BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Media massa bekerja sebagai sistem untuk mengkomunikasikan pesan dan
simbol-simbol pada khalayak dalam jumlah besar (Herman & Chomsky, 1988). Menurut Herman dan Chomsky, pesan dan simbol-simbol yang ada di media massa umumnya berfungsi untuk menarik, menghibur, menginformasikan dan menanamkan nilai-nilai, ideologi, kepercayaan dan norma kepada audiens-nya yang mendukung ideologi atau pun kepentingan elite media. Iklan sebagai bagian penting dalam media massa juga kerap menggunakan sistem tanda untuk mengasosiasikan suatu produk dengan sistem nilai atau pun ideologi tertentu yang dapat menguntungkan pihak pengiklan (pemilik modal). Tujuan iklan menurut Hoed (2014) adalah untuk membangun kepercayaan khalayak atas produk yang diiklankan. Namun pada prakteknya untuk mencapai tujuan ini iklan menggunakan cara-cara yang manipulatif, yakni dengan mengkonstruksi dan rekonstruksi sistem nilai dan ideologi sehingga produk yang dipasarkannya tampak seolah-olah natural, penting dan diperlukan untuk kebaikan dalam kehidupan nyata. Iklan menciptakan susunan dan struktur makna dalam rangka meyakinkan khalayak untuk mengkonsumsi produk yang diiklankannya, meskipun seringkali gambaran atau citra produk yang ditampilkan dalam iklan tidak sesuai dengan kenyataan. Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Baran (2015:382) tentang komplain yang kerap ditujukan pada iklan bahwa, “... it is often intrusive, deceptive,
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
and in the case of children’s advertising, inherently unethical.” Iklan bahkan dianggap telah merendahkan dan merusak kebudayaan. Dalam pesan persuasifnya, iklan tidak hanya mempromosikan suatu produk tetapi juga menyisipkan sistem nilai dan ideologi tertentu yang cenderung kapitalistik. Direktur pemasaran Coca-Cola menyatakan dalam McChesney (2008: 273), “... when people buy a can of Coke, they are not buying a product. They are buying the idea of the branding imagery, the emotional connection ....” Informasi yang disampaikan iklan seringkali tidak berhubungan dengan produk yang dipasarkan. Yang ditekankan adalah citraan-citraan yang mengemas produk menjadi sesuatu yang tampak lebih bernilai. Dengan demikian suatu produk memiliki makna yang lebih dari sekedar fungsinya saja. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsumen tidak lagi membeli suatu produk karena fungsi yang dimilikinya, tetapi karena keinginan untuk menjadi seperti image atau citra yang digambarkan di dalam iklan. Seperti yang dinyatakan Leach dalam Baran (2009:382), “Consumers no longer buy products but rather lifestyles and the stories, experiences, and emotions product convey.” Kenyataan inilah yang membuat iklan terus memanfaatkan nilai-nilai dan ideologi yang berkembang di masyarakat untuk kemudian dilekatkan pada suatu produk lewat berbagai citraan tanda sebagai siasat untuk membuat produk-produk tersebut laku terjual. Pergeseran prinsip ekonomi dari era Marxis ke neo-Marxis menjadi hal yang ikut melatarbelakangi kecenderungan iklan untuk memanipulasi khalayak lewat berbagai citraan yang ditampilkannya. Karena dalam pandangan mahzab neo-Marxis, perolehan keuntungan ekonomi tidak lagi ditentukan oleh komoditas sebagaimana dipercaya oleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
