BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tahun ini ASEAN genap berusia 47 tahun. Selama itu, telah banyak capaian-capaian yang telah diraih ASEAN dan sumbangsih yang diberikan ASEAN bagi negara-negara anggotanya. Salah satu capaian dan sumbangsih terpenting dari ASEAN adalah terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan merupakan hal utama sehingga program pembangunan Indonesia dapat terus dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN terus mengalami peningkatan. Secara khusus, ASEAN telah membantu Indonesia dalam penanganan bencana Tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, proses perdamaian di Aceh, penanggulangan kebakaran hutan dan lain-lain. Selama empat dekade keberadaannya, ASEAN telah mengalami banyak perubahan serta perkembangan positif dan signifikan yang mengarah pada pendewasaan ASEAN. Kerjasama ASEAN kini menuju tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan dengan akan dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun 2015. Hal ini diperkuat dengan disahkannya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang secara khusus akan menjadi landasan hukum dan landasan jati diri ASEAN ke depannya. 1 Namun demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi ASEAN. ASEAN harus dapat melakukan berbagai penyesuaian seiring dengan adanya perkembangan yang pesat di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan pengetahuan serta bidang-bidang lainnya yang terjadi di negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara. ASEAN juga harus menyadari pentingnya upaya untuk lebih melibatkan masyarakat ASEAN sehingga tumbuh
1
ASEAN National Secretariat of Indonesia, ASEAN selayang pandang, (Jakarta : Sekretariat Nasional ASEAN, Departemen Luar Negeri, Republik Indonesia, 1997), hlm. 2
1
“rasa memiliki” (we feeling) terhadap ASEAN. ASEAN harus memfokuskan dirinya untuk dapat menjalin kerjasama yang dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat ASEAN. Dengan demikian, diharapkan ASEAN tidak lagi menjadi forum kerjasama para pejabat pemerintah negara-negara ASEAN atau kalangan elit tertentu, melainkan dapat menjadi organisasi yang bertumpu pada masyarakat dan menjadi milik seluruh masyarakat ASEAN (people-centered organization).2 Hal-hal tersebut merupakan tantangan yang membutuhkan tanggapan tepat dan cepat yang tentunya tidak mudah untuk dilaksanakan. Salah satunya adalah isu kebakaran hutan serta dampaknya terhadap lingkungan dan ekonomi. Belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian internasional, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO) tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia.3 Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem, 4 kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati. 5 Di Asia Tenggara, keprihatinan mengenai dampak kebakaran hutan cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan penandatanganan Perjanjian Lintas Batas Pencemaran Kabut oleh negaranegara anggota ASEAN pada bulan Juni 2002 di Kuala Lumpur. Kebakaran hutan merupakan salah satu prioritas yang dinyatakan oleh Departemen Kehutanan Indonesia dan aksi untuk menangani masalah ini dimasukkan dalam dokumen komitmen kepada negara-negara donor yang terhimpun dalam CGI. 6 Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain: Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan 2
Ibid., FAO. State of Worlds Forests. (Rome: FAO, 2001). 4 United Nations International Strategy for Disaster Reduction. Natural Disaster and Sustainable Development: Understanding the Links Between Development and Environment and Natural Disaster, (New York: United Nations World Summit on Sustainable Development, 2002). 5 Rowell, A and Moore, P.F., Global Review of Forest Fires, (WWF: IUCN Gland, 2001) 6 Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan, CIFOR Occasional Paper No. 38 (i) hlm. 1. 3
2
diliburkan. Ketiga, terganggunya transportasi di darat, laut maupun udara. Keempat, timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian materiil dan imateriil pada masyarakat setempat dan sering kali menyebabkan pencemaran asap lintas batas (transboundary haze pollution) ke wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand. Pembakaran hutan dan lahan selama ini merefleksikan bahwa praktek ini dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan perkebunan. Artinya kebakaran hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan yang ditujukan untuk melakukan pembersihan lahan. Maraknya pembakaran hutan hutan dan lahan setidaknya juga dipengaruhi oleh (1) pembangunan industri kayu yang tidak diikuti dengan pembangunan hutan tanaman sebagai bahan baku; (2) besarnya peluang yang diberikan Pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan perkebunan kayu (HTI); (3) penegakan hukum yang lamban merespon tindakan konversi dan pembakaran yang dilakukan meskipun instrumen hukumnya melarang hal tersebut. Berkaca pada kebakaran hebat tahun 1997/1998, penyebabnya cukup bervariasi. Di Jambi dan Riau pembakaran disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit oleh perusahaan. Di Sumatera Selatan kebakaran terjadi di lahan basah yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat untuk bersawah, penangkapan ikan dan penebangan pohon. Di Kalimantan, Project Lahan Sejuta Hektar menjadi pemicu utama ekspor asap ke Malaysia dan Singapura. Sementara di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, kebakaran disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan HTI. 3
