BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perusahaan sama halnya dengan produk juga mengalami tahapan siklus hidup. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gup dan Agrrawal (1996), tahapan siklus hidup perusahaan terdiri dari pioneering, expansion, stabilization dan declines. Tahap pioneering merupakan tahap awal (introduction) yang ditandai dengan perkenalan produk baru di pasar, biaya pemasaran dan pengembangan produk tinggi, penjualan masih rendah, dan masih mengalami kerugian sehingga tidak ada pembayaran dividen. Tahap expansion merupakan tahap pertumbuhan (growth) dengan karakteristik pertumbuhan penjualan tinggi, mulai memperoleh keuntungan, dan mulai membayar dividen. Tahap stabilization (mature), tingkat penjualan mulai menurun, perusahaan memperoleh keuntungan yang tinggi sehingga pembayaran dividen lebih tinggi daripada tahap growth, namun pertumbuhan perusahaan mulai melambat. Tahap decline ditandai dengan penurunan penjualan dan profit. Dari setiap tahapan siklus hidup tersebut, perusahaan mengalami kondisi yang berbeda-beda. Perusahaan growth mengalami pertumbuhan yang tinggi sehingga membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membiayai investasinya. Oleh sebab itu, perusahaan growth baru melewati fase introduction dimana pada tahap tersebut laba yang diperoleh perusahaan
1
masih kecil. Dengan pertumbuhan yang tinggi, perusahaan growth mulai memperoleh laba, namun tidak cukup untuk mendanai investasi dan pertumbuhannya sehingga cenderung mengalami financing deficit. Dengan demikian, perusahaan growth membutuhkan pendanaan eksternal untuk memenuhi kebutuhannya karena dana internal yang dimiliki tidak cukup untuk membiayai pertumbuhannya. Berbeda halnya dengan perusahaan pada tahap mature. Pada tahap ini, pertumbuhan perusahaan mulai melambat, pendapatan dan arus kas akan terus meningkat, namun kebutuhan untuk berinvestasi pada proyek-proyek baru mulai menurun. Kebutuhan dana pada tahap ini akan ditutupi oleh dana internal, dan untuk pembiayaan eksternal akan digunakan utang bank atau obligasi korporasi untuk membiayai kebutuhan investasi (Damodaran, 2004). Dengan demikian, perusahaan mature juga membutuhkan pendanaan eksternal ketika pendanaan internal tidak cukup untuk membiayai aktivitas perusahaan. Kebutuhan dana yang diperlukan oleh perusahaan growth dan mature ketika mengalami financing deficit merupakan keputusan pendanaan yang penting untuk dipertimbangkan oleh manajemen. Oleh sebab itu, manajemen harus bisa menentukan keputusan pendanaan yang tepat bagi perusahaan. Para akademisi dan praktisi juga telah mengembangkan berbagai teori untuk menjelaskan hal tersebut. Teori yang sering diperbincangkan dalam menentukan keputusan pendanaan perusahaan adalah Trade Off Theory dan Pecking Order Theory.
2
Trade Off Theory mendasarkan keputusan pendanaan pada suatu struktur modal yang optimal. Teori ini menyatakan bahwa perusahaan menukar manfaat pajak dari pendanaan utang dengan masalah yang ditimbulkan oleh potensi kebangkrutan (Brigham dan Houston, 2011: 183). Dalam Trade Off Theory struktur modal akan optimal apabila ada keseimbangan antara manfaat dan biaya. Utang menjadi pilihan struktur modal yang murah dan bermanfaat bagi perusahaan karena adanya bunga yang dibayarkan sebagai beban pengurang pajak. Struktur modal yang optimal berada pada keseimbangan antara manfaat pajak dari utang dan biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan. Berbeda halnya dengan Pecking Order Theory, dimana teori ini tidak mengindikasikan adanya target struktur modal (Hanafi, 2004: 314). Teori ini menjelaskan urutan preferensi penggunaan dana, yaitu dimulai dari pendanaan internal (laba ditahan), utang, dan menerbitkan saham sebagai alternatif terakhir. Pecking Order Theory juga terkait dengan adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric information) seperti yang dikemukakan oleh Myers dan Majluf (1977) dalam Hanafi (2004: 315). Menurut Myers dan Majluf ada informasi yang tidak simetris antara manajer dengan pihak luar dimana manajer memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi perusahaan dibandingkan dengan pihak luar (Hanafi, 2004: 315). Dilihat dari kerangka asimetris informasi, utang mempunyai asimetri informasi yang lebih kecil dibandingkan saham. Oleh sebab itu, dalam perspektif Pecking Order Theory penerbitan saham menjadi alternatif paling
3