mahzab Marxis melainkan oleh doktrinasi ideologi. Iklan komersial sebagai salah satu bagian dari industri budaya merupakan instrumen penting bagi para pemilik modal untuk menanamkan nilai-nilai ideologi dalam rangka menghasilkan profit. Inilah yang menyebabkan iklan komersial kemudian tidak lagi menawarkan nilai guna atau fungsi sebenarnya dari produk yang diiklankan, melainkan membombardir khalayak sebagai target konsumennya dengan nilai-nilai dan citraan kapitalistik yang mendorong konsumerisme massal (Hoed, 2014; Kasiyan, 2008). Pada perkembangannya, pengiklan juga memanfaatkan sistem nilai dan ideologi yang dipercaya masyarakat kebanyakan semata-mata agar komoditas yang diiklankan meraup lebih banyak konsumen. Pihak mayoritas dianggap memiliki kekuatan untuk mempengaruhi selera pasar yang pada akhirnya akan menguntungkan para pemilik modal. Pemanfaatan nilai-nilai dan ideologi kelompok mayoritas dalam iklan ini umumnya mengesampingkan segi moral dan humanisme, karena hanya berorientasi pada profit semata. Akibatnya, sistem nilai dan ideologi yang dibangun oleh iklan seringkali banal, destruktif dan memarjinalkan kaum minoritas. Salah satu ideologi destruktif yang ditampilkan dalam iklan adalah ideologi gender. Gender sebagai konsep perbedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya merupakan hasil konstruksi sosial (Kasiyan, 2008), seringkali direkonstruksi dalam iklan sehingga tampak seolah natural dan apolitis. Padahal pada kenyataanya ideologi gender kerap dimainkan dalam iklan untuk kepentingan ekonomi yang lebih cenderung menguntungkan para kapitalis. Dalam iklan, perempuan seringkali menempati posisi marjinal hanya terbatas pada fungsi seksual, estetik atau pun reproduktifnya saja. Berbeda dengan laki-laki yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
umumnya dalam iklan melakoni berbagai peran yang sifatrnya dominan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh produksi media didominasi oleh laki-laki alihalih perempuan yang menurut Piliang (2010) lebih mendominasi wilayah konsumsi media, tetapi juga karena perempuan dan segala aspek yang dimilikinya merupakan bagian penting dari ekonomi politik kapitalisme. Perempuan menjadi komoditas kapitalisme di mana tubuh, hasrat, seksualitas dan hampir seluruh aspek yang dimiliknya dapat dieksploitasi menjadi hal yang dapat „dijual,‟ salah satunya adalah melalui sistem tanda (Piliang, 2010). Berbagai citraan perempuan yang digunakan sebagai „alat jualan‟ iklan ini akhirnya membentuk stereotip femininitas yang dipercaya sebagai sifat alami (natural) perempuan alih-alih bentukan sosial, atau apa yang dalam istilah Barthes disebut mitos. Mitos-mitos femininitas dalam iklan ini bukan hanya mendukung budaya patriarki, tetapi juga dimanfaatkan para kapitalis untuk tujuantujuan ekonomi. Lewat mitos ini pengiklan dapat memanipulasi konsumen, membuat produk-produk-nya tampak sebagai kebutuhan yang hakiki tanpa menyadari ideologi kapitalistik yang tersembunyi di balik mitos-mitos tersebut. Mitos-mitos ini juga dapat tersebarluas tanpa batasan ruang dan waktu berkat facebook sebagai medium baru penyampai pesan yang efektif. Isu gender, khususnya femininitas, sendiri telah dibahas dalam sejumlah penelitian. Pada penelitian Kasiyan (2008) misalnya, kajian iklan yang ditelaahnya telah menunjukkan bagaimana iklan berhasil membangun ideologi gender yang „salah‟ dengan menciptakan stereotip gambaran peran perempuan sebagai makhluk yang hanya menempati wilayah domestik dan reproduktif atau pun hanya sebagai objek seksual. Iklan, dalam penelitian Kasiyan terbukti telah menjadikan konstruksi gender yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
