1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lepasnya Provinsi Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999 telah menimbulkan gelombang pengungsian dalam jumlah besar ke wilayah Nusa Tenggara Timur. Menurut UNHCR Global Report 2000 (http://www.unhcr.org/cgibin/texis/vtx/home/opendocPDFViewer.html?docid=3e23eb720&query=timor%20timur %20refugee), jumlah pengungsi asal Timor Timur yang berpindah ke wilayah NTT
setelah jajak pendapat pada September 1999 diperkirakan mencapai 290.000 jiwa. Sementara laporan UNDP (2004) menyebutkan jumlah pengungsi pada tahun 1999 setelah jajak pendapat Timor Timur sebanyak 284.414 orang. Pengungsian tahun 1999 adalah peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari sebuah tindakan dan keputusan politik yang melibatkan banyak pihak termasuk PBB. Dalam kenyataan, tidak semua warga yang mengungsi ke wilayah Indonesia melakukan pengungsian itu atas kemauan sendiri. Banyak dari mereka berangkat ke wilayah Indonesia atas tekanan pihak militer dan aparat kepolisian RI yang dibantu oleh para milisi sipil. Data International Crisis Group (ICG) yang dikutip dalam laporan hasil penelitian LIPI (Wuryandari, ed., 2009: 202),
menyebutkan terdapat empat
kelompok pengungsi dari bekas Provinsi Timor Timur yakni, pertama, kelompok
1
2
milisi yang didukung oleh TNI bersama keluarga dan pendukungnya; kedua, pegawai negeri sipil baik yang merupakan orang asli Timor Timur maupun yang berasal dari luar; ketiga, masyarakat asli Timor Timur yang dipaksa mengungsi oleh aparat militer maupun milisi; keempat, mereka yang secara suka rela mengungsi ke wilayah Indonesia. Kebanyakan warga yang dipaksa mengungsi oleh milisi dan aparat militer Indonesia adalah para pendukung kemerdekaan. Akibatnya ketika berada dalam kamp-kamp pengungsian di Timor Barat, terjadi begitu banyak konflik dan pertikaian yang menelan korban jiwa karena milisi bersenjata melakukan penyisiran terhadap pihak pro kemerdekaan yang berlindung di wilayah Indonesia. Sejak akhir tahun 1999 hingga 2002 United Nations High Comission for Refugees (UNHCR) memfasilitasi pemulangan bertahap terhadap para pengungsi yang memilih meninggalkan Indonesia dan kembali ke Timor Timur. Pada akhir tahun 2002, UNHCR mengeluarkan pernyataan “penghentian status”, yang mengakhiri hak warga Timor Timur yang berada di Indonesia untuk diperlakukan sebagai pengungsi (UNHCR, 2002). Pemerintah Indonesia sendiri telah memutuskan untuk menghentikan program bantuan khusus bagi pengungsi Timor Timur mulai 1 Januari 2002 (http://nasional.tempo.co/read/news/2002/02/27/0553962/pengungsi-timor-timurtuntut-pemerintah-kucurkan-bantuan), disusul dengan penutupan kamp-kamp pengungsian yang telah dihuni sejak tahun 1999 (ICG, 2011). Artinya mereka yang hijrah ke Indonesia pasca jajak pendapat tidak lagi diperlakukan atau
2
3
dianggap sebagai pengungsi, tetapi sebagai warga negara Indonesia dan menjadi warga provinsi dimana mereka berdomisili. Dengan dihilangkannya status pengungsi maka pemerintah pusat tidak akan lagi memberi bantuan keuangan khusus kepada para eks pengungsi ini, dan masalah kesejahteraan mereka diserahkan kepada pemerintah provinsi. Meski pemerintah provinsi telah menerapkan kebijakan relokasi terhadap para pengungsi dan menutup kamp-kamp pengungsian, banyak pengungsi yang memilih kembali tinggal di kamp-kamp pengungsian itu. Hal ini dilatari oleh pola interaksi yang berjalan kurang seimbang antara warga eks pengungsi (warga baru) dengan warga lokal (warga lama). Warga lama cenderung melihat warga baru sebagai kelompok yang bertemparamen kasar, kurang berpendidikan, dan suka menuntut macam-macam. Imbasnya warga baru lebih memilih tetap tinggal di kamp pengungsian atau tempat relokasi yang telah ditentukan, dengan lahan mencari nafkah yang serba terbatas. Mereka membangun semacam ghetto dimana mereka hidup dan cenderung menutup diri terhadap pergaulan dengan masyarakat sekitar (ICG, 2011) (UNDP, 2004). Pola relasi macam ini mengakibatkan beberapa kali terjadi gesekan yang menimbulkan konflik. Insiden-insiden yang bermula dari perkara kecil bisa memanas dalam waktu cepat. Pada Maret 2010, misalnya, sekitar 300 warga kamp pengungsian menyerang rumah-rumah warga lokal dan membakar empat rumah, sebuah mobil dan dua sepeda motor, serta mencuri sejumlah besar uang warga lokal, setelah seorang anggota komunitas Timor Timur hilang di Camplong.
