BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Tantangan global yang akan selalu dihadapi oleh para profesional SDM
adalah menarik dan mempertahankan SDM yang dimiliki agar dapat berkomitmen bersama organisasi. Lembaga riset dan konsultan global Deloitte (2013) memberikan guidelines dalam rangka menghadapi tantangan tersebut. Salah satunya
dengan
memperhatikan
perkembangan
karier
karyawan
(http://www.forbes.com/). Sears (1982 dalam Patton & Mc. Mahon 2014) menyatakan bahwa perkembangan karier seseorang merupakan total konstelasi berbagai faktor psikologis, sosiologi, pendidikan, ekonomi, fisik, maupun kesempatan yang membentuk karier individu sepanjang masa hidupnya. Sehingga perkembangan karier memberikan insight kepada para profesional SDM terutama konselor karier mengenai berbagai alasan karyawan dalam menentukan pilihan kariernya, dan pada akhirnya diharapkan dapat membantu serta mengelola karier karyawan. Karyawan akan melalui suatu tahapan perkembangan dalam perjalanan karier mereka yang kemudian disebut sebagai tahapan karier. Tahapan karier memberikan gambaran pola penyesuaian serta berbagai sikap atau perilaku kerja tertentu yang ditunjukkan karyawan dalam rangka menemukan kecocokan pekerjaan dalam hidupnya (Ornstein et al., 1989; Hess et al., 2012). Setidaknya terdapat tiga pendekatan tahapan karier yang digunakan praktisi dan akademisi yaitu (1) Model Super, (2) Model Levinson, dan (3) Three-Stage Model. Ketiga
1
model tersebut memiliki asumsi yang sama yaitu adanya aktifitas psikologis individu dalam mempersepsikan kariernya. Formulasi Model Super lebih fleksibel dalam mengidentifikasi tahapan karier seseorang, karena memperhitungkan proses yang terjadi sepanjang perjalanan karier seseorang seperti kondisi situasional dan faktor pribadi individu (kebutuhan, bakat, minat, dan nilai-nilai) yang tengah dipersepsikan (Flaherty & Pappas, 2002; Super, 1990; Ornstein et al., 1989). Ornstein, et al. (1989) melakukan penelitian untuk menguji perbandingan antara tahapan karier Model Super dan Levinson, menemukan bahwa tahapan karier Model Super lebih sesuai digunakan untuk menjelaskan persepsi sikap dan perilaku individu di tempat kerja. Sehingga, diantara ketiga model yang lain Model Super merupakan konsep perkembangan karier yang fluid, dinamis, berkesinambungan, dan kontekstual (Hartung, 2013) karena memberikan kerangka pemahaman terhadap peran, kepribadian, dan cara pandang seseorang terhadap realitas karier yang tengah dihadapi. Perspektif karier modern menekankan pada kebebasan dan fleksibilitas individu
dalam
menentukan
arah
karier
(contoh:
karier
protean
dan
boundaryless). Namun demikian, organisasi tetap memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan karier karyawan yang dimiliki karena bagaimanapun masih banyak orang yang menggantungkan identitas dan fungsionalitas kariernya pada organsisasi dalam rangka pengembangan karier (Baruch, 2006). Salah satu upaya organisasi adalah dengan mengidentifikasi tahapan karier yang dilalui oleh karyawan sebagai basis merencanakan target pengembangan karier karyawan.