Pada tahun-tahun berikutnya, kebakaran hutan dan lahan memang tidak sedahsyat tahun 1997. Meski demikian, angka hotspot yang muncul setiap tahunnya tetap menjadi perhatian karena memicu pencemaran kabut asap dan emisi karbon yang cukup besar. Pada tahun 2001, angka hotspot yang dapat direkam di Sumatera dan Kalimantan pada Bulan Januari sampai dengan Agustus sebanyak 3.202 titik, dan kemudian angka hotspot tidak pernah turun dari 40.000 titik setiap tahunnya pada tahun-tahun berikutnya kecuali pada tahun 2005 sebanyak 39 ribu titik dan menurun kembali pada tahun 2006 menjadi 23 ribu titik. Dari dua pulau tersebut, Propinsi Riau tetap tercatat merupakan propinsi yang paling banyak menghasilkan titik panas. Disusul kemudian Kalimantan Tengah, Kalbar dan Sumatera Selatan. Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar. Untuk Sumatera saja, total kerugian untuk kebakaran pada medio tersebut mencapai US$ 7,8 milyar kemudian disusul dengan Kalimantan yang mencapai US$ 5,8 milyar. Namun toh gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugian di seluruh Indonesia pada medio yang sama. Dari kebakaran tersebut, hilangnya fungsi hutan sebagai pengendali erosi merupakan satu hal yang patut dicermati. Keuntungan yang panjang yang dimiliknya membuat parameter ini memiliki nilai yang sangat besar. Pembukaan hutan dan lahan yang mengakibatkan kebakaran hutan akan mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil. Ketika musim hujan, molekulmlekul tanah akan saling melepaskan diri. Pada pergerakan minimal, molekul tersebut akan terbawa air hujan dan menciptakan sedimentasi di sungai. Dimasa mendatang, ketika curah hujan tinggi maka sungai tidak lagi mampu menampung air dalam volume yang besar sehingga menyebabkan banjir. Sedangkan pada pergerakan maksimal yang apabila dipengaruhi dengan faktor kemiringan maka akan menciptakan longsor. Malaysia yang juga terkena mengalami kerugian US$ 300 juta di sector industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di sector pariwisata.
4
Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura. ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi daerah bencana ini patut memberikan bantuan. ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi tempat para pihak bernaung secara internasional memiliki perangkat yuridis berupa traktat internasional yaitu The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Namun negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura belum merasa puas karena Indonesia sampai saat ini belum meratifikasinya. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN yang telah meratifikasi AATHP yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja. Menurut asas pacta sunt servanda( kepastian hukum dalam perjanjian ), Indonesia tidak terikat oleh traktat tersebut. Meskipun demikian, pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah satu prinsip adalah “Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lan,7 dan prinsip good neighbourliness. 8 Pada intinya prinsip itu mengatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip-prinsip hukum internasional untuk perlindungan lingkungan lainnya adalah general prohibition to pollute principle, the prohibition of abuse of rights, the duty to prevent principle, the duty to inform principle, the duty to negotiate and cooperate principle, intergenerational equity principle.9 Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap negara yang telah melakukan tindakan yang merugikan negara lain. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara
7
J.G, Starke, Pengantar Hukum Internasional , Jakarta : Sinar Grafika Offset, edisi kesepuluh hal 546 Sucipto, Sistem Tanggung Jawab Dalam Pencemaran Udara, Malang, 1985, hlm.82 9 Adji samekto, “Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.119 8
5
yang bersangkutan merugikan negara lain. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia telah menimbulkan dampak negatif terhadap negara-negara tetangga. Meski mudah untuk menyalahkan pemerintah Indonesia atas tak adanya tindakan, masyarakat internasional juga telah gagal. Daripada mengkritik Indonesia atas kekurangannya, pemerintah asing seharusnya menjanjikan keahliannya dan memberikan bantuan dalam jumlah besar. Kebakaran hutan Indonesia mempunyai dampak global dengan menghilangkan keanekaragaman hayati dan menyumbangkan gas-gas rumah kaca ke atmosfer (kebakaran tahun 1997 melepaskan sekitar 2,67 milyar ton karbondioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan. Dalam kasus dimana masalah Indonesia adalah masalah dunia, masyarakat global seharusnya meningkatkan kesempatan untuk menujukan bencana kebakaran ini dengan sikap yang pintar dan terkoordinasi dengan baik. 1.2. Pertanyaan Penelitian Melihat permasalahan yang ditimbulkan maka ini menjadi alasan bagi penulis untuk mempertanyakan: Mengapa AATHP ASEAN gagal menangani persoalan kebakaran hutan di Indonesia? 1.3. Kajian Pustaka Kajian pustaka (literature review) dipakai sebagai acuan terkait dengan penelitian berjudul “Kerja Sama Asean Dalam Menangani Persoalan Kebakaran Hutan Dan Pencemaran Asap Di Indonesia” oleh Raisa Rafina. Dalam hal ini ada beberapa studi yang dijadikan acuan dalam kajian penelitian ini. Studi-studi tersebut dijelaskan sebagai berikut: Dalam tulisan Raisa Rafina yang berjudul “Kerjasama Negara-Negara Asean Dalam Pengendalian Pencemaran Udara Lintas Batas Negara Di Lihat Dari Hukum Internasional”10, menguraikan tentang dasar hukum kerjasama Negara-negara ASEAN dalam pengendalian 10
Jurnal.usu.ac.id/index.php/jil/article/download/2654/pdf , diakses tanggal 28 April 2014
6
pencemaran udara, kerjasama ASEAN dalam pengendalian pencemaran udara di lingkungan ASEAN dalam perspektif hukum internasional, serta implikasi perjanjian kerjasama dalam pengendalian pencemaran udara bagi Indonesia. Penelitian ini secara khusus membahas dua hal yakni pertama mengenai AATHP dan kedua mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap, serta kendala-kendala yang dihadapi Negara-negara ASEAN dalam mengatasi permasalahan tersebut. Persamaan antara tulisan Raisa dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Raisa membahas dari perspektif hukum internasional, termasuk implikasinya terhadap Indonesia. Penelitian ini akan membahas mengenai kendala-kendala yang menghambat kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia. Tulisan Fadhlan Dini Hanif yang berjudul “tanggung jawab negara (state responsibility) terhadap pencemaran udara lintas batas negara berdasarkan ASEAN agreement on transboundary haze pollution”11 menguraikan tentang tanggung jawab Negara anggota terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Negara yang diatur dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, konsekuensi negara pencemar dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, dan mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Persamaan antara tulisan Fadhlan dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas tentang tanggung jawab Negara anggota terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Negara yang diatur dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Fadhlan membahas dari perspektif hukum internasional, termasuk konsekuensi dan mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Penelitian ini akan membahas mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia.
