BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Tanah air kita Nusantara terkenal dengan keragaman seni tradisi dan
budayanya, bahkan hingga kemanca negara. Keberadaan seni di Nusantara dewasa ini masih sering dianggap sebagai bentuk karya seni yang ketinggalan jaman, bahkan oleh kita sendiri sebagai warga Negara yang seharusnya melestarikan dan melindunginya. Kita wajib dan patut bangga lahir sebagai bangsa yang memiliki tanah air makmur nan subur, serta terdiri dari beberapa suku bangsa. Keragaman suku bangsa ini menjadi kekayaan tersendiri bagi bangsa kita, karena secara otomatis akan terdapat banyak seni tradisi dan budaya yang dapat kita kenal. Wilayah Cirebon (Kota Cirebon) memiliki banyak kesenian serta tradisi dan budaya yang lahir dan tumbuh dimasyarakatnya, salah satu bentuk kesenian lahir dan berkembang dari kreativitas kalangan masyarakat ‘biasa’ atau pinggiran, bukan datang dari kalangan Keraton, yaitu musik tarling. Sebagai genre musik baru bagi masyarakat Pantura, tarling sudah dianggap sebagai musik rakyat, atau lebih tepatnya lagi sebagai ‘musiknya masyarakat Cirebon dan sekitarnya’ (mencakup wilayah Indramayu, Majalengka dan Kuningan, atau Ciayumajakuning). Tarling telah menjelma menjadi seni rakyat yang begitu ‘populer’ hingga sangat dikenal dan digandrungi masyarakat dari wilayah tersebut, terlebih pada masa kejayaannya.
Jenis musik ini bukanlah jenis musik ‘pop’ seperti yang kita kenal, namun jenis musik ini memang sangat ‘populer’ atau terkenal di wilayah Pantura sekitarnya. Tarling adalah jenis musik gabungan antara musik rakyat yang awalnya bersifat
dolanan dengan musik yang berasal dari Keraton, hingga membuat seni Tarling menjadi ‘seni rakyat’ populer dengan nuansa ‘tradisi’, karena pola iringannya mengadaptasi pola iringan pada musik gamelan Keraton Cirebon. Tarling disebut sebagai seni rakyat atau folk-art karena bagaimana seni ini tercipta, berkembang dan dikemas hingga berlaku di tengah-tengah masyarakat Pantura dan sekitarnya. Asal mula keberadaan tarling tidaklah seperti bentuk seni lain dari daerah ini, khususnya seni yang lahir dan berkembang dari dalam Keraton, yang lebih dianggap memiliki nilai prestise tersendiri sebagai sebuah karya seni tingkat tinggi atau high art, yang datang dari kalangan priyayi, yang biasa disebut sebagai art of the cultural elite. Pada masa pemerintahan Keraton masih eksis, kesenian Keraton yang dianggap elite tersebut hanya bisa ditampilkan dan disaksikan pada acara tertentu, yang hanya diadakan oleh pihak Keraton serta di tonton oleh kerabat, keluarga dan tamu pihak Keraton saja. Ada beberapa referensi ilmiah yang menyatakan dasar pendapat mengenai art of the cultural elite dengan folk-art, salah satu pendapat tersebut membahas mengenai originalitas dan autentitas jenis karya seni tersebut. Dijelaskan oleh Hauser mengenai art of the cultural elite tersebut, bahwa: “The cultural elite as the supporters of the high, strict, uncompromising art have a tendency toward stability because they respect everything which is institusionally secure,”(1982:557, terjemahan Kenneth J. Northcott). Karateristik art of the cultural elite didasarkan kepada kualitas karya seninya yang lebih baik, karena dianggap memilki unsur nilai luhur dan berkelas, atau high art. Antara art of the cultural elite dengan folk-art terdapat perbedaan, namun juga ada kemiripan pula di antara keduanya, bahwa folk art dapat tercipta dan berkembang berdasarkan ‘inspirasi’ yang berasal dari art of the cultural elite tadi. Walaupun ada
beberapa hal yang tidak dijumpai pada folk art, seperti tingkat kesakralan yang biasa terdapat pada seni Keraton, namun hal ini tidak mengurangi makna folk art sebagai sebuah bentuk ‘kesenian’. Seperti yang terjadi pada seni tarling, bahwa sebagai seni rakyat, tarling masih memiliki hubungan dengan art of the cultural elite dari Keraton yang ada di Cirebon, yang mana perkembangannya sebagai sebuah seni rakyat, berikut hasil karya seni dan masyarakat penikmat atau pendukungnya, tidak bisa lepas dari peran sosial Keraton di masa lalu dan masa sekarang. Sementara itu, persamaan yang terjadi diantara keduanya adalah masalah karkteristik folk art yang bergantung kepada perjalanan waktu dan proses perubahan dalam perkembangan seni yang terjadi terhadap seni Keraton dan seni rakyat itu sendiri. Perbedaan lain di antara keduanya adalah high art lebih mengetengahkan kualitas, baik pada bentuk tradisi dan bentuk avant garde. Hauser menerangkan pendapatnya mengenai folk art, bahwa: “A similar formula of change from one extreme to another also characterizes folk art, which for a time clings obstinately to its traditions but is then ashtonishingly willing to give them up. Indeed the difference between the two consists in the fact that high art preserves its quality both in traditional and in avant-garde structures, while folk art,in giving up its traditions, ceases not only to be what it was, but even to be considered as art“, (1982:561, terjemahan Kenneth J. Northcott). Sebagai seni rakyat, tarling begitu populer atau terkenal di masyarakat Cirebon sekitarnya, namun terdapat perbedaan antara folk art dengan popular art. Sebuah bentuk seni yang popular bukan berarti seni tersebut berasal dari seni rakyat, begitu pula dengan seni rakyat yang dikenal dimasyarakat tertentu, belum pasti dikenal atau populer di masyarakat yang berbeda adat budaya tradisinya. Folk art lebih mudah dibandingkan, antik; sedang perbedaannya, popular art mengagumkan dengan caranya sendiri, memiliki teknik pengembangan yang tinggi, meski vulgar danberubah-rubah, namun untuk hal yang lebih baik, dari hari ke hari berikutnya. Folk
art menjadi contoh dari high art, memecah nya menjadi bagian kecil, atau mempermudahnya; popular art meniru darinya.
Pernyataan
tersebut
seperti yang dijelaskan Hauser tentang folk art dengan popular art sebagai berikut : “Folk art is comparatively simple, clumsy, and antiquated; popular art in the other hand is sophisticated in its own way, technically highly developed, even though vulgar, and changes, though seldom for the better, from one day to the next. Folk art takes great examples of high art, sing them to pieces, breaks them up, or simplifies them;popular art dilutes and corrupt them”,“(1982:563,terjemahan Kenneth J. Northcott). Sementara itu, Alan Dundes dalam Danandjaya menjelaskan bahwa istilah folk sama dengan kolektif, batasannya adalah: Folk adalah sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciriciri pengenal tersebut antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, (1:2002). Hal tersebut menjadi alasan mengapa tarling disebut sebagai ‘seni rakyat’, karena beberapa ciri perkembangannya di masyarakat seperti bahasa dan budaya yang sama, serta adanya pengaruh tradisi kebudayaan yang telah berlangsung lebih dari dua generasi di Keraton Cirebon. Menurut Abdul Adjib, walaupun inspirasi pola iringan musik tarling terilhami pola iringan musik gamelan Sekati milik Keraton, tetapi perkembangan dan penyebarannya terjadi dikalangan masyarakat biasa di luar Keraton, (wawancara, 9 Juli 2008).
