BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap suku bangsa di nusantara ini masing-masing memiliki bentukbentuk kesenian tradisional yang khas dan beragam yang sering disebut dengan local culture yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Meskipun masyarakat pendukungnya mengalami perubahan, kesenian tradisional tersebut berkembang dengan mengikuti dinamika zaman. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan pencerminan dari pola pikir, tingkah laku, dan watak masyarakat pemiliknya. Pada prinsipnya sebuah bentuk kesenian diciptakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia agar merasa tentram dalam menghadapi tantangan alam. Salah satu suku bangsa tersebut adalah masyarakat Nias. Secara geografis, Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera (Indonesia). Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang memiliki budaya megalitik, musik, tarian, dan nyanyian (sinunő). Suku Nias menamakan diri mereka sebagai Ono Niha yang artinya (ono artinya anak atau keturunan dan niha artinya manusia) dan pulau Nias sebagai Tanő Niha yang artinya (tanő artinya
tanah) dan diartikan sebagai tanah manusia. Suku Nias merupakan
masyarakat yang hidup di lingkungan adat dan kebudayaan yang memiliki nilainilai yang khas.
1
Unsur-unsur kebudayaan seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kemasyarakatan, sistem religi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem organisasi sosial merupakan unsur-unsur yang bersifat universal. Oleh karena itu dapat di perkirakan bahwa kebudayaan suatu bangsa mengandung suatu aktivitas adat-istiadat dari antara ketujuh unsur universal tersebut (Koentjaraningrat, 1997:4). Kenyataan ini dapat dijumpai dalam etnik Nias yang merupakan salah satu etnik yang berdiam di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Nias sangat menghargai setiap unsur budaya yang melekat dalam kehidupan mereka dan menjadikan unsur budaya itu menjadi suatu hal yang sangat sakral dan harus dijalani dan di patuhi oleh setiap masyarakat Nias. Masyarakat Nias memiliki sistem hukum adat yang disebut Fondrakő yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kepada kematian, dan bagi setiap orang yang tidak melaksanakannya akan diberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Dalam kebudayaan Nias terdapat banyak sekali keragaman budaya. Keragaman budaya tersebut antara lain seperti tarian tradisional, sinunő dan musik tradisional, makanan,dan minuman yang bersifat tradisional. Tarian tradisional, musik dan sinunő di pertunjukan pada setiap upacara-upacara adat, baik itu pernikahan, kematian, penyambutan tamu-tamu adat dan pemerintahan. Pada setiap upacara-upacara adat salah satu unsur yang tidak dapat lepas darinya adalah tarian tradisional serta sinunő (nyanyian) pengiring tari tersebut. Tarian tradisional dan sinunő ini diiringi oleh ensambel musik yang terdiri dari gendra (gendang besar), faritia (canang), dan mamba (gong). Masih terdapat beberapa alat musik lainnya dan yang ketiga alat musik di atas adalah yang paling umum dipakai. Pada masyarakat Nias terdapat beberapa 2
jenis tarian tradisional, antara lain : Tari Maena yaitu tarian ini merupakan tarian suka cita yang biasa di pertunjukkan pada acara pernikahan, owasa, dan penyambutan tamu yang di hormati, tari Maru yang merupakan tarian yang dipertunjukkan pada pesta penyambutan tamu dan owasa, tari Mamadaya Saembu atau Folaya Saembu merupakan tarian yang dipertunjukan pada pesta kebesaran untuk meningkatkan derajat seseorang di tengah-tengah masyarakat, tari Moyo yang merupakan tarian yang menyerupai gerakan elang dan biasanya di pertunjukkan pada penyambutan tamu, tari Perang
tarian yang biasanya di
pertunjukkan pada penyambutan tamu, dan festival-festival kebudayaan, tari Ya’ahowu merupakan tarian kreasi baru yang sudah menjadi salah satu tarian yang paling sering ditampilkan pada acara-acara penyambutan tamu, baik itu tamu adat dan tamu yang hadir pada suatu pesta. Untuk mempersempit pokok permasalahan, maka dalam hal ini saya sebagai penulis mengambil pokok permasalahan pada tari Ya’ahowu. Tari ya’ahowu ini merupakan sebuah tarian khas kepulauan Nias di mana tarian ini merupakan sapaan khas penduduk Pulau Nias yang dipertunjukkan untuk menyambut tamu yang datang, baik tamu kedaerahan, pemerintahan dan tamu adat. Tarian ini diikuti atau diiringi oleh nyanyian (sinunő) yang merdu dan sahut menyahut yang mengandung makna dan arti tertentu yang dinyanyikan dalam bahasa Nias. Kalau kita mengartikan kata Tari Ya’ahowu jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan exspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang di perhalus melalui estetika.