3
4
Dalam sebuah contoh kasus lain, seorang warga kamp pengungsian yang katanya dipukul seorang warga lokal yang lewat naik sepeda motor, memobilisasi temanteman dan keluarganya untuk memblokir lalu lintas setempat dan merusak beberapa rumah (ICG, 2011). Pemerintah sendiri terkesan kurang adil dalam memperlakukan warga baru. Hal ini terlihat, misalnya dari alokasi bantuan perumahan murah dari Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) pada 2012 yang sebenarnya ditujukan kepada semua warga tanpa pembedaan warga baru atau warga lama (http://sp.beritasatu.com/home/pemda-diminta-tuntaskan-pembangunan-rumahpengungsi-eks-tim-tim/23328), tetapi dalam kenyataan pemerintah daerah lebih mengutamakan warga lama. Akibatnya muncul protes dari warga baru (http://regional.kompas.com/read/2013/05/09/16592825/Bantuan.Diduga.Dikorup si.Warga.Ancam.Lapor.KPK) dan Kemenpera harus mengalokasikan lagi bantuan serupa yang dikhususkan bagi para warga baru. Perlakuan tidak adil dari pemerintah daerah dan konflik sosial yang timbul dalam interaksi antar warga menyebabkan tidak sedikit warga baru yang ingin kembali ke Timor Leste. Ada perasaan enggan untuk tetap bertahan di Indonesia karena keberadaan mereka yang terkesan tidak diakui atau tidak diterima dengan sepenuh hati oleh pemerintah daerah dan warga lokal. Mereka seakan hidup dengan identitas ganda, dimana mereka secara resmi adalah warga negara Indonesia, tetapi dalam banyak aspek terutama aspek kultural dan kebangsaan mereka lebih melihat diri sebagai bagian dari Timor Leste.
4
5
1.2 Rumusan Masalah 1. Sebagai korban proses politik bagaimana warga eks Provinsi Timor Timur melihat diri dan menjelaskan identitas diri/kelompoknya dalam status sebagai warga negara Indonesia, terkait dengan label pengungsi, eks-pengungsi dan warga baru, dan apa saja respon yang diberikan atas label-label tersebut? 2. Bagaimana pola-pola relasi kuasa terbentuk dan dipraktikkan dalam keseharian antara warga baru dengan warga lokal, dan apa saja strategi negosiasi yang dimainkan warga baru dalam menghadapi praktik kuasa itu? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai lewat penelitian ini antara lain: 1. Mencermati dan menganalisis secara kritis pemahaman warga eks Provinsi Timor Timur atas identitas yang dilekatkan negara kepada mereka lewat penggunaan terminologi pengungsi, eks pengungsi dan warga baru. 2. Melihat konsekuensi-konsekuensi logis yang dihadapi warga bekas Provinsi Timor Timur terkait dengan label-label yang disematkan atas diri mereka. 3. Membongkar pola-pola relasi kuasa yang terbentuk dan dipraktikkan dalam keseharian antara warga baru dengan warga lokal serta strategistrategi negosiasi yang dimainkan warga baru dalam menghadapi praktik kuasa tersebut.
5
6
1.4 Manfaat Penelitian Sebagai sebuah karya akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberi pemahaman yang lebih kritis mengenai gambaran diri yang terbentuk dalam benak warga bekas Provinsi Timor Timur berdasarkan label-label yang pernah dilekatkan atas diri mereka. Gambaran diri ini memberikan implikasiimplikasi tertentu yang juga muncul dalam interaksi antara kelompok warga bekas Provinsi Timor Timur dengan warga lokal di wilayah NTT. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk membongkar pola-pola relasi kuasa yang secara sadar atau tidak sadar terbentuk dalam jaringan relasi tersebut. Lebih jauh, penelitian ini diharapkan mampu melihat juga ruang-ruang negosiasi baru agar pola-pola relasi kuasa tersebut dapat menjadi lebih seimbang.
1.5 Tinjauan Pustaka Setelah lebih dari 15 tahun, eksistensi warga bekas Provinsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur terutama di kabupaten-kabupaten dalam wilayah Timor Barat tetap menjadi persoalan yang tidak pernah tuntas diselesaikan. Beberapa penelitian pernah dilakukan berkaitan dengan persoalan status kewarganegaraan dan pengakuan negara yang dianggap tidak sepenuh hati menerima kehadiran warga bekas provinsinya sendiri, masalah implementasi kebijakan relokasi, pola pergaulan antara warga bekas Provinsi Timor Timur dengan warga asli, strategi bertahan hidup (survival) di kamp-kamp pengungsian, hingga masalah gangguan keamanan di wilayah perbatasan.
6
7
1.5.1 Status Kewarganegaraan: Identitas yang Kabur Kebijakan pertama yang diterapkan pemerintah dalam menyelesaikan masalah warga bekas Provinsi Timor Timur ialah repatriasi, yakni memulangkan sebanyak mungkin warga bekas Provinsi Timor Timur yang ingin menjadi warga negara Timor Leste. Temuan dalam hasil penelitian Alfridus S. D. Dari yang berjudul “Perjuangan Kewarganegaraan Warga Eks Timor Timur di Atambua Kabupaten Belu” (Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012) menunjukkan bahwa kebijakan ini diambil karena pemerintah Indonesia sudah kewalahan menangani warga eks Timor Timur yang sebagian besar datang ke Indonesia di bawah paksaan pihak militer dan milisi pro Indonesia. Masalahnya kemudian terletak pada status kewarganegaraan warga eks Timor Timur yang memilih untuk bertahan dan setia kepada Republik Indonesia. Secara legal formal mereka adalah warga negara Indonesia tetapi secara riil pengakuan atas hak-hak mereka sebagai warga negara lebih banyak terabaikan, bahkan terkesan dikaburkan oleh pemerintah. Kenyataan ini terlihat dari perlakuan tidak adil yang mereka peroleh terkait dengan akses kepada pelayanan publik oleh negara yang lebih fokus memperhatikan warga lokal. Pada sisi lain, partisipasi warga eks Timor Timur dalam urusan-urusan publik pun dikesampingkan seolah mereka tidak perlu dan tidak harus terlibat dalam urusan-urusan publik, termasuk pengambilan keputusan dalam rapat-rapat bersama mulai tingkat RT/RW, desa/kelurahan, kecamatan hingga kabupaten. Ironisnya hal ini terjadi ketika negara telah merumuskan ulang sebutan yang dipakai terhadap warga eks Timor Timur yakni warga baru.