akhir dalam mencari sumber pendanaan. Dana internal bebas dari biaya asimetri informasi sehingga dana internal akan dipilih pertama kali jika perusahaan membutuhkan dana (Hanafi, 2004: 316). Pengujian keputusan pendanaan dengan menggunakan Trade Off Theory dan Pecking Order Theory telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan pada perusahaan di Indonesia cenderung mengikuti Pecking Order Theory. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2009), Susanto (2013), dan Adyanto (2014) menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia dalam menentukan keputusan pendanaan cenderung mengikuti Pecking Order Theory. Selain itu, Frank dan Goyal (2003) juga menemukan bahwa financing deficit mempengaruhi penambahan utang dan sekaligus mendukung Pecking Order Theory. Pengujian Pecking Order Theory juga dilakukan pada perusahaanperusahaan yang berada pada tahap siklus hidup, termasuk perusahaan pada tahap growth dan mature. Penelitian yang dilakukan oleh Vanacker dan Manigart (2008), Sabatini (2013), Salehnejad dan Shahiazar (2014) menemukan bahwa perusahaan pada tahap growth cenderung mengikuti Pecking Order Theory dalam keputusan pendanaannya. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bulan dan Yan (2010) yang menunjukkan bahwa perusahaan dalam tahap mature cenderung mengikuti Pecking Order Theory
dalam
menentukan
keputusan
pendanaannya
dibandingkan
perusahaan yang berada dalam tahap growth. Penelitian yang dilakukan Ivashkovskaya et al. (2010) juga menjelaskan bahwa perusahaan dalam tahap
4
stagnan cenderung mengikuti Pecking Order Theory, sedangkan perusahaan dalam tahap growth dan mature mengikuti Trade Off Theory dalam struktur modalnya. Perusahaan pada tahap mature juga cenderung mengikuti Pecking Order Theory dalam keputusan pendanaannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Bulan dan Yan (2010) dan Sabatini (2013) yang menemukan bahwa perusahaan pada tahap mature mengikuti Pecking Order Theory dalam struktur modalnya. Selain itu, perusahaan pada tahap mature telah memiliki keuntungan yang tinggi dan investasi yang mulai terbatas, sehingga dana internal dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, dan apabila terjadi financing deficit akan digunakan pendanaan eksternal, salah satunya dengan utang. Oleh sebab itu, diharapkan perusahaan dalam tahap growth dan mature mengikuti Pecking Order Theory dalam keputusan pendanaannya. Penelitian Bulan dan Yan (2010) juga menemukan bahwa perusahaan dalam tahap mature cenderung lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan growth. Dalam temuan tersebut perusahaan mature merupakan perusahaan yang telah berdiri lebih lama dibandingkan perusahaan growth, kondisi perusahaan lebih stabil, memiliki keuntungan yang lebih besar, dan memiliki histori kredit yang baik sehingga memiliki kapasitas utang yang lebih besar. Dalam penelitian ini diharapkan perusahaan growth lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan mature. Hal ini
5
dikarenakan perusahaan dalam tahap growth memiliki investasi yang lebih tinggi dan keuntungan yang lebih rendah dibandingkan perusahaan mature sehingga perusahaan growth lebih memerlukan tambahan dana eksternal yang lebih besar dibandingkan perusahaan mature. Perusahaan mature memiliki profitabilitas yang lebih tinggi namun investasi mulai terbatas sehingga tambahan dana eksternal yang dibutuhkan tidak sebesar perusahaan growth. Dengan demikian, diharapkan perusahaan growth cenderung lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan mature. Namun, proporsi penggunaan utang pada perusahaan growth diharapkan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan mature karena perusahaan growth memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dan keuntungan perusahaan juga lebih kecil dibandingkan perusahaan mature, sehingga kebutuhan pendanaan perusahaan growth lebih besar dan dana internal tidak cukup memenuhi kebutuhan pendanaan yang diperlukan oleh perusahaan. Oleh sebab itu, perusahaan growth akan menggunakan utang untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Primudyastono (2012) yang menemukan bahwa rerata proporsi penggunaan utang tertinggi terjadi pada fase growth dibandingkan dengan rerata proporsi penggunaan utang pada fase introduction dan mature. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini diharapkan proposi penggunaan utang pada fase growth lebih tinggi dibandingkan perusahaan mature. Kebijakan dividen pada perusahaan growth dan mature juga merupakan salah satu kebijakan penting yang harus dipertimbangkan oleh