11
repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/.../4580/JURNAL.pdf?.( diakses pada tanggal 28 April 2014.
7
Tulisan Agustia Putra yang berjudul “Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) Tahun 2002-2012” kepentingan Indonesia belum meratifikasi Perjanjian ASEAN Pada Polusi Asap Lintas Batas ( AATHP ) dari awal AATHP ditandatangani oleh Indonesia pada tahun 2002 sampai 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelemahan ASEAN dan adanya kepentingan dan faktor-faktor lain yang menyebabkan AATHP Indonesia belum meratifikasi hingga saat ini. Indonesia adalah negara yang memiliki kawasan hutan dalam jumlah besar di wilayah Asia Tenggara. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Agustia membahas dari kepentingan Indonesia yang belum meratifikasi AATHP. Penelitian ini juga akan membahas mengenai dampak dari belumnya di ratifikasi AATHP oleh Indonesia. 1.4. Kerangka Teori Untuk membahas permasalahan tentang efektivitas kerjasama ASEAN dalam menangani permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia dan negara-negara tetangga, penulis menggunakan Konsep Kerjasama dan Konsep Efektivitas serta Teori yang digunakan adalah Teori Rezim.
1.4.1
Konsep Kerjasama
Menurut pendapat James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff kerjasama atau cooperation dapat muncul dari kesepakatan masing-masing individu terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai akibat persepsi kepentingan sendiri. 12 Kunci dari perilaku yang mengarah pada kerjasama terletak pada kepercayaan masing-masing pihak (masing-masing negara) bahwa pihak lain juga akan melakukan kerjasama, dimana masalah utama yang muncul dari perilaku ini adalah kepentingan nasional masing-masing negara. Bila mengarah pada persamaan kepentingan nasional maka kerjasama yang diinginkan akan tercapai. 12
Dougherty E, Jamesdan Pfaltzgraff, Jr LRobert, Contending Theories of International Relatins: A Chomprehensive Survey,4th.Ed. Addison Wesley Longman,New York,1997,hal. 418-419
8
Kerjasama ini dilakukan oleh negara-negara yang secara langsung dan sering merasakan akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran asap dari Indonesia. Upaya-upaya kerjasama bilateral maupun regional untuk menangani kasus ini kemudian mulai dijalin dan dirumuskan. Inisiatif kerjasama diambil dengan maksud bahwa kasus asap ini telah mengakibatkan kerugian besar baik materiil maupun non materiil dan juga membahayakan kelangsungan ekologi bumi. Sehingga dengan adanya inisiatif kerjasama ini peluang terjadirya.konflik dapat dihilangkan. Kerjasama ASEAN yang secara khusus memfokuskan pada masalah kabut asap baru dimulai pada bulan Juni 1995, seiring dengan peningkatan intensitas masalah pencemaran kabut asap lintas batas yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Sebagai langkah awal dalam menanggulangi masalah pencemaran kabut asap lintas batas, para Menteri Lingkungan Hidup negara-negara anggota ASEAN pada bulan Juni 1995 di Manila sepakat untuk membentuk ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution. Bahwa polusi asap tersebut dapat menjadi acuan bagi negara-negara yang terkait dalam hal ini untuk menjalin kerjasama baru dalam penanganan kebakaran ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan lingkungan sudah menyentuh aspek human security ditambah lagi masalah degradasi lingkungan dapat dikatakan membuat sejenis ancaman khusus yang bukan saja ancaman bagi negara tetapi pada keseluruhan umat manusia. Dari konsep kerjasama ini , bentuk kerjasama yang mampu menjelaskan unsur kepentingan politik dan bagaimana efektivenya resim yang digunakan dalam penyelesaian persoalan kebakaran hutan yang melanda Indonesia dan mempengaruhi negara tetangga dilihat dari kerjasama internasional dalam 4 bentuk yaitu:13
13
Drs. R. Soeprapto, Hubungan Internasional”Sistem,Interaksi dan Perilaku” , PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997,hal. 181-186
9
1) Kerjasama Global Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam satu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. 2) Kerjasama Regional Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar negara-negara yang secara geografis
letaknya berdekatan.
