BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Suatu negara atau kerajaan tentu mempunyai sistem hirarki dalam pemerintahan. Seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di Indonesia yang hingga saat ini masih berdiri di beberapa daerah, sistem pemerintahannya tidak terlepas dari adanya pangkat dan gelar kebangsawanan. Pangkat dan gelar kebangsawanan masing-masing membedakan tugas dan kewajibannya. Di lingkungan keraton, pangkat dan gelar kebangsawanan diperoleh melalui keturunan atau pengangkatan dengan menerima sĕrat kekancingan atau surat keputusan dari pihak yang berwenang di keraton. Orang-orang yang memiliki pangkat dan gelar kebangsawanan merupakan anggota kerajaan yang terdiri dari abdi dalĕm dan santana dalĕm. Abdi dalĕm adalah pegawai istana yang hanya bertugas di dalam istana (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005:196). Dalam Baoesastra Djawa, abdi dalĕm diartikan sebagai priyayi abdining ratu atau ‘orang yang mengabdi kepada ratu atau raja’ (Poerwadarminta, 1939:1). Sedangkan santana dalĕm merupakan pejabat istana yang masih memiliki hubungan kekerabatan tertentu dengan raja. Salah satu kerajaan di Indonesia yang masih berdiri dan mempertahankan adanya pangkat dan gelar kebangsawanan adalah Keraton Surakarta. Keraton Surakarta merupakan pengganti keraton Kartasura yang mengalami kehancuran akibat Geger Pacinan pada tahun 1742. Hingga saat ini Keraton Surakarta masih
1
2
berdiri dan tetap melestarikan budayanya, termasuk dalam hal pemberian pangkat dan gelar kebangsawanan. Tidak banyak masyarakat dari luar anggota kerajaan yang mengetahui nama-nama pangkat dan gelar kebangsawanan beserta tugas dan wewenangnya. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan studi naskah yang memuat tentang hal tersebut. Ada banyak teks yang memuat tentang pangkat dan gelar kebangsawanan di Keraton Surakarta, salah satunya adalah Sĕrat Wadu Aji (selanjutnya disingkat SWA). SWA memuat keterangan yang cukup lengkap mengenai pangkat dan gelar kebangsawanan santana dalĕm dan abdi dalĕm Keraton Kasunanan Surakarta. Berdasarkan katalog yang ditulis oleh Girardet, terdapat beberapa naskah yang memuat teks SWA. Di antaranya adalah Pranatan Jaman Kartasura dengan kode koleksi 24605 (b.113) (Girardet, 1983:372), dan sebuah naskah tanpa judul yang berisi 2 teks yaitu Sĕrat Wawaton Tata Krami Tĕmbung Kadhaton ingkang Kangge Para Abdi Dalĕm Agĕng Alit ing Karaton Surakarta Hadiningrat dan SWA dengan kode koleksi 14940 (29 ra) (Girardet, 1983:150). Di dalam Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman juga terdapat teks SWA dengan penjelasan singkat yang hampir sama dengan teks SWA yang terdapat di Perpustakaan Sana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta. Teks SWA yang disimpan di Perpustakaan Widya Pustaka Pura Pakualaman Yogyakarta terdapat di dalam naskah Paniti Sastra pada bagian ke tiga. Dalam Katalog NaskahNaskah Perpustakaan Pura Pakualaman, naskah Paniti Sastra merupakan naskah yang termasuk dalam golongan piwulang yaitu naskah yang berisi ajaran atau ilmu
3
pengetahuan. Di dalam naskah tersebut terdapat tiga teks, yaitu : 1) Sĕrat Niti Sastra yang berisi ajaran budi pekerti. 2) Sĕrat Wawaton Tata Krami Tĕmbung Kadhaton ingkang Kangge Para Abdi Dalĕm Agĕng Alit ing Karaton Surakarta Hadiningrat, yang berisi tentang aturan penggunaan bahasa yang digunakan para abdi dalĕm di Keraton Surakarta, 3) Sĕrat Wadu Aji, yang memuat tentang nama-nama pangkat pada kerajaan zaman dahulu, keterangan tentang julukan raja dan keturunannya, dan julukan putra raja atau pejabat kerajaan (Saktimulya, 2005:91). Di dalam Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman juga disebutkan bahwa Sĕrat Wawaton Tata Krami Tĕmbung Kadhaton ingkang Kangge Para Abdi Dalĕm Agĕng Alit ing Karaton Surakarta Hadiningrat dan SWA diterbitkan oleh F.L Winter serta dicetak di percetakan milik J.A Sekol di Surakarta. Menurut beberapa ahli sastra Jawa, SWA merupakan salah satu karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita (Tedjowirawan, 2014:330) . Teks SWA ditulis dengan aksara Jawa dan bahasa Jawa sehingga tidak banyak orang yang mengetahui tentang isinya secara detail. Selain itu, tidak banyak orang yang mengetahui seluk beluk tentang teks SWA dan isinya. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan isinya, penulis tertarik untuk melakukan penelitian berupa suntingan teks dan terjemahan teks SWA agar masyarakat dapat mengetahui pangkat dan jabatan abdi dalĕm serta santana dalĕm beserta tugas dan wewenangnya yang terdapat dalam SWA.