7
8
Penggunaan terminologi “warga baru” ini pun cukup problematis, sebab di dalamnya terkandung pengertian seolah-olah mereka yang disebut “warga baru” sebelumnya bukan warga negara Indonesia. Ini tentu bertentangan dengan kenyataan bahwa sebelumnya mereka adalah warga negara Indonesia dari salah satu provinsi yang kemudian melepaskan diri dari negara ini. Menurut temuan Dari, ada tiga hal yang mendorong pemerintah menggunakan terminologi “warga baru”, yakni: pertama, sebutan warga baru dianggap lebih tepat dibanding sebutan pengungsi atau eks pengungsi, sebab mereka tidak lagi mendapat perlakuan istimewa berupa bantuan dari pemerintah dan dari lembaga-lembaga internasional. Kedua, terminologi ini dipakai demi menghilangkan kesenjangan sosial yang tercipta antara warga lokal dengan warga bekas Provinsi Timor Timur. Ketiga, pemerintah menggunakan terminologi ini atas desakan warga bekas Provinsi Timor Timur yang tidak ingin disebut pengungsi. Meski demikian, kajian dalam penelitian Dari belum mengungkapkan lebih jauh implikasi-implikasi yang timbul dari perubahan label pemberian pemerintah ini. Sebab dalam kenyataan penggunaan terminologi ini hampir tidak mengubah apapun, terutama stereotip yang telah tertanam dalam kepala warga lokal mengenai warga baru. Selain itu, penggunaan terminologi ini hanya melanjutkan dikotomi yang telah tercipta sebagaimana terlihat dalam penggunaan istilah-istilah sebelumnya yakni pengungsi dan eks pengungsi. Artinya pemerintah tetap menciptakan pembeda berupa istilah yang dioperasikan sebagai alat identifikasi atas individu-individu yang ada dalam masyarakat.
8
9
Salah satu persoalan besar akibat terus dipeliharanya dikotomi di atas ialah perlakuan tidak adil yang dirasakan warga baru ketika mengikuti rekruitmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dari temuan tim peneliti LIPI (Wuryandari, ed., 2009) terungkap keluhan akan adanya perlakuan tidak adil ini dengan alasan tidak jelasnya status kewarganegaraan. Hal ini tentu berhubungan pula dengan penerapan otonomi daerah dimana dalam seleksi CPNS yang diprioritaskan ialah putera-putera daerah. Dengan demikian terlihat bahwa pemerintah dan warga lokal belum sepenuhnya menerima dan mengakui keberadaan, hak dan kedudukan warga baru sebagai warga negara Indonesia. Warga baru tetap dilihat sebagai pendatang yang belum tentu akan menetap dalam jangka waktu lama, sehingga cukup riskan bila diberi pekerjaan tetap sebagai abdi negara.
1.5.2 Kebijakan Relokasi: Upaya Mengatasi Masalah Minim Solusi Kebijakan merelokasi warga bekas Provinsi Timor Timur dari kampkamp pengungsian ke tempat-tempat hunian baru yang disediakan pemerintah terbukti tidak cukup efektif dalam menyelesaikan masalah. Alih-alih mendorong terciptanya pola pergaulan yang lebih seimbang antara warga lokal dan warga eks pengungsi, kebijakan ini justru menciptakan sekat dan jurang pemisah yang baru. Hal ini terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan Ferdynandus Rame dengan judul “Implementasi Kebijakan Resettlement Terhadap Warga Masyarakat Pengungsi Timor Timur di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur” (Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006). Kebijakan relokasi dianggap tidak efektif sebab lokasi-lokasi
9
10
hunian baru itu tidak dilengkapi sarana air bersih, listrik, dan akses jalan yang memadai. Selain itu lahan yang dipakai untuk relokasi adalah lahan milik warga lokal, sehingga para penghuni relokasi tidak punya keleluasaan untuk mengusahakan lahan yang ada untuk bertani atau berkebun, padahal sebagian besar dari mereka adalah petani. Keadaan ini membuat para penghuni tempat relokasi menempuh berbagai cara guna mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Hasil penelitian Theophilus Yanuarto, “Strategi Bertahan Hidup eks-Pengungsi Timor Timur Pasca Penghentian Durable Solutions: Studi di Barak Tuapukan, Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur” (Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta: 2008) dan policy paper yang diterbitkan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta (2014) menggambarkan bagaimana warga baru yang sebagian besar adalah petani harus mempertahankan hidupnya dengan menggarap lahan pertanian milik warga lokal yang menjalankan sistem bagi hasil. Selain itu sebagian warga baru juga menempuh cara yang sama dengan warga lama yakni mencari penghidupan di luar wilayah NTT dengan menjadi tenaga kerja yang dikirim ke daerah-daerah di luar NTT, bahkan ke mancanegara baik melalui jalur legal maupun ilegal. Kebijakan relokasi juga menjadi sebuah strategi yang mempermudah dilakukannya pengawasan, baik oleh pemerintah maupun oleh elit-elit bekas pimpinan milisi terhadap warga penghuni relokasi. Para mantan pimpinan milisi ini memainkan peran khusus dengan terus meyakinkan warga baru bahwa
10
11
penderitaan yang mereka hadapi saat ini dilandasi prinsip kecintaan dan keberanian membela Republik Indonesia. Mereka rutin melakukan pertemuan setiap tiga bulan sekali dengan warga baru penghuni kamp pengungsian maupun penghuni relokasi untuk memantau keadaan para warga baru serentak mendengar keluhan-keluhan yang disampaikan (Wuryandari, ed., 2009: 192). Kehadiran para mantan pimpinan milisi ini tidak lain merupakan representasi kehadiran negara, sebab mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang dibina oleh militer Indonesia pada masa lalu ketika Timor Timur masih menjadi bagian dari Indonesia. Secara eksplisit terlihat bahwa negara tidak pernah berhenti melakukan pengawasan secara terselubung terhadap warga eks Provinsi Timor Timur.