6
manajemen. Para praktisi dan akademisi pun telah merumuskan berbagai teori kebijakan dividen. Beberapa teori yang sering menjadi perbincangan adalah Signalling Theory dan Teori Dividen Residual. Signalling Theory menjelaskan bahwa kenaikan atau penurunan dividen yang dibagikan oleh perusahaan dapat memberikan suatu sinyal bagi pemegang saham. Pengumuman dividen memiliki muatan sinyal atau informasi tentang laba perusahaan di masa depan. Jika dividen ditingkatkan di atas jumlah yang diharapkan oleh pemegang saham, maka akan menjadi suatu sinyal yang positif bagi pemegang saham karena manajemen perusahaan meramalkan laba yang baik di masa depan, dan sebaliknya apabila terjadi penurunan pembayaran dividen akan menjadi suatu sinyal bagi pemegang saham bahwa manajemen meramalkan laba yang buruk di masa depan (Brigham dan Houston, 2011: 215). Teori Dividen Residual menjelaskan bahwa besarnya dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dipengaruhi oleh ada tidaknya kesempatan investasi yang menguntungkan (Husnan, 2006: 304). Apabila terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, maka dana yang dimiliki oleh perusahaan akan digunakan untuk membiayai investasi tersebut, kemudian jika terdapat sisa dana akan didistribusikan sebagai dividen kepada pemegang saham. Namun, kebijakan dividen tiap perusahaan berbeda-beda, baik yang digunakan di Indonesia maupun di luar negeri. Pada umumnya, kebijakan dividen pada perusahaan-perusahaan Amerika diputuskan oleh dewan direksi
7
(Broemmel, n.d.), sedangkan di Indonesia pengambilan keputusan dividen dilakukan secara voting dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Setiap pemegang saham memiliki suara sesuai dengan saham yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa pengumuman dividen di Indonesia tidak memiliki surprise (kejutan) yang banyak sehingga reaksi pasar di Indonesia tidak sekuat di Amerika. Pengambilan keputusan dividen melalui RUPS diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih banyak kepada pemegang saham sebagai pemodal tentang penggunaan laba perusahaan. Oleh sebab itu, apabila perusahaan mengumumkan perubahan dividen dikarenakan adanya peningkatan investasi yang menguntungkan, diharapkan akan mempengaruhi ekspektasi pemegang saham sebagai pemodal. Dengan demikian, pengumuman kenaikan dan penurunan dividen di Indonesia diharapkan dapat mendukung Teori Dividen Residual. Perusahaan pada tahap growth yang cenderung mengalami financing deficit karena mengalami pertumbuhan yang tinggi dan adanya investasi yang besar, menyebabkan tidak cukupnya dana internal perusahaan, sehingga cenderung tidak mendsitribusikan atau mendistribusikan dividen kepada para pemegang saham dengan nilai yang rendah (Brigham dan Houston, 2011: 217). Perusahaan akan lebih memilih menggunakan dana tersebut sebagai laba ditahan untuk mengurangi financing deficit yang dihadapi daripada membagikan dividen kepada para pemegang saham. Hal ini sejalan dengan Teori Dividen Residual dimana dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham merupakan sisa (residual) setelah semua usulan investasi
8
yang menguntungkan habis dibiayai (Hanafi, 2004: 372). Berbeda halnya dengan perusahaan mature, investasi yang mulai terbatas menyebabkan laba ditahan meningkat sehingga perusahaan akan cenderung membagikan dividen kepada pemegang saham. Namun, jika terdapat kesempatan investasi yang menguntungkan, perusahaan akan menggunakan laba ditahan untuk membiayai investasi tersebut, dan sisa dari laba ditahan akan didistribusikan kepada pemegang saham sebagai dividen. Dengan demikian, kebijakan dividen perusahaan mature juga sesuai dengan Teori Dividen Residual. Beberapa penelitian yang mendukung hal tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Fama dan French (2001) yang menemukan bahwa perusahaan dengan profitabilitas tinggi dengan peluang investasi yang terbatas dan ukuran perusahaan yang besar melakukan pembayaran dividen tunai, sedangkan perusahaan yang profitabilitasnya rendah dengan peluang investasi yang tinggi cenderung mempertahankan labanya dan jika membayarkan dividen dalam bentuk saham. Penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2011) menemukan bahwa perusahaan dengan profitabilitas rendah namun pertumbuhannya tinggi cenderung membayar dividen saham, sedangkan
perusahaan
yang
mapan
dengan
profit
tinggi
namun