Kerjasama tersebut bisa dalam bidang
pertahanan tetapi bisa juga dibidang lain seperti pertanian, hukum, kebudayaan dan lain sebaginya. Menurut Dr. Budiono, kerjasama regional baik yang berbentuk
organisasi
atau bukan, pada
waktu sekarang ini mendapatkan
masalah yang cukup rumit dan kompleks. Adapun yang menentukan terwujudnya kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan pandangan dibidang politik dan kebudayaan juga
perbedaan
struktur
produktivitas
ekonomi.
Kerjasama regional merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan dalam mengatasi kemiskinan dan kebodohan. 3) Kerjasama Fungsional Kerjasama fungsional, permasalahan atau pun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks disebabkan oleh semakin banyaknya organisasi kerjasama yang ada.Walaupun terdapat kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam masalah kerjasama fungsional baik dibidang ekonomi maupun sosial,untuk
pemecahannya
diperlukan
kesepakatan
dan
keputusan
politik.Kerjasama fungsional berangkat dari pragmatisme pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing mitra dalam kerjasama. Dengan demikian kerjasama fungsional tidak mungkin terselenggara apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung suatu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. 10
Adapun kendala yang dihadapi dalam kerjasama fungsional terletak pada ideologi politik dan isu-isu wilayah. 4) Kerjasama Ideologis Pengertian ideologi menurut Vilfredo Pareto, adalah alat dari suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan.Dalam hal perjuangan
atau
kerjasama
ideologi
batas-batas
teritorial
tidaklah
relevan.Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka dalam forum yang global. Untuk kasus kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia maka bentuk kerjasama yang dapat digunakan adalah kerjasama regional. Karena kasus kebakaran hutan dan pencemaran asap ini berdampak lintas batas yang merugikan negara-negara di kawasan ASEAN, serta mempengaruhi negara-negara yang secara geografis letaknya berdekatan. kerjasama regional negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama untuk menanggulangi permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap lintas batas. Kerjasama regional ini tidak mungkin terselenggara dengan baik apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung atau mentaati ketentun-ketentuan dalam setiap peraturan atau komitmen bersama dalam wadah sebuah resim yang ada dalam hal ini ASEAN. Jadi masing-masing negara yang bersangkutan dan yang terkena dampak dari kebakaran hutan dan pencemaran asap harus bekerjasama dan saling membantu karena terdapat kepentingan yang sama dari masing-masing negara untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan pencemaran asap yang berdampak lintas batas. Akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran asap ini telah membawa masalah di bidang kesehatan, pariwisata, dan juga di bidang lalulintas. Karena kasus ini melibatkan negara-negara tetangga, maka negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama untuk menanggulangi permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap lintas batas. Kerjasama fungsional ini 11
tidak mungkin terselenggara apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung satu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. Jadi masing-masing negara yang bersangkutan dan yang terkena dampak dari kebakaran hutan dan pencemaran asap harus bekerjasama dan saling membantu karena terdapat kepentingan yang sama dari masing-masing negara untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan pencemaran asap yang berdampak lintas batas. 1.4.2 Dalam
Konsep Efektivitas Rezim melihat
rezim,
terdapat
usaha
dalam
membangun
kerjasama
dan
mengimplementasinya. Namun permasalahannya, tingkat keberhasilan atau implementasi dari sebuah rezim bervariasi, terdapat rezim yang dapat dikatakan sukses ataupun gagal 14. Penyebabnya ada dua hal : Pertama terdapat pada karakter dari masalah itu sendiri: beberapa masalah secara intelektual kurang rumit atau secara politik lebih benign daripada yang lain dan karena itu lebih mudah untuk diselesaikan. Kemungkinan jawaban kedua focus pada problemsolving capacity: beberapa usaha lebih sukses dibandingkan dengan yang lainnya karena perangkat institusional yang lebih powerful atau skill dan energy yang lebih besar digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dalam konsep efektivitas rezim Arild Underdal melakukan pemilahan antara variabel dependen, yaitu efektifitas rezim dengan variabel independen, yang terdiri dua hal yaitu : tipe permasalahan, dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan tersebut. 15 Kemudian ada juga yang disebut intervening variable, sebuah variabel yang merupakan akibat dari variabel variabel independen namun juga bagian dari variabel yang berpengaruh terhadap variabel
14 15
Underdal, Arild. Explaining Regime Effectiveness. [Pdf]. University of Oslo. Hal. 1 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http: //books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 4-15
12
dependen.16 Intervening variable disini menggunakan level of collaboration, atau tingkat kolaborasi antara anggota dari sebuah rezim. 1.4.2.1 Dependent variable Efektivitas Rezim sebagai variabel dependen memiliki 3 komponen untuk menganalisa efektivitas rezim, yang terdiri dari output, outcome, dan impact yang ada dalam rezim. 17
Gambar 1. Objek dan penafsiran waktu
Output Output adalah aturan, program, dan pengorganisasian yang ditetapkan oleh anggota untuk mengoperasionalkan ketentuan dalam rezim, sehingga hal-hal yang semula hanya berbentuk kesepakatan bisa diwujudkan 18. Keluaran yang muncul dari proses pembentukan, biasanya tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis seperti misalnya konvensi, rules of law, treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip-prinsip dan lain-lain. Penandatangan rezim dan terjadinya langkah – langkah domestik negara terkait rezim terjadi pada masa objek ini.