cenderung memarjinalkan dan mendehumanisasi perempuan seolah sebagai sesuatu yang normatif dan wajar. Hingga saat ini, konstruksi dan rekonstruksi ideologi gender masih banyak ditemukan dalam iklan media massa. Sistem tanda seringkali digunakan dalam iklan untuk mengkonstruksi dan merekonstruksi sistem nilai dan ideologi dalam rangka menciptakan makna yang sesuai dengan tujuan dan kepentingan si pembuat iklan, khususnya kepentingan ekonomi kapitalis. Dalam iklan perempuan kerap dicitrakan sebagai makhluk lemah lembut, menarik, keibuan, pasif dan berbagai karakteristik inferior lainnya (Benbow-Buitenhuis, 2014; Courtney & Whipple, 1985; First, 1998; Goodall, 2012; Jacobs & Tyree, 2013; Kasiyan, 2008; Knight & Giuliano, 2001; Myers, 1986/2012; Plakoyiannaki & Zotos, 2008; Prabasmoro, 2003; Wieczorkoswa, 2012). Berbagai stereotip citraan perempuan dalam iklan semakin mengokohkan mitos bahwa nilai-nilai yang dimiliki perempuan hanyalah sebatas pada daya tarik fisik, peran domestik, atau pun fungsi reproduksinya saja. Mitos femininitas ini pun pada akhirnya mengarah pada praktek konsumsi berbagai jenis produk yang lagi-lagi menguntungkan para pemilik modal. Dengan kata lain, mitos-mitos femininitas yang terus diproduksi dan direproduksi oleh iklan ini telah membuat perempuan terpaksa atau dipaksa untuk terus mengkonsumsi bebagai jenis produk semata-mata agar dapat memenuhi femininitas mereka atau menjadi „feminin‟ sesuai dengan yang dicitrakan iklan (BenbowBuitenhuis, 2014; Chia-Lan, 2003, Friedan, 1979). Sehingga perempuan tanpa sadar terus mendefinisikan dirinya sesuai dengan citraan perempuan yang ditampilkan di dalam iklan dan menjadi „buta‟ akan penindasan yang dialaminya sendiri.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
Selain memanfaatkan femininitas perempuan, iklan juga telah memperluas praktek doktrinasi dan manipulasi ideologi gender ini dengan memanfaatkan aspek perempuan yang lain yaitu fungsi reproduksi. Fungsi reproduksi telah menjadi „lahan basah‟ para penguasa ekonomi atau pemilik modal, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan fungsi reproduksi perempuan seperti mengandung, melahirkan dan menyusui tidak luput dari praktek komodifikasi. Namun demikian, untuk membuat perempuan tidak sadar bahwa dirinya dimanfaatkan bahkan dieksploitasi dalam proyek komoditas yang hanya mementingkan pihak pemegang modal semata ini, maka proses komodifikasi ini disamarkan lewat serangkaian mitos peran reproduksi. Mitos-mitos peran reproduksi ini kemudian menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu bagi kaum perempuan yang makin menyuburkan industri kapitalis. Sehingga secara tidak sadar perempuan dituntut untuk terus mengkonsumsi. Akibatnya, perempuan menjadi konsumen pasif dan pragmatis yang tunduk terhadap realitas palsu yang ditawarkan oleh iklan media massa. Perempuan juga kemudian terjebak dalam kesadaran palsu yang membuat mereka tidak berkeinginan atau enggan melakukan perlawanan atas berbagai bentuk subordinasi dan marjinalisasi atas citra dirinya. Terlebih lagi dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, praktek komodifikasi, terutama melalui berbagai macam iklan komersial, menjadi semakin terfasilitasi. Kemunculan sejumlah media baru telah membuat para pemilik modal semakin leluasa untuk menyebarluaskan berbagai ideologi yang sejalan dengan kepentingan ekonomi mereka dan memasarkan produk-produk mereka. Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga semakin memperkokoh eksistensi kapitalisme. Perempuan semakin terpapar citraan yang salah akan dirinya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