Alat musik Gamelan Sekati: Kendang, Gong dan Kebruk
Alat musik Tarling
Diagram 1
Alat musik: gitar akustik & suling bambu
Diagram model Wimsatt, yang menggambarkan gabungan antara pola iringan gamelan Sekati Keraton dengan musik dolanan, yang menjadi konsep dasar terbentuknya musik tarling, (Sumber:Theodore Mc Green). Lis Dhaniati dalam tulisannya tentang tarling menyebutkan bahwa genre musik ini sudah mulai muncul di pesisiran Utara Jawa Barat sejak awal abad ke 19, (Kompas, Rabu 26 April 2006). Mengenai hal ini, Abdul Adjib meluruskan anggapan tersebut, bahwa menurut apa yang dia ketahui dan yakini, musik tarling tidak dan belum muncul pada abad ke 19, tetapi kalau kemunculan lagu-lagunya, menurut dia hal tersebut mungkin saja, karena lagu-lagu yang dimainkan dalam tarling banyak yang berasal dari lagu rakyat, serta tidak diketahui siapa penciptanya alias Anonim atau N.N. yang berarti No Name, (wawancara, Abdul Adjib 4 Mei 2009). Pendapat mengenai kemunculan tarling ini memang unik. Hal ini benar-benar menunjukan ciri-ciri sebuah seni rakyat, dimana terkadang pencipta atau penggagas, berikut sejarah kelahiran dan perkembangan sebuah seni rakyat ‘tidak diketahui’ dengan pasti siapa, kapan dan dimana, karena memang cara me-regenerasikan dan penyebarannya juga hanya dari mulut kemulut, terbatas pada komunitas tertentu saja. Pada awalnya, musik tarling ini dianggap sebagai musik ‘murahan’. Namun pada perkembangannya animo masyarakat di wilayah Cirebon begitu besar untuk dapat bisa menyaksikan seni tarling, bahkan mereka sering kali nanggap tarling di setiap acara hajatan atau kendurian keluarganya. Ada rasa bangga tersendiri bila bisa menampilkan kesenian tarling di acara hajatan mereka, karena dianggap memiliki prestise dan meningkatkan status derajat dimata masyarakat. Hal ini terjadi karena ternyata untuk mendatangkan atau ‘nanggap’ kelompok musik tarling ini cukup lumayan mahal, apalagi bila dibandingkan dengan jenis musik organ tunggal atau elektonan.
Menurut penjelasan Abdul Adjib, biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga penyelenggara hajat atau kenduri bisa mencapai jutaan rupiah sekali manggungnya. Sebab selain durasi waktu manggung yang lama, sekitar tiga jam hingga enam jam, jumlah personil yang ikut ambil bagian dalam setiap penampilannya sangat banyak, mulai dari kru, nayaga, sinden, wiraswara hingga pemain dramanya, diperkirakan dapat mencapai sekitar 40 orang. Selain itu pada masa jayanya, kelompok tarling benar-benar kebanjiran job atau order manggung, hal ini membuat harga yang ditawarkan pun melambung. Secara hukum ‘ekonomi pasar’ pun dijelaskan bahwa bila permintaan barang meningkat maka harga jual pun ikut meningkat, begitu pula yang terjadi dengan tarling kala itu. Namun dampak dari ‘mahalnya’ nanggap seni tarling ini seperti menjadi bumerang bagi seni tarling dan para senimannya itu sendiri dikemudian hari. Banyak para seniman dan pemilik sanggar yang akhirnya gulung tikar karena tidak dapat bersaing dengan para musisi dari genre lain seperti dangdut dan elektonan yang secara harga dapat lebih murah. Dengan harga berkisar lima juta Rupiah, maka pihak penyelenggara kendurian atau hajat sudah bisa mendapatkan paket dangdut, dengan vokalis wanita yang ‘dikemas’ seksi, dimana hal ini tidak akan temui pada seni tarling. Pada era ’90-an keberadaan keyboard elektone telah merubah wajah dunia hiburan musik di masyarakat Indonesia. Kehadirannya benar-benar telah menyebar menjadi sebuah produk kemasan musik hiburan yang sangat komersial, karena sangatlah murah, namun meriah. Hanya dimainkan oleh satu orang pemain keyboard sebagai musisi dan ‘operator’nya, keyboard elektone ini sudah bisa digunakan untuk meramaikan acara hiburan. Awal kehadiran alat ini tidak lain untuk mempermudah kita bernyanyi atau bermain band menggunakan satu alat saja. Karena di dalam
sebuah alat keyboard elektone sudah terdapat suara drum, bas, gitar atau brass section-nya, yang dalam seni musik disebut sebagai accompaniment atau pengiringnya. Hingga sekarang keyboard elektone telah menjadi primadona hajatan atau panggung kendurian, karena murah meriah tadi. Kehadiran keyboard elektone pada perkembangannya benar-benar dimanfaatkan oleh para pemilik modal besar didunia musik hiburan. Kita bisa memainkan jenis musik apa saja mulai dari pop, rock, country, bossa, blues, cha-cha, bahkan hingga dangdut dan keroncong. Mereka menggabungkan peralatan canggih tersebut dengan sound system yang dimilikinya, hingga mereka dapat menjual ‘dagangannya’ lebih murah lagi. Maka bentuk hiburan elektone (biasa disebut dengan elektonan) menjadi ‘laris manis’ di masyarakat. Tetapi yang lebih menyakitkan lagi bahwa banyak para juragan tarling yang beralih aliran dan menggunakan nama tarling sebagai embel-embel dagangannya, seperti Tarling dangdut, Tarling remix, Tarling elektone dan sebagainya, yang tujuannya hanya untuk mengejar segi finansial belaka. Tarling Cirebon menjadi khas karena tarling di daerah ini juga menampilkan seni ‘drama musikal’ seperti opera sebagai inti dari pagelaran dan pertunjukan tarling itu sendiri. Selain dimainkan lagu-lagu tarling asli atau ‘tradisi’ (di Cirebon disebut sebagai tarling klasikan), juga dimainkan lagu-lagu tarling modern, maka dari itu pertunjukan tarling memiliki durasi pentas yang lama, sekitar empat hingga enam jam sekali tampilnya (mengenai contoh detil susunan pertunjukan tarling dibahas pada bagian dan halaman lain dari tesis ini). Tarling, selain dapat menghibur secara auditif, juga dapat menghibur secara visual, serta bunyi alunan musik tarling itu juga dapat menghantarkan perasaan orang yang mendengarnya menjadi tersentuh dan lebih halus. Masyarakat menyenangi
drama musikal tarling karena cerita yang dimainkannya memuat pesan-pesan moral untuk masyarakat, dengan pendekatan menggunakan cerita-cerita rakyat ‘populer’ yang telah dikenal oleh masyarakat. Dari cerita-cerita rakyat yang bertutur kejadian nyata dimasyarakat sehari-hari inilah, drama tarling hadir ketengah-tengah masyarakat Pantura sebagai hiburan dan ‘penyelaras akhlak’. Begitu pula dengan unsur musik yang terdapat pada tarling, musik dan lagu sangat berperan menuntun jalannya cerita sebagai ‘dialog utama’ para pemerannya. Namun untuk menghidupkan penokohan yang bermain, serta kelancaran jalannya cerita tersebut tidaklah mudah, karena diperlukan seorang seniman tarling yang dapat menjadi pembawa acara ‘drama musikal’ tersebut. Layaknya seorang dalang dalam pewayangan, orang yang dimaksud tersebut harus bisa menjadi wiraswara atau vokalis pria pendamping pesinden tarling atau vokalis wanitanya. Untuk menjadi ‘orang’ yang dimaksud seperti uraian di atas tentunya tidaklah mudah, karena hal tersebut dapat berlaku sedemikian rupa tidak dengan begitu saja. Karena sosok orang yang mampu menjadi ‘sang dalang’ tersebut haruslah orang yang benar-benar mengetahui, memahami dan menguasai seni tarling itu secara baik. ‘Baik’ yang dimaksud dalam hal ini adalah menguasai cerita yang dimainkan juga menguasai
