Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia Oleh: Andy Corry Wardhani Abstract In development model centering on human, government role is creating social environment that enable to stimulate man development and potentiality actualization. The creating of social environment needs self organize learning system, with orienting informal organization network and communication flow on need and local variety as complement of more formal command system. Structural arrangement depends on populace initiative to create based on unlimited information. It determines inputs of development centering on human. Key words : Development, government, populace
Pendahuluan Para Perencana pembangunan di negara-negara berkembang dan ahli pembangunan lainnya sepanjang dua dasawarsa terakhir makin menyadari pentingnya pendekatan alternatif dalam pembangunan. Pada mulanya para perencana pembangunan begitu yakin bahwa pembangunan yang dirancang secara teknokratis, melalui pengelolaan sumberdaya secara terpusat dan memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada birokrasi pemerintah sebagai pelaku utama pembangunan, akan mampu mengatasi berbagai persoalan dasar masyarakat seperti kemiskinan, kesenjangan sosial dan keterbelakangan. Aplikasi Model-model pembangunan yang digunakan tidak jarang menghasilkan program-program pembangunan yang bukan hanya mengabaikan akan tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi melalui inisiatif lokal dan lebih dari pada itu membuat mereka menjadi sangat tergantung kepada birokrasi-birokrasi terpusat yang memiliki kemampuan absorpsi sumberdaya yang sangat besar, akan tetapi sebaliknya kurang memiliki kepekaan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan lokal ( Korten, 1988 ). Pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development), telah mengundang kebangkitan kembali dengan semangat baru yang lebih bersifat partisan pembangunan masyarakat. Pendekatan pembangunan seperti ini merupakan suatu elemen dasar dari suatu strategi pembangunan yang lebih luas, bertujuan untuk mencapai suatu transformasi berdasarkan nilai-nilai yang berpusat pada manusia dan potensi-potensi yang ditawarkan oleh teknologi maju berdasarkan informasi. Pembangunan yang berpusat pada manusia, memandang manusia sebagai warga masyarakat, sebagai fokus utama maupun sumber utama pembangunan, nampaknya dapat dipandang sebagai suatu strategi alternatif pembangunan masyarakat yang menjamin komplementaritas dengan pembangunan bidangbidang lain, khususnya bidang ekonomi. Landasan berpijak pendekatan pembangunan seperti ini bukan birokrasi dan programprogram serta proyek-proyek yang dirancang dan dikelola secara terpusat, melainkan masyarakat atau komunitas itu sendiri, kebutuhan-kebutuhannya, kemampuan-lemampuannya dan lebih luas dari semuanya adalah penguasaan atas sumberdaya-sumberdaya dan nasib
Doktor Ilmu Komunikasi; Dosen Tetap Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNILA
47
Andy Corry Wardhani; 47 - 54
Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
mereka sendiri. Peranan pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar. Tulisan ini akan mencoba membahas pendekatan pembangunan alternatif tersebut dengan mengajukan pertanyaan mengapa diperlukan pendekatan pembangunan seperti itu? Bagaimana kekuatan dan kelemahan-kelemahannya? Sebelum membahasnya, dikemukakan lebih dahulu, model pembangunan yang dominan dalam perspektif sejarah. Model Pembangunan yang Dominan dalam Perspektif Sejarah Model pembangunan yang dominan tentang pembangunan di negara-negara berkembang dimulai dari gagasan W.W Rostow yang amat dikenal sepanjang tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Menurut Rostow, proses pembangunan dapat di pandang sebagai rangkaian tahap pertumbuhan keluaran produksi berurutan yang dicapai melalui penanaman modal dalam kapasitas produksi yang berteknologi modern. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi suatu negara, tergantung pertama-tama pada pencapaian tingkat penanaman modal yang diperlukan birokrasi pemerintah mengorganisasi masyarakat menjadi satuan-satuan produksi yang efisien dan dikendalikan secara terpusat. Di bawah pengendalian ketat birokrasi pemerintah yang seringkali cenderung berkembang eksesif, sistem-sistem pengolahannya secara konsisten dirancang untuk memaksimalisasi tingkat pertumbuhan sistem sebagai keseluruhan. Pendekatan pembangunan demikian, dapat disebut model pembangunan yang berorientasi pertumbuhan atau yang berpusat pada produksi. Upaya yang dilakukan adalah pemilihan struktur produksi dan kesempatan kerja yang terencana, guna meningkatkan porsi industri jasa dan manufaktur. Proses ini diharapkan mempunyai pengaruh luas terhadap penduduk, melalui “tetesan ke bawah” (Trickle-Down Effect), sehingga kaum miskin akan terkena ke dalam proses modernisasi ekonomi dan ikut menikmati hasil-hasilnya. Namun dalam intinya, model ini mementingkan produksi, tampil semata-mata dengan tujuan meraih sasaran-sasaran produksi dan bukan sasaran yang diinginkan rakyat banyak dengan keyakinan bahwa rakyat dengan sendirinya akan memetik manfaat sesudah sasaran produksi tercapat (Korten, 1984). Diperlukan beberapa waktu sebelum pembuat kebijaksanaan menyadari, bahwa pembangunan ekonomi seperti itu, semata-mata akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, kecuali sebagian kecil penduduk. Pada masa lalu, pertumbuhan telah memperkuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, asset dan kekuasaan yang menyebabkan tidak dimngkinkannya pernyebaran keuntungan-keuntungan yang diperoleh, baik secara ekonomis maupun politis. Seperti yang dikutip Moeljarto bahwa hasil penelitian Irma Adelman dan C.T Morris menunjukkan, kenaikan GNP cenderung diikuti oleh suatu penurunan dalam proporsi relatif pendapatan nasional yang diterima oleh bagian penduduk termiskin. Studi ini merupakan studi komprehensif antar bangsa yang meliputi 74 Negara. Hasil penelitian para ahli pembangunan lainnya menyimpulkan, salah satu fenomena global di negara berkembang adalah pembangunan yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi, sedang matra lainnya dipandang sebagai pelengkap (auxiliary), belum sebagai suatu nilai intrisik yang hendak dicapai (Sazanami, Moeljarto, Bintoro, seperti dikutip Effendi, 1989). Selanjutnya observasi-observasi tersebut, menunjukkan bahwa pembangunan yang terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi, akhirnya tidak akan mampu meningkatkan 48
Andy Corry Wardhani; 47 - 54
Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
kesejahteraan rakyat yang merupakan tujuan utama pembangunan. Salah seorang pengamat usaha pembangunan secara terencana, Sazanami menyimpulkan bahwa kekurangberhasilan upaya-upaya pembangunan yang terlalu menekankan aspek pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang, menunjukkan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap aspek pembangunan yang lebih luas. Model pembangunan pertumbuhan seperti ini, memang telah menunjukkan hasil-hasil yang amat menggembirakan dalam waktu yang relatif singkat. Tetapi observasi yang dilakukan oleh pengamat pembangunan selama dua dekade ini sampai kepada kesimpulan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut ternyata tidak diikuti oleh kemajuan-kemajuan sosial yang seimbang (Effendi, 1989). Kritik-kritik dan pengujian kembali atas keahihan model pembangunan yang terpusat pada pertumbuhan atau produksi, telah mendorong lahirnya komitmen global untuk menangani secara lebih langsung tiga tantangan berat pembangunan di negara-negara berkembang: (1) Penghapusan kemiskinan; (2) Pelestarian kapasitas produktif; (3) Peningkatan kekuasaan rakyat melalui peningkatan partisipasi mereka didalam proses pembangunan. Komitmen untuk secara langsung menjawab ketiga tantangan pembangunan tersebut terjadi berdampingan dengan upaya-upaya pengujian kembali teori-teori dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang selama ini menguasai proses pembangunan di negaranegara berkembang. Ketidakmampuan model terdahulu dalam mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan pada negara-negara