dengan manipulasi ideologi yang semakin marak di dunia virtual. Berdasarkan latar belakang inilah kajian semiotik diperlukan untuk membongkar makna yang tersembunyi di balik iklan yang menggunakan ideologi gender sebagai sistem tandanya. Sebagaimana dipercaya kajian semiotik bahwa selalu ada „sesuatu yang lain‟ di balik suatu fakta (Hoed, 2014). Realitas yang ditampilkan media, khususnya media massa, selalu politis di mana sistem tandanya digunakan untuk mencapai „sesuatu yang lain‟ dalam rangka memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu (Kyong Kim dalam Griffin, 2006). Sementara semiotika yang dianggap sangat sesuai untuk membongkar mitos-mitos terkait ideologi gender ini adalah semiotika Roland Barthes karena Barthes juga mempercayai bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari bukanlah sesuatu yang wajar atau natural melainkan hasil konstruksi pihak-pihak dominan dalam kebudayaan yang kemudian berubah menjadi „mitos‟ (Hoed, 2014; Sunardi, 2002). Teori mitos Barthes sendiri dikenal dengan tujuan utamanya untuk membongkar tanda-tanda dalam kebudayaan yang tampak natural (Thody, 1999), padahal merupakan hasil mistifikasi1 pihak dominan, yang sejalan dengan tujuan dari penelitian ini. Melalui pendekatan semiotik, penelitian ini diharapkan dapat membongkar dan mengungkap realitas palsu yang dibangun iklan melalui sistem tandanya dalam rangka memenuhi kepentingan para pemilik modal (kaum kapitalis) sekaligus menyadarkan khalayak atau dalam istilah media digital users atas ketidakadilan gender yang ditampilkan dalam iklan dengan cara melihat realitas dari kacamata pihak-pihak pembentuknya (Griffin, 2006). Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sebuah 1
Mistifikasi adalah istilah yang digunakan oleh Roland Barthes untuk menjelaskan proses mengaburkan nilai historis sesuatu dan membuatnya tampak natural/ kodrat (Sunardi, 2004 dan Hoed, 2014). Penjelasan lebih lanjut perihal mistifikasi dapat ditemukan pada Bab II.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
praktek pergerakan perempuan yang menurut Brunsdon dalam Hollows (2010) mencoba untuk menentang ideologi gender sebagai sesuatu yang seolah-olah kodrati, namun pada kenyataannya konstruksi budaya kapitalis.
1.2
Rumusan dan Identifikasi Masalah Aspek, peran, perilaku dan karakter perempuan dikonstruksi dan direkonstruksi
dalam iklan lewat citraan femininitas yang sesuai dengan budaya dan kepentingan kaum kapitalis. Untuk membuatnya tampak natural, gambaran femininitas ini di-mistifikasi sebagai kodrat yang harus dijalankan perempuan sehingga khalayak, khususnya perempuan, terdorong untuk mengidentifikasikan dirinya dengan citra yang digambarkan di dalam iklan tersebut dengan membeli produk-produk yang diiklankannya. Iklan melakukan „pencucian otak‟ melalui proses mistifikasi ideologi gender yang membuat khalayak tidak menyadari realitas palsu yang disajikan iklan untuk kepentingan kaum kapitalis atau para pemilik modal semata. Mistifikasi yang dilakukan para produsen iklan ini bukan hanya telah mendoktrinasi dan memanipulasi khalayak (khususnya perempuan) dengan mitos-mitos terkait gender yang destruktif, tetapi juga semakin melegitimasi mitos ini menjadi ideologi yang dipercaya dan mengikat masyarakat dalam kehidupan nyata. Dengan mistifikasi gender ini, para produsen iklan dapat dengan mudah merasionalkan praktek komodifikasi dan menciptakan berbagai kebutuhan palsu bagi kaum perempuan. Terlebih lagi dengan kemunculan teknologi media baru yang dianggap sebagai „kendaraan‟ baru iklan untuk menyebarkan ideologi kapitalistik yang semakin melanggengkan praktek komodifikasi di masyarakat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini antara lain adalah: 1) Bagaimana iklan memistifikasi femininitas dan peran reproduksi sehingga tampak seolah natural alih-alih hasil konstruksi sosial. 2) Bagaimana mitos-mitos femininitas dan peran reproduksi ini dikomodifikasi semata-mata untuk tujuan-tujuan ekonomi kapitalis.