pertumbuhannya rendah cenderung membayar dividen tunai. Berdasarkan hasil penelitian tersebut yang mendukung teori-teori yang telah dijelaskan, perusahaan pada tahap growth akan cenderung menggunakan laba ditahan untuk membiayai investasinya sehingga membagikan dividen dengan jumlah yang rendah atau tidak membagikan
9
dividen sama sekali kepada pemegang sahamnya. Hal ini sesuai dengan Teori Dividen Residual. Namun, dalam penelitian ini diharapkan perusahaan growth cenderung lebih kuat mengikuti Teori Dividen Residual dimana teori ini menjelaskan bahwa besarnya dividen yang dibagikan kepada pemegang saham
dipengaruhi
oleh ada
tidaknya
kesempatan
investasi
yang
menguntungkan (Husnan, 2006: 304). Sesuai dengan hal tersebut, perusahaan growth memiliki kesempatan investasi yang lebih besar daripada perusahaan mature karena pertumbuhan yang lebih tinggi sehingga dana yang dimiliki oleh perusahaan akan digunakan terlebih dahulu untuk membiayai investasi tersebut dan jika ada sisa dana akan didistribusikan sebagai dividen kepada pemegang saham. Selain itu, perusahaan growth memiliki investasi yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan mature, sehingga laba ditahan yang dimiliki perusahaan growth lebih besar dibandingkan perusahaan mature.
1.2 Rumusan Masalah Perusahaan growth dengan pertumbuhan dan investasi yang tinggi, namun masih memiliki profit yang rendah cenderung mengalami financing deficit
untuk
memenuhi
kebutuhannya,
sehingga
perusahaan
akan
memanfaatkan dana internal untuk kebutuhannya dan menambah dana eksternal untuk menutupi financing deficit yang dihadapi. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa perusahaan pada tahap growth cenderung mengikuti Pecking Order Theory dalam keputusan
10
pendanaannya dimana ketika mengalami financing deficit, perusahaan dalam tahap growth akan cenderung memilih pendanaan yang lebih aman terlebih dahulu, seperti utang. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Sabatini (2013), Vanacker dan Manigart (2008), Salehnejad dan Shahiazar (2014) yang mendukung Pecking Order Theory dalam keputusan pendanaan perusahaan pada tahap growth. Perusahaan pada tahap mature yang telah memperoleh keuntungan yang besar dengan investasi yang mulai terbatas ketika mengalami financing deficit terlebih dahulu akan menggunakan dana internal. Namun, apabila tidak mencukupi, perusahaan pada tahap mature akan menambah dan eksternal yaitu utang. Oleh sebab itu, perusahaan pada tahap mature juga mengikuti Pecking Order Theory dalam keputusan pendanaannya. Hal ini sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Bulan dan Yan (2010) dan Sabatini (2013). Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan hasil yang berbeda, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ivashkovskaya et al. (2010) yang menemukan bahwa perusahaan yang mengikuti Pecking Order Theory dalam struktur modalnya adalah perusahaan dalam tahap stagnant, sedangkan perusahaan pada tahap growth dan mature cenderung mengikuti Trade Off Theory dalam struktur modalnya. Begitu juga dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Salehnejad dan Shahiazar (2014) yang menunjukkan bahwa perusahaan mature dan decline tidak mengikuti Pecking Order Theory dalam struktur modalnya. Hasil penelitian yang berbeda tersebut menunjukkan masih adanya research gap dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, dan
11
diharapkan perusahaan pada tahap growth dan mature cenderung mengikuti Pecking Order Theory dalam keputusan pendanaannya. Penelitian Bulan dan Yan (2010) juga menemukan bahwa perusahaan dalam tahap mature cenderung lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan growth. Dalam temuan tersebut perusahaan mature merupakan perusahaan yang telah berdiri lebih lama dibandingkan perusahaan growth, kondisi perusahaan lebih stabil, memiliki keuntungan yang lebih besar, dan memiliki histori kredit yang baik sehingga memiliki kapasitas utang yang lebih besar. Dalam penelitian ini diharapkan perusahaan growth lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan mature. Hal ini dikarenakan perusahaan dalam tahap growth memiliki investasi yang lebih tinggi dan keuntungan yang lebih rendah dibandingkan perusahaan mature sehingga perusahaan growth lebih memerlukan tambahan dana eksternal yang lebih besar dibandingkan perusahaan mature. Perusahaan mature memiliki profitabilitas yang lebih tinggi namun investasi mulai terbatas sehingga tambahan dana eksternal yang dibutuhkan tidak sebesar perusahaan growth. Dengan demikian, diharapkan perusahaan growth cenderung lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan mature. Proporsi penggunaan utang pada tahap growth diharapkan lebih tinggi dibandingkan perusahaan pada tahap mature karena perusahaan pada tahap growth memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dengan keuntungan yang masih sedikit sehingga mengalami financing deficit dan membutuhkan