3
Latar belakang terciptanya tari Ya’ahowu ini adalah adanya unsur keinginan masyarakat untuk menciptakan tari yang menggambarkan rasa sukacita dan penyambutan kepada tamu yang datang di Nias terutama di daerah Nias bagian utara. Sebelum terbaginya beberapa wilayah kabupaten dan kota di Nias, tari penyambutan di yang sering dan umum di pertunjukan adalah tari Faluaya (tari perang) dan nyanyiannya vokal yang digunakan pada masa sebelum terbaginya wilayah Nias adalah nyanyian Hoho. Terjadinya pembagian wilayah kabupaten di Nias menjadikan masyarakat Nias menciptakan kesenian tradisional baru yang melambangkan atau menjadi ikon dari daerah itu. Nias Utara dan selatan memiliki perbedaan tradisi yang sangat jauh berbeda, terutama dalam hal tarian dan musik. Nias bagian utara pada tariannya memiliki gerakan yang lebih halus dibandingkan dengan Nias bahagian selatan yang rata-rata gerakannya kesar dan energik. Begitu juga dalam nyanyiannya. Dari perbedaan wilayah inilah maka Nias bagian utama atau sekarang di kenal dengan daerah kota Gunungsitoli menciptakan tari Ya’ahowu sebagai tari penyambutan tamu adat di daerah ini. Tarian ini pertama sekali diciptakan secara bersama oleh Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Sampai sekarang tarian ini belum didaftarkan ke pihak Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Republik Indonesia. Karena penciptanya berkelompok, dalam hal ini Sanggar Bolalahina SMA Negeri 1 Gunungsitoli, maka sebahagian besar orang Nias memandangnya sebagai karya kelompok bersama bukan perseorangan. Pada upacara penyambutan tamu, tari Ya’ahowu di pertunjukan disertai dengan sinunő fangowai yang artinya adalah nyanyian penyambutan. Nyanyian pada waktu penyambutan ini terdiri dari 2 jenis, yakni: bőlihae dan fangowai. Kedua nyanyian ini biasanya didapati pada setiap acara penyambutan tamu-tamu 4
adat, ataupun pemerintahan. Pengertian kedua nyanyian tersebut, dalam konteks kebudayaan Nias adalah sebagai berikiut: (a) Bőlihae adalah nyanyian yang dibawakan disepanjang tamu memasuki lokasi acara tempat diadakannya pesta penyambutan tamu. (b) Fangowai adalah ungkapan rasa hormat pihak sowatő atau orang dalam terhadap tome atau tamu yang datang. Kedua nyanyian di atas menggunakan syair-syair tertentu, khususnya Bőlihae yang berisikan pujian-pujian dari masyarakat setempat atau orang dalam kepada pihak tome/ tamu yang datang. Sikap merendahkan hati dan ungkapan peristiwa sukacita saat itu tergambar dari nyanyian (sinunő) yang mereka nyanyikan pada saat itu; sedangkan Fangowai berisikan penghormatan tehadap pihak tamu. Kedua nynyian ini dinyanyikan dengan menitikberatkan pada medium suara manusia. Kedua nyanyian ini juga merupakan suatu nyanyian rakyat yang diaplikasikan pada suatu upacara adat penyambutan tamu pada masyarakat Nias. Kebutuhan akan pentingnya suatu nyanyian (sinunő) untuk pengiring tari Ya’ahowu membuat Bolihae dan Fangowai diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang. Meskipun tarian Ya’ahowu dan sinunő pengiringnya masih tergolong kreasi baru, tetapi mempunyai posisi yang penting pada kebudayaan Nias. Dalam konteksnya, banyak tarian yang mengadopsi atau mengunakan
nyanyian vokal sebagai
pengiring dan memiliki hubungan yang sangat erat dengan tari itu sendiri. Banyak tarian yang mana nyanyian pengiringnya mengandung makna sesuai dengan gerakan tari yang dimainkan oleh penari. Sinunő atau Nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini mempunyai fungsi yang sama dengan nyanyian hoho yang terdapat di Nias selatan yaitu sama-sama nyanyian pengiring tari, hanya saja berbeda dalam konteks penyajian, tergantung 5