1.5.3 Persoalan Identitas dan Praktik Kuasa Agak berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu penelitian ini difokuskan pada persoalan identitas yang dikonstruksi negara terhadap warga bekas Provinsi Timor Timur yang berada di wilayah NTT. Apa yang ditemukan dalam penelitian-penelitian terdahulu dapat dilihat sebagai bagian, serentak implikasi dari upaya negara dalam menanamkan identitas tertentu atas warga bekas Provinsi Timor Timur. Meski telah menyinggung banyak aspek dari kehadiran dan interaksi warga bekas Provinsi Timor Timur dengan warga lokal, penelitian-penelitian terdahulu belum sampai pada upaya membongkar relasi kuasa yang terbentuk entah secara sadar maupun secara tidak sadar dalam interaksi yang terjadi antara
11
12
dua kelompok masyarakat ini. Karena itu penelitian ini dilakukan untuk melengkapi keterbatasan yang terdapat dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Upaya tersebut dimulai dengan melihat kembali pelabelan yang pernah diberikan kepada kelompok warga bekas Provinsi Timor Timur. Kelompok warga ini adalah korban sebuah proses politik yang memilih meninggalkan tanah airnya dan menetap sebagai warga negara Indonesia di wilayah Provinsi NTT. Kehadiran dan interaksi mereka dengan warga lokal telah memunculkan pola-pola relasi kuasa yang mulai dipraktikkan secara sadar atau tidak sadar oleh berbagai pihak yang terlibat di sana. Paling kurang ada dua pihak yang terlibat dalam persoalan relasi kuasa terkait kehadiran warga baru yakni warga baru sendiri, dan warga lokal. Perlu dipahami bahwa terminologi warga lokal yang digunakan dalam penelitian ini mencakup setiap penduduk dari berbagai etnis dan agama yang sudah lebih dahulu berdiam di Timor Barat, sebelum kedatangan warga baru dari Timor Timur pada tahun 1999. Hal ini penting mengingat wilayah-wilayah di Timor Barat tidak hanya didiami oleh satu etnis tertentu saja, melainkan didiami oleh berbagai kelompok etnis dari berbagai daerah di Indonesia dengan latar belakang agama dan budaya masing-masing. Persoalan relasi dan praktik kuasa yang timbul dari konstruksi identitas warga bekas Provinsi Timor Timur di wilayah NTT serta aneka implikasinya inilah yang menjadi fokus penelitian ini. Selanjutnya akan dilihat juga bagaimana strategi-strategi negosiasi yang dijalankan oleh warga bekas Provinsi Timor
12
13
Timur untuk dapat bertahan terhadap kondisi serba terbatas yang lahir dari relasi kuasa yang mereka hadapi dalam keseharian hidup mereka.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Identitas dan Subjek Identitas sebagaimana ditunjukkan oleh Kathryn Woodward (1997) dibentuk lewat penandaan perbedaan (the marking of difference). Identitas bergantung pada perbedaan yang dimapankan dalam sistem klasifikasi atau penggolongan yang terjadi dalam kelompok sosial. Klasifikasi dibuat berdasarkan prinsip oposisi biner, dimana populasi dibagi menurut berbagai karakteristik yang mereka punyai, sehingga pada akhirnya mereka terpisah dalam setidaknya dua kelompok yang saling berlawanan. Kehadiran pihak lain menjadi cermin bagi subjek untuk berkaca dan membangun kesadaran serta membentuk identitas dirinya. Sudah ada konstruksi identitas di luar diri subjek yang bisa diterima atau tidak diterima sebagai bagian dari diri. Artinya, identifikasi diri subjek atau kelompok dimulai dalam perjumpaan dengan subjek atau kelompok lain yang berbeda dalam dunia sosial yang dimasuki subjek atau kelompok tertentu itu.
1.6.2 Subjek dan Identitas Sosial Keterkaitan antara subjek dengan dunia sosial dalam pembentukan identitas ini memunculkan dua jenis identitas menurut Stuart Hall yakni, pertama identitas yang berasal dari diri subjek sendiri, kedua adalah identitas yang
13
14
didapatkan dari pandangan orang lain tentang diri sang subjek. Ketidakterpisahan ini dikarenakan diri-subjek hadir ke dalam dunia yang telah ada mendahului eksistensi sang subjek. Dunia sosial yang telah lebih dahulu ada memaksa subjek untuk mesti melakukan penyesuaian-penyesuaian, yang dapat dipahami sebagai sebuah proses sosialisasi atau akulturalisasi (Barker, 2000), yang sebagian besarnya diperantarai oleh bahasa. Pada titik ini identitas menjadi sesuatu yang sepenuhnya sosial dan kultural. Barker (2000) menyajikan dua alasan untuk pernyataan ini. Pertama, tuntunan menyangkut bagaimana seharusnya menjadi seseorang merupakan pertanyaan kultural yang berasal dari lingkungan sosial dimana subjek berada. Kedua, proyek identitas dikerjakan dengan mengambil sumber daya yang berasal dari dunia sosial yakni bahasa dan praktik-praktik sosial. Dalam kalimat lain, identitas bukan saja soal bagaimana subjek memahami dirinya semata tetapi juga berhubungan dengan pelabelan sosial yang diterimanya dari dunia dimana ia berada.