4
1.2 Rumusan Masalah Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa SWA masih ditulis dengan aksara Jawa dan dengan bahasa Jawa. Padahal, belum tentu semua orang mampu membaca dan memahami kandungan isinya. Penulisan atau penyalinan yang dilakukan terhadap suatu teks belum tentu bersih dari kesalahan. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam SWA adalah bahasa Jawa. Dengan demikian, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana bentuk suntingan teks SWA?
2. Bagaimana terjemahan teks SWA? 3. Bagaimana penjelasan gelar dan jabatan yang ada di dalam SWA?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: 1. Menyajikan suntingan teks SWA 2. Menyajikan terjemahan teks SWA 3. Menjelaskan gelar dan jabatan yang ada di dalam teks SWA
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Teks yang akan diteliti adalah Sĕrat Wadu Aji yang ada di dalam naskah Paniti Sastra yang disimpan di Perpustakaan Widya Pustaka Pura Pakualaman Yogyakarta dengan nomor koleksi 0182/PP/73 halaman 140 sampai halaman 162.
5
Teks tersebut berisi tentang nama-nama pangkat pada kerajaan zaman dahulu sampai pada bab yang berisi tentang julukan putra raja atau pejabat kerajaan.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian ini berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya yang dijadikan acuan yaitu deskripsi singkat mengenai obyek penelitian di dalam Katalog NaskahNaskah Perpustakaan Pura Pakualaman (2005) yang disusun oleh Sri Ratna Saktimulya. Di dalam katalog tersebut telah dijelaskan gambaran umum mengenai teks SWA beserta keterangan kolofon yang ditemukan, sehingga mempermudah dalam mengidentifikasi teks. Acuan selanjutnya adalah skripsi berjudul “Sĕrat Wadu Aji, Bagian Gelar Tradisional Jawa, Sebuah Kajian Filologis” (1991) yang ditulis oleh Subandi. Skripsi tersebut menjelaskan tentang kajian filologis teks SWA yang disimpan di Perpustakaan Sana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta.
1.6 Landasan Teori Teori adalah kerangka berpikir mengenai obyek yang menjadi sarana penelitian. Dalam terapannya, teori merupakan tuntunan kerja yang membimbing pemahaman ke arah obyeknya. Adapun metode berarti cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian. Obyek dalam penelitian filologi adalah berupa naskah dan teks (Baried, 1994:3). Teks adalah kandungan atau muatan naskah (Baried, 1994:57). Lebih lanjut Baried membagi teks menjadi tiga macam yaitu: 1) teks lisan, 2) teks tulisan tangan
6
atau biasa disebut dengan naskah, dan 3) teks cetakan. Sebelum ada mesin cetak, teks biasanya diperbanyak dengan cara mutrani, yaitu penyalinan dengan menulis ulang teks. Penyalinan tersebut dapat dikarenakan penyalin tertarik dengan isi teks, adanya kekhawatiran tentang kerusakan teks, dan karena teks tersebut dianggap suci sehingga dapat digunakan untuk keperluan ibadah banyak orang. Untuk menganalisa teks dalam naskah digunakan teori filologi. Secara etimologis, filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu filos yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘ilmu’ atau dalam konteks ini adalah ‘kata’. Maka filologi dapat diartikan sebagai ‘cinta ilmu’ atau ‘cinta kata’. Filologi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk naskah. Tugas seorang filolog tidak hanya melakukan kritik teks saja, tetapi yang paling utama adalah membuat teks dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh seorang filolog adalah menyajikan dan menafsirkan teks (Robson, 1994:12) Agar isi teks dapat dipahami oleh kalangan luas, maka filolog harus menerjemahkan teks tersebut. Menerjemahkan adalah mengalihbahasakan suatu teks ke dalam bahasa lain yang diinginkan oleh penerjemah tanpa mengubah isinya (Soegeng dan Ekosusilo, 1994:2). Ada beberapa cara pengalihbahasaan yang secara bertingkat adalah sebagai berikut: a. Terjemahan kata demi kata (word-to-word) Terjemahan ini sering disebut sebagai terjemahan harafiah. Hasil terjemahan ini biasanya kaku, sering sukar dipahami maksudnya dan
7
ada resiko salah memenggal kalimat serta menempatkan urutan katakata. b. Terjemahan struktural Untuk menerjemahkan secara struktural, demi keluwesan hasil terjemahan agar lebih mudah dipahami, diperlukan tambahan kata-kata lain yang tidak terkandung di dalam teks aslinya. Susunan kata-katanya juga sering diubah atau bahkan dihilangkan sebagian kata-kata yang ada pada teks aslinya. Namun, hal yang tetap harus diperhatikan adalah tidak mengubah pesan dari teks aslinya. c. Terjemahan bebas (adaptasi) Cara ini dipakai terutama apabila penerjemah menghadapi ungkapanungkapan idiomatik atau peribahasa yang mengandung arti kiasan sehingga sulit untuk diterjemahkan dengan cara pertama maupun ke dua (Soegeng dan Ekosusilo, 1994:12-14) Di dalam penelitian ini digunakan gabungan ketiga cara pengalihbahasaan tersebut. Tujuan penggabungan cara pengalihbahasaan tersebut adalah untuk memudahkan proses penerjemahan.
