BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian dari masyarakat yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara dan bangsa. TNI dibatasi oleh undang-undang dan peraturan militer sehingga semua tindak tanduk perbuatan yang dijalani harus berlandaskan pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat dan amat khusus maka TNI dididik dan dilatih untuk mematuhi perintah-perintah ataupun putusan tanpa membantah dan melaksanakannya perintah tersebut. Perbuatan/tindakan dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan oleh anggota TNI baik secara perorangan maupun kelompok yang melanggar ketentuanketentuan hukum, norma-norma lainnya yang berlaku dalam kehidupan atau bertentangan dengan undang-undang, peraturan kedinasan, disiplin, tata tertib di lingkungan TNI pada hakekatnya merupakan perbuatan/tindakan yang merusak wibawa, martabat dan nama baik TNI yang apabila perbuatan/tindakan tersebut dibiarkan terus, dapat menimbulkan ketidaktentraman dalam masyarakat dan menghambat pelaksanaan pembangunan dan pembinaan TNI. Norma-norma yang dilanggar anggota TNI pengaturannya terdapat dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu: Wetboek van Militair Strafrecht (Staatsblad 1934 Nomor 167 jo UU No.39 Tahun 1947) yang disebut
Universitas Sumatera Utara
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya ditulis KUHPM), Wetboek van Krijgstucht (Staatsblad 1934 Nomor 168 jo UU No.40 Tahun 1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (selanjutnya ditulis KUHDM), UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesa (UU TNI), Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya anggota TNI dapat diselesaikan melalui sistim peradilan pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tenang Peradilan Militer. 1 Setiap anggota TNI harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM), dan Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan hukum Militer inilah yang diterapkan kepada Tamtama, Bintara, maupun Perwira yang melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan, masyarakat umum dan negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum. Berdasarkan peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2010, anggota TNI yang melakukan tindak pidana tercatat sebanyak 3.711 orang. Pelakunya terdiri dari 2598 anggota TNI Angkatan Darat, 876 anggota TNI Angkatan Laut, dan 235 anggota TNI
1
Toetik Rahayuningsih, Peradilan Militer Di Indonesia Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelakunya, (Surabaya: LPPM Universitas Airlangga, 2002), hal. 3-5.
Universitas Sumatera Utara
Angkatan Udara. 2 Sebanyak 406 anggota yang dipecat pada tahun 2010, dan 862 anggota yang dipecat pada tahun 2009. 3 Sepuluh prajurit TNI Kodam XII Tanjungpura Pontianak diberhentikan dengan tidak hormat. Pemberhentian anggota TNI tersebut dilakukan pada tanggal 21 Februari 2010 di Makodam XII Tanjungpura. Berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat atas nama Pangdam XII Tanjungpura Mayjen TNI Geerhan Lantara, anggota TNI yang diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas keprajuritan karena terkait tindak pidana dan berbagai bentuk pelanggaran
hukum
yang
dilakukan
anggota
TNI. 4
Kemudian
peristiwa
pemberhentian anggota TNI pada tanggal 2 Oktober 2002 di Medan, sebanyak enam orang perwira di lingkungan Batalyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) diberhentikan dari jabatannya dan 20 anggota berpangkat bintara dan tamtama diberhentikan secara tidak hormat sebagai akhir dari insiden Binjai. 5 Beberapa peristiwa di atas, merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum atau tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI. Akibat dari pemberhentian anggota TNI dengan tidak hormat, tuntutan pidana harus dilaksanakan sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, terhadap
2
Poskotanews.com, ”Sebanyak 3.711 Anggota TNI Melakukan Tindak Pidana”, Rabu, tanggal 23 Februari 2011. Kepala Staf Umum TNI, Marsdya, Edy Harjoko saat memeriksa pasukan pada upacara Gelar Operasi Polisi Militer di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. 3 Tribunnews.com, “Pelanggaran Tindak Pidana Anggota TNI di Tahun 2010 Menurun”, Selasa, Tanggal 18 Januari 2011. 4 Pontianakpost.com, “Sepuluh Prajurit TNI Dipecat Secara Tidak Hormat”, Selasa, Tanggal 22 Februari 2011. 5 Kompas, Tanggal 3 Oktober 2002, hal. 1. Pemberhentian secara tidak hormat tersebut dilakukan dalam sebuah apel luar biasa yang dipimpin langsung oleh KSAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, di halaman Markas Kodam I/Bukit Barisan Medan.