1.6.3 Dunia Sosial dan Konstruksi Identitas Bahasa dan praktik sosial sebagai perangkat yang turut menentukan pemahaman identitas subjek menunjukkan bahwa identitas sosial merupakan sesuatu yang dikonstruksi di luar diri subjek, serentak menuntut subjek untuk menyesuaikan diri dengan konstruksi tersebut. Konstruksi sosial atas identitas dimaksudkan untuk melanggengkan tatanan yang berlaku dalam dunia sosial. Konstruksi identitas dalam dunia sosial ini dilandasi oleh sistem klasifikasi atau
14
15
penggolongan
berdasarkan
perbedaan-perbedaan
sebagaimana
disinggung
sebelumnya. Namun demikian perbedaan-perbedaan ini hanya akan dipahami bila ada konsep tentang persamaan-persamaan sebagai pasangan oposisinya. Klasifikasi
sosial
berdasarkan
persamaan
dan
perbedaan
akan
mewujudkan pemahaman akan identifikasi diri subjek sebagai bagian atau bukan bagian dari kelompok tertentu, orang dalam (insider) atau orang luar (outsider). Persamaan dan perbedaan menentukan sistem-sistem makna yang dibangun dan dihayati bersama (shared meaning system) yang disebut budaya (Woodward, 1997). Budaya menyediakan alat yang digunakan untuk membuat dunia sosial menjadi dipahami serentak alat bagi konstruksi sejumlah makna. Hal ini dapat dilihat dalam sistem-sistem sosial seperti agama yang mengenal ritus-ritus yang di dalamnya para pemeluknya mengidentifikasi diri sebagai bagian atau bukan bagian dari agama bersangkutan. Ini berarti dunia sosial menciptakan kategorikategori yang digunakan oleh subjek untuk memahami diri dan dunianya.
1.6.4 Pengungsi dan Pelabelan Zetter (2007) dalam kajiannya tentang proses pelabelan atas para pengungsi di Siprus dan Yunani mengemukakan bahwa pelabelan adalah sebuah proses penyebutan, yang mengandung maksud menghakimi dan membedakan. Pelabelan berlangsung sebagai sesuatu yang biasa dan terjadi di mana-mana, termasuk dalam aktivitas birokrasi. Pada tahap ini, kekuasaan ditampilkan melalui prosedur dan praktik administratif.
15
16
Lebih lanjut menurut Zetter (2007), identitas tidak saja dibentuk tetapi juga diubah lewat aksi birokrasi. Temuan ini paling tidak sesuai dengan apa yang terjadi lewat proses labelisasi terhadap warga bekas Provinsi Timor Timur yang mengalami perubahan sebutan oleh pemerintah. Label yang dilekatkan pemerintah atas diri mereka terus berubah, seiring berjalannya waktu. Penggunaan dan pelepasan sebuah status selalu dilakukan atas inisiatif pemerintah dan disosialisasikan secara luas lewat media massa dan aparat-aparat pemerintah serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang terlibat dalam mengurus para pengungsi.
1.6.5 Identitas Sebagai Alat Kontrol Konstruksi identitas yang terus diubah oleh negara atas warga bekas Provinsi Timor Timur dapat dilihat sebagai sebuah upaya kontrol yang dibangun negara lewat kekuatan bahasa. Negara hadir sebagai aktor yang melakukan pengawasan atas diri warganya dengan menciptakan kategori, juga dengan memberi label tertentu. Dengan demikian, negara bukan saja menunjukkan kekuasaannya tetapi juga menjalankan fungsi pengawasannya. Sejalan dengan itu, selain diberi label, kelompok warga bersangkutan juga ditempatkan dalam lokasi-lokasi khusus yang memungkinkan negara melakukan kontrol secara lebih mudah. Hal ini dapat dibandingkan dengan konsep Michel Foucault tentang penjara sebagai sebuah institusi untuk mendisiplinkan
masyarakat.
Kamp-kamp
pengungsian
serta
lokasi-lokasi
resetlemen ibarat penjara yang digunakan negara untuk mendisiplinkan
16
17
kelompok-kelompok warga bekas Provinsi Timor Timur. Dengan pengandaian ini konsep panopticon sebagai sebuah metafora mengenai pengawasan terus menerus aparatus kekuasaan, dapat dijalankan bahkan terus direproduksi (Barker, 2000). Panopticon sebagai sebuah sistem pengawasan yang sempurna terhadap para tahanan pada titik tertentu akan membuat para tahanan merasa perlu mendisiplinkan diri mereka sendiri sebab mereka merasa selalu diawasi tanpa henti oleh aparatus kekuasaan yang tidak benar-benar terlihat. Pemberian label sebagai sebuah upaya pengawasan ini tentu saja akan mempengaruhi kelompok warga yang dilabeli dalam melihat dan menyadari diri dan kehadiran mereka. Penggunaan sebutan tertentu, misalnya pengungsi atau warga baru ditambah faktor-faktor sosial seperti ketiadaan hak atas kepemilikan tanah cepat atau lambat akan membuat warga bekas Provinsi Timor Timur mengakui bahkan mengamini sebutan tersebut. Hal ini senada dengan apa yang dibahas Foucault mengenai kegilaan, dimana orang gila pada tahap tertentu dipaksa untuk objektif pada diri mereka sendiri dan secara objektif mengakui dirinya sebagai orang gila (Ritzer, 2003). Jika dilihat dari konsep Foucault di atas, maka akan nampak bahwa negara melakukan praktik kuasa atas warga bekas Provinsi Timor Timur dengan membuat kategorisasi, memberikan definisi, mengubah sebutan, serta menentukan lokasi-lokasi yang dapat ditempati oleh mereka yang termasuk dalam kategori yang telah ditentukan sebelumnya oleh negara. Bahkan aparatus negara di daerah juga tidak ketinggalan mempraktikkan kekuasaan itu dengan membatasi akses
17
18
terhadap pekerjaan lewat permainan dikotomi warga lama sebagai putra daerah dan warga baru yang adalah warga eks Provinsi Timor Timur. Pengawasan oleh negara juga akan menjadi lebih mudah dilakukan ketika mereka yang menyandang predikat warga baru ditempatkan dalam kamp-kamp pengungsian atau lokasi-lokasi resetlemen, sebab alamat domisili mereka akan tertera dalam kartu identitas yang dikeluarkan negara. Maka itu, tidak mengherankan bahwa aparat-aparat negara di daerah juga dapat dengan mudah melakukan identifikasi dalam proses seleksi calon tenaga kerja, termasuk calon pegawai negeri sipil di daerah.