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Seperti juga penelitian kritis lainnya, penelitian ini bermaksud untuk menyingkap
dominasi dan ketidakadilan sekaligus memberikan kesadaran atas susunan kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi dari suatu fenomena, dalam hal ini terkait komunikasi (khususnya media). Sebagaimana dinyatakan Lincoln et.al dalam Denzin dan Lincoln (2011) bahwa penelitian kritis, khususnya terkait gender bermaksud untuk membongkar susunan kekuasaan sosial dalam rangka mengungkap kebenaran yang berkaitan dengan usaha-usaha perjuangan sosial dalam mewujudkan keadilan atau kesetaraan. Sementara penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu: 1) Menyingkap mitos-mitos terkait ideologi gender di balik pesan iklan yang sebenarnya merupakan hasil konstruksi para produsen iklan dalam rangka mencapai tujuan-tujan ekonominya, sehingga terungkap bahwa ideologi gender yang ditampilkan media sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bersifat alami melainkan konstruksi budaya kapitalis. 2) Penelitian ini juga bertujuan untuk menyingkap peran kapitalisme dalam mengkomodifikasi mitos-mitos femininitas dan peran reproduksi perempuan semata-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
mata untuk memperoleh nilai surplus ekonomi dan mendorong konsumerisme.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat mengubah ketidakadilan yang diakibatkan oleh dominasi pihak „yang berkuasa‟ (dalam hal ini kaum kapitalis) dengan mengungkap opresi, diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan dalam iklan media sosial melalui ideologi gender. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan dapat membuat audiens iklan, terutama perempuan, menyadari realitas palsu yang ditanamkan iklan sebagai agen sosial pembentuk ideologi dan kepercayaan dalam suatu kebudayaan atas praktek komodifikasi yang dilakukannya dengan memanfaatkan aspek nilai, fungsi, dan fisik yang dimiliki perempuan semata-mata untuk kepentingan ekonomi belaka. Melalui kesadaran ini khalayak/ users, khususnya perempuan, diharapkan dapat lebih aktif dan kritis dalam menerima realitas yang ditampilkan iklan. Penelitian ini juga dapat memberikan masukan kepada industri media dan juga iklan untuk mempertimbangkan lagi produksi isi pesan yang lebih cerdas dan tidak merugikan pihak-pihak tertentu khususnya kaum minoritas. Terlebih lagi dengan keberadaan media baru yang memungkinkan ruang media yang lebih interaktif sehingga posisi khalayak dapat bergeser dari subjek pasif menjadi subjek aktif (Ibrahim & Akhmad, 2014). Sebagaimana dinyatakan Byrely dan Ross dalam Ibrahim dan Akhmad (2014:179), Importantly, the level of interactivity that is enabled by technologies such as the Internet or digital television means that the viewer really can exert influence over how she watches, listens to, and reads popular media: finally, there is a reality to the rhetoric of audience power.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Karenanya, industri media dan periklanan melalui penelitian ini diharapkan dapat mempertimbangkan khalayak, khususnya khalayak perempuan, sebagai khalayak yang aktif. Sehingga lebih memperhatikan lagi konten media terutama yang memarjinalkan pihak-pihak tertentu, khususnya perempuan.
1.4.2 Manfaat Akademis Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian ilmu komunikasi dengan mengaitkannya dengan kajian ilmu sosial lainnya yaitu kajian feminis dan ekonomi-politik media. Karena pada dasarnya ilmu komunikasi sendiri bersifat multi-disiplin. Artinya, ilmu komunikasi memiliki keterkaitan yang erat dengan disiplin ilmu lainnya. Sehingga selanjutnya kajian komunikasi juga dapat diperluas hingga ke ranah kajian sosial lainnya dan menghasilkan objek kajian yang kaya dan beragam, juga bersifat lentur atau fleksibel; meliputi berbagai aspek baik aspek sosial, budaya, ekonomi hingga politik. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu komunikasi khususnya dalam ranah kritis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/