2
Mallon dan Cohen (2001) misalnya melakukan penelitian terhadap manajer profesional wanita yang membuat transisi karier dari satu organisasi kemudian memutuskan untuk berwirausaha. Penelitian tersebut mencatat bahwa keputusan untuk berhenti dari kehidupan organisasi dipengaruhi oleh perubahan struktural, keadaan pribadi dan persepsi bahwa organisasi itu tidak lagi cocok untuk nilainilai diri mereka. Pola tersebut seharusnya dapat diantisipasi organisasi yang menaungi karyawan, dalam rangka menyusun kebijakan manajemen karier yang efektif sesuai dengan aturan dan tanggung jawab masing-masing individu dan organisasi dalam proses manajemen karier (Cline dan Kisamore, 2008). Oleh karena itu diharapkan tahapan karier dapat menyediakan gambaran lengkap mengenai persepsi karier individu yang lebih aktual sehingga pada akhirnya profesional SDM dapat menentukan bentuk pengelolaan yang tepat. Donald Edwin Super mengembangkan sebuah model teoritikal yang dapat digunakan para konselor untuk mengidentifikasikan tahap karier yang dilalui karyawan. Model teoritikal tersebut kemudian disebut sebagai Model Super (Ornstein et al., 1989). Model Super memberikan ilustrasi mengenai proses perkembangan yang dilalui seseorang dalam rangka menemukan kesesuaian dengan pekerjaannya (Patton & McMahon, 2014). Super membagi proses perkembangan karier individu dalam empat tahap yaitu: (a) tahap eksplorasi, (b) tahap penetapan, (c) tahap pemeliharaan, dan (d) tahap pelepasan. Karyawan dikelompokkan ke dalam tahapan karier tertentu berdasarkan karakteristik perhatian utama terhadap kondisi dan/atau situasi karier serta adanya tugas pengembangan yang menyertainya (Lynn et al., 1996).
3
Tahapan karier Model Super merupakan implementasi cara pandang karyawan terhadap kondisi dan situasi yang tengah dihadapinya, atau disebut sebagai self-concept (Super & Bohn, 1970; Ornstein et al., 1989; Flaherty & Pappas, 2002). Model Super tersebut mengundang ketertarikan para peneliti dan praktisi karena memberikan wawasan ilustratif mengenai berbagai proses yang dilalui karyawan sepanjang perjalanan kariernya; dimulai dari tahap karyawan mengeksplorasi kesesuaian diri mereka dengan karier yang tengah dijalani, menetapkan pilihan, menjaga pencapaian karier sampai dengan tahap pensiun dari kariernya. Karyawan akan bertransisi dari satu tahap ke tahap lain ketika mereka berhasil mengatasi perhatian utama (concern) pada tiap tahap dan menyelesaikan tugas pengembangan yang menyertainya. Prinsip dasar dari tahapan karier Model Super memandang bahwa proses perjalanan karier seseorang sifatnya seumur hidup (life-long process) dimana individu terus berupaya untuk mencocokkan, dan mengubah tujuan karier mereka seiring realitas dunia kerja (Super & Bohn, 1970). Implementasi Model Super dalam penelitian dan praktik SDM digunakan untuk mengidentifikasi tipe tahapan karier karyawan dan perbedaan sikap dan/atau perilaku kerja karyawan antar kelompok tahapan karier (Ornstein et al., 1989; Allen & Meyer 1993; Lynn et al., 1996; Flaherty & Pappas, 2002: Hess & Jepsen 2009; Hess et al., 2012). Berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap kerja karyawan antara satu tahapan dengan tahapan karier yang lain. Misalnya pada tahap eksplorasi, karyawan cenderung menunjukkan sikap (misalnya: komitmen organisasional) dan performa yang lebih rendah dibandingkan pada tahapan karier yang lainnya (penetapan, pemeliharaan
4
dan pelepasan). Hal tersebut dikarenakan sifat (nature) dari tahapan eksplorasi, yaitu individu masih belum meyakini bahwa karier yang dijalaninya adalah pilihan karier yang tepat. Penelitian ini akan berfokus pada ketiga tahapan karier yaitu eksplorasi, penetapan dan pemeliharaan, dengan pertimbangan bahwa karyawan pada tahap pelepasan biasanya mengalami pemisahan secara psikologis dengan perusahaan dan tidak lagi termotivasi untuk menjalankan tugasnya (Flaherty & Pappas, 2002). Tahap pelepasan juga lebih sering diidentikkan dengan fungsi pensiun (Flaherty & Pappas, 2001; Ornstein et al., 1989; Super & Bohn, 1970). Hal ini menyebabkan kemungkinan penulis kesulitan mendapatkan kuantitas data yang diharapkan. Perbedaan sikap