16
17 18
Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http: //books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 447 Ilien Halina. 2012. Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm. 3 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http: //books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 5
13
Outcome Outcome adalah perubahan perilaku subyek yang dikenai ketentuan dalam rezim, baik itu berupa penghentian tindakan yang dilakukan sebelum rezim berdiri, maupun tindakan yang sebelum rezim berdiri tidak dilakukan 19]. Langkah – langkah domestik negara yang terlaksana mulai dirasakan efeknya pada masa objek ini. Impact Terakhir
adalah Impact,
yang berkaitan
dengan
tingkat
keberhasilan
dalam
mengatasi masalah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan rezim tersebut 20. Di masa objek ini terlihat perubahan kebiasaan sebuah negara mengikuti atau tidak mengikuti rezim internasional yang mana dia ikuti. 1.4.2.2 Independent variable Jika negara yang melakukan hubungan cenderung lunak maka rezim tersebut akan mudah mendapatkan kesepakatan bersama, sedangkan apabila bersifat malign(gawat) maka rezim akan susah mendapatkan titik temu. Semakin identik dan harmonis preferensi aktor yang ada, maka permasalahan tersebut semakin baik, sebaliknya semakin tidak harmonis preferensi aktor yang terlibat maka permasalahan tersebut semakin malign 1.4.2.3 Problem Malignancy Masalah menjadi susah ketika masalah itu sendiri memang membuat negara - negara tidak mau bekerjasama secara politis, karena memang susah. Malignancy ini memiliki 3 karakter antara lain Incongruity, Asymmetry dan Cumulative Cleavages 21
19 20 21
Ibid. hal. 6 Ibid. hal. 6 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence.Tersedia disitus: http: //books.google.co.id / books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 18-22
14
a.
Incongruity
Ketidaksepahaman akibat tidak semua negara anggota dari sebuah rezim menganggap sebuah isu sebagai permasalahan. b.
Asymmetry
Adanya kepentingan nasional yang berbeda – beda antara negara anggota dari sebuah rezim. c.
Cumulative Cleavages
Perbedaan yang terakumulasi sehingga menimbulkan perpecahan. 1.4.2.4 Problem Solving Capacity Underdal berargumen bahwa permasalahan dapat diatasi dengan efektif apabila ditangani oleh lembaga atau sistem dengan power yang kuat serta didukung adanya ketrampilan atau skill dan energi yang memadai.22 Apabila satu solusi dihasilkan melalui keputusan kolektif, maka problem solving capacity bisa dipahami sebagai fungsi saling terkait yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: a.
Seting kelembagaan (institutional setting) yang ada dalam rezim tersebut.
b.
Distribusi kekuasaan (distribution of power) diantara aktor yang terlibat. Jika ada pembagian kekuasaan yang adil, dimana terdapat pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan.23
c. Skill (keahlian) dan energy (kekuatan) yang tersedia bagi rezim yang digunakan untuk mencari.
22 23
Ibid.Hal.23-37 Ilien Halina. 2012. Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm. 17
15
1.4.2.5
Intervening Variable
Dalam melihat tingkat kolaborasi sebuah rezim internasional, Underdal mengemukakan enam skala ukuran level kolaborasi 24, yang dapat dilihat dalam skala dibawah ini: a. Level of Collaboration (skala 0-5) 0.
Gagasan bersama tanpa suatu koordinasi tindakan bersama
1.
Koordinasi tindakan secara diam – diam
2.
Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah sebuah negara. Tidak ada penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah tindakan.
3.
Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah sebuah negara. Terdapat penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah tindakan.
4.
Koordinasi yang terencana, dikombinasikan dengan implementasi pada level nasional. Didalamnya terdapat penilaian terpusat akan efektivitas sebuah tindakan.
5.