12
pendanaan eksternal berupa utang untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Primudyastono (2012) yang menemukan bahwa rerata proporsi penggunaan utang tertinggi terjadi pada fase growth dibandingkan dengan rerata proporsi penggunaan utang pada fase introduction dan mature. Selain itu, perusahaan pada tahap growth membutuhkan dana yang besar untuk membiayai pertumbuhan dan investasinya, sehingga apabila mengalami financing deficit, dana internal akan digunakan untuk mendanai kebutuhannya
tersebut
dan
cenderung
tidak
mendistribusikan
atau
mendistribusikan dividen kepada pemegang saham dengan jumlah yang rendah (Brigham dan Houston, 2011: 217). Hal ini sesuai dengan Teori Dividen Residual yang menjelaskan bahwa perusahaan dalam tahap growth ketika mengalami financing deficit, maka akan terlebih dahulu menggunakan dana internal berupa laba ditahan untuk membiayai kebutuhan operasi dan investasi, kemudian sisa dari laba tersebut akan didistribusikan sebagai dividen kepada para pemegang sahamnya,
sehingga dividen yang
didistribusikan cenderung dalam jumlah yang kecil (Brigham dan Houston, 2011: 219). Perusahaan pada tahap mature memiliki pertumbuhan yang kecil namun memiliki laba yang besar akan membayarkan dividen lebih tinggi (Brigham dan Houston, 2011: 217), sehingga pemegang saham akan menangkapnya sebagai sinyal yang positif yang menggambarkan kondisi perusahaan yang baik. Namun, apabila perusahaan mature juga memiliki kesempatan investasi yang menguntungkan, maka laba yang diperoleh
13
perusahaan akan digunakan untuk membiayai investasi tersebut, dan sisanya akan didistribusikan kepada pemegang saham sebagai dividen, sehingga hal ini juga sejalan dengan Teori Dividen Residual. Namun, dalam penelitian ini diharapkan perusahaan growth cenderung lebih kuat mengikuti Teori Dividen Residual dimana teori ini menjelaskan bahwa besarnya dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dipengaruhi oleh ada tidaknya kesempatan investasi yang menguntungkan (Husnan, 2006: 304). Sesuai dengan hal tersebut, perusahaan growth memiliki kesempatan investasi yang lebih besar daripada perusahaan mature karena pertumbuhan yang lebih tinggi sehingga dana yang dimiliki oleh perusahaan akan digunakan terlebih dahulu untuk membiayai investasi tersebut dan jika ada sisa dana akan didistribusikan sebagai dividen kepada pemegang saham. Beberapa penelitian yang mendukung teori tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Fama dan French (2001) yang menemukan bahwa perusahaan dengan profitabilitas tinggi dengan peluang investasi yang terbatas dan ukuran perusahaan yang besar melakukan pembayaran dividen tunai, sedangkan perusahaan yang profitabilitasnya rendah dengan peluang investasi yang tinggi cenderung mempertahankan labanya dan jika membayarkan dividen dalam bentuk saham. Selain itu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2011) yang menemukan bahwa perusahaan dengan profitabilitas rendah namun pertumbuhannya tinggi cenderung membayar dividen saham, dan perusahaan muda dengan pertumbuhan tinggi dan profit yang rendah cenderung membayar dividen
14
saham, sedangkan perusahaan yang mapan dengan profit tinggi namun pertumbuhannya rendah cenderung membayar dividen tunai. Dengan demikian, perusahaan pada tahap growth dan mature, ketika mengalami financing deficit akan menggunakan pendanaan eksternal sesuai dengan Pecking Order Theory yaitu memilih pendanaan yang paling aman terlebih dahulu, dimulai dari utang dan saham sebagai alternatif terakhir. Namun, diharapkan perusahaan growth cenderung lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan mature. Selain itu, perusahaan
pada
tahap
growth
memiliki
kecenderungan
tidak
mendistribusikan atau mendistribusikan dividen dalam jumlah yang kecil karena dana internal digunakan untuk membiayai pertumbuhan dan investasi yang tinggi. Perusahaan pada tahap mature akan mendistribusikan dividen dalam jumlah yang lebih tinggi karena keuntungan perusahaan tinggi namun peluang investasi terbatas. Oleh sebab itu, laba ditahan perusahaan growth lebih tinggi dibandingkan perusahaan mature.