dan perilaku kerja yang ditunjukkan karyawan pada tahapan karier merupakan suatu bentuk perubahan sikap individual yang terjadi akibat adanya penyesuaian psikologis yang dilakukan oleh karyawan (Lynn et al., 1996). Aplikasi praktis tahapan Model Super digunakan profesional SDM sebagai basis mentoring (misalnya: Peluchette & Jeanquart, 2000; Aryee et al., 1994) dan konseling (Sterner, 2012). Bagi profesional SDM kemampuan mengidentifikasi perubahan sikap dan perilaku kerja yang terjadi pada tahapan karier berguna untuk menentukan bentuk pengelolaan sikap yang diharapkan, dan menentukan target perencanaan karier sesuai dengan tahapan karier yang dilalui karyawan (Ornstein et al., 1989; Allen & Meyer 1993) serta menjembatani keberhasilan proses transisi pada setiap tahapan karier yang dilalui. Salah satu sikap kerja yang banyak mendapat perhatian dalam lingkungan akademisi dan profesional SDM adalah komitmen organisasional. Komitmen
5
organisasional dapat dipahami sebagai bentuk ikatan psikologis karyawan dengan organisasi yang menaunginya. Komitmen organisasional merupakan sikap kerja yang positif, karena individu yang memiliki komitmen organisasional diharapkan menunjukkan keinginannya dalam bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, dan yang terpenting memiliki kesediaan untuk menetap dalam organisasi (Kreitner & Kinicki, 2008). Penelitian empiris telah banyak menunjukkan bahwa komitmen organisasional dapat mendatangkan manfaat positif
diantaranya
mengurangi
turnover
intentions,
absenteeism,
dan
meningkatkan kinerja (Luthans, 2011). Penelitian ini mengajukan Model Super dalam mengidentifikasi tahapan karier dan menguji perbedaan komitmen organisasional dengan teknik analisis varians (Anova) antar kelompok tahap karier. Diskursus studi komitmen organisasional mengarahkan kepada kajian komponen afektif, normatif dan kontinuan. Ketiga komponen komitmen organisasional menunjukkan kondisi psikologis individu yang membentuk hubungan serta implikasinya terhadap keanggotaan individu di dalam organisasi dan masing-masing telah terbukti memiliki anteseden serta konsekuensi yang berbeda-beda di tempat kerja (Meyer & Allen, 2002). Penelitian ini hanya menguji kedua komponen komitmen organisasional yaitu afektif dan kontinuan, atas dasar pertimbangan bahwa komponen normatif masih terdapat perdebatan mengenai validitas pengukuran komponen tersebut seperti interelasinya dengan komponen afektif (Gill et al., 2011; Wang et al., 2010; Johnson & Chang, 2006).
6
Berbagai penelitian telah menemukan bahwa tahapan karier menjadi salah satu variabel yang dapat memberikan dampak pada perbedaan tingkat komitmen karyawan pada organisasi (misalnya Cohen, 2003; Lynn et al., 1996; Allen & Meyer, 1993; Cohen, 1993; Ornstein et al., 1989; Morrow & McElroy 1987). Misalnya pada tahap eksplorasi karyawan memiliki tingkat komitmen yang rendah pada organisasi dibanding karyawan pada tahap lainnya (penetapan dan pemeliharaan). Namun demikian, komitmen organisasional melalui tahapan karier sebagai menjadi sebuah sikap kerja berjenjang mengikuti perspektif linearitas kerangka waktu sebagaimana basis tahapan karier tersebut. Tentu saja hal tersebut mengabaikan berbagai kondisi dan situasi yang dialami individu selama perjalanan karier yang mungkin dapat mengakibatkan perubahan komitmen organisasionalnya. Model Super menawarkan sebuah perspektif yang lebih fleksibel dalam memandang perbedaan komitmen organisasional baik afektif maupun kontinuan dalam tahapan karier. Perbedaan komitmen organisasional afektif dan kontinuan yang terjadi pada tahapan karier dalam Model Super dijelaskan oleh adanya perbedaan perhatian utama (concern) individu terhadap permasalahan karier yang tengah dihadapi sehingga individu tersebut melakukan proses penyesuaian psikologis (Ornstein et al., 1989; Lynn et al., 1996; Smart & Peterson, 1997). Misalnya pada tahap eksplorasi ditemukan komitmen afektif karyawan lebih rendah dibanding pada tahap penetapan maupun pemeliharaan. Hal tersebut disebabkan pada tahap eksplorasi karyawan belum meyakini bahwa keputusan berada pada organisasi dan/atau pekerjaan adalah suatu keputusan yang tepat.