1.6.6 Pengungsi dan Politik Proyek Praktik kuasa sebagaimana digambarkan sebelumnya menjadi dasar bagi pelaksanaan praktik lain yakni politik proyek, dimana para pengungsi dan kaum miskin pada umumnya dijadikan objek bagi proyek-proyek pembangunan yang mengatasnamakan mereka. Temuan Zetter (2007) menunjukkan bahwa para pengungsi sebagaimana terjadi di Siprus dan Yunani dijadikan komoditi bagi proyek pembangunan rumah di daerah-daerah pinggiran kota (sub urban) dengan fasilitas yang serba terbatas. Menurut Zetter, tindakan negara memberi label pengungsi ini dimaksudkan untuk melegitimasi proses pemisahan dan marjinalisasi pengungsi. Proses marjinalisasi yang dijalankan ini berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak dasar para
pengungsi
meski
mereka sudah menerima
status
kewarganegaraan dari negara tempat mereka mengungsi. Realita yang sama dapat
18
19
ditemukan dalam kasus warga eks Provinsi Timor Timur yang bertahan di wilayah Provinsi NTT. Kelompok masyarakat ini pada level tertentu cenderung dianggap sebagai objek yang dapat dijadikan semacam “komoditi” untuk memperoleh aneka dana bantuan dari pemerintah pusat bagi pemerintah daerah. Sebagai kaum marjinal yang terpinggirkan dari proses pembangunan, kelompok masyarakat ini dapat disejajarkan bahkan berada di bawah kelompokkelompok masyarakat miskin lainnya. Hasil temuan LIPI (Wuryandari, ed., 2009) menunjukkan pengungsi Timor Timur cenderung “diproyekkan” oleh pemerintah yang lebih memilih pendekatan top down dimana kebijakan diambil tanpa melibatkan partisipasi para pengungsi atau tokoh-tokoh yang berpengaruh di kalangan kelompok mesyarakat ini. Selain itu, di tengah mengalirnya aneka bantuan bagi para pengungsi, tingkat kesejahteraan para pejabat daerah cenderung meningkat, sementara kondisi para pengungsi tidak banyak berubah, malah menjadi lebih buruk.
1.6.7 Pengungsi dan Hibriditas Kultural Menurut Homi Bhabha (1994) hibriditas terjadi karena bergabungnya dua jenis kebudayaan yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing jenis, serentak menghilangkan sifat-sifat tertentu yang ada pada keduanya. Lebih jauh menurut Bhabha, hibriditas melahirkan apa yang disebut mimikri, sebuah bentuk peniruan yang dilakukan kaum terjajah terhadap kaum penjajah. Peniruan ini dilakukan
bukan
untuk
menunjukkan
ketergantungan
melainkan
untuk
memperlihatkan bahwa kaum terjajah juga bisa balik menyerang, atau suatu
19
20
bentuk
perlawanan
terhadap
dominasi
kelompok
penjajah.
Mimikri
memperlihatkan hasrat subjek atau kelompok masyarakat untuk menjadi sama dengan subjek atau kelompok lain, tetapi tidak sepenuhnya sama (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Kehadiran warga eks Provinsi Timor Timur di wilayah Timor Barat memungkinkan terjadinya hibriditas kultural terutama dalam berbagai bentuk ekspresi kebudayaan seperti musik, bahasa, hingga kuliner. Namun, mengikuti konsep Bhabha, hibriditas dan mimikri juga berimplikasi terhadap adanya ambivalensi, dimana kedua kelompok ini saling menerima dan mencintai unsurunsur tertentu yang dimiliki kelompok lain, tetapi pada saat yang sama juga membenci unsur-unsur tersebut. Warga eks Provinsi Timor Timur mengakui kecintaannya akan pemerintah Indonesia yang memberi kebebasan atas nama demokrasi kepada mereka pada masa “integrasi” tetapi kenyataan sekarang menunjukkan bahwa kelompok warga ini sangat kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia yang mengabaikan nasib dan keberadaan mereka. Demikian juga dengan warga Timor Barat yang mengklaim diri sebagai warga asli. Meski mereka ingin mempertahankan dominasi atas para warga baru, tetapi mereka tetap merangkul kelompok warga baru ketika berhadapan dengan wacana kemiskinan dan bantuan yang ditawarkan pemerintah.
20
21
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa penelitian lapangan, dimana saya terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pengamatan dan wawancara dengan para nara sumber yang saya jadikan informan dalam penelitian ini.
1.7.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Resettlemen Graha Oetfo, Kecamatan Tasifeto Barat – Kabupaten Belu, Kamp Pengungsi Haliwen – Kecamatan Kota AtambuaKabupaten Belu, dan Kamp Pengungsi Noelbaki, Kecamatan Kupang TengahKabupaten Kupang.
Gambar 1: Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur (sumber: www.jelajahntt.com)
21
22
Gambar 2: Peta Letak Lokasi Penelitian di Timor Barat
Keterangan: Letak Kamp Pengungsi Haliwen Letak Resetlemen Oetfo Letak Kamp Pengungsi Noelbaki
Ada perbedaan karakteristik antara lokasi-lokasi penelitian ini. Dari ketiga lokasi penelitian ini, kamp pengungsi Noelbaki adalah yang letaknya paling jauh dari garis perbatasan RI dan Timor Leste. Kamp ini dibangun di atas lahan milik pemerintah untuk menampung para pengungsi yang diangkut lewat jalur laut dari Timor Timur. Pemerintah membangun hunian berupa barak, yakni bangunan panjang yang memiliki 8-10 bilik untuk dihuni oleh masing-masing kepala keluarga, meski dalam kenyataan satu bilik dihuni lebih dari satu kepala keluarga. Karakteristik lainnya ialah, kamp yang terletak di ujung barat pulau Timor ini dihuni oleh warga yang berasal dari kabupaten-kabupaten di wilayah tengah dan ujung timur pulau Timor. Karena itu hampir tidak ditemukan pertalian hubungan kekerabatan maupun budaya antara warga penghuni kamp dengan warga sekitar yang merupakan campuran orang Dawan-Amarasi, Rote, Sabu, dan Flores. Hal ini tentu saja akan berdampak pada pola pergaulan dan adaptasi yang dilakukan warga penghuni kamp dengan warga lokal di sekitarnya.