Koordinasi
dengan
perencanaan
dan
implementasi
yang
menyeluruh
terintegrasi, dengan penilaian terpusat akan efektitivitas. Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa pada intinya tingkatan kolaborasi terdiri dari beberapa langkah, sebagai berikut: gagasan bersama, koordinasi tindakan, rumusan aturan secara eksplisit, penilaian secara terpusat, implementasi pada tingkat nasional, koordinasi terencana dan integrasi antara perencanaan dan implementasi. Untuk mengetahui tingkatan kolaborasi dalam sebuah rezim internasional, perlu melihat unsur – unser tersebut. Pembagian
24
Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http://books.google.co.id/books?id=HkOFtdbSZL8C, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 7
16
antara masing - masing skala dengan unsur kolaborasi akan dilihat lebih jelas dalam tabel dibawah : Tabel 1.1 Tingkatan Kolaborasi Skala Kolaborasi Jenis Kolaborasi 0
1
2
3
4
5
Gagasan bersama
√
√
√
√
√
√
Koordinasi tindakan
-
√
√
√
√
√
Rumusan aturan secara eksplisit
-
-
√
√
√
√
Penilaian secara terpusat
-
-
-
√
√
√
-
-
-
-
√
√
Koordinasi terencana
-
-
-
-
√
√
Integrasi perencanaan & Implementasi
-
-
-
-
-
√
Implementasi pada level
nasional
Sumber: Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. b. Penentu Tingkat Kolaborasi Efektivitas rezim juga mempunyai hubungan dengan tingkat kolaborasi dan perubahan perilaku. Disini tingkat kolaborasi sebagai sebuah intervening variable, tingkat kolaborasi dipengaruhi oleh problem malignancy dan problem solving capacity yang ada dalam sistem yang membentuk rezim. Intervening variable juga berpengaruh dan memberikan efek langsung terhadap efektivitas rezim. Sementara kedua variabel dependen juga memberikan pengaruh terhadap efektivitas rezim, yang berarti efektivitas rezim dipengaruh oleh tiga variabel 17
Adanya masalah yang bersifat malign akan berpengaruh negatif terhadap tingkat kolaborasi, sedangkan tingginya tingkat kolaborasi sendiri mempunyai pengaruh positif terhadap efektifitas rezim. Sehingga adanya masalah yang bersifat malign tidak mendukung semakin efektifnya sebuah rezim. Sedangkan kemampuan mengatasi masalah mempunyai pengaruh positif atau dengan kata lain mendukung meningkatnya tingkat kolaborasi. Karena tingkat kolaborasi mendukung efektifitas rezim maka kemampuan untuk mengatasi masalah berpengaruh positif terhadap tercapainya efektivitas rezim. Untuk lebih jelasnya dalam melihat hubungan diantara tiga variabel diatas dapat kita bisa lihat dalam gambar dibawah:
Gambar 2. Model Inti dari 3 Variabel
Disini muncul tiga hipotesis terkait model inti dari 3 variabel diatas 25: a. Masalah semakin bersifat malignancy maka kemungkinan menciptakan kerjasama yg efektif semakin kecil. b. Jika malignancy bersifat politis dan knowledge, maka rezim akan semakin tidak efektif. 25
Ilien Halina. 2012. Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm. 15-18.
18
c. Kalau rezim itu harus menghadapi persoalan yang malignancy, maka efektivitas akan dapat dicapai, hanya jika: 1.
Ada proses incentive baru yg diciptakan dari yang mempunyai kepentingan, mis dalam masalah non-profilerasi nuklir, jikalau Amerika berjanji akan memberi bantuan ekonomi yang lebih banyak apabila Iran mau mengurangi nuklirnya,
2.
Rezim yang menghadapi masalah yang sulit akan menjadi efektif jika rezim mampu menghubungkan persoalan yang sulit dng persoalan yg lainnya yg lebih gampang (linkage).
3.
Jika rezim mengembangkan sistem problem-solving yg lebih canggih, artinya akan ada improvement jika ada inovasi.
b.1 Tingkat Kolaborasi (level of collaboration). Untuk mengukur tingkat kolaborasi suatu rezim, diperlukan terlebih dahulu analisis terhadap efektivitas suatu rezim yang ditentukan oleh formula Er = f (Sr.Cr) + Br, dimana Sr adalah Stringency (kekuatan aturan), Cr adalah Compliance (ketaatan anggota rezim terhadap aturan), sedangkan Br berarti efek samping yang dihasilkan rezim. Dengan kata lain kita harus memeriksa terlebih dahulu output,outcome dan impact dari rezim AATHP mengenai kepatuhan negara pihak dalam menerapkan aturannya. 26 b.2 Kegawatan Persoalan (problem malignancy) Keefektifan suatu rezim ditentukan oleh seberapa serius persoalan yang dihadapi. Apabila persoalan semakin rumit, maka keefektifan rezim pun akan semakin kecil. Dengan kata lain, jika terdapat suatu masalah yang sifat malignancynya semakin tinggi , maka kemungkinan terciptanya kerjasama yg efektif akan semakin kecil.27 Sebagaimana yang telah dijelaskan
26
27
Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.. Hlm. 6. Ilien Halina. (2007). Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. Hlm.13.
19
sebelumnya bahwa peristiwa kebakaran hutan merupakan situasi sangat berbahaya dilihat dari akibat yang ditimbulkannya,baik itu bagi negara Indonesia,dampaknya terhadap negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. b.3 Kapasitas Problem ( Problem Capacity ) Kapasitas permasalahan (problem capacity). Problem solving capacity membicarakan seputar efektivitas rezim diukur dari setting institusional, distribusi kekuasaan (power) 28. a.