bidang
garap
seni
musik
tradisi
dan
konvensi,
juga
sejarah
perkembangannya. Namun sebagai ‘dalang’ maka ia haruslah sebagai orang yang berwawasan luas serta memiliki ilmu sosial kemasyarakatan yang tinggi, artinya dia harus mampu membaca dan ‘menyihir’ penonton agar tetap betah, bagaimana membuat penonton penasaran dengan cerita yang dimainkan, hingga penonton tidak beranjak pulang sebelum pertunjukan tarlingnya selesai. Bila kita menyebut ‘dalang’ dalam seni tarling, maka orang tersebut juga haruslah orang yang ‘peka’ dan peduli dalam mengembangkan dan melestarikan seni
tarling. Kota Cirebon memiliki seorang ‘dalang’ seni tarling yang sejak dahulu hingga kini masih aktif, konsisten dan gigih dalam memperjuangkan musik kesenian rakyat ini untuk terus eksis. Sosok yang dimaksud adalah seorang musisi senior, budayawan dan seniman tarling yang bernama Abdul Adjib. Bagi masyarakat Kota Cirebon dan sekitarnya, nama Abdul Adjib selalu akan dikaitkan dengan tarling, karena Abdul Adjib memiliki peran besar dalam perkembangan seni tarling di wilayah Cirebon. Abdul Adjib adalah seorang pelaku seni tarling yang pertama kali telah menciptakan dan memainkan lagu tarling modern, hal ini diakui oleh seniman tarling Sunarto M.A. Salah satu lagu tarling modern karyanya yang popular dan dikenal luas adalah lagu Warung Pojok dan Sumpah Suci. Lagu Warung Pojok tersebut berlatar belakang pergaulan sosial seharihari yang terjadi di masyarakat, yang mengambil seting di sebuah warung nasi disekitar terminal Gunungsari Kota Cirebon berjudul Warung Pojok karya cipta Abdul Adjib. Lagu ini telah benar-benar melambungkan nama Abdul Adjib hingga dikenal sebagai seorang seniman tarling kesohor hingga kini. Lagu Warung Pojok ciptaannya telah benar-benar menjadi brand image Abdul Adjib sebagai seniman tarling. Lagu yang telah melambungkan namanya tersebut, hingga kini masih sering dimainkan dan dinyanyikan orang dalam acara-acara pertunjukan tarling maupun ‘organ tunggal’ di seputaran wilayah Cirebon, seolah telah menjadi ‘lagu wajib’ yang harus dimainkan dan dinyanyikan. Lagu tersebut juga pernah di mainkan atau direkam dalam versi dangdut-tarling, disco-tarling, karaoke dan country. Kiprah Adjib yang aktif dan eksis membaktikan dirinya untuk berkesenian, khususnya seni tarling, tidak membuatnya ‘patah arang’ dalam menghadapi kenyataan bahwa seni tarling sekarang ini bisa dikatakan ‘sekarat’ menuju
kepunahan, khusunya bagi keberadaan seni tarling khas Cirebonan. Dia terlihat ‘antusias’ dan semangat ketika bercerita mengenai kiprahnya dalam seni tarling ini. Semua memori akan pengalaman-pengalaman dan suka dukanya menjadi seniman tarling masih diingat dan diceritakannya dengan baik. Ketika tampil pada Hari Ulang Tahun Kota Cirebon ke 639 tanggal 29 Desember 2008 yang lalu, dia menyanyikan lagu Warung Pojok dan lagu-lagu tarling ciptaannya yang lain dengan baik. Dia masih hafal semua syair lagu-lagu tarling tersebut tanpa membaca teks lagu satupun. Selain sebagi wiraswara, dia juga masih dapat mengontrol dan mengendalikan jalannya drama tarling dengan baik layaknya seorang sutradara. Itu semua berkat kepiawaian dia dalam mengatur blocking dan meramu ‘kata-kata’ sebagai dialog antar pemainnya. Hal tersebut merupakan keahlian Abdul Adjib yang juga dikenal sebagai ahli wangsalan, yaitu berpantun dengan bahasa dan gaya dialog khas Cirebonan. Tetapi yang menjadi kekhawatiran Abdul Adjib adalah, seiring berlalunya waktu banyak seniman tarling yang pada umumnya seusia atau seangkatan dengannya, kini sudah tidak aktif lagi dengan berbagai macam alasan. Selain itu bada juga seniman tarling seangkatannya yang juga beralih dengan ‘banting setir’ menjadi seniman hiburan lain, seperti menjadi seniman dangdut Tarling dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat perkembangan dan kesinambungan seni tarling baik yang tradisi (gaya klasikan) dan gaya modern tersendat, yang berakibat pada terhambatnya pula pelestarian dan proses regenerasi seni tarling di Kota Cirebon dan sekitarnya. Memang di wilayah Cirebon pada umumnya, khususnya dari wilayah Kabupaten Cirebon hingga kini masih ada seniman atau pelaku seni tarling senior yang masih eksis, seperti Sunarto M.A. dan Askadi yang populer dipanggil oleh masyarakat Cirebon dengan nama alias-nya yaitu Mamae Titin. Juga ada seorang
tokoh tarling yang dulu pernah eksis, namun juga masih dikenal hingga kini dan disebut-sebut namanya sebagai salah satu tokoh tarling dari wilayah Kabupaten Cirebon, yaitu Rhang Om Hang atau lebih dikenal dengan nama Pak Mulus, dengan kelompok tarlingnya yang bernama Nada Ampera. Juga pada beberapa tahun kemudian, banyak lahir seniman-seniman tarling muda yang lahir dalam generasi musik Tarling elektonan, Tarling dangdutan dan lain-lain. Namun apa yang terjadi di belantika seni tarling di Pantura atau Ciayumajakuning ini, tidak menyurutkan semangat Abdul Adjib untuk tetap berkarya. Sebagai salah satu contoh kreatifitas dia hingga kini adalah, pada masa kampanye pemilu caleg 2009 yang lalu, Abdul Adjib diminta oleh tiga partai politik besar peserta pemilu untuk membuatkan lagu kampanye bagi parpolnya mereka masingmasing, dengan alunan nuansa
musik tarling. Mereka begitu antusias untuk
menggunakan lagu ciptaan Abdul Adjib untuk berkampanye, karena reputasi dia sebagai seorang tokoh tarling dari Kota Cirebon telah dianggap sebagai faktor jaminan mutu. Pergulatan Abdul Adjib dalam seni tarling bukanlah sesuatu yang secara kebetulan terjadi begitu saja tanpa usaha, jerih payah dan pengorbanan. Sepak terjang dia di dunia musik tarling dimulai ketika usia dia masih relatif sangat muda. Mulai dari ‘manjak’ (ikut-ikutan/membantu bermain gamelan) hingga belajar ‘mendalang’ sudah pernah dilakoninya. Berbekal pengalaman-pengalamannya, ilmu seni dan perjuangan yang panjang tersebut, menjadikan dia seniman yang sangat produktif dan kreatif dalam berkarya, seperti dalam menciptakan lagu-lagu tarling modern. Improvisasi dan kreatifitas pengembangan cerita drama yang dilakukan oleh Adjib telah merubah bentuk seni musik tarling menjadi semacam ‘teater rakyat’, menyerupai drama musikal atau opera.
Pada masa ‘jaya’ dan ‘keemasaannya’ dahulu, Abdul Adjib benar-benar menjadi seorang tokoh seni tarling yang disegani dan diperhitungkan keberadaannya. Nama dia dengan cepat melambung karena kemampuan beromunikasi yang baik dengan penonton, serta mampu mengemas dan meramu jalannya cerita drama tarling yang kebanyakan bercerita tentang percintaan dan situasional rumah tangga ini menjadi berkesan. Hal inilah yang membuat penampilannya selalu berbeda, alhasil, penampilan dia selalu dinanti-nantikan oleh warga masyarakat Cirebon sekitarnya sebagai penikmat seni tarling. Salah satu contoh cerita rakyat populer di kalanngan masyarakat Pantura, lalu oleh Adjib kemudian diangkat menjadi drama situasional tarling berjudul Saedah-Saeni dan Baridin. Jika kita cermati wawasan, kemampuan berkesenian dan karya-karya Abdul Adjib, maka tidaklah salah jika dia disebut sebagai seorang maestro seni tarling dari Kota Cirebon. Maestro adalah sebuah istilah asing yang digunakan untuk menyebut kepada seorang tokoh, biasanya tokoh seni, namun pada kata maestro, penokohan yang dimaksud adalah individu yang memilki eksistensi dan kredibilitas dibidangnya yang ‘lebih’ di bandingkan dengan orang lain. Dalam bahasa Inggris, kata maestro ini berarti: pemimpin orkes simfoni; ahli musik, (1975:369). Maestro disini sama artinya dengan ‘tokoh’ yang sudah membuat atau melakukan sesuatu hal yang bermanfaat bagi orang banyak, diakui keberadaannya serta hasilnya. Pemberian sebutan maestro kepada Abdul Adjib ini diberikan berdasarkan ‘pengamatan’ publik kepada seseorang selama orang yang dimaksud ‘berkarya dan berkesenian’. Alasan yang menyebut Abdul Adjib seorang maestro tersebut, diperkuat dengan pernyataan dari Prof. Waridi tentang ‘klasifikasi’, bagaimana seorang seniman tradisional Nusantara dapat disebut sebagai seorang maestro, yaitu: disamping memiliki kemampuan di bidang kesenimanan, juga memiliki wawasan yang luas
tentang pengetahuan budayanya, serta budaya lain yang masih berkait dengan karawitan, maka mereka lebih dari seorang maestro,(2001:3). Selain dipandang sebagai seniman kawakan dan senior dari Cirebon, dia dianggap oleh warga masyarakat Kota Cirebon sebagai ‘aset’ hidup dalam perkemangan dan pelestarian seni tarling. ‘Melegendanya’ nama dan sosok seorang Abdul Adjib sebagai ‘tokoh’ dalam dunia seni tarling di wilayah Cirebon dan sekitarnya ini membuat sepak terjang dan peran aktif dia di dunia seni tradisi khas Cirebon tersebut layak untuk diteliti atau diangkat menjadi sebuah tulisan mengenai kesenimanan, kehidupan, peran sosial dan kekaryaannya. Tetapi timbul pertanyaan-pertanyaan, apakah kehadiran dia di ranah seni tradisi wilayah Cirebon dan sekitarnya ini dapat membuat seni tarling tetap bertahan hidup untuk selamanya, ataukah hanya akan bertahan selama masih ada dia dan seniman-seniman tarling seusianya saja? Lalu bagaimanakah upaya serta kebijakan politik Pemerintah Daerah setempat dalam mengayomi, memfasilitasi dan melestarikan seni tarling termasuk seni tradisi lainnya yang ada di Kota Cirebon? Apakah seni tarling klasik akan dapat di regenerasi kepada generasi muda sekarang yang berjiwa serba instan? Semua pertanyaan-pertanyaan inilah yang kiranya mendorong dilakukannya sebuah penelitian yang mengangkat biografi Abdul Adjib sebagai salah seorang seniman tarling yang masih ada dan bertahan di Kota Cirebon. Alasan utama dipilihnya Abdul Adjib ini karena dia terkenal dengan idealisme, semangat dan eksistensinya yang tinggi dalam berkesenian serta berkarya. Alasan lainnya adalah selain karena dia adalah pencipta ratusan lagu-lagu tarling, dia juga dikenal sebagai penggagas dan improvisator drama musikal tarling populer seperti Saedah-saeni dan Baridin. Faktor-faktor tersebut adalah merupakan ciri dari seorang seniman penyaji, yang dapat pula disebut seorang virtuoso, yang mana Abdul
Adjib telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai seorang virtuoso. Penilaian terhadap seorang yang memiliki nilai virtuoso adalah orang yang memiliki intelejensia atau kepandaian yang baik. Dalam hal bermusik dan berkesenian bagi seorang seniman juga ditentukan oleh penilaian dari para apresiator dan masyarakat penikmatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan mengenai virtuoso, bahwa: Orang yang memiliki kemahiran luar biasa dalam menguasai teknik memainkan alat musik (piano dsb), membawakan suara (nyanyian) dsb., seperti Paganini, Caruso , (2003:1262). Selain itu, Abdul Adjib adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah tarling kepada masyarakat umum, untuk menggantikan istilah musik bergenre atau berjenis sama, yang kala itu pada mulanya masih disebut sebagi jenis musik Jayanaan, sebagai jenis musik pergaulan dan dolanan yang dimainkan menggunakan dua buah gitar dan satu buah suling, (wawancara, Abdul Adjib, medio Juli 2008). Penggunaan nama Jayanaan pada jenis musik masyarkat Pantura tersebut, diyakini diambil dan ‘diadaptasi’ dari nama seorang seniman dan musisi asal Indramayu pada masa 1950-an yang bernama Jayana, dimana pada musik ini awalnya hanya dimainkan sebagai musik ’gaul’ dan dolanan para kaum muda di daerah yang mencakup wilayah pesisiran Indramayu-Cirebon, (mengenai seniman Jayana sendiri akan dijelaskan pada bagian lain dari tesis ini). Seperti yang telah diterangkan pada awal Kata Pengantar tesis ini, bahwa seni tarling sebagai jenis bentuk kesenian yang sudah akrab ditelinga warga Cirebon sekitarnya, bila dilihat dari hasil karya dan fungsi atau kegunaannya, maka seni tarling ini dapat dikategorikan sebagai ‘seni rakyat’ atau folk-art. Memang tarling berkembang dengan pesat sebagai sebuah ‘kreatifitas’ seni musik rakyat yang sangat digemari sebagai sebuah seni ‘pergaulan’ atau musik dolanan. Bila demikian, maka
interaksi yang terjalin antara masyarakat wilayah pesisir Cirebon-Indramayu atau Pantura terhadap seni tarling benar-benar sudah mendarah daging, karena hiburan ini telah menjadi primadona seperti layaknya sandiwara rakyat Pantura yang disebut Masres. Tarling sebagai seni musik rakyat memiliki kelebihan tersendiri, diawali dengan kesederhanaannya, seni ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sebagai media refreshing dan ‘hiburan’ bagi masyarakat pesisiran Pantura mulai dari Indramayu hingga Cirebon. Pada awalnya konsumen dari seni ini adalah masyarakat yang digolongkan sebagai masyarakat
‘menengah kebawah’, yang pada saat itu
memang kalangan masyarakat ini susah untuk mendapatkan ‘hiburan’, terlebih hiburan gratis.
Maka tidak heran bila ada orang yang hajatan atau kendurian
dengan nanggap tarling, sudah dapat dipastikan ramainya hampir seperti ‘pasar malam’, juga yang datang selain ingin menonton tarling adalah para para pedagang makanan, jajanan dan mainan anak, hingga tukang ‘bandar judi dadu’ dan lain-lain, (wawancara, Abdul Adjib, 4 Mei 2009). Karena banyak masyarakat pada saat itu yang tidak mampu membeli hiburan ke kota, atau membeli radio apalagi membeli TV sebagai sarana hiburan. Ditambah dengan banyaknya pemutaran film di bioskop-bioskop di kota-kota yang kala itu sedang marak, juga sedang deras merebaknya jenis-jenis kesenian dan musik dari luar Nusantara, seperti dari negara-negara Barat semisal Pop, Rock ‘N’ Roll dan Disco yang dianggap sebagai keseniannya ‘orang kaya’ atau kaum elite, karena untuk menikmatinya memerlukan uang banyak. Dengan alasan inilah mengapa seni tarling dianggap sebagai tontonan seni bagi masyarakat ‘pinggiran’ dari daerah pesisir Pantura.