Universitas Sumatera Utara
anggota TNI yang dituntut pidananya dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, dilakukan pembinaan di Pemasyarakatan Militer (Masmil). 6 Dimulainya pembinaan terhadap narapidana TNI di Masmil Medan, sejak dilakukannya proses peradilan oleh lembaga-lembaga yang berwenang sampai pada putusan hakim Pengadilan menyatakan bahwa terdakwa (anggota TNI) tersebut terbukti melakukan tindak pidana. Terhadap anggota TNI yang dipidana atas tindak pidana yang dilakukannya, maka dilakukan pembinaan terhadapnya melalui Masmil. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera terhadap pelaku dan mengembalikan jiwa narapidana TNI tersebut kepada jiwa Pancasila dan Saptamarga. Kewenangan Pengadilan Militer tingkat pertama memeriksa dan memutus perkara terhadap anggota TNI berpangkat Kapten ke bawah di wilayah hukumnya masing-masing sesuai Pasal 9 jo 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UUPM) artinya Pengadilan Militer bukan hanya melaksanakan perintah undang-undang bahkan juga mendukung tugas para Komandan Satuan dalam penegakkan hukum. 7 Sumber menjadi anggota TNI adalah Warga Negara Indonesia yang telah memenuhi persyaratan administrasi, fisik dan mental dan menjalani seleksi beberapa tahap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan setelah lulus seleksi barulah calon anggota TNI tersebut di bentuk fisik dan mentalnya sebagai seorang anggota/prajurit TNI yang berdinas di Kesatuan setelah diangkat oleh pejabat yang 6
Poskotanews.com, Ibid. Kolonel Chk Hidayat Manao, “Pemecatan Prajurit TNI”, Artikel, Kadilmil I-02 Medan, Tanggal 4 Oktober 2010, hal. 1. 7
Universitas Sumatera Utara
berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya ditulis UU TNI). Anggota TNI yang sudah diangkat dan ditempatkan di Kesatuan, baik di Satpur, Banpur, Banmin dan Teritorial adalah diterjunkan ke masyarakat untuk mengaplikasikan pengabdiannya dengan bekal Sumpah Prajurit, Sapta Marga, dan 8 Wajib TNI dan bagi Perwira ada kode etik Perwira dan 11 azas kepemimpinan, namun pada kenyataannya ada beberapa anggota TNI yang tidak/kurang menghayati apa motivasinya menjadi anggota TNI (Pengabdian kepada Bangsa dan Negara) dan menegakkan kedaulatan Negara yaitu mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga kurang menghayati Sumpah Prajurit, Sapta Marga, dan 8 Wajib TNI dan mememiliki disiplin yang lemah akhirnya Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana kemudian diproses dalam sidang Pengadilan Militer sampai pada menjalani hukuman pidana atas putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 8 Prosedur penanganan pelanggaran dan tindak pidana pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dimulai dari tahap penyidikan, tahap penuntutan, kemudian apabila telah memenuhi syarat formal dan syarat materil sesuai ketentuan Pasal 130 ayat 2 sub a dan sub b UUPM, kemudian dilimpahkan perkaranya ke tingkat persidangan di Pengadilan Militer.
8
Ibid., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan proses dalam hukum acara pidana maka hasil persidangan atau Putusan Hakim terdiri dari 3 (tiga) jenis Putusan (Pasal 189 jo Pasal 190 UUPM sebagai berikut: 1. Terbukti melakukan tindak pidana, terhadap terdakwa dijatuhi pidana. 2. Tidak terbukti melakukan tindak pidana, terhadap terdakwa dibebaskan dari dakwaan. 3. Terbukti melakukan perbuatan tetapi bukan tindak pidana, terhadap terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum. Putusan Pengadilan Militer yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka selain dijatuhi pidana penjara (pidana pokok) juga putusan hakim dapat sekaligus menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer apabila dinilai anggota TNI yang bersangkutan tidak dapat dipertahankan lagi sebagaiamana ditentukan dalam Pasal 6 a dan b KUHPM. Pembinaan narapidana TNI di Masmil Medan harus didukung pula sarana dan prasarana yang ada. Dengan demikian, maka tujuan dari pembinaan tersebut dapat tercapai yaitu mengembalikan prajurit TNI yang berjiwa Pancasila dan Saptamarga atau memberikan efek jera kepada pelaku sehingga tidak dimungkinkan terjadinya residivis. Pembinaan narapidana TNI di lembaga pemasyarakatan (dalam hal ini Masmil Medan) belum memiliki payung hukum khusus mengatur mengenai pembinaan narapidana TNI di Masmil. Oleh karena itu, pembinaan secara umum masih tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mendasari tugas dan fungsi dari lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah salah satu pranata hukum yang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka besar bangunan hukum di Indonesia, khususnya dalam kerangka Hukum Pidana. Sumbangan yang diberikan salah satunya dalam hal pembinaan terhadap narapidana selama menjalani masa-masa hukumannya dipenjara. Bahkan pembinaan serta pengawasan ini diberikan pula pada narapidana bebas untuk periode-periode waktu tertentu. Tujuan dari pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan adalah agar narapidana tidak mengulangi lagi perbuatannya dan bisa menemukan kembali kepercayaan dirinya serta dapat diterima menjadi bagian dari anggota masyarakat. Selain itu pembinaan juga dilakukan terhadap pribadi dari narapidana itu sendiri. Tujuannya agar narapidana mampu mengenal dirinya sendiri dan memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi. 9 Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan mulai dikenal sejak tahun 1964 ketika dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di
9
Selama ini perhatian banyak diberikan terhadap lembaga-lembaga hukum yang bergerak langsung dalam penegakan hukum baik di lembaga pembuat Undang-Undang maupun pihak yang bertanggung jawab dalam hal pelaksanaannya seperti Polisi, Hakim ataupun Jaksa. Perhatian tersebut dirasa kurang pada Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini ditunjukkan tingkat keberhasilan dalam suatu Lembaga Pemasyarakatan yang masih kurang. Masih banyak dijumpai tindak pidana yang ada dalam masyarakat khususnya pengulangan tindak pidana (residive) yang dilakukan oleh mantan narapidana. Hal tersebut memberi pengertian bahwa mungkin ada yang salah dalam mekanisme pembinaan.