dimana konteks dia di pertunjukakan. Tari Ya’ahowu di Nias utara lebih sering dipertunjukan pada acara penyambutan tamu, dan teks yang terkandung dalam sinunő mengandung makna sapaan, pemberian hormat dan rasa sukacita yang diberikan kepada tamu. Sedangkan hoho pada kebudayaan Nias selatan hampir di semua acara adat dia di pergunakan. Teks dalam nyanyian hoho ini belum baku dan bisa berubah sesuai dimana ia di mainkan. Di dalam teks hoho ini terdapat mitologi Nias yang berisi berbagai konsep orang Nias tentang alam, adat dan rekigi ataupun filsafah hidup masyarakat Nias. Ere hoho mempunyai peranan penting dalam menyusun ataupun membuat teks hoho yang akan ditampilkan. Berdasarkan cara menyajikan atau menampilkannya, masyarakat Nias (bagian Selatan) membagi hoho dalam dua jenis, yang pertama adalah Hoho yang dibawakan untuk mengiringi tari Faluaya. Atau yang menyanyikan hoho membawakan nyanyian itu sambil menarikan tarian Faluaya bersama dengan penari Faluaya lainnya yang jumlahnya bisa mencapai pulihan orang dan biasanya ditampilkan dihalaman kampong atau newali. Sedangkan yang kedua hoho yang ditampilkan tanpa tarian dan ditampilkan sambil duduk di atas darodaro (kursi tradisional Nias) atau disebut dengan hoho Fetataro. Jadi sinunő pengiring tari Ya’ahowu mempunyai fungsi yang sama dengan hoho, yaitu samasama sebagai nyanyian pengiring tari, tetapi cara menyanyikannya, intonasinya, serta teksnya berbeda. Cara bernyanyi di Nias selatan lebih keras disbanding cara bernyanyi masyarakat di Nias utara yang lebih lembut. Sinunő atau nyanyian pengiring tari Ya’ahowu ini tergolong nyanyian baru yang baru diciptakan sekitar bulan Maret tahun 2004 oleh Bapak Man Harefa yang merupakan salah seorang budayawan Nias. Nyanyian ini banyak dipengaruhi oleh nyanyian gereja yang dapat di lihat dari nada-nada yang diciptakan dan 6
teksnya yang berisi kalimat-kalimat yang lembut yang berbeda jauh dari cara masyarakat Nias Selatan yang lebih keras. Dengan melihat pendapat tersebut, nyanyian (sinunő) pengiring tari Ya’ahowu juga menjadi bagian yang sangat perlu dikaji lebih dalam lagi melalui analisis tekstual. Berbicara mengenai tekstual, maka akan berbicara mengenai bahasa juga, dimana bahasa juga merupakan salah satu system yang masuk kedalam unsur-unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1981:203). Fenomena linguistik dengan bunyi musikal sudah sangat lama diteliti mengenai hubungannya. Menurut salah satu pakar etnomusikologi Feld dalam Purba (2004:2) mengatakan ada dua masalah yang mendasar sekali dari hubungan inter relasi antara kedua unsur tersebut, yaitu : yang meliputi hubungan tekstual (relasi), sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian; dan yang kedua, music didalam bahasa, yaitu: masalah yang meliputi eksistensi sifat (properties) ke-musikal-an dari bahasa. Demikian juga sinunő pengiring tari Ya’ahowu merupakan musik vokal, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan tekstual begitu juga gaya bahasa di dalam struktur nyanyiannya. Sinunő pengiring tari Ya’ahowu memiliki bahasa yang bersifat konotatif (makna yang tidak sebenarnya), jauh dari bahasa sehari-hari dan sering menggunakan pantun-pantung adat atau bahasa-bahasa ynag mengandung makna tersendiri sebagai syair/teks nyanyian. Makna konotatif ini merupakan suatu pesan yang disampaikan dalam bentuk kata dan mungkin hanya dipahami oleh masyarakat Nias itu sendiri. Maka sinunő juga merupakan media komusikasi yang memiliki tandatanda atau ciri-ciri tersebut, dan menyampaikan suatu makna yang dapat dipahami 7
oleh masyarakat Nias itu sendiri ataupun masyarakat lain di luar kebudayaan Nias. Dengan demikian sinunő tidak hanya sebatas nyanyian yang dinyanyikan pada acara-acara adat ataupun penyambutan tamu dan berfungsi sebagai media komunikasi, hiburan, atau memiliki beberapa fungsi lain.tetapi yang paling inti bahwa sinunő menggambarkan suatu cirri atau kebudayaan masyarakat Nias melalui teks atau syair dan menyampaikan makna yang terkandung di dalam teks atau syair tersebut. Dengan melihat latar belakang tersebut di atas, maka nyanyian sinunő yang disajikan dalam pertunjukan fanari Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunung Sitoli ini, menarik secara keilmuan untuk dikaji melalui disiplin etnomusikologi. Apalagi disiplin ini adalah ilmu yang penulis pelajari dan resapi selama beberapa tahun terakhir ini. Untuk itu perlu penulis uraikan sekilas apa itu etnomusikologi dan bagaimana terapannya untuk penelitian ini. Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu seni dan siial, disiplin ilmu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan gabungan atau fusi dari dua disiplin ilmu yaitu antropologi (kadangkala disebut juga dengan etnologi dengan musikologi. Fusi antara kedua disiplin ini sendiri telah menimbulkan pengaruh yang sangat kompleks dalam sejarah perkembangan etnomusikologi di seluruh dunia ini. Dalam konteks penggunaan kedua disiplin itu di dalam etnomusikologi, maka bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik
yang
mempunyai
hukum-hukum
internalnya sendiri. Di lain sisi
antropologi memandang musik sebagai bagian dari fungsi kebudayaan manusia yang lebih luas.
Secara tegas dinyatakan oleh Alan P. Merriam di tahun 1964
sebagai berikut. 8
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4). 1 Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian musikologi
dan
etnologi.
kemungkinan masalah besar
keilmuan yang
Selanjutnya menimbulkan
terpisah,
yaitu
kemungkinan-
dalam rangka mencampur kedua disiplin itu
dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, bahan-bahan
bacaan
yang
dihasilkannya.
dapat ditandai
Katakanlah
seorang
dari
sarjana
etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu 1
Buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.
9
sistem
tersendiri. Di lain sisi,
sedangkan
sarjana
lain
memilih
untuk
memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang
sama,
beberapa
sarjana
dipengaruhi secara
luas oleh para pakar
antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
dengan
melakukan studi musik
dalam
konteks etnologisnya. Di
dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan,
atau
penekanannya.
Beberapa
studi
provokatif
awalnya
dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika
telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.
10
Khusus
mengenai
beberapa
definisi
tentang
etnomusikologi
telah
dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.
Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi
etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976. 2 Dari definisi etnomusikologi tersebut di atas, maka dalam konteks penelitian ini, sangatlah relevan mengkaji sinunő pada pertunjukan fanari Ya’ahowu di dalam kebudayaan masyarakat Nias di Gunung Sitoli. Alasannya adalah bahwa sinunő adalah musik vokal yang mengandung makna-makna kebudayaan. Nyanyian ini dapat didekati oleh disiplin etnomusikologi yang merupakan hasil fusi dari disiplin antropologi dan musikologi. Sinunő ini dapat dikaji dari aspek
2
Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
11
strukturalnya melalui musikologi dan dikaji aspek fungsi sosial dan budayanya dari sudut antropologi. Berdasarkan apa yang diamati dan diteliti oleh penulis, maka penulis tertarik untuk menganalisis sinunő (nyanyian) untuk iringan tari Ya’ahowu karena melihat hal ini baik untuk dibahas dan dituliskan dalam skripsi dengan judul: ANALISIS
SINUNŐ PADA
PERTUNJUKAN
FANARI
YA’AHOWU
DALAM KEBUDAYAAN NIAS DI KOTA GUNUNGSITOLI.
1.2 Pokok Permasalahan Adapun pokok permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana struktur sinunő
yang digunakan pada pertunjukan fanari
Ya’ahowu dalam kebudayaan masyarakat Nias di Kota Gunungsitolu? 2. Bagaimana struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu pada acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli? 3. Makna apa yang terkandung di dalam sinunő?
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah: 1.
Untuk mengetahui bagaimana struktur nyanyian/melodi vocal sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.
2. Untuk mengetahui struktur teks sinunő fanari Ya’ahowu dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.
12
3. Untuk mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sinunő fanari ya’ahowu yang dapat berguna sebagai pedoman oleh masyarakat Nias
1.3.2 Manfaat Yang menjadi manfaat dalam tulisan ini adalