten. Selanjutnya Bab III, merupakan bab pembahasan atau analisa dari data yang didapat yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat oleh penulis. Dan yang terakhir Bab IV, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran. Kesimpulan ditarik dari pembahasan terhadap pokok-pokok masalah yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Sedangkan saran, akan diajukan sehubung dengan kesimpulan-kesimpulan yang akan diperoleh dari pembahasan masalah yang dibahas dalam skripsi.