7
Sedangkan, pada tahap penetapan maupun pemeliharaan merupakan zona dimana karyawan telah menemukan tujuan karier yang ingin dikejar maupun pencapaian yang ingin mereka jaga di dalam organisasi. Demikian juga komitmen kontinuan sebagai refleksi investasi seperti waktu, hubungan kerja, dan usaha yang harus dikorbankan bila meninggalkan organisasi (Becker, 1960; Meyer & Allen, 2001). Komitmen kontinuan karyawan pada tahap eksplorasi tentunya tidak sebesar pada saat karyawan tengah memfokuskan dirinya untuk mengejar pertumbuhan (tahap penetapan) maupun menjaga pencapaian (tahap pemeliharaan) karier pada organisasi. Terdapat dua isu mengenai penelitan Model Super dan hubungannya dengan perbedaan komitmen organisasional yang diangkat dalam penelitian ini yaitu (1) isu metodologis, dan (2) isu praktikalitas. Isu metodologis dalam penelitian tahapan karier Model Super dan perbedaan komitmen organisasional yaitu, menyangkut basis usia kronologis dan tenure organisasional dalam tahapan karier Model Super. Usia dan tenure organisasional lebih sering digunakan sebagai basis utama dalam menentukan tahapan karier yang dilalui oleh karyawan (Smart & Peterson, 1997; Flaherty & Pappas, 2002; Hess et al., 2012). Misalnya seseorang yang berada pada tahap eksplorasi adalah seseorang yang memiliki rentangan usia sampai dengan 30 tahun, atau dengan basis tenure berada di bawah dua tahun. Sehingga hal tersebut telah menjadi sugesti diantara para peneliti bahwa usia dan tenure merupakan representasi yang nyata dari tahapan karier seseorang (Conway, 2004). Beberapa peneliti menyatakan bahwa secara kronologis usia dan tenure tidak cukup untuk mencerminkan keterkaitannya dengan perbedaan sikap individu
8
tersebut (misalnya: Super, 1990; Flaherty, & Pappas, 2002; Hess et al., 2012). Selain itu, tahapan karier juga akan menjadi sebuah lintasan linier (linear trajectory) yang permanen mengikuti usia dan tenure seseorang (Ornstein et al., 1989) sehingga mengabaikan berbagai kejadian (misalnya: perubahan kondisi makro organisasi, realitas dunia kerja, teknologi, politik) yang dapat mempengaruhi persepsi individu dalam menentukan karier dan sikap kerja (misalnya: komitmen organisasional). Super menyatakan bahwa usia di dalam model tahapan kariernya tidak menjadi konstruksi yang dapat digeneralisasi (dalam Freeman, 1993). Selain itu, terdapat hasil temuan yang bervariasi dengan menggunakan kedua basis usia dan tenure. Proses identifikasi tahapan karier Model Super menggunakan perangkat atau inventaris karier yang disebut Adult Career Concern Inventory (ACCI) sebagaimana disarankan oleh penelitian sebelumnya (Ornstein et al., 1989; Smart & Peterson, 1997; Flaherty & Pappas, 2002; Hess et al., 2012). Namun demikian, dalam berbagai penelitian identifikasi tahapan karier menggunakan ACCI hanya untuk mengetahui foci individu dalam tahap karier yang dominan. Sehingga, pengujian perbedaan komitmen organisasional hanya dilakukan antar kelompok tahapan karier. Dengan demikian, perbedaan komitmen organisasional pada tahapan karier merupakan sebuah penilaian sikap terencana individu sebagai bagian penting dari dimensi adaptasi karier (Super, & Kidd, 1979). Sedangkan, tahap karier sebagai konsep perkembangan individu (within group) dan perubahan komimen organisasional hanya memungkinkan diakomodir oleh analisis longitudinal (Hess & Jepsen., 2009; Lynn et al., 1996).