Institusional setting (the rules of the game) Setting Institusional dalam ASEAN berpengaruh terhadap kesepakatan – kesepakatan yang telah dihasilkan, dalam hal ini AATHP.
b. Distribusi kekuasaan ( Power ) Distribusi kekuasaan ( Power ) menyangkut pembagian kekuasaan yang adil dalam rezim dimana terdapat pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan.29 1.4.3
Teori Rezim Internasional berdasarkan Pendekatan Interest
Pemanasan global merupakan salah satu isu hangat yang sedang marak diperdebatkan di kancah sistem internasional. Fokus utama dari isu ini adalah dampak dari kebakaran hutan dan polusi asap yang tidak hanya merugikan bagi masyarakat sekitar hutan tetapi juga melibatkan negara-negara tetangga, termasuk di dalamnya kerugian dalam bidang ekonomi dan kesehatan. Penyebab dari kebakaran hutan dan polusi asap ini adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sistem industri ataupun praktik agrikultur. Indonesia dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas,
28
29
Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Hlm.15-16 Ibid.
20
namun di sisi lain, negara-negara di dunia juga memiliki kepentingan terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Oleh karenanya, kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas menjadi sebuah isu global yang patut dinegosiasikan oleh negara-negara di dunia, khususnya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN melalui sebuah rezim internasional sebagai refleksi dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Berbagai bentuk kerjasama yang telah dibentuk ASEAN antara lain: ASEAN Cooperation Plan onTransboundary Poluution, Haze Technical Task Force,Strategic Plan of Action on Environment dan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang kesemuanya bertujuan untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan pencemaran asap. Kedua model negosiasi tersebut dapat dijadikan patokan bagi pembentukan rezim kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas yang baru. Namun, perlu diperhatikan bahwa kemungkinan pencapaian persetujuan atas isu kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas sejatinya lebih sulit. Hal ini dikarenakan upaya penurunan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas di Indonesia tak hanya melibatkan permasalahan lingkungan saja, namun upayanya juga menghendaki sejumlah pengorbanan, termasuk pertumbuhan ekonomi. Negosiasi diantara negara ASEAN lainnya dan negara Indonesia pun semakin sulit akibat adanya pertentangan kepentingan. Sementara itu, isu kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas juga dianggap penuh dengan ketidakpastian. Hampir semua orang menyadari bahwa ada yang salah dengan penegakan hukum di Indonesia sehingga masalah kebakaran hutan dan lahan selalu berulang setiap tahunnya. Namun kesadaran saja ternyata tidak cukup. Dibutuhkan kemauan untuk merubah kebiasaan tersebut. Masalah penegakan hukum misalnya, sampai dengan tahun 2006 ternyata hanya 11 kasus yang ditangani pengadilan. Dari sebelas kasus tersebut hanya 3 yang memiliki putusan tetap. Sisanya kandas sebelum atau dalam putusan sela dengan alasan administrasi atau masalah keterwakilan.
21
Pengendapan kasus-kasus kebakaran adalah hal lain yang juga harus dicermati. Kebakaran hutan dan lahan pada pertengahan 2006 lalu misalnya, meskipun telah disebutkan bahwa seluruh berkas telah siap namun hingga hari ini tidak pernah terdengar khabar beritanya. Jadi pertanyaan publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakkan hukum baik yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ada maupun instrumen internasional yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius, terutama untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kepentingan menjaga lingkungan dan penerapan prinsip zero burning. Sampai disini, pemerintah Indonesia pada dasarnya telah gagal untuk meminimalisir kebakaran hutan dan lahan. Meskipun ratusan seminar dan workshop telah dilakukan, ratusan agenda telah dihasilkan namun toh kebakaran selalu berulang. Apakah dana menjadi kendala? Sepertinya tidak. Hingga tahun 2004, Departemen Kehutanan telah menjalin kerjasama dengan pihak donor dan mendapatkan dana hibah lebih dari 452 milyar. 30 Ini belum termasuk kerjasama bilateral yang dilakukan secara langsung baik dengan departemen luar negeri maupun dengan kemerntrian lingkungan. Ini juga belum termasuk bantuan langsung dari Malaysia yang acap kali menurunkan bantuannya dalam bentuk team pemadam kebakaran (Bomba). Untuk menghindari munculnya kekuatan koalisi penghalang, maka diperlukan sebuah rancangan proses negosiasi yang baik. Rancangan tersebut dapat terdiri dari mekanisme ratchet, negotiated baselines, dan tindakan sukarela.31 Sebenius menawarkan sejumlah solusi, yakni pendekatan sequential, yang menunjukkan adanya konsensus atas sejumlah protokol yang mencakup potensi isu yang dapat memberikan keuntungan bersama; protokol dasar, yang menjadi protokol utama; aksi sukarela, yang merupakan aksi pengusulan perencanaan secara sukarela yang dapat diawali dengan greenhouse action plan; kemudian dilanjutkan dengan persetujuan tambahan dan rachets, hal ini beriringan dengan adanya kemungkinan perubahan 30 31
