BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sesuatu yang khas dimiliki oleh manusia. Manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang menggunakan media berupa simbol kebahasaan dalam memberi arti dan mengisi kehidupan. Keberadaan manusia sebagai makhluk berpikir karena tanpa adanya simbol, manusia tidak akan mampu melangsungkan kegiatan berpikirnya. Simbol juga memungkinkan manusia bukan hanya untuk sekadar berpikir, melainkan juga mengadakan kontak dengan realitas kehidupan di luar diri serta mengabdikan hasil berpikir dan kontak itu kepada dunia. Simbol sangat penting bagi kehidupan manusia. Hanya dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi. Dalam setiap bidang hidup manusia, uangkapan simbolis merupakan jalan menuju kebebasan yang berdaya cipta (Cassirer 1987:10). Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti dikatakan Susanne K. Langer (dalam Sobur, 2004:164) adalah kebutuhan simbolis atau penggunaan lambang. Salah satu sifat dasar manusia adalah kemampuan menggunakan simbol (Wieman dan Walter dalam Sobur, 2004:164). Hidup senantiasa digerakkan oleh simbolsimbol dan dirayakan dengan simbol-simbol. Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Secara etimologis, simbol berasal dari bahasa Yunani, yaitu symballein yang berarti ‘ melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide’ (Hartoko dan B. Rahmanto, 1998:133). Simbol bersifat mewakili sesuatu yang lain. Simbol sering diistilahkan sebagai lambang. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lain berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama (Sobur, 2004:157)
Universitas Sumatera Utara
Poerwadarminta (1989:490) mengatakan bahwa simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih merupakan simbol kesucian. A.N. Whitehead (dalam Dilistone, 2001:18) mengatakan bahwa simbol berfungsi apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen terdahulu adalah simbol-simbol dan perangkat komponen demikian membentuk makna simbolik. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan simbol kepada makna itu akan disebut referensi. Konsep Peirce (Sobur, 2004:156) tentang simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol dengan sesuatu ditandakan dengan sifatnya yang konvensional. Berdasarkan konvensi itu juga masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan maknanya. Pendapat Saussure (dalam Sobur, 2004:46) tentang simbol adalah jenis tanda yang mempunyai hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer. Seperti simbol tato sebagai penanda yang merupakan aspek material, yaitu bunyi atau coretan yang bermakna. Sedangkan petanda adalah aspek mental yaitu gambaran mental, pikiran atau konsep dari identitas simbol tato itu sendiri. Penanda dan petanda merupakan satu kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan sebaliknya suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda.
Universitas Sumatera Utara
Berger (2000:23) berpendapat bahwa salah satu karakteristik dari simbol adalah bahwa simbol tidak pernah benar-benar arbitrer (menghasilkan makna baru pada setiap konteks yang berbeda). Hal ini bukannya tidak beralasan karena ada ketidaksempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan petanda seperti symbol keadilan yang berupa sebuah timbangan tidak dapat digantikan oleh identitas lainnya seperti kendaraan atau kereta. Simbol tidak selalu
diungkapkan melalui bahasa verbal. Menurut
Eickelman dan Piscatori (dalam Sobur, 2004:176) simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai, dan seringkali-- meskipun tidak selalu -- simbol ini diungkapkan melalui bahasa. Salah satu simbol yang bukan berupa bahasa verbal adalah tato. Hartoko dan B. Rahmanto (1998:133) membagi simbol dalam tiga bagian yaitu: 1. Simbol universal yang berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian. 2. Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, misalnya keris dalam budaya Jawa. 3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsir dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang. Herusatoto (2000:10) berpendapat bahwa gagasan-gagasan, simbolsimbol, dan nilai-nilai merupakan hasil karya manusia. Tato adalah hasil karya manusia yang merupakan ungkapan perasaan atau pemikiran manusia.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial. Selain itu ada kalanya sebuah simbol dapat memenuhi fungsi yang lebih bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih luas. Uang, rumah di kawasan tertentu, plat mobil bernomor rendah, gelar, tanda pangkat yang tersemat pada pakaian, model dan bahan pakaian, gaya rambut, tato, dan sebagainya dianggap sebagai keistimewaan sosial. Semua atribut itu digunakan untuk menunjukkan siapa manusia itu, bahwa manusia itu kaya, kuat, berkuasa dan sebagainya. ( Firth, dalam Dillistone 2001:103). Tato dalam berbagai bentuk, berbagai kurun waktu, berbagai kondisi, dan berbagai tempat memiliki makna yang berbeda-beda. Ada kalanya tato merupakan sebuah seni religius yang hanya dimiliki oleh orang-orang dengan status tertentu, ada kalanya tato menjadi pelengkap berpakaian seseorang, dan lain-lain. Masyarakat bisa menerima tato sebagai fashion atau tato menjadi sesuatu yang tabu karena masalah religius tertentu. Tato sekarang dapat dikategorikan sebagai karya seni postmodern karena mampu menjadi entitas yang berdialektik. Mulai dari fungsi sakral menuju arah model ekspresi, pemberontakan, hingga seni kontemporer telah mendapat tempat di kalangan urban (Olong, 2006:292-293). Dalam bahasa Indonesia, istilah tato merupakan adaptasi dari bahasa Tahiti ‘tattau’ yang berarti memberi torehan tanda atau simbol. Dalam bahasa Indonesia tato disebut dengan istilah “rajah”. Tato merupakan produk dari body decorating dengan menggambarkan sesuatu pada kulit tubuh menggunakan alat
Universitas Sumatera Utara
tajam (berupa jarum, tulang, dan
sebagainya), kemudian bagian tubuh yang
digambar tersebut diberi zat pewarna atau pigmen berwarna-warni. Tato memiliki makna sebagai budaya tanding (counter culture) dan budaya pop (pop culture).Budaya tanding atau counter culture adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai jalan perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan sebagainya). Perjuangan yang ditunjukkan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik, hingga gaya. Dengan kata lain, tato secara ideal merupakan bentuk penantangan dan protes politis terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan. (Olong, 2006:27 dalam http:www.geocities.com /javatattooclub). Budaya tanding banyak menyebabkan perubahan sosial. Dalam suatu kejadian, beberapa perilaku budaya tanding yang tidak patut terjadi pada saat ini, akan berada di antara norma-norma kebudayaan masa mendatang (Horton, 1984:74,
dalam
http:www.geocities.com/javatattooclub).