9
Salah satu kendala yang dihadapi para konselor karier dalam praktik identifikasi tahapan karier karyawan adalah masalah efisiensi dari long-form ACCI (misalnya: jumlah aitem pertanyaan yang banyak). Perrone et al. (2003) mengembangkan short-form ACCI dan menemukan bahwa instrumen yang dikembangkannya tersebut memiliki reliabilitas dan validitas dalam menunjang aspek praktikal sebagaimana long-form ACCI. Flaherty dan Pappas (2002) menyatakan bahwa ACCI mampu memberi gambaran lebih baik daripada pengukuran demografik (misalnya: usia dan tenure) karena mengungkap fakta dan opini karyawan mengenai masalah pekerjaan yang tengah mereka hadapi. 1.2
Rumusan Masalah Tahapan karier Model Super merupakan salah satu bentuk identifikasi
tahapan karier karyawan yang komprehensif untuk menjelaskan adanya perbedaan sikap kerja salah satunya adalah tingkat komitmen organisasional (afektif dan kontinuan) pada tiap tahapan karier yang dilalui oleh karyawan. Perbedaan komitmen organisasional dapat terjadi karena karyawan memiliki perhatian (concern) yang juga berbeda pada tiap tahapan karier sehingga karyawan melakukan penyesuaian psikologis terhadap komitmen organisasionalnya. Namun demikian, dalam perkembangan penelitian tahapan karier Model Super lebih sering dioperasionalisasikan menggunakan usia dan tenure, sehingga tidak cukup untuk memberikan gambaran mengenai persepsi dan opini aktual karyawan dalam menghadapi permasalahan kariernya serta menjelaskan tingkat komitmen organisasional yang dimilikinya. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
10
-
Apakah terdapat perbedaaan komitmen organisasional (afektif dan kontinuan) pada tahapan karier Model Super?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tahapan karier dan
menguji perbedaan komitmen organisasional (afektif dan kontinuan) antar kelompok tahapan karier pada Model Super. 1.4
Lingkup Penelitian Hasil survei yang dilaksanakan JobStreet Indonesia pada bulan Januari 2014
yang diikuti oleh 13.817 orang anggotanya menemukan bahwa sebanyak 78,3% responden menyatakan tidak memiliki jenjang karier yang jelas di perusahaan tempat mereka bekerja saat ini (topcareermagazine.com). Fenomena tersebut memberikan ruang bagi penelitian tahapan karier sebagaimana telah dijelaskan bahwa tahapan karier dapat digunakan oleh profesional SDM untuk menjadi alat identifikasi dalam rangka menentukan target pengelolaan karier karyawan yang dimiliki oleh perusahaan. Subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Organisasi tersebut selama beberapa tahun terakhir paling gencar melakukan proses pengembangan dan perbaikan layanan transportasi publik. Diawali pada bulan Mei 2010 PT Kereta Api mengalami perubahan makro menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) berdasarkan Instruksi Direksi No. 16/OT.203/KA. Transformasi PT KAI (Persero) mulai dilakukan baik dari struktur, maupun budaya pada organisasi. Pembenahan besar di bidang SDM PT KAI (Persero) dengan menerapkan standar kompetensi kerja 11
khusus perkeretaapian, agar perusahaan memiliki standar yang jelas dan terukur dari setiap pekerjaan yang ditugaskan serta sebagai dasar dalam pengembangan SDM berbasis kompetensi (kompasiana.com). Dampak perubahan tersebut tentunya berlaku pada seluruh lini Daop PT KAI (Persero). Dengan kata lain PT KAI (Persero) mulai menata organisasinya menjadi merit-based system. Salah satu bentuk komitmen manajemen dalam masa transformasi adalah lebih mengutamakan profesionalitas karyawan. PT KAI (Persero) pada era sebelum transformasi dikenal menerapkan sistem pola urut kacang dalam jenjang karier. Senioritas di KAI yang selama ini menjadi jenjang perbaikan karir telah berganti dengan sistem profesionalitas murni. Manajemen PT KAI melihat bahwa unsur-unsur aktivitas