berkembang, justru menuntut suatu renungan dan pemikiran kembali tentang hakekat pembangunan. Suatu koreksi yang menarik telah dibuat para ahli political-economy sekitar awal tahun 1970-an, menunjukkan bahwa pertumbuhan saja ternyata bukan pembangunan. Pertumbuhan sama dengan peningkatan produksi dan keluaran riil, sedang pembangunan didefinisikan sebagai kapasitas berproduksi yang sangat tergantung pada struktur-struktur yang ada dalam masyarakat (Bryant and White, 1987). Kesadaran akan kenyataan bahwa penggunaan teknologi hemat tenaga hanya menghasilkan peningkatan substansial produktifitas tenaga kerja perkotaan tanpa menciptakan perluasan lapangan kerja pada tingkat yang seimbang dengan tingkat pertumbuhan penawaran tenaga kerja, telah mendorong terjadinya pergeseran dari strategi-strategi pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan murni menuju strategi-strategi pembangunan berwawasan pemerataan. Di dalam konteks ini muncul dua model pembangunan yang menaruh perhatian sangat sentral pada isyu pemerataan. Pertama, dikenal dengan model pembangunan redistribusi dengan pertumbuhan, menyusul publikasi hasil studi bank dunia dan Institut Studi Pembangunan Universitas Sussex tahun 1974 berjudul Redistribution With Growth. Kendati model ini menaruh konsentrasi pada pertumbuhan, ia secara eksplisit menaruh perhatian pada penanganan masalah kemiskinan melalui sejumlah kebijaksanaan redistribusi. Tekanan utama dari model ini adalah pergeseran pola dan struktur pertumbuhan pendapatan dan pemilikan asset-asset produktif. Empat bentuk pendekatan berikut, pada umumnya dipandang sebagai preskripsi untuk melaksanakan model pembangunan pemerataan dengan pertumbuhan (redistribusi dengan pertumbuhan): (1) Memaksimalkan pertumbuhan pendapatan nasional perkapita melalui peningkatan tabungan dan alokasi lebih efisien sumber daya-sumber daya bagi keuntungan semua kelompok dalam masyarakat; (2) Pengarahan kembali investasi untuk kelompok-kelompok miskin dalam bentuk pendidikan, akses terhadap kredit dan fasilitasfasilitas publik yang lain; (3) Redistribusi pendapatan untuk kelompok miskin melalui sistem fiskal atau alokasi secara langsung barang-barang konsumen dan (4) Transfer asset-asset produktif yang ada kepada kelompok-kelompok miskin. 49
Andy Corry Wardhani; 47 - 54
Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
Model kedua dari pembangunan berwawasan pemerataan adalah model pembangunan kebutuhan dasar dari ILO (International Labour Office), yang sangat terkenal pada paro kedua dasawarsa 1970-an dan awal tahun 1980-an menyusul diselenggarakan World Employment Confrence pada tahun 1976. Model kedua ini menekankan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemecahan masalah pada pemenuhan kebutuhan paling dasar masyarakat: air bersih, sanitasi, transportasi, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan dasar yang lain. Model ini mencoba memecahkan masalah kemiskinan secara langsung dan tidak hanya mencoba memecahkan masalah kemiskinan melalui mekanisme “tickle-down effect” (Tjokrowinoto 1987). Di sini tolak ukur keberhasilan pembangunan bukan lagi pendapatan nasional bruto tetapi indeks mutu hidup. Pada dasarnya kedua model tadi mencoba memecahkan kemiskinan secara langsung, menuntut pembangunan yang egaliter dengan manifestasi bahwa produksi dan konsumsi, harus memenuhi baik kriteria efisiensi maupun pemerataan dan keadilan, rencana dan kebijaksanaan pemberantasan kemiskinan yang ditunjukan untuk mengatasi berbagai bentuk dispartias serta diperlukan transformasi politik yang membuka partisipasi dalam pengambilan keputusan. Rakyatlah yang menjadi orientasi utama kedua model ini. Tugas pemerintah di sini adalah sebagai pemberi layanan. Model ini tentu saja merupakan suatu langkah maju dalam memberikan pertimbangan pada aspek pembangunan manusia, dibandingkan dengan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, akan tetapi model ini tidak bebas dari kritik. Para pendukung tata ekonomi internasional baru, memandang model ini sebagai suatu usaha dari