Pada penelitian ilmiah yang mengangkat biografi seorang seniman tarling dari Kota Cirebon ini, akan membawa kita pada dunia kesenimanan dan kekaryaan objek yang dikaji, serta akan menerangkan data aktual mengenai perjalanan hidup objek yang dijadikan bahan penelitian. Adapun makna kata ‘Bio’ disini berarti ‘biologis’, yang menyimbolkan personal si objek, sedangkan ‘grafi adalah kata yang menguatkan makna ‘biologis’ secara tertulis dan ilmiah. Bila dilihat asal muasal katanya, maka kata biografi ini ‘diadaptasi’ dari bahasa Inggris biography, yang dalam Kamus Inggris-Indonesia diartikan sebagai ‘riwayat hidup’ (1986:65). Karena belum adanya penelitian yang mengkaji Abdul Adjib sebagai seniman Tarling, maka penelitian mengenai biografi Abdul Adjib ini diharapkan tidak menjadi sebuah penelitian yang ‘mengekor’ pada penelitian lain dengan pokok kajian penelitian yang sama, atau bisa disebut sebagai penelitian yang bersifat plagiat atau epigon. Penelitian yang mengangkat biografi seniman tradisional atau seni rakyat di Nusantara diharapkan dapat menimbulkan rasa cinta tanah air, yang tentunya mengarahkan kita kepada rasa nasionalisme. Dengan adanya rasa nasionalisme ini akan menumbuhkan perasaan kebersamaan dan persatuan bangsa yang kini sudah mulai ‘luntur’. Seperti apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara mengenai hubungan antara ‘seni tradisi’ atau ‘seni rakyat’ dengan cinta tanah air, bahwa itulah sebabnya, kesenian rakyat selalu bersifat nasional dan segala perubahan dalam kebudayaan seni itu hanya dapat berlangsung lambat laun,(1967:228). Dalam menyikapi kasus ini maka para pakar dibidang seni budaya Nusantara telah menyikapinya dengan memperdalam masalah seni budaya di Nusantara ini melalui pendalaman, penelitian dan pendataan menganai seni budaya yang ada di Nusantara. Mereka adalah pakar dibidang Ethnosains, yaitu sebuah cabang ilmu
pengetahuan yang bergelut mengenai hasil dari nilai perilaku sosial yang dipahami oleh masyarakat setempat sebagai pemilik dari hasil kebudayaan lokal. Penggunaan kata Ethnosains sendiri berdasarkan uraian, bahwa kata Ethno adalah sebuah kata yang ‘diadaptasi’ dari bahasa Inggris: Ethnic, yang dalam Kamus Inggris-Indonesia diartikan sebagai: kesukuan, group suku bangsa (1986:219). Sedangkan Sains adalah sebuah kata yang ‘diadaptasi’ dari bahasa Inggris : Science, yang dalam Kamus Inggris-Indonesia berarti: ilmu pengetahuan (1986:504). Menurut Waridi dalam perkuliahan di SPS-UPI medio maret 2008, diterangkan bahwa, pada bidang ilmu ini terdapat pula pemilahan-pemilahan ilmu berdasar induk seninya masing-masing yang merupakan cabang dari Ethno sains, yaitu Ethno Art yang mencakup: Ethno musikologi (musik Etnis di sosial masyarakat; musik tradisi rakyat), dimana penelitian ini menggunakan payung ethno musikologi sebagai acuan dasar penelitiannya, Ethnokoreologi (ilmu gerak/olah tubuh), Ethnokarawitanologi (musik-musik karawitan khas Keraton, seperti: Cirebon, Jawa, Sunda dan Bali). Dengan adanya para pakar seni budaya Nusantara yang bergelut di dunia Ethnosains ini, maka kta berharap kemajuan serta pelestarian seni tradisi budaya Nusantara tetap berlangsung di tanah air kita ini. Dengan Ethnosains ini kita dapat mendeteksi keberadaan segala bentuk dan macam hasil-hasil seni badaya di seluruh Nusantara. Kita dapat mengetahui bentuk kesenian dan budaya Nusantara mulai dari tradisional, seni rakyat, yang popular hingga yang belum dikenal orang sebelumnya untuk diangkat, didata dan dilestarikan keberadaanya. Pendekatan Ethnosains dapat digunakan dalam sebuah penelitian sebagai dasar ilmu untuk meneliti seni tradisi budaya yang ada di Nusantara, dimana menurut Waridi, ilmu ini menggunakan pendekatan dengan mengetengahkan tiga elemen
penting sebagai dasar dari aspek yang akan diteliti. Ketiga elemen tersebut yaitu: seniman, kekaryaan dan konteks sosial budaya masyarakatnya, dilihat dari pengaruh lingkungan dimana seniman itu lahir, tumbuh, belajar, lingkungan keluarga, berkembang dan berkreasi, (perkuliahan mahasiswa seni S2 SPS-UPI medio Maret 2008). Ketiga elemen tersebut dapat dijabarkan lebih jauh satu persatu sebagai berikut: 1.
Senimannya; Sebagai individu sosial, seniman adalah orang yang menjadi subjek dalam mengaplikasikan hasil kreatifitasnya melalui bentuk-bentuk tertentu. Kita dapat mengetahui bagaimana si seniman dalam berkarya, pengaruh, latar belakang dia belajar berkarya, pendidikan formal atau nonformal, bakat alami atau ada keturunannya yang memang juga sebagai seniman, hasil-hasil seni yang dibuatnya dan lain-lain. Dalam hal ini dapat kita katakana bagian ini sebagai pendekatan biografi kepada senimannya.
2.
Kekaryaannya; Setelah mengetahui latar belakang biografi senimannya, kita dapat mengetahui hasil-hasil kekaryaan yang diciptakannya ini adalah sesuatu yang khas atau tidak, atau mungkin sesuatu yang baru ataukah hanya ‘mengekor’ belaka. Ini sangat penting untuk diketahui, sebab sebuah karya seni bagi seorang seniman adalah sebuah materi yang lebih dari sekedar objek ciptaannya,namun telah menjadi jati diri atau identitas diri baginya. Biasanya seorang seniman akan lebih diingat orang bila dia telah menciptakan sebuah hasil karya ’unggulan’ atau masterpiece,
misalnya Leonardo Da Vinci dengan lukisan Monalisa nya yang fenomenal dan kesohor.
3.
Konteks sosial budaya masyarakatnya; Dalam hal ini kita akan mengetahui apakah sang seniman sebagai seorang praktisi beserta karyanya tersebut berkarya berdasarkan pengaruh-pengaruh lingkungan tempat seniman itu tinggal dan tumbuh. Bisa juga hasil karyanya merupakan seni yang secara turun temurun diwariskan melalui sebuah proses melihat dan menirukan yang panjang, misalnya pemusik gamelan di Bali, yang mewariskan ilmu bermain gamelan kepada anak mereka. Dalam hal ini faktor lingkungan hidup seniman dapat menjadi pembentuk kepribadian yang terkonstruksi
terhadap
seseorang
berhubngan
mengenai
pengetahuan,
(Adler,1988). Keadaan lingkungan ini akan membentuk pengetahuan seniman, bagamana membuat struktur instrument, komposisi lagu atau karya dan etika pertunjukannya.
Pendekatan menggunakan tiga ‘elemen’ di atas akan menciptakan sebuah kajian yang menarik dan diharapkan baik, karena langsung tertuju kepada individu senimannya sebagai subjek yang dikaji, lalu objek hasil ‘kreasi’ individu dan pendukung dari subjek dan objek dimaksud. Melihat begitu luas wilayah Nusantara dengan kondisi geografi yang terdiri dari ribuan kepulauan serta perairan luas, maka keberadaan Ethnosains ini dapat digunakan sebagai wahana melestarikan seni tradisi budaya di Nusantara. Sebagai bagian tidak terpisahkan dari jati diri kita, seni tradisi Nusantara harus dikembangkan melalui bukti-bukti sejarah, geografis dan ilmiah lainnya. Bukti-bukti
tersebut dapat dikategorikan sebagai etnografi dan etnografika. Dalam buku Sejarah Teori Antropologi I dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1987:8), bahwa: Etnografi adalah bahan-bahan keterangan tentang adat istiadat, ciri-ciri tubuh serta bahasa yang diucapkan oleh bangsa-bangsa di luar Eropa,... berbagai macam benda kebudayaan berupa alat-alat, senjata-senjata, hasil kesenian dan kerajinan dari berbagai daerah di dunia,dan tidak jarang mereka membawa koleksi tengkorak-tengkorak dari berbagai macam ras di muka bumi. Benda-benda tersebut disebut etnografika.