perusahaan dipimpin oleh orang-orang muda dan manajemen merasa perlu untuk konsisten bahwa kemampuan lebih penting daripada masa kerja seseorang, sehingga manajemen memutuskan lebih mengutamakan kinerja seseorang dibanding masa kerjanya (Pranoto et al., 2015). Sedangkan, kebijakan SDM yang diterapkan untuk mendukung perubahan tersebut antara lain imbalan terkait kinerja, misalnya kenaikan pangkat istimewa, promosi jabatan, kompensasi berdasarkan kinerja. Selain itu PT KAI (Persero) juga menerapkan sistem penalti terkait kinerja seperti demosi, pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (Pranoto et al., 2015). Perubahan prinsip-prinsip pengelolaan karier yang diterapkan PT KAI (Persero) memungkinkan adanya dinamika persepsi karier individu pada organisasi. Penelitian Kelly et al. (2003) misalnya, menunjukkan bahwa perubahan organisasional dipersepsikan individu sebagai ancaman terhadap
12
kemajuan karier. Interaksi antara perubahan organisasi dan persepsi individu terhadap karier tidak diuji dalam penelitian ini dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian mendatang. Namun demikian, menarik untuk mengetahui adanya kemungkinan perbedaan komitmen organisasional yang terjadi selama perubahan organisasi tersebut bergulir melalui perspektif tahapan karier. Portal resmi BUMN (2013) menyebutkan bahwa tingkat turnover masih menjadi perhatian utama PT KAI (Persero). Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa komitmen organisasional telah terbukti secara empiris mampu menjadi buffer terhadap adanya turnover intention yang pada akhirnya mengarahkan pada actual turnover. Oleh karena itu, penulis mengajukan identifikasi tahapan karier karyawan berdasarkan kondisi dan persepsi karyawan di tengah kondisi perubahan yang bergulir oleh PT KAI (Persero) dan mengetahui dampaknya pada perbedaan komitmen organisasional. Desain cross-sectional dari penelitian ini untuk mengidentifikasikan tahapan karier karyawan pada satu titik waktu dengan pengujian lintas individu (antar kelompok) tahapan karier. Diharapkan bagi penelitian dan praktik SDM PT KAI Persero Daop Jember khususnya dapat melakukan penelitian longitudinal sehingga mendapatkan gambaran secara utuk mengenai proses perubahan yang dialami individu di dalam tahapan kariernya. 1.5
Kontribusi Penelitian
Kontribusi yang diharapkan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
13
1. Memberikan wawasan teoritikal mengenai identifikasi tahapan karier karyawan dengan menggunakan Model Super dan uji perbedaan sikap kerja yang terjadi yaitu komitmen organisasional (afektif dan kontinuan). 2. Memberikan informasi bagi perusahaan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan target program karier dan pengelolaan yang sesuai pada tiap tahapan karier, sehingga mendapatkan sikap kerja yang dinginkan oleh perusahaan dalam konteks penelitian ini adalah komitmen organisasional (afektif dan kotinuan). 1.6
Sistematika Penulisan
Tesis penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Bab I menjelaskan mengenai latar belakang penelitian identifikasi tahapan karier dan uji perbedaan komitmen organisasional pada Model Super, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan lingkup penelitian, hingga kontribusi penelitian yang hendak dicapai. 2. Bab II berisi tinjauan penelitian terdahulu dan landasan teoritikal penelitian yaitu: definisi dan perspektif karier, tahapan karier, komitmen organisasional, hubungan antara tahapan karier dan komitmen organisasional. 3. Bab III menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan penelitian. 4. Bab IV menyajikan analisis data serta pembahasan dari hasil pengumpulan data di lapangan. 5. Bab V menjelaskan tentang kesimpulan, saran yang dapat digunakan dalam penelitian mendatang.
14