negara-negara maju utuk mejaga negara-negara nonidustri agar tetap dalam kedudukan tergantung dan terbelakang dengan cara mengurangi keterikatan mereka untuk melakukan investasi dalam industrialisasi Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia Sekalipun model pembangunan terakhir telah berhasil melontarkan pemikiranpemikiran baru dan memperkenalkan perlunya reformasi-reformasi prioritas program pembangunan, keduanya ternyata hanya berhasil menawarkan suatu alternatif yang bersifat parsial terhadap model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan. Dilain pihak para ahli pembangunan seperti David Korten mengkritik model pembangunan tadi, karena kurang perhatian terhadap keterpusatan posisi umat manusia dalam pembangunan dan telah membuat lapisan penduduk miskin tergantung pada pelayanan dan program-program pembangunan pemerintah. Kritikan-kritikan tadi memunculkan model pembangunan alternatif melalui rintisan David C. Korten. Dia menyebutkan model pembangunan tersebut sebagai model pembangunan yang berpusat pada manusia. Menurutnya mungkin semua kebutuhan dasar manusia bisa dipenuhi, tetapi itu bukan berarti telah memberikan mereka suatu lingkunan forbeing human. Lebih lanjut Korten mengatakan bahwa pembangunan yang berpusat pada manusia, sungguh-sungguh ditujukan pada memberi manfaat bagi orang, baik dalam berbuat maupun dalam hasilnya, juga memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan kepandaian yang kreatif bagi masa depannya sendiri dan masa depan masyarakat (Korten, 1987). Model pembangunan seperti ini, akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada birokrasi dan lebih menjamin pertumbuhan self-sustaining capacity masyarakat menuju sustained development (Tjokrowinoto, 1987). 50
Andy Corry Wardhani; 47 - 54
Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
Perspektif baru pembangunan tersebut, memberikan peranan yang khusus kepada pemerintah yang jelas berbeda dengan peranan pemerintah pada model-model pembangunan terdahulu. Seperti dikatakan pada awal tulisan ini, peranan pemerintah dalam hal ini, adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktualisasi potensi manusia secara lebih besar. Penciptaan lingkungan sosial memerlukan sistem belajar mengorganisasi diri, yakni dengan mengorientasikan jaringan organisasi informal dan arus komunikasi pada kebutuhan dan variasi lokal sebagai pelengkap dari ststem komando yang lebih formal. Berfungsinya pengaturan struktural tersebut, sangat tergantung pada inisiatif rakyat untuk berkreasi pada sumber informasi yang tidak pernah kering, keduanya menentukan input-input sumber utama model tersebut. Model pembangunan seperti ini, memberikan peranan warga masyarakat bukan hanya sebagai subyek melainkan lebih-lebih sebagai aktor yang menentukan tujuan-tujuannya sendiri, maenguasi sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi hidupnya. Meskipun pembangunan yang berpusat pada manusia, mengakui pentingnya pertumbuhan, namun penampilan dari suatu sistem pertumbuhan terutama tidak diukur berdasarkan nilai pertumbuhan yang dihasilkannya, melainkan lebih pada hubungannya dengan seberapa luas masyarakat terlibat didalamnya dan seberapa tinggi kualitas situasi kerja yang tersedia bagi mereka. Dalam hubungan itu, salah satu hal yang sangat penting yang membedakan model pembangunan yang berpusat pada manusia dengan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan/produksi adalah bahwa yang pertama mensubordinasikan kepentingan sistem produksi dibawah kepentingan manusia, sementara yang kedua menempatkan kepentingan manusia dibawah subordinasi kepentingan sistem produksi. Untuk lebih lengkap, berikut ini digambarkan dalam bentuk matrik perbedaan model ini dibandingkan dengan model-model pembangunan terdahulu sebagaimana dikemukakan David C. Korten (Tjokrowinoto, 1987); Karakteristik Fokus
Pertumbuhan Industri
Strategi Pemerataan/Basic Needs Pelayanan
People-centered Manusia
Nilai
Berpusat pada industri
Berkiblat pada manusia
Berpusat pada manusia
Ekonomi-Makro
Indikator Sosial