22
23
Gambar 3: Barak di kamp Noelbaki (sumber: dokumentasi pribadi)
Gambar 4: Kondisi di dalam barak di kamp Noelbaki (sumber: dokumentasi pribadi)
Kamp pengungsi Haliwen lebih dekat dengan garis perbatasan RI-RDTL. Kebanyakan penghuni kamp ini berasal dari kabupaten-kabupaten di bagian barat bekas Provinsi Timor Timur, yang diangkut lewat jalur darat ketika terjadi eksodus pasca jajak pendapat. Sementara penduduk lokal yang ada di sekitar kamp adalah warga suku Kemak yang sebagian besar berasal dari wilayah Bobonaro di Timor Leste, yang berpindah ke wilayah ini pada tahun 1974-1976. Dengan demikian ada kaitan keluarga dan kultural antara warga penghuni kamp
23
24
yang baru datang pada tahun 1999 dengan mereka yang lebih dahulu datang dan telah dianggap sebagai warga lokal di sekitar kamp. Gambar 5: Rumah warga baru penghuni kamp Haliwen (sumber: dokumentasi pribadi)
Gambar 6: Seorang ibu penghuni kamp Haliwen bersama anaknya (sumber: dokemuntasi pribadi)
Sementara resetlemen Oetfo terletak di Kecamatan Tasifeto Barat, yang berjarak 19 kilometer dari pusat kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Hamparan untuk resetlemen ini diupayakan sendiri oleh warga baru asal Kabupaten Aileu, bekas Provinsi Timor Timur yang melakukan pendekatan dengan masyarakat lokal, dengan dibantu oleh pihak Mercy Indonesia dan Care International.
24
25
Hamparan seluas 54 hektar ini dijadikan lahan hunian bagi 273 kepala keluarga yang terbagi dalam dua dusun, Dusun Baukafena A
dan Dusun
Baukafena B. Meski seluas 54 hektar, lahan yang terpakai baru 12 hektar, sementara 42 hektar sisanya diklaim sebagai milik pribadi Armindo Mariano Soares, salah satu tokoh politik asal Timor Timur yang menjadi anggota DPRD Nusa Tenggara Timur periode 2009-2014.
Gambar 7: Lokasi resetlemen Oetfo (sumber: dokumentasi pribadi)
Gambar 8: Rumah bantuan pemerintah berukuran 5x6 m2 di Oetfo (sumber: dokumentasi pribadi)
25
26
Penelitian ini difokuskan di Dusun Baukafena A yang seluruh penghuninya berasal dari Kabupaten Aileu. Sebelumnya kelompok ini menghuni kamp pengungsian Seon, Desa Mandeu, Kecamatan Raimanus-Belu. Kamp pengungsi Haliwen dan kamp pengungsi Noelbaki menjadi pembanding bagi kondisi resetlemen Oetfo. Ini dilakukan untuk melihat hubungan antara perubahan label yang dilakukan pemerintah dengan kondisi riil dalam keseharian antara penghuni kamp dengan penghuni resetlemen, serta relasi kuasa yang terbentuk dalam dua jenis lingkungan kehidupan ini. Penelitian lapangan dilaksanakan selama satu bulan, yakni dari akhir Februari hingga akhir Maret 2015.
1.7.3 Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah para warga eks Provinsi Timor Timur yang berdomisili di kamp-kamp pengungsi serta lokasi resetlemen di dua kabupaten dalam wilayah Provinsi NTT. Selain itu, warga lokal dalam dua kabupaten ini akan juga dilibatkan sebagai subjek penelitian untuk memperluas gambaran tentang cara pandang warga lokal terhadap kehadiran para warga bekas Provinsi Timor Timur di wilayah mereka.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data Ada tiga teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data di lapangan. Pertama wawancara, dimana pertanyaan yang diberikan kepada informan bersifat terbuka. Hasil wawancara merupakan data primer sehingga informan diharapkan
26
27
dapat memberi gambaran mengenai apa yang mereka pikirkan tentang apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Teknik pengumpulan data yang kedua ialah observasi lapangan untuk melihat kenyataan yang sesungguhnya, terkait label sebagai warga baru yang dikenakan kepada para warga eks Provinsi Timor Timur di wilayah NTT. Observasi
dilakukan
untuk
memperoleh
gambaran
visual
yang
dapat
diperbandingkan dengan hasil wawancara informan. Selain kedua teknik di atas, peneliti juga melakukan studi literatur dengan mengumpulkan dan mempelajari dokumen-dokumen atau data-data tertulis yang relevan dengan permasalahan warga eks Provinsi Timor Timur di wilayah NTT. Peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian untuk mengumpulkan datadata dengan menggunakan tekni-teknik di atas. Di Kabupaten Belu, sebelum terjun langsung ke lokasi penelitian peneliti terlebih dahulu harus memperoleh surat izin dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), kecamatan dan desa/kelurahan setempat. Upaya untuk memperoleh izin dari instansi-instansi pemerintah ini cukup memakan waktu sebab melibatkan aktivitas pelayanan birokrasi yang tidak dengan cepat dilaksanakan. Hal ini berbeda dengan proses penelitian di Kabupaten Kupang dimana peneliti memutuskan untuk langsung terjun ke lokasi penelitian tanpa harus menghabiskan waktu mengurus suat izin dari instansi pemerintah. Dalam rentang waktu satu bulan, peneliti harus membagi waktu untuk terjun ke lokasi penelitian di dua kabupaten yang jaraknya mencapai 280 kilo
27
28