Universitas Sumatera Utara
Lembang Jawa Barat, tanggal 27 April 1964. Menurut Sahardjo, untuk membina narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan sebagaimana berikut ini: 10 Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna bagi masyarakat. Dari pengayoman itu, nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara. Tobat (efek jera) tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat. Pandangan di atas, merupakan bagian dari arti pentingnya pembaharuan hukum pidana penjara di Indonesia. Dimana bahwa telah dilakukan perubahan nama ”kepenjaraan” menjadi ”pemasyarakatan”. Titik tolak pemikiran yang mendasarinya bukan saja masyarakat yang diayomi dengan adanya tindak pidana, tetapi juga terhadap pelaku tindak pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan agar berguna bagi masyarakat. Perubahan nama ”kepenjaraan” menjadi ”pemasyarakatan” tersebut memunculkan suatu lembaga yang disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan RI Nomor: J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964.
10
Sahardjo, dalam C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 1. Sahardjo melontarkan gagasannya atas perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Sebelumnya terlebih dahulu Sahardjo telah mengemukakan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana itu dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa (gelar yang diperolah atas pemberian dari suatu institusi/lembaga karena jasa-jasanya bukan gelar akademik) di Istana Negara Republik Indonesia pada tahun 1963. Tanggal 27 April 1964 dikenal sebagai hari lahirnya pemasyarakatan Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan lain yang menarik adalah bahwa efek jeranya atau tobatnya narapidana tidak harus dilakukan dengan cara penyiksaan tetapi melalui bimbingan. Sebab seseorang yang mejadi narapidana telah kehilangan kemerdekaan untuk bergerak di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Jadi, pidana kehilangan kemerdekaan untuk bergerak tersebut telah merupakan pidana tersendiri yang tidak perlu ditambah lagi dengan pidana penyiksaan atau bentuk lainnya, tetapi harus diberikan bimbingan agar setelah berakhirnya masa pidana dilakukan dan kembali ke lingkungan masyarakat, dapat berguna bagi masyarakat tersebut. 11 Sistem pembinaan terhadap narapidana berbeda dengan sistem kepenjaraan sebagaimana pada masa-masa sebelum tahun 1964. Dimana bahwa dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana tersebut harus berpedoman kepada prinsip-prinsip yang menjadi dasar dalam pembinaan yaitu: 12 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna bagi masyarakat; 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara; 3. Efek jera tidak dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan; 4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum masuk lembaga pemasyarakatan; 5. Selama kehilangan kemerdekaan untuk bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga pemasyarakatan atau negara saja, melainkan harus ditujukan untuk pembangunan negara; 7. Bimbingan da didikan harus berdasarkan Pancasila; 8. Setiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia walaupun telah melakukan perbuatan pidana. Tidak boleh disebutkan kepada narapidana tersebut sebagai penjahat; 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan; dan 11 12
Ibid. Ibid., hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
10. Sarana fisik lembaga merupakan salah satu faktor penentu pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Prinsip-prinsip di atas merupakan perinsip dasar yang harus diterapkan dalam melakukan pembinaan dan bimbingan. Ada tiga hal penting yang harus dipahami dari prinsip tersebut yaitu: tujuan, proses, dan pelaksanaan pidana di Indonesia. Sebagai tujuan, proses, dan pelaksanaan pidana di Indoensia, menurut Sahardjo bahwa Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia telah membuktikan kemandiriannya sekaligus telah membuktikan keberhasilan dan kegagalannya. Oleh sebab itu, bertitik tolak dari pandangan Sahardjo di atas, dapat dipahami bahwa hukum sebagai sarana untuk melakukan pengayoman terhadap masyarakat. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan, proses, dan pelaksanaan pidana di Indonesia. Secara filosofis pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: 1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan; 13 2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUH Pidana), 13
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama), hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
Pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUH Pidana), dan pranata khusus penentuan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUH Pidana), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem penenjaraan. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi/lembaga yang digunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah; 14 3. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga ”rumah penjara” secara berangsurangsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, kelaurga, dan lingkungannya. 15 Sistem pemasyarakatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi mengenai pemidanaan. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan
14 15
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 61. Dwidja Priyatno., Op. cit., hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Pemidanaan yang dikonsep dalam sistem pemasyarakatan tersebut tidak terlepas dari filosofi yang dikemukakan oleh Dwidja Priyatno, bahwa, narapidana bukan saja objek melainkan juga sebagai subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas tetapi yang perlu diberantas adalah faktor-faktor yang dapat dikenakan pidana tersebut. 16 Lembaga
Pemasyarakatan
sebagai
ujung
tombak
pelaksanaan
asas
pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan, proses, dan pelaksanaan hukum sebagai pengayom masyarakat melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, bimbingan, dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) terdapat 4 (empat) elemen yang bekerja dalam penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. 17 Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan
16
Ibid., hal. 103. Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 135. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu kesatuan proses pengadilan pidana yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya dalam penegakan hukum pidana. 17
Universitas Sumatera Utara
Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sebagai dasar yuridis dari pelaksanaan pemasyarakatan adalah UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Dalam Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan ditentukan definisi pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Definisi pemasyarakatan dalam UU Pemasyarakatan di atas, dapat dipahami bahwa ketentuan tersebut menyatakan kata ”pembinaan”, dan ”Warga Binaan Pemasyarakatan”. Hal ini mengisyaratkan suatu filosofis untuk memperlakukan orang yang dibina (Warga Binaan Pemasyarakatan) secara manusiawi. Secara umum mengenai fungsi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam melakukan pembinaan narapidana telah diuraikan di atas. Dalam hal pembinaan narapidana militer dilaksanakan di Masmil tetap berpedoman kepada UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Sebagaimana pembinaan di Lapas, maka konsep pembinaan narapidana TNI di Masmil didasarkan kepada konsep-konsep pembinaan dalam sistem Lapas meskipun
Universitas Sumatera Utara
Reglemen Penjara Tentara (S.1934-169) yang berdasarkan sistem penjara masih berlaku di lingkungan Masmil. 18 Perlu diketahui bahwa sejak tanggal 1 April 1999, secara kelembagaan, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) telah diganti dengan sebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI. Dimana bahwa TNI terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. 19 Jadi, narapidana di dalam Mamsil adalah anggota TNI yang menjalani hukuman pidana karena melakukan tindak pidana dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Semua jenis pelaku tindak pidana atau kejahatan yang dilarang oleh undangundang dibina di Masmil, akan tetapi Narapidana TNI tersebut masih aktif sebagai anggota militer atau belum dipecat dari kedinasan militer. Jenis-jenis tindak pidana yang umumnya dilakukan anggota TNI dibina di Masmil misalnya: tindak pidana narkotika, pencurian, penculikan, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, pemerkosaan, desersi, insubordinasi (melawan atasan), dan lain-lain. Sedangkan jenis-jenis pelanggaran misalnya: tidak taat pada perintah dinas sehari-hari, terlambat 18
Sigit Wahyu Wibowo, Studi Banding Tentang Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Dan Pemasyarakatan Militer Ditinjau Dari Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Taruma Negara, 1996), hal. 129. 19 Awaloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493. Dalam sejarahnya, TNI pernah digabungkan dengan POLRI. Gabungan ini disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI. Dimana bahwa sebelum tahun 1999, ABRI terdiri dari TNI dan Polri, tetapi setelah tahun 1999 fungsi dan peran TNI dan Polri telah dipisahkan. Sebutan untuk ABRI diganti menjadi TNI.