Departemen Kehutanan, 2014 Sebenius, James K. 1991. Designing Negotiation Toward a New Regime: The Case of Global Warming, dalam International Security, Vol 15, No 4 (Spring 1991), hlm. 110-148
22
pemahaman isu akibat fenomena baru yang berkaitan dengan isu; dan pengurangan benturan antara negara Utara dan negara Selatan akibat perbedaan kepentingan. Dari serangkaian penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas menjadi sorotan kancah internasional seiring dengan pengaruh fenomenanya secara global. Sepakat dengan pemikiran Sebenius, untuk menangani fenomena tersebut, maka diperlukan sebuah negosiasi global diantara negara-negara di dunia yang dapat diakomodasi melalui terbentuknya rezim internasional. Pembentukan rezim sendiri dapat berkaca dari pengalaman terbentuknya negosiasi ASEAN ataupun AATHP. Belajar dari hambatan-hambatan pada negosiasi sebelumnya, seperti hambatan koalisi penghalang, maka penulis sepakat bahwa diperlukan sebuah rancangan negosiasi yang tepat dalam pembuatan rezim kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas. 1.5. Argumen Utama Kefektifan AATHP ASEAN didalam penanganan masalah kabut asap ini mencerminkan bagaimana keberadaan ASEAN sebagai sebuah organisasi kerjasama regional menyadari pentingnya penanganan secara mendalam menyangkut kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia tiap tahun. Keterlibatan ASEAN dalam penanganan masalah kabut asap ini tidak berjalan efektif. Hal ini dikarenakan dimana upaya keikutsertaan negara-negara anggota ASEAN dalam meratifikasi isi perjanjian ini mengalami masalah yang bersifat malign . Dapat dlihat dari adanya ketidaksepahaman ( Ingcongurity ) akibat tidak semua negara anggota ASEAN menganggap sebuah isu sebagai permasalahan. Ini dikarenakan tidak semua negara mengalami persoalan yang sama seperti yng terjadi di negara Malaysia dan Singapura yang berdekatan letaknya dengan Indonesia. Walaupun demikian namun sikap ikut berperan serta dalam mendukung upaya ASEAN dalam penangan isu ini tercermin dengan bersedianya masingmasing negara mertifikasi hasil AATHP,terkecuali Indonesia. 23
Untuk mengetahui Incongruity ini dapat dilihat melalui asynmetry dan cumulative cleavages. Asymmetry dalam incongruity ini, AATHP ASEAN pada negara-negara anggota ASEAN terdapat perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan ini dibagi menjadi dua hal yakni negara penghasil dan negara penerima. Dalam hal ini Indonesia dan negara tetangga anggota ASEAN. Dalam cumulative cleavages, dapat dilihat dari bagaimana keberadaan Indonesia yang tidak meratifikasi dan negara-negara anggota ASEAN yang meratifikasi AATHP. Dengan terbentuknya pihak yang berseberangan didalam AATHP ini, yaitu pihak yang meratifikasi dan tidak meratifikasi. Dengan terpenuhinya indikator asymmetry dan cumulative cleavages telah menunjukan bahwa unsur incongruity yang merupakan tanda bahwa struktur masalah didalam rezim merupakan masalah yang sulit untuk diselesaikan atau masalah yang bersifat malign. Strukutur masalah polusi asap menjadi sulit diselesaikan karena terdapat perbedaan pandangan negara anggota ASEAN dalam melihat AATHP. Perbedaan pandangan ini didasari atas perbedaan kepentingan antar negara anggotanya, yaitu kepentingan sebagai negara penghasil, negara penerima atau negara bukan pengasil atau penerima. Dengan adanya perbedaan kepentingan inilah yang membuat terdapat perpecahan dan ketidakefetifan didalam AATHP ASEAN. 1.6. Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dilakukan melalui metode kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari literature, buku-buku, jurnal, majalah-majalah, koran-koran, serta tulisan-tulisan yang relevan dengan masalah-masalah yang akan dibahas. Selain itu data atau informasi juga diperoleh melalui internet yang tentu saja berhubungan dengan tulisan yang dimaksud.
24
1.7. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari empat bab. Bab I, Penulis menulis dan membahas latar belakang masalah,pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka,kerangaka teori, argument utama, dan sistematika penulisan. Bab II, Akan menjelaskan tentang kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas sebagai isu rezim ASEAN. Dimana akan dibahas mengenai kebakaran hutan dan dampaknya, kepentingan nasional Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut Asap, perjanjian kerjasama ASEAN terhadap isu kabut asap di Indonesia serta Upaya pendekatan yang dilakukan ASEAN terhadap Indonesia Bab III, Ketidakefektifan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam penanggulangan polusi asap.
Bab IV, Akan membahas tentang kegagalan rezim ASEAN dalam menangani masalah kabut asap di Indonesia. Pokok bahasan dalam bab ini akan menyoroti Kegagalan ASEAN di level ASEAN, Level Indonesia, dan tentang lemahnya sentralitas ASEAN sebagai suatu rezim, serta alasan Indonesia belum meratifikasi AATHP. Bab V, Pada bab ini merupakan kesimpulan dan rangkuman atas uraian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.
25