B.
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Dipilihnya biografi Abdul Adjib sebagai objek bagi bahan penelitian tesis ini
karena beberapa hal, diantaranya yaitu karena: 1.
Keberadaan Abdul Adjib yang konsisten dalam mengembangkan dan melestarikan seni tarling, yang telah dia ‘lakoni’ sejak masih kecil hingga kini, menjadikan latar belakang kehidupan dan perjalanan karir Abdul Adjib sebagai salah satu tokoh pengembang seni tarling dari Kota Cirebon ini menarik untuk ditelusuri.
2.
Kontribusi Abdul Adjib dalam mengembangkan dan melestarikan seni tarling di Kota Cirebon sangatlah besar. Konsep pemikiran Abdul Adjib sebagai seorang seniman tarling dikenal unik, hal tersebut terlihat jelas dari karya-karya kreatif dia berupa banyaknya lagu-lagu tarling modern khas Cirebonan yang telah dia ciptakan. Juga karya-karya drama musikal atau opera yang dibalut dengan musik dan lagu tarling, dipadu dengan kemahiran dia wangsalan dan bersosialisasi di atas penggung sebagai wiraswara, membuat pertunjukan drama tarling dia bersama Putra Sangkala menjadi menarik.
Setelah tersusunnya Rumusan Masalah di atas, maka terbentuklah beberapa pertanyaan penelitian yang tujuannya adalah untuk memfokuskan arah dari penelitian
dan menguak siapa, apa dan bagaimana Abdul Adjib. Pertanyaan penelitian tersebut adalah: 1. Bagaimana latar belakang kehidupan Abdul Adjib sebagai seorang
tokoh
pengembang seni tarling dari Kota Cirebon? 2. Bagaiman kontribusi Abdul Adjib bagi perkembangan dan pelestarian seni tarling di Kota Cirebon?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian biografi Abdul Adjib sebagai tokoh pengembang seni tarling dari
Kota Cirebon ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui dan mengungkap latar belakang kehidupan dan liku-liku berkesenian Abdul Adjib yang dikenal idealis dan konsisten sejak kecil hingga sekarang dia menjadi seorang tokoh seniman pengembang tarling di Kota Cirebon.
2.
Mengetahui kontribusi apa saja yang telah Abdul Adjib lakukan terhadap perkembangan dan kelestarian seni tarling di Kota Cirebon, dihubungkan dengan sepak terjang dan status dia sebagai seorang seniman tarling.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
1.
Seniman, masyarakat dan para pelaku atau penggiat seni tarling di Kota Cirebon sekitarnya, serta masyarakat luas di Nusantara;
2.
Kepentingan khasanah pustaka sejarah, pengembangan dan pelestarian seni tarling sebagai salah satu khasanah kekayaan seni budaya di Kota Cirebon dan sekitarnya;
3.
Diadakannya penelitian lanjutan mengenai seni tarling dan Abdul Adjib atau penelitian biografi lain yang mengetengahkan tokoh seniman tarling lainnya;
4.
Abdul Adjib, keluarganya dan tarling Putra Sangkala kedepannya.
E.
Kerangka Konseptual Kerangka konseptual adalah ilmu pengetahuan yang digunakan untuk
membantu memfokuskan arah penelitian, tujuannya agar tulisan penelitian tersebut dapat mengungkap apa yang ingin diketahui dengan lebih seksama berdasar konsep keilmuan yang digunakan. Ilmu pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan unsur dari ethno musikologi yang merupakan acuan dasar ilmu pengetahuan yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu: 1.
Sosiologi seni, tujuannya untuk mengupas latar belakang kehidupan Abdul Adjib sebagai tokoh pengembang tarling. Setelah itu kita akan mengetahui jenis kesenimanan Abdul Adjib, dilihat dari kiprah dan kekaryaannya. Dilihat dari cara Abdul Adjib berkesenian, dapat dikatakan apa yang dilakukannya dalam bermusik tidak dilakukan sebagaimana seorang seniman atau musisi professional, yang oleh Becker seniman seperti ini disebut sebagai integrated professionals. Definisinya, seorang seniman integrated professionals adalah seorang seniman profesional,
dalam
hal
ini
adalah
seorang
musisi,
yang
mampu
mengkoordinasikan apa yang dikerjakannya kedalam sebuah konsep tertulis misalnya, lalu menguasai bidangnya secara utuh berdasar ilmu pengetahuan. Selain itu, seorang seniman professional memiliki kemampuan secara teknis, sosial dan konsep berpikir untuk mempermudahnya dalam berkarya. Becker menerangkan bahwa: “Integated professionals have the technical abilities, social skills, and conceptual apparatus necessary to make it easy to make art. Because they know, understand and habitually use the conventions on which their world runs, they
fit easily into all its standard activities. If they are composers, they write music performers, canread and play on available instruments;...”,(1982:229). Lalu kedudukan Adjib sebagai seniman tarling bila dilihat berdasarkan apa yang dilakukannya dalam berkesenian, maka dia dapat dikategorikan sebagai seniman folk art. Karena Adjib adalah bagian dari sebuah komunitas masyarakat dimana seni tarling yang dia geluti itu lahir, begitu pula kesenimanan dan hasil karya dia telah diakui oleh masyarakat dan komunitas yang ada di sekitarnya. Adjib bermain musik dan berkarya berdasar kepada pengalamannya sejak ia kecil hingga dewasa. Pendidikan formal khusus musik tidak pernah dia tempuh, keahliannya dalam bermusik didapatnya secara otodidak. Becker menjelaskan mengenai kriteria seniman folk art, bahwa: “Folk art in this sense, is art done by people who do what they do because it is one of the things members of their community,or at least most members of a particular age and sex, ordinarily do. People know that some do these things better than others, but that is a minor consideration. The main thing is that they be done to some minimum standard, be good enough for the purpose at hand”, (1982:247). 2.
Sejarah seni, tujuannya untuk mengetahui perkembangan dan kontribusi Abdul Adjib sebagai tokoh pengembang tarling di Kota Cirebon. Adjib memiliki karya yang cukup banyak, dari semua lagu-lagu atau karya yang dia ciptakan, dapat digolongkan kepada tarling modern, demikian pendapat yang diutarakan oleh Sunarto M.A. Bila dilihat dari karya lagu-lagu dan drama musikal tarling yang dia ciptakan, maka jenis karya yang diciptakannya dapat dikategorikan sebagai popular art. Dijelaskan oleh Hauser mengenai popular art, bahwa: “Boredom-as the source of popular art, entertainment, and refreshment for the average halleducated and uneducated person is a product of the restless sensation-hungry
urban form of life. The peasant does not get bored; when he has nothing to do, he sleeps”, (1982:580).
F.
Telaah Pustaka Telaah pustaka atau tinjauan pustaka dalam penelitian ini merupakan suatu hal
inti dari penelitian-penelitian terdahulu yang pernah ada dan dilakukan, lalu disertakan sebagai gambaran dan benang merah bagi kerangka dasar terhadap penelitian yang dilakukan. 1.
Eni Enha, 2006,”Tarling Opera Dengan Citarasa Lokal”, Khazanah,
Media
Indonesia, Sabtu27 Januari 2006.