Universitas Sumatera Utara
apel, dan lain-lain diselesaikan berdasarkan kebijakan dan peraturan teknis terkait yang dikeluarkan oleh komandan. Apabila narapidana TNI dipecat dari kedinasan militer, maka narapidana TNI tersebut dibina di Lembaga Pemasyarakatan Umum (Lapas) bukan di Masmil karena tujuan utama Masmil adalah untuk mengembalikan narapidana TNI kembali menjadi berjiwa prajurit sapta marga. 20 Masmil merupakan sub sistem terakhir dalam sistem peradilan militer. Dengan tetap berpedoman kepada UU Pemasyarakatan, Masmil memiliki fungsi untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana militer selama menjalani pidana. Masmil dalam organisasi TNI merupakan unit pelaksanaan teknis dari Pusat Pemasyarakatan Militer (Pusmasmil) dan merupakan bagian dari Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berada di bawah komando Panglima TNI. Masmil Medan merupakan salah satu instansi untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana TNI yang akan melaksanakan pidananya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam wilayah rayonisasi yang telah ditetapkan sehingga setelah selesai menjalani pidananya, anggota TNI yang dibina tersebut dapat kembali mmenjadi prajurit yang berjiwa Pancasila dan Saptamarga, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi melakukan tindak pidana dan siap melaksanakan tugas di kesatuan. 21 Dalam rangka mendukung tercapainya pembinaan narapidana TNI di Masmil Medan, harus berpedoman kepada prosedur tetap (protap) dan tata tertib yang berlaku 20
Pasal 256 ayat (3) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Akhmad Jumali, ”Prosedur Peraturan dan Tata Tertib Pemasyarakatan Militer Medan”, Pusat Pemasyarakatan Militer Medan 2010, (Protap dan Tata Tertib Masmil 2010), hal. 1. 21
Universitas Sumatera Utara
di Masmil Medan untuk dijadikan suatu landasan ataupun pijakan dalam melakukan pembinaan narapidana TNI. Masmil Medan secara oraginasi, personel, keuangan, logistik dan administrasi berada di bawah Babinkum TNI namun dalam penyelenggaraan fungsi teknis, Masmil Medan berada di bawah Pusmasmil. Pembinaan narapidana TNI yang melakukan tindak pidana di Masmil Medan bertujuan untuk membentuk kepribadian narapidana TNI yang sedang dilakukan pembinaan agar memiliki sifat dan sikap yang berwawasan, bertanggung jawab dan sesuai dengan norma-norma keprajuritan serta untuk menumbuhkan motivasi, inovasi, dedikasi selama para narapidana TNI berada di Masmil Medan. 22
B. Perumusan Masalah Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang diteliti adalah: 1. Bagaimanakah pembinaan yang dilakukan oleh Masmil terhadap narapidana Tentara Nasional Indonesia? 2. Bagaimanakah pembinaan terhadap narapidana Tentara Nasional Indonesia di Masmil Medan? 3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Masmil Medan dan upaya penanggulangannya dalam melakukan pembinaan narapidana Tentara Nasional Indonesia?
22
Ibid., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini sebagaimana permasalahan di atas adalah: 1. Untuk mengetahui dan mendalami pembinaan yang dilakukan oleh Masmil terhadap narapidana Tentara Nasional Indonesia; 2. Untuk Mengetahui dan mendalami pembinaan terhadap narapidana Tentara Nasional Indonesia di Masmil Medan; dan 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Masmil Medan dan upaya penanggulangannya dalam melakukan pembinaan narapidana Tentara Nasional Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah: 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum mengenai pembinaan narapidana TNI di Masmil. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi peneliti lanjutan, dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai pembinaan narapidana TNI di Masmil; 2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum khususnya aparat atau petugas di Masmil Medan, bermanfaat bagi Hakim
Universitas Sumatera Utara
Pengawas dan Pengamat (Wasmat) terhadap pola pembinaan narapidana TNI di Masmil Medan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranannya
sebagai
institusi/lembaga
yang
diharapkan
dalam
menyelenggarakan pembinaan narapidana TNI.
E. Keaslian Penulisan Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Namun, tidak ditemukan judul penelitian/tesis yang sama dengan judul dan permasalahan dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Konsep pemenjaraan merupakan konsep pembinaan narapidana dengan cara pelanggaran hukum dimana bahwa konsep ini melanggar hak asasi manusia melalui penyiksaan fisik. Maka, dapat dikatakan bahwa konsep pemejaraan yang diterapkan selama ini menimbulkan dampak negatif. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1777, John Howard dari Inggris telah mengorbankan harta dan jiwanya untuk mengunjungi
Universitas Sumatera Utara
rumah-rumah penjara yang ada di Inggris bertujuan untuk meringankan orang-orang di penjara hingga pada tahun 1800-an munculah istilah pidana bersyarat (probation) dan pelepasan bersyarat (porale). 23 Hal di atas merupakan koreksi terhadap konsep pemenjaraan sebab konsep pemenjaraan dipandang sebagai perilaku yang melanggar hukum dan kurang manusiawi. 24 Konsep pemenjaraan yang melanggar hak-hak asasi manusia perlahanlahan bergeser ke arah konsep pembinaan. Hingga pada akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang pada intinya adalah mengedepankan prinsip pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Termasuk dalam hal ini adalah Pemasyarakatan untuk narapidana TNI di Masmil. Pendekatan sistem dalam sistem kepenjaraan (security approach) dimaksud adalah keamanan penjara yang diutamakan. Narapidana lebih cenderung dianggap sebagai objek, oleh sebab itu, maka narapidana diberi nomor, diklasifikasikan menurut berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, dan menurut lama pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan. Kemudian dikenal pula golongan-golongan narapidana misalnya Golongan B-I, B-II-a, B-II-b, dan B-III. Perlakuan terhadap golongan-golongan narapidana seperti ini merupakan bagian dari pendekatan
23