Hubungan manusia dengan sumberdaya
Entrepreneur
Service Provider
Modal
Kemampuan Administratif dan Anggaran
Indikator
Enabler/Facilitator Peranan Pemerintah Kreativitas dan Komitmen Sumber Utama
Kendala
Konsentrasi dan Marginalisasi
Keterbatasan anggaran dan inkompetensi aparat
51
Struktur dan prosedur yang tidak mendukung
Andy Corry Wardhani; 47 - 54
Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
Dengan mengacu pada pemikiran Korten, kemungkinan untuk pencapaian model pembangunan yang baru, dapat dilaksanakan. Korten sendiri menyebut bahwa dalam model pembangunan yang berpusat pada manusia, harus ditekankan pada pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas, ciri-cirinya adalah : (1) Secara bertahap prakarsa dan proses pengambilan keputusan, untuk memenuhi kebutuhan harus diletakkan pada masyarakat sendiri; (2) Kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ada, harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka; (3) Memperhatikan variasi lokal, karena itu sifatnya amat fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi lokal; (4) Menekankan social learning antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada saling belajar; (5) Membentuk jaringan (networking) antara birokrat dengan lembaga swadaya masyarakat maupun satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal. Kalau dalam model pembangunan yang berorientasi pada pemerataan diterapkan strategi bottom-up planning yang didukung oleh service provider dari birokrasi, maka model pembangunan yang terpusat pada manusia membutuhkan, transactive planning yaitu menekankan perencanaan dalam rangka pembangunan masyarakat melalui kebijaksanaan yang demokratis (democratic policy), disini birokrasi melaksanakan perencanaan bersama-sama masyarakat dan sifatnya sebagai enabler/facilitator. Jenis perencanaan seperti ini lebih menekankan proses pengembangan pribadi dan organisasi dan bukan hanya sekedar pencapaian tujuan fungsional khusus. Proses tersebut berkenaan dengan tatap muka atau dialog interpersonal dengan masyarakat yang dipengaruhi oleh keputusan dan ditandai oleh suatu proses saling belajar. Rencana yang dihasilkan bukan dinilai dari sampai seberapa jauh sumbangan barang atau jasa yang diberikan kepada masyarakat, tetapi dari pengaruhnya terhadap martabat mereka, rasa keefektifan, nilai-nilai dan perilaku mereka, kemampuan mereka untuk berkembang melalui kerjasama dan semangat murah hati mereka (Hudson, 1979). Sebagai fasilitator, pola tingkah laku birokrat dari model pembangunan ini, seharusnya seperti yang digambarkan Y.C. Yen (Tjokrowinoto, 1987) yaitu pihak yang datang dan hidup bersama masyarakat, belajar dari mereka, merencanakan dan bekerja bersama mereka, memulai dengan apa yang mereka ketahui, membangun dengan apa yang mereka miliki dan mengajar mereka dengan contoh-contoh serta belajar dengan berbuat. Dengan demikian, pola tingkah laku birokrasi konvensional tidak cocok untuk diterapkan dalam model pembangunan seperti ini, ketidakcocokan ini secara empiris telah dibuktikan oleh Ngau dengan studi kasus Harambee di Kenya. Penelitiannya mengungkapkan bahwa pola tingkah laku birokrasi konvensional telah menimbulkan dispowerment dan departicipation. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah lembaga yang merupakan perujudan paling khas dari model pembangunan yang berpusat pada manusia. Dibandingkan dengan badan-badan pemerintahan, LSM mempunyai sifat sebagai berikut: (1) Skalanya kecil dan pendekatannya lebih menekankan proses daripada hasil. LSM lebih mampu dibandingkan dengan badan-badan pemerintah didalam menjangkau lapisan penduduk miskin; (2) Lebih mampu melibatkan partisipasi lapisan penduduk miskin didalam proses pengambilan keputusan daripada lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah; (3) Tekanannya yang lebih mementingkan proses daripada hasil-hasil pembangunan juga lebih memungkinkan lapisan penduduk miskin belajar memperoleh kemampuan mengendalikan kehidupan mereka; (4) karena skalanya yang lebih dan tidak menjadi bagian dari birokrasi pemerintah, mereka 52