1.7 Metode Penelitian Metode merupakan cara yang teratur dan bersistem berdasarkan pemikiran yang matang untuk melaksanakan suatu kegiatan dengan mudah (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005:952). Kata metode berasal dari bahasa Inggris method yang berarti ‘cara’ (Echols dan Shadily, 1990:379). Tahap-tahap yang digunakan
8
dalam penelitian ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Reynold dan Wilson (1974) dalam bukunya Scribes and Scholar: A Guide to Transmission of Greek and Latin Literature
yaitu tahap recentio dan examinatio. Tahap recentio yang
dilakukan adalah inventarisasi naskah dengan studi katalog, kemudian memilih salah satu naskah yang akan diteliti dengan cara eliminasi, lalu mendeskripsikan naskah beserta teks terpilih. Tahap selanjutnya disebut examinatio, yaitu pengujian teks dengan cara menyunting dan menerjemahkan teks terpilih. Sesuai dengan tugas filolog yaitu membuat teks terbaca dan dimengerti dengan menghilangkan rintangan yang ada, maka dua hal yang perlu dilakukan adalah menyajikan dan menafsirkan teks dalam bentuk edisi teks dan tafsirannya. Berdasarkan teori filologi, tahapan-tahapan yang dilakukan agar teks terbaca dan dimengerti perlu diadakan kritik teks yang meliputi transliterasi yaitu pergantian atau pengalihan huruf demi huruf dari yang satu ke huruf yang lain (Robson, 1995:11). Transliterasi yang digunakan adalah transliterasi dalam bentuk perbaikan bacaan yang disesuaikan menurut kamus Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), dengan ejaan baru dan Bausastra Jawa-Indonesia (Prawiroatmodjo, 1981). Setelah itu menyunting teks dengan memberi catatan-catatan berupa apparatus criticus atau yang biasa disebut dengan aparat kritik. Langkah selanjutnya adalah menerjemahkan. Tujuannya agar pembaca yang belum menguasai seluk-beluk bahasa teks tetapi merasa tertarik untuk menemukan lebih banyak tentang isi teks tersebut dapat menafsirkan teks dengan sedemikian rupa melalui terjemahan teks. Seorang filolog mendasarkan kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan untuk mengungkapkan makna teks tersebut dalam
9
segi kebudayaan (Robson, 1995:25). Metode penerjemahan yang digunakan adalah penggabungan antara terjemahan kata demi kata, terjemahan struktural, dan terjemahan bebas. Artinya, penerjemahan menggunakan kata demi kata apabila kalimat yang diterjemahkan memungkinkan untuk diterjemahkan dengan metode kata demi kata. Namun, tidak semua kata dapat diartikan secara terpisah. Misalnya, sebuah idiom yang jika diterjemahkan kata demi kata tidak akan mencapai maksud dari penulis. Oleh karena itu digunakan gabungan dari ketiga cara menerjemahkan menurut Soegeng dan Ekosusilo (1994). Penelitian tidak berhenti sebatas penerjemahan karena terjemahan saja dianggap belum cukup untuk mengungkapkan isi teks dengan jelas. Untuk itu, penelitian lebih lanjut dilakukan dengan mencari referensi mengenai hal yang berhubungan dengan isi teks. Langkah selanjutnya setelah mendapatkan referensi adalah mencari informasi dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan dengan pihak Keraton Surakarta.
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang dirinci sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dam sistematika penyajian. Bab II berisi deskripsi naskah dan teks yang di dalamnya menjelaskan tentang fisik naskah yang dijadikan obyek penelitian yaitu naskah Paniti Sastra
10
secara umum berdasarkan pengamatan langsung terhadap naskah dan keterangan tentang seluk beluk teks yang diteliti yaitu Sĕrat Wadu Aji. Bab III berisi pengantar suntingan, pengantar terjemahan, suntingan teks SWA dengan edisi perbaikan bacaan, terjemahan teks SWA, catatan suntingan dan catatan terjemahan. Bab IV berisi tentang gelar dan jabatan di Keraton Surakarta dalam teks SWA. Bab V berisi kesimpulan dan saran Daftar pustaka