Pada tulisan yang ditulis oleh Eni Enha ini dijelaskan secara gamblang tentang seni tarling di daerah Cirebon dan sekitarnya, mengenai tokoh sentral Abdul Adjib sebagai seorang seniman yang masih eksis dengan seni tarling tradisi atau klasikannya. Tarling yang ada selama ini tidak akan terlepas dari peran Adjib sebagai seorang seniman tarling dari Kota Cirebon yang dianggap pembaharu. Pada setiap penampilannya Adjib selalu memainkan pula drama situasional yang diangkat dari cerita rakyat setempat, seperti cerita Baridin. Musik dan nyanyian yang dimainkan adalah pengantar jalannya cerita itu sendiri, hal inilah yang menjadi salah satu keahlian Adjib. Tidaklah berlebihan kiranya bila seni tarling ini dijadikan sebuah drama musikal seperti opera. Selain itu juga diungkap bahwa apa yang terjadi terhadap seni tarling dewasa ini, dimana seni yang beberapa tahun kebelakang menjadi ‘primadona’ masyarakat daerah pesisir Utara, kini berada dalam kondisi ‘koma’. Eni Enha juga menuliskan ‘ajakan’ agar diadakan suatu tindakan nyata dalam pelestarian seni tarling di wilayah tersebut melalui sebuah ‘perlawanan’. Bagaimana caranya agar penggiat atau seniman tarling yang ada di Cirebon atau daerah lainnya dapat bangkit kembali, tentunya melalui dukungan dan dorongan moril serta materil yang baik, apakah dari masyarakatnya atau dari pemerintahnya.
2. Nana Rukmana, 2008,” Passionate For Cirebon’s Art Of Tarling”, The Jakarta Post, Wednesday,December 17, 2008. (Terjemahan: Harry Tj).
Tulisan ini aslinya menggunakan bahasa Inggris karena ditulis pada salah satu kolom harian berbahasa Inggris tersebut. Apa yang ditulis oleh Nana Rukmana tersebut sedikit banyak memiliki kesamaan visi dengan apa yang ditulis oleh Eni Enha, bahwa apa yang dilakukan oleh bdul Adjib sebagai seorang seniman tarling ‘tulen’ asal Kota Cirebon ini tidak boleh dibiarkan hilang begitu saja. Tetapi apa yang ditulis menjadi harapan banyak pihak tentang pelestarian budaya seni lokal hanyalah sebuah angan-angan belaka, khusunya bagi tarling. seni ini makin hari makin terpuruk bahkan di tanah kelahirannya sendiri, terhempas oleh kemajuan jaman yang serba instan memunculkan ‘seniman-seniman’ pop baru yang lebih digandrungi oleh khalayak muda dewasa ini. Ironisnya bahwa banyak pulapara seniman tarling seangkatan Adjib yang mulai merambah wilayah musik tarling dangdut, elektonan dan sebagainya. Hal ini mempercepat proses kepunahan tarling. namun dalam ketidak pedulian ini, rupanya masih ada seorang Abdul Adjib yang tetap setia dalam menjalankan pertunjukan seni tarling ‘asli’ khas Cirebonan. Dia tidak mau mencampur adukan tarling dengan dangdut, atau bermain tarling dengan sekedar alat musik elektone tanpa ada dramanya. Maka dia menjadi seorang seniman yang teguh dengan pendirian dan kesabarannya dalam mengarungi dunia seni tarling di wilayah Cirebon ini.
G.
Metode Penelitian Metode penelitian adalah sebuah teori berupa konsep yang digunakan sebagai
landasan acuan dalam melakukan penelitian. Menurut Alwasilah, metode harus disiapkan untuk mencapai tujuan penelitian, (2006:85). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Karena dalam penelitian ini tidak diperlukan adanya ‘angka’ sebagai hasil dari sebuah perbandingan tertentu.
Menurut Komarudin, penelitian kualitatif adalah “sebuah penelitian yang hasil penelitiannya tidak dapat di lukiskan ke dalam bilangan atau ditulis menjadi data kuantitatif”,(1974:112). Penelitian kualitatif berfokus pada kualitas, hakikat atau esensi objek yang diteliti, tujuannya agar tercipta sebuah pemahaman, deskripsi, temuan-temuan dan pemunculan hipotesis. Creswell (1994:43) dalam bukunya, menjelaskan mengenai batasan penelitian kualitatif sebagai berikut:
In a qualitative study, researchers often employ the present tense to connotate immediate, direct action, or the past tense in a quantitative study to create distance between the written study and the action on which, the study is based. Further,a qualitative study may employ more questions to guide the reader, whereas a quantitative study would not use questions and would be written in a more formal compositional style. Sementara itu, Alwasilah menjelaskan pendapatnya tentang penelitian kualitatif, bahwa: “mereka dinilai lebih ‘sensitif’ terhadap segala aspek perubahan yang saling mempengaruhi yang bakal dihadapi peneliti” (2000:105). Penelitian ini juga menerapkan pendekatan mulltidisipliner, alasannya karena dalam penelitian ini digunakan beberapa cabang ilmu pengetahuan untuk melihat dan menganalisa permasalahan yang sama. Komaruddin menjelaskan bahwa: “Pengarang atau penganalisa dapat memilih beberapa ilmu pengetahuan yang fungsionil terhadap masalah itu. Pendekatan itu disebut pendekatan mulltidisipliner, karena disiplin dari setiap ilmu pengetahuan yang mungkin, diperhitungkan untuk melihat dan menganalisa satu masalah yang sama”, (1974:28). Untuk mengungkap masalah yang ada, maka dalam penelitian ini digunakan beberapa cabang ilmu yang dapat mendukung proses pengumpulan data dilapangan, yaitu: ilmu seni (musik), ilmu antropolgi, ilmu sejarah dan ilmu sosiologi. Secara visual, menurut Komaruddin (1974:29), hubungan antar ilmu pengetahuan dalam metode pendekatan multidisipliner, dapat digambarkan sebagai berikut:
Ilmu sejarah Ilmu seni (musik)
Ilmu antroplogi
Masalah penelitian
Ilmu sosiologi
Diagram 2 Visualisasi pendekatan mulltidisipliner Penelitian biografi ini sudah pasti akan mengulas kehidupan seniman yang diteliti, karena dalam penelitian ini ditampilkan cerita mengenai kiprah Abdul Adjib sejak dia masih kecil hingga sekarang. Untuk itu, selain pendekatan mulltidisipliner, diperlukan dua macam pendekatan penelitian lain yang saling mendukung dan terpadu, yaitu pendekatan sinkronis dan pendekatan diakronis.. Pendekatan sinkronis digunakan untuk mengungkap kekaryaan Abdul Adjib di dunia seni Tarling, seperti yang dijelaskan dalam am buku Kamus Besar Bahasa, bahwa maknaa sinkronis adalah: ”sesuatu yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi di suatu masa yang terbatas”, (2003:1072). Sedangkan edangkan pendekatan diakronis digunakan untuk mengangkat kisah mengenai liku-liku liku perjalanan hidup hidup Abdul Adjib dalam berkesenian sejak dia kecil hingga dewasa. Penjelasan detil tentang istilah diakronis ini juga terdapat di dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, Indonesia, yang bermakna: “berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang waktu; bersifat hysteria”,(2003:261). ”,(2003:261). Pernyataan lain yang dapat menguatkan istilah diakronis ini tepat digunakan sebagai sebuah pendekatan penelitian, dalam Kamus Bahasa InggrisInggri