15
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka pertanyaan yang dapat disusun dalam penelitian ini terkait dengan keputusan pendanaan dan kebijakan dividen pada perusahaan growth dan mature, dengan rincian berikut: 1.
Keputusan Pendanaan a. Apakah perusahaan dalam tahap growth cenderung lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan dalam tahap mature? b. Apakah proporsi penggunaan utang perusahaan dalam tahap growth lebih tinggi dibandingkan proporsi penggunaan utang perusahaan dalam tahap mature?
2.
Kebijakan Dividen a. Apakah perusahaan dalam tahap growth cenderung lebih kuat mengikuti Teori Dividen Residual dibandingkan perusahaan dalam tahap mature? b. Apakah proporsi laba ditahan perusahaan dalam tahap growth lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi laba ditahan perusahaan dalam tahap mature?
16
1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Keputusan Pendanaan a. Untuk menguji apakah perusahaan dalam tahap growth cenderung lebih kuat mengikuti Pecking Order Theory dibandingkan perusahaan dalam tahap mature. b. Untuk menguji apakah proporsi penggunaan utang perusahaan dalam tahap growth lebih tinggi dibandingkan proporsi penggunaan utang perusahaan dalam tahap mature.
2.
Kebijakan Dividen a. Untuk menguji apakah perusahaan dalam tahap growth cenderung lebih kuat mengikuti Teori Dividen Residual dibandingkan perusahaan dalam tahap mature. b. Untuk menguji apakah proporsi laba ditahan perusahaan dalam tahap growth lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi laba ditahan perusahaan dalam tahap mature.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini bagi akademisi adalah sebagai pendukung empiris untuk penelitian tentang pengujian keputusan pendanaan yang didasarkan pada Pecking Order Theory dan kebijakan dividen yang didasarkan pada Teori Dividen Residual pada perusahaan yang berada dalam
17
tahap growth dan mature yang dilakukan sebelumnya. Manfaat bagi perusahaan,
dapat
menjadi
bahan
pertimbangan
manajemen dalam
menentukan keputusan pendanaan dan kebijakan dividen ketika perusahaan berada dalam tahap growth dan mature.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya menguji Pecking Order Theory pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang sedang berada pada tahap growth dan mature dalam menentukan keputusan pendanaannya. Selain itu, juga menguji kebijakan dividen pada perusahaan dalam tahap growth yang dibandingkan dengan perusahaan tahap mature. Perusahaan yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah perusahaan non keuangan yang menerbitkan laporan keuangan pada periode 2010–2013 dan tidak pernah mengalami delisting selama periode tersebut, serta perusahaan yang sedang berada dalam tahap growth dan mature.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.
18
BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini diuraikan tentang dasar teori yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Bab ini juga berisi tinjauan umum dari penelitianpenelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini dan perumusan hipotesis. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang jenis penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, jenis variabel penelitian, pengukuran variabel serta metode pengolahan dan analisis data. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi analisis data dan pembahasan penelitian. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, implikasi, dan saran untuk penelitian selanjutnya.
19