Analogi
yang
kemudian dapat dilihat adalah terjadinya segregasi pandangan dan pemaknaan terhadap
tato
yang
membawa
kepermisivitasan.
Komoditas
tato
akan
mengakibatkan terjadinya gejala komersialisasi budaya populer yang mampu mengakibatkan matinya budaya tanding yang ada pada tato. Akibatnya, budaya tanding akan terjarah sendiri oleh pemaknaan baru. Komersialisasi inilah yang membawa tato sebagai sebuah budaya pop. Budaya pop atau popular culture merupakan dialektika antara homogenisasi (penyeragaman)
dan
heterogenisasi
(keragaman).
Konsepsi
keragaman
(heterogenitas) dalam budaya pop juga diungkapkan bahwa terdapat dua
Universitas Sumatera Utara
pembagian terpisah dalam budaya populer, yakni: Pertama
budaya populer
menawarkan keanekaragaman dan perbedaan ketika diinterpretasi ulang oleh masyarakat yang berbeda di lain tempat. Kedua budaya pop itu sendiri dipandang sebagai sekumpulan genre, teks, citra yang bermacam-macam dan bervariasi yang dapat dijumpai dalam berbagai media, sehingga budaya pop sulit dapat dipahami dalam kriteria homogenitas dan standardisasi baku (Strinati, 2003:44-45 dalam http://www.geocities.com //javatattooclub). Fenomena tato menjurus ke budaya pop karena mulai terikat oleh formula produksi yang telah diuji dan digunakan oleh berbagai kalangan. Misalnya, iklan celana jins dengan seorang model yang menggunakan tato, musikus terkenal yang menggunakan tindik. Dalam hal ini, tato maupun tindik merupakan unsur pendorong
semaraknya
budaya
pop
(Olong,
2006:21-22
dalam
http:www.geocities.com/javatattooclub). Proses pengenalan seseorang pada tato bisa berasal dari berbagai macam sumber seperti : media baik cetak maupun elektronik dan dari teman yang kemudian menjadi acuan dalam memakai tato. Berbagai macam simbol tato yang banyak dipakai antara lain: simbol titik-titik/blok, simbol kepala singa, Dewa Krishna dan Trisula, tengkorak, tanda salib, simbol bunga serta motif treeball Ying Yang. Makna yang muncul dari pemakaian tato sebagai akibat interaksinya antara lain : tato sebagai ungkapan perasaan, ekspresi seni, religi, dan sebagai identitas serta tato sebagai sebuah spirit. Berdasarkan konsep dan realitas di atas peneliti merasa tertarik untuk mengkaji interpretasi bentuk dan makna tanda
Universitas Sumatera Utara
dalam simbol tato. Adapun judul penelitian ini adalah, “Interpretasi Tanda dalam Simbol Tato.”
1.1.2 Rumusan Masalah Bertitik tolak dari judul penelitian ini, penulis mengkaji makna simbolik tato pada tubuh pemakai tato. Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah interpretasi bentuk tanda dalam simbol tato? 2. Bagaimanakah intrepretasi makna tanda dalam simbol tato bagi para pemakai tato?
1.1.3 Batasan Masalah Dalam penelitian ini tato dikaji dalam bidang semiotika dengan menggambarkan bagaimana pemakai tato memaknai tato yang dipakai pada tubuhnya. Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan menempatkan penelitian lebih fokus, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Penelitian ini dikhususkan bagi pemakai tato yang berjenis kelamin pria dengan usia sekitar 35-45 tahun. Simbol tato yang menjadi objek penelitian dibatasi hanya pada beberapa gambar yaitu simbol elang, naga, salib, tengkorak dan bunga.
Universitas Sumatera Utara
1.1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.1.4.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah-masalah yang dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan interperetasi bentuk tanda dalam simbol tato. 2. Mendeskripsikan interpretasi makna tanda dalam simbol tato bagi pemakai tato.
1.1.4.2 Manfaat Penelitian Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk : 1. Menambah wawasan pembaca dalam memahami makna simbol tato bagi pemakai tato 2. Memberikan sumbangan pikiran dan memperkaya ilmu pengetahuan linguistik khususnya pada bidang antropolinguistik, dan 3. Menjadi bahan perbandingan kelak bagi peneliti-peneliti lain yang mengkaji makna tato tertentu dalam mengungkapkan suatu identitas budaya suatu etnis. Manfaat praktis penelitian ini adalah dapat menjadi sumbangan pemikiran, bahan pertimbangan penentu langkah-langkah kebijakan pelestarian hasil budaya yang menjadi identitas karena identitas merupakan simbol dan lambang budaya bangsa.
Universitas Sumatera Utara