Indonesia, dijelaskan bahwa: diachronic, berdasarkan, menurut sejarah/ilmu bahasa menurut sejarah (1975:180). Selain itu untuk mengungkap riwayat hidup Abdul Adjib ini diperlukan pula penelitian kepustakaan atau library research, yang tujuannya untuk mendapatkan data-data tambahan sebagai bahan tulisan berupa data kepustakaan melalui rekaman karya, foto, film, wawancara langsung kepada Abdul Adjib sebagai nara sumber utama juga sumber info lainnya, hingga menyaksikan langsung pertunjukan tarling secara langsung atau live. Artinya, peneliti memiliki peran sebagai peneliti lapangan atau field researcher yang langsung terjun sendiri melakukan penelitiannya (Booth,1982). Untuk mendapatkan data-data penelitian di lapangan ini, diperlukan alat bantu penelitian berupa kamera video shooting atau handy cam dan kamera foto. Melalui alat bantu ini untuk merekam kejadian-kejadian yang aktual dan faktual untuk mendukung bahan penelitian yang sudah ada. Selanjutnya,
di
dalam
sebuah
penelitian
akan
diadakan
kegiatan
mengumpulkan data-data penelitian, untuk dijadikan bahan tulisan. Hal ini sangat penting dilakukan dalam sebuah penelitian kualitatif, seperti yang dikatakan oleh Komaruddin mengenai pengumpulan data penelitian, bahwa: “Dalam sebuah penelitian haruslah menggunakan data-data, pengumpulan data ini disebut teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang lazim digunakan di dalam sebuah penelitian atau penulisan tesis ada beberapa macam, antara lain wawancara, daftar pertanyaan (questionnaire), skala objektif, teknik proyektif dan pengamtan tindak tanduk”, (1974:113). Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan tesis biografi ini adalah: 1. Teknik wawancara
Wawancara adalah sebuah teknik pengumpulan data yang paling banyak dan sering dilakukan oleh seorang peneliti, terutama pada penelitian biografi, karena teknik ini menggunakan cara bertemu langsung dengan objek yang diteliti atau ditulis. Isi dari wawancara dapat berbentuk suatu pertanyaan tertulis yang kemudian dibaca oleh pewawancara sebagai sebuah pertanyaan kepada objek yang diwawancara. Teknik wawancara dapat berbentuk wawancara individual, yaitu orang yang mewawancara dengan orang yang diwawancara bertatap muka atau berhubungan langsung satu sama lain tanpa melibatkan orang lain. Berikutnya teknik wawancara konferensi, yaitu teknik wawancara yang dilakukan oleh satu orang pewawancara dengan beberapa orang yang diwawancara atau beberapa orang pewawancara dengan satu orang yang diwawancara. Pada penelitian ini, wawancara menjadi salah satu cara untuk mencari sumber data yang dipakai sebagai bahan tulisan. Proses wawancara tersebut dilakukan kepada narasumber utama yaitu Abdul Adjib, tujuannya untuk mencari data tentang riwayat hidup, keluarga, kekaryaan dan kesenimanan Abdul Adjib selama ini. Wawancara ini ditunjang dengan wawancara pendukung lain, yang dilakukan kepada beberapa orang seniman di wilayah Cirebon yang memang mengetahui sepak terjang Abdul Adjib, seperti Askadi dan Mulus. Maksudnya, untuk mencari data lain atau untukmencarikebenaran dari data yang ada sebelumnya, berdasar pernyataan-pernyataan mereka mengenai ‘kadar’ kesenimanan dan pengakuan terhadap karya-karya Abdul Adjib. Selain itu ada juga wawancara singkat yang dilakukan terhadap beberapa anggota masyarakat yang ditemui dan dipilih secara acak, tujuannya adalah untuk membuktikan seberapa ‘dikenalnya’ Abdul Adjib oleh masyarakat Kota Cirebon.
2.
Daftar pertanyaan (Questionnaire)
Daftar pertanyaan adalah merupakan suatu cara lain dalam mendapatkan data penelitian, dimana pewawancara mengajukan beberapa macam pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian dan penulisan tesis kepada nara sumber. Setelah itu nara sumber dipersilahkan menjawab semua pertanyaan yang telah disiapkan oleh pewawancara sebagai bagian pengumpulan bahan dan data penelitian. Biasanya pada teknik ini nara sumber dapat juga menjawab pertanyaan dengan mengisi isian daftar pertanyaan tanpa ditemani oleh orang lain, dengan alasan untuk mengurangi adanya pengaruh luar yang dapat mengurangi tingkat subyektifitas. Daftar pertanyaan dapat berupa pertanyaan tertutup atau terbuka atau kombinasi dari keduanya. Daftar pertanyaan tertutup adalah pertanyaan tertulis yang isi dari jawabannya juga sudah ditulis atau sudah disediakan, jadi responden hanya memilih salah satunya,seperti pada soal ujian dengan pola pilihan berganda. Sedangkan daftar pertanyaan terbuka adalah pertanyaan tertulis yang isi dari jawabannya ‘tidak’ disediakan, tujuannya agar responden lebih bebas dan lepas dalam menjawab pertanyaan yang diberikan. Keunggulan dari teknik ini adalah karena jawabannya tertulis atau setidaknya responden dibantu dalam menuliskan jawabannya. Dalam hal ini peneliti atau penulis dapat memiliki jawaban yang sudah dibumbui atau ditambah-tambahi atau di buat hyperbolic, baik secara sadar ataupun tidak sadar. Kejadian ini bukanlah tidak mungkin terjadi didalam sebuah penelitian atau penulisan sebuah tesis. Untuk menghimpun data-data yang akan digunakan dalam penelitian biografi Abdul Adjib ini, maka digunakan beberapa butir pertanyaan sebagai salah satu instrumen penelitiannya (contoh pertanyaan wawancara terlampir pada bagian ‘Lampiran’ dari tesis ini). Tujuan penggunaan data pertanyaan dalam penelitian
ini adalah untuk menunjang kekuatan dari proses wawancara yang dilakukan dalam penelitian tersebut, baik kepada objek utama penelitian maupun nara sumber lain. Data pertanyaan yang diberikan oleh peneliti kepada para nara sumber, telah menjadi salah satu bagian terbesar dalam dalam proses wawancara.
3. Teknik triangulasi Teknik ini mengangkat apa yang tercermin dari minat dan bagaimana cara mengumpulkan data dari beberapa sumber, yaitu narasumber utama sebagai objek penelitian, narasumber lain sebagi pendukung data yang ada dan kepustakaan. Teknik ini digunakan untuk mengetahui pendapat atau ‘sudut pandang’ beberapa orang tentang ‘orang’ yang dijadikan obyek dalam sebuah penelitian. Setiap pengamat akan mempunyai pendapatnya sendiri sesuai pengalaman hidupnya, jadi tidaklah mengherankan bila terdapat pendapat yang berbeda antara pengamat yang satu dengan pengamat yang lainnya dalam memberikan pandangan dan pendapat terhadap obyek penelitian. Data-data yang ada dapat digunakan sebagai data penguat dalam penulisan atau penelitian. Teknik triangulasi menjadi penting dalam penelitian ini, karena banyak data mengenai Abdul Adjib yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari hasil pendapat orang-orang, kepustakaan dan dari Abdul Adjib sendiri.
Objek Penelitian sebagai narasumber utama
Data kepustakaan
Sumber pendukung lain Diagram 3
Diagram yang memvisualisasikan teknik triangulasi
Data-data yang beragam tersebut dapat digunakan sebagai data penguat dalam penelitian ini. Penggunaannya dalam penelitian ini adalah, sebuah pertanyaan yang sama, akan diberikan kepada beberapa narasumber pendukung yang berbeda, namun datang dari kalangan yang memiliki latar belakang sama, yaitu seniman. Dijelaskan oleh Alwasilah, bahwa triangulasi merujuk pada dua konsep yakni dimensionalitas melalui sudut pandang yang jamak dan stabilitas. Sumber-sumber, metode dan teknik yang berbeda bila digabungkan meningkatkan kredibilitas (2008:176). Pada penelitian ini digunakan kegiatan observasi, interviu dan survei yang tujuannya untuk mencari data-data yang ada di lapangan baik secara langsung, ataupun melalui sumber-sumber lain seperti melalui internet, buku, koran dan lain-lain.