Didin Sudiman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembagan Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2007), hal. 105. 24 Anton Setiawan, Pelaksanaan Pembinaan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, (Medan: Pasasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU, 2009), hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
keamanan. Sehingga pengawasan terhadap keamanan di dalam penjara merupakan hal yang paling diutamakan. Perlu dikatahui bahwa apabila hal tersebut di atas dilakukan terhadap narapidana, maka dapat menimbulkan rasa tidak aman bagi narapidana tersebut. Narapidana menjadi kehilangan rasa amannya (loss of security), karena setiap gerakgeriknya selalu diawasi. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan Harsono, sebagai berikut: 25 Security approach sebenarnya didasari pula oleh pertimbangan politik. Sebab pada masa bang sa Indonesia tengah menyusun kekuatan untuk berjuang menuju kemerdekaan menempatkan penjara sebagai sarana mendekapkan para tokoh politik. Tidak mengherankan jika dalam Reglemen Penjara Tentara tercantum pula larangan membaca buku, majalah, surat kabar atau mendengarkan radio, karena dikhawatirkan para tokoh politik menggunakan media massa sebagai upaya memupuk semangat perjuangan bangsa. Berdasarkan hal itu, maka di dalam konsep pemenjaraan, pendekatan keamanan membawa pengaruh kepada Kepala Kepenjaraan dalam memimpin penjara. Kepala Kepenjaraan dituntut untuk memimpin dengan memberlakukan keamanan yang lebih keras bahkan kejam. Sehingga narapidana jauh dari konsep pembinaan. Situasi semacam ini, masih ada dalam sistem pemasyarakatan sekarang ini, pendekatan keamanan masih merupakan bagian yang penting dan integral dalam sistim pemasyarakatan. Sudah barang tentu pendekatan ini lebih membuat suasana Lembaga Pemasyarakatan menjadi mirip penjara, menakutkan dan cenderung menganut aliran pembalasan untuk membuat jera seseorang dalam kehidupan di
25
C.I. Harsono., Op. cit., hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan. Pendekatan keamanan sangat bertentangan dengan sistim pemasyarakatan, sebab dalam beberapa komponennya, pemasyarakatan telah mengubah tujuannya dengan pembinaan dan bimbingan. Teori-teori pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana dikenal anatar lain teori teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment), teori tertib sosial (social defence), dan teori restoratif (restorative). 26 Teori retributif (absolute) menekankan pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya. Teori relatif, orientasinya adalah upaya pencegahan terjadinya tindak pidana. Orientasi teori relatif mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan memperbaiki yang salah. 27 Pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini dikenal dengan teori pengobatan (treatment) memandang pemidanaan dimaksud untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan (treatment) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. 28 Teori tertib sosial (social defence) terbagi dua lairan yakni: aliran radikal memandang ”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang” dan aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan 26
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 93. 27 Ibid., hal. 95-97. 28 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. 29 Teori restoratif (restorative) mamandang adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana. 30 Perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak sematamata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional. 31 Restoratif mencerminkan keadilan yang menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana. 32 Pandangan terpenting dari teori restoratif adalah memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai 29 30
Ibid., hal. 88-89. Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, (Pennsylvania: Intercourse, 2002),
hal. 18. 31
Ibid.
32
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/pikiranrakyat-20100205keadilanrestor, diakses tanggal 1 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence). 33 Tujuan-tujuan pemidanaan dari teori restoratif di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan pembinaan dan bimbingan narapidana melalui pendekatan sistim dalam sistim LAPAS dan hal ini merupakan kebijakan yang tepat dalam kebijakan pemidanaan untuk menyadarkan narapidana, mencegah terjadinya tindak pidana, mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana, dan mencegah terjadinya motif balas dendam setelah keluar dari pemasyarakatan. Menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan pidana adalah: 34 1. Titik berat pada kordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; 2. Pengawasan dan pengedalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; 3. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; 4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice. Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistim dikenal dalam lingkungan praktik penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan, harus bekerja sama membentuk suatu kesatuan sistim
33
J. Andeneses, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 14. 34 Romli Atmasasmita, dalam Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
secara bekerja
sama dan terpadu. Keselarasan sub-sub sistim antara satu sama
lainnya merupakan mata rantai dalam satu kesatuan. 35 Sebagaimana yang disebutkan Muladi, bahwa setiap masalah dalam satu sub sistim akan menimbulkan efek ke pada sistim lainnya. Demikian pula reaksi yang timbul sebagai akibat kesalahan pada salah satu sub sistim lainnya. Keterpaduan antara sub sistim dapat diperoleh apabila masing-masing sub sistim peradilan pidana menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. 36 Komponen-komponen sistim peradilan pidana tidak dapat bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal. Apalagi lebih besar pemasukan jumlah narapidana dari
pada
narapidana
yang
keluar
dari
Lembaga
Pemasyarakatan
dapat