meter. Pendekatan yang dipakai oleh peneliti ialah dengan menyertakan seorang rekan yang cukup fasih berbahasa Tetun Portu, sebutan untuk jenis bahasa yang umum dipakai kalangan warga baru, yakni campuran antara bahasa Tetun dan bahasa Portugal. Meski demikian, sedapat mungkin wawancara diusahakan untuk dilakukan dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, proses wawancara dan keterlibatan peneliti dalam percakapan dengan infroman maupun anggota komunitas warga baru terjadi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Tetun Portu. Ini berpengaruh terhadap proses analisis yang mengharuskan peneliti melakukan penerjemahan hasil wawancara maupun hasil percakapan yang tercatat dalam bahasa Tetun Portu ke bahasa Indonesia. Di setiap lokasi penelitian, yang dominan menjadi informan adalah kaum laki-laki, sementara kaum perempuan lebih banyak menghindar atau memilih untuk membiarkan kaum laki-laki berbicara. Hal ini diamati peneliti ketika melakukan wawancara langsung dari rumah ke rumah, atau di lahan-lahan pertanian tempat warga baru beraktivitas. Wawancara dilakukan dengan terlebih dahulu meminta kesediaan salah seorang anggota komunitas warga baru yang dianggap berpengaruh atau cukup menguasai persoalan warga baru. Selain bahasa, persoalan lain yang cukup berpengaruh dalam penelitian ini ialah kenyataan bahwa para informan yang diwawancarai maupun anggota warga baru yang terlibat dalam percakapan selama penelitian terkesan memilih menghindari perbincangan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dan selama proses jajak pendapat Timor Timur 1999. Faktor rentang waktu yang sudah cukup lama semenjak peristiwa itu terjadi dan pertimbangan bahwa
28
29
kejadian-kejadian itu cukup traumatis membuat peneliti harus membuka kembali literatur-literatur terkait konteks historis yang melatari kehadiran warga baru di wilayah NTT. Kecenderungan ini terlihat di tiga lokasi penelitian yang ditentukan peneliti. Secara umum, penelitian berjalan sesuai rencana, sebab salah satu hal yang menguntungkan peneliti ialah penelitian berlangsung pada musim penghujan dimana mayoritas warga baru berada di kamp atau resetlemen, sehingga memudahkan peneliti melakukan wawancara atau terlibat langsung dalam percakapan dengan mereka. Hal ini akan berbeda bila penelitian berlangsung pada musim kemarau sebab kebanyakan warga baru akan berada jauh dari kamp atau resetlemen untuk menjalankan pekerjaan mereka.
1.7.5 Analisis dan Interpretasi Data Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang dikumpulkan lewat tiga teknik di atas, baik yang berupa wawancara, pengamatan yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, maupun data dari literatur-literatur yang tersedia. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah selanjutnya ialah mengadakan rangkuman untuk memperoleh inti dari keseluruhan data. Upaya berikutnya adalah menyusun inti persoalan yang telah ditemukan ke dalam satuan-satuan. Pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengarahan tenaga fisik dan pikiran. Selain itu dilakukan pendalaman terhadap teori-teori yang dijadikan alat analisa untuk kemudian mengafirmasi teori yang telah ada atau menjustifikasikan teori baru yang mungkin ditemukan.
29
30
1.7.6 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini data yang diperoleh berupa data lisan dan tulisan. Untuk mendapatkan data dibutuhkan alat bantu berupa daftar pertanyaan, recorder (perekam suara) dan kamera digital. Daftar pertanyaan berisi pertanyaan pertanyaan yang digunakan dalam metode wawancara. Recorder digunakan untuk merekam hasil wawancara dengan informan. Hasil rekaman kemudian ditranskripsikan melalui pencatatan sehingga memudahkan proses pengelompokan data. Kamera digital digunakan untuk mengambil gambar yang terkait dengan kondisi riil warga penghuni kamp pengungsi atau resetlemen, juga aktivitas yang mungkin dilakukan oleh aparat negara di sana.
1.7.7 Etika Penelitian Etika penelitian berkaitan dengan hak informan untuk mendapatkan kenyamanan, privasi dan kerahasiaan. Karena itu, nama para informan dalam kutipan wawancara disamarkan oleh peneliti sehingga privasi dan kenyamanan mereka tetap terjaga.
1.8 Sistematika Penulisan Tesis Tesis ini terdiri atas lima bab, dimana bab I menguraikan latar belakang penelitian yakni persoalan warga bekas Provinsi Timor Timur di wilayah NTT, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan landasan teori, serta uraian mengenai lokasi, waktu dan metode penelitian. Selanjutnya
30
31
dalam bab II akan tersaji konteks historis yang melatari terjadinya pemindahan warga Timor Timur ke wilayah Timor Barat, yang diawali dengan keputusan pemerintah Indonesia mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor Timur, proses dan pelaksanaan jajak pendapat, serta persoalan sosial politik yang timbul setelah pelaksanaan jajak pendapat. Bab III berisi pembahasan tentang persoalan identitas yang dihadapi kelompok masyarakat Timor Timur yang memilih bertahan di kamp pengungsian atau lokasi resetlemen dan menjadi warga negara Indonesia. Kelompok masyarakat ini diberi identitas oleh pemerintah dalam bentuk istilah pengungsi, eks pengungsi dan warga baru, untuk membedakan mereka dari kelompok warga lokal. Bahasan ini berlanjut ke bab IV dimana identitas yang terbentuk melahirkan pola-pola relasi kuasa serta bagaimana praktik kekuasaan itu berlangsung dalam interaksi antara warga baru dengan warga lokal, yang membuat warga baru melakukan strategi negosiasi demi mengimbangi praktik kuasa yang dilakukan warga lokal. Bab V sebagai bab terakhir berisi kesimpulan dan rekomendasi.
31