Andy Corry Wardhani; 47 - 54
Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
pada umumnya lebih fleksibel dan eksperimental; (5) lebih mampu menyalurkan sumberdaya yabng tidak dapat dilakukan oleh pemerintah ; (6) lebih mampu bekerja dengan lembagalembaga lokal dan (7) lebih mampu mencapai sasaran mereka dengan biaya yang lebih murah. Di dalam pendekatan yang dilakukan LSM ini, pemerintah mempunyai peranan memperkenalkan LSM untuk melaksanakan proyek dan menugasi LSM untuk bekerja di suatu proyek/kawasan yang belum dijangkau pemerintah. Sekali LSM itu diperkenalkan, untuk seterusnya dapat menjalankan proyek itu tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah. Kerjasama antara pemerintah dengan LSM-LSM dapat dilembagakan dengan mengundang wakil-wakil LSM menjadi anggota badan provinsi dengan mengundang wakilwakil LSM menjadi anggota badan provinsi atau subprovinsi (Tjokrowinoto, 1987). Dengan adanya kerjasama ini, antara pemerintah dengan LSM dapat saling mengisi dan menghindari kesan LSM adalah pesaing pemerintah. Penutup Walaupun telah berhasil memperoleh penilaian sangat tinggi dikalangan semakin banyak ahli pembangunan, sebagai suatu model pembanguanan alternatif yang mampu menawarkan peluang-peluang baru untuk memecahkan mendasar yang dihadapi masyarakat negara berkembang termasuk Indonesia, model pembangunan seperti ini masih harus diuji kesyahihannya, elemen-elemen dan mekanisme-mekanisme kerjanya masih harus dirumuskan secara lebih operasional. Keberhasilan aplikasinya melalui beberapa pilot proyek dan terutama melalui kegiatankegiatan LSM, masih harus dilihat sebagai kasus-kasus unik, dan oleh karena itu hanya dapat dilihat sebagai suatu keberhasilan proyek daripada sebagai suatu keberhasilan aplikasi suatu model pembangunan. Berbagai pilot proyek pembangunan yang diselenggarakan di bawah label model pembangunan yang berpusat pada manusia, telah terbukti berhasil mengembangkan partisipasi masyarakat pada tingkat grass roots, namun dalam banyak kasus keberhasilan itu seringkali masih belum mampu menghilangkan kelemahan-kelemahnnya, yaitu bersifat lokal, tergantung pada hadirnya kepempinan yang kuat dan bantuan teknis dari luar serta replikasinya ke tingkat yang lebih luas ternyata seringkali menuntut birokrasi yang terpusat oleh karena itu cenderung elitis serta hanya melibatkan partisipasi dari lapisan penduduk paling miskin. Kelemahan dasar yang lain bersumber dari desentralisasi dalam wujudnya yang semu. Pendekatan yang benar-benar muncul dari skala prioritas yang dibuat sendiri oleh masyarakat di tingkat lapangan, belum merupakan kenyataan yang sebenarnya, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat terbatas. Skala prioritas yang umumnya berkembang adalah apa yang secara halus dipaksakan juga oleh pemerintah. Akubat langsung dari keadaan ini, adalah kososngnya klaim LSM dari orisinalitas kegiatan dan pemikiran yang nyata-nyata berkembang di bawah. Di dalam hubungan ini, wawasan Korten mengemukakan bahwa keberhasilan model pembangunan yang berpusat pada manusia, menuntut secara simultan reformasi kebijaksanaan pada tingkat mikro dan tingkat makro harus dipahami.
53
Andy Corry Wardhani; 47 - 54
Volume. 2, No. 3, Juni 2009
ISSN: 1979– 0899X
DAFTAR PUSTAKA
Bryant, C & Louise G. White. 1987. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembangan. Jakarta: LP3ES. Effendi, Sofian, 1989. Pembangunan Kualitas Masyarakat. Artikel di Harian Yogya Post Yogyakarta, 27 November 1989. Hudson Baclay M. 1979. Comparison of Current Planning Theories: Counterparts and Contradictions, Journal of the American Planning Association, Vol 45, No. 4, 1979. Korten, David. C. 1984. Pembangunan yang memihak pada Rakyat: Kupasan Tentang Teori dan Metode Pembangunan. Jakarta: LSP. -----------------------. 1988. Community Management: Asian Experience and Perspectives. West Hartford, Connecticut: Kumarian Press. Tjokrowinoto, Moeljarto, 1987. Politik Pembangunan: Sebuah Analisis, Konsep, Arah dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
54
Andy Corry Wardhani; 47 - 54