mengakibatkan kelebihan daya tampung (over capacity) narapidana. Kelebihan kapasitas seperti ini dapat mengakibatkan terhadap kualitas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatn. 37 Konsep pembinaan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan langkah yang tepat dalam kebijakan pidana untuk menyadarkan narapidana, mencegah terjadniya tindak pidana, mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana, dan mencegah terjadinya motif balas
35
Margono Reksodiputro, Sistim Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994),hal. 87. 36 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op. cit., hal. 25. 37 Irdiansyah Rana, Upaya Penanggulangan Over Capacity Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
dendam setelah keluar dari pemasyarakatan. 38 Untuk mencapai hal tersebut, maka prinsip-prinsip pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan adalah: 39 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar narapidana dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna; 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara; 3. Berikan bimbingan tetapi bukan penyiksaan agar narapidana dapat bertaubat; 4. Negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk atau jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana; 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana atau anak didik harus dikenalkan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana atau anak didik tidak boleh bersifat hanya sekedar mengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk mmenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu, melainkan pekerjaan yang diberikan harus satu persepsi dengan pekerjaan dalam masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produktivitas; 7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana atau anak didik harus berdasakan Pancasila; 8. Narapidana atau anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah juga manusia, oleh karenanya harus diperlakukan sebagai manusia; 9. Narapidana atau anak didik hanya dijatuhi pidana hilangnya kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya; dan 10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana dan fungsi-fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistim pemasyarakatan. Pola pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, secara garis besar dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok yaitu: 40 1. Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang membina sebagai cermin pemenuhan kebutuhan masyarakat; dan 2. Pola pembinaan yang lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dari yang dibina.
38
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 20. 39 Irdiansyah Rana, Op. cit., hal. 24. 40 Anton Setiawan, Op. cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pola pembinaan narapidana di atas, sistem pemasyarakatan terlihat adanya suatu pengintegrasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Jadi, pemasyarakatan tidak hanya sekedar melakukan rehabilitasi dan resosialisasi narapidana tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat setelah menjalani pidana dan setelah narapidana kembali ke masyarakat. Menurut Mardjono Reksodiputro, pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan terdapat suatu pengawasan yang ditujukan terutama dalam hal pelaksanaan disiplin, penyiksaan, penganiayaan, atau pengawasan terhadap perilaku yang melanggar kesusilaan dari semua narapidana, perawatan medis, melakukan kegiatan keagamaan, serta dalam hal pelaksanaan lain-lain yang dibenarkan oleh peraturan yang berlaku sehubungan dengan tetap dihargainya martabat terpidana sebagai manusia. 41 Pembinaan dilakukan tanpa membeda-bedakan kedudukan narapidana di hadapan hukum. Ciri yang menonjol di negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap warga negaranya. 42 Perihal persamaan kedudukan di hadapn hukum, dalam UUD 1945 dicantumkan kedudukan warga negara di hadapan hukum tanpa mebeda-bedakan suku, agama, warna kulit, status sosial, dan sebagainya. Semua warga negara bersamaan hak dan kedudukannya
41
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistim Pembaharuan Pidana, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1997),hal. 99. 42 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986), hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 43 Jadi, hukum berlaku terhadap siapapun, pejabat maupun rakyat, segala suku apapun termasuk anggota TNI dan apabila kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang berlaku rule of law serta tidak ada seorangpun yang tidak dapat dipidana. Pidana penjara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah: pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. 44 Andi hamzah menyebutkan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan. Dapat dikatakan bahwa pidana penjara merupakan bentuk utama dan umum dari pidanakehilangan kemerdekaan. Akan tetapi dalam hukum adat Indonesia tidak dikenal istilah pidana penjara karena hanya mengenal istilah pidana pembuangan, pidana badan berupa pemotongan anggota badan atau dicambuk, pidana denda atau pembayaran ganti rugi. 45 Pengertian pidana penjara menurut P.A.F. Lamintang adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di
43
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 12 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). 45 Andi Hamzah, Suatu Tinjaun Ringkas Sistim Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1998), hal. 36. 44
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dnegan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut. 46 Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu: 47 1. Aspek perlindungan masyarakat. Pemidanaan akan efektif apabila dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum dari pidana penjara dapat mencegah warga masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. 2. Aspek perbaikan si pelaku. Ukuran efektivitas terletak pada masalah seberapa jauh pidana penjara mempunyai pengaruh terhadap si pelaku/terpidana. Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan telah berlangsung beratus-ratus tahun. 48 Penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua setua dengan peradaban manusia itu sendiri. Namun demikian cara tersebut masih sering dipersoalkan, oleh karena itu terdapat dua pendapat mengenai hal ini. Pertama, adalah pendapat yang tidak setuju bahwa sanksi pidana digunakan untuk menanggulangi tindak pidana, sedangkan pendapat kedua, setujua dengan penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan tindak pidana. 49 Terhadap pendapat pertama di atas, Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa terdapat pelaku tindak pidana atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak
46
P.A.F. Lamintang, Hukum Penintensir Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 69. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 224. 48 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1995), hal. 1. 49 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 18. 47
Universitas Sumatera Utara
perlu dikenakan pidana. Pidana merupakan peninggalan dari kebebasan masa lalu. 50 Pidana penjara penuh dengan gambaran-gambaran mengenai pelakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Selanjutnya dikatakan bahwa gerakan pembaharuan pidana penjara di Eropa Kontinental justru merupakan rekasi humanistik terhadap kekejaman pidana. 51 2. Landasan Konsepsional Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut: a. Pembinaan adalah serangkaian tindakan dalam suatu kesatuan sistim yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. 52 b. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). 53 c. Pembinaan
narapidana
Pemasyarakatan
adalah
(Lapas),
serangkaian
Kejaksaan,
tindakan
Kepolisian,
dari
Lembaga
Kehakiman,
dan
Kementerian Hukum dan HAM, serta lembaga-lembaga lainnya, dalam suatu kesatuan sistim yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai tujuan memasyarakatkan narapidana. 54
50
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 3. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang: Ananta, 1994), hal. 19. 52 C.I. Harsono, Op. cit., hal. 5. 53 Pasal 1 angka 7 UU Pemasyarakatan. 54 C.I. Harsono, Op. cit., hal. 5-6. 51
Universitas Sumatera Utara
d. Pembinaan narapidana TNI adalah serangkaian tindakan yang saling berkaitan antara satu sama lainnya dari Masmil, oditur, dan Hakim Militer dalam menjadi prajurit yang berjiwa Pancasila dan Sapta Marga, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi melakukan tindak pidana serta siap melaksanakan tugas di kesatuannya. 55 e. Narapidana TNI adalah anggota TNI yang menjalani hukuman pidana (terpidana) melalui pembinaan di Masmil. 56 f. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 57 g. Masmil adalah suatu unit pemasyarakatan militer untuk pelaksanaan teknis dari Pusat Pemasyarakatan Militer (Pusmasmil) dan merupakan bagian dari Badan Pembinaan Hukum TNI (Babinkum TNI) yang berada di bawah komando Panglima TNI. 58
55
Ibid., hal. 6. Ibid., hal. 8. 57 Pasal 1 angka 1 UU Pemasyarakatan. 58 Sigit Wahyu Wibowo, Op. cit., hal. 130. 56
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. 59 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 60 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya. 61 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal. 62 Sedangkan sifat penelitian adalah kualitatif. Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini
59
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 60 Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 61 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 62 Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif.
Universitas Sumatera Utara
adalah didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Penelitian yuridis normatif ini didukung oleh pendekatan yuridis empiris, yaitu dilakukan penelitian lapangan. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek yang ditelaah yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, karya ilmiah, makalah dan karya lainnya. 63 Selain data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, juga digunakan data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan (field research). Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: 1. Bahan hukum primer, yaitu KUH Pidana, KUHPM, KUHAP, KUHAPMIL, Reglemen Penjara Tentara (S.1934-169), UU No.41 Tahun 1947 tentang Sistem Kepenjaraan Tentara, UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, UU No.5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Warga Binaan, Surat Keputusan
63
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
Panglima TNI Nomor Kep/01/P/I/1984, tanggal 20 Januari 1984 tentang Organisasi Babinkum TNI, Surat Keputusan Panglima ABRI Nomor Kep/792/XII/1997 tanggal 31 Desember 1997 perihal Naskah Sementara Buku Petunjuk Teknis tentang Penyelenggaraan Masmil, Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/24/VIII/2005 tanggal 10 Agustus 2005 Lampiran 5 perihal Pokok-Pokok Oragnisasi dan Prosedur Masmil, dan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/12/III/2009 tanggal 11 Maret 2009 tentang Naskah Stratifikasi Doktrin Di Lingkungan TNI. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan dalam penelitian ini; 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, dan majalah mingguan sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan studi lapangan di Masmil Medan dengan melakukan identifikasi data yang ada. Data yang diperoleh melalui
Universitas Sumatera Utara
penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam undang-undang terkait dengan pembinaan narapidana TNI yang mengandung
kaedah-kaedah
hukum
yang
kemudian
dihubungkan
dengan
permasalahan. Kemduian melakukan sistematika data sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara deduktif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab. 64 4. Analisis Data Analisis data di dalam penelitian ini, dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan dan dari penelitian lapangan yang dikumpulkan melalui wawancara di Masmil Medan, dan kalangan masyarakat. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
64
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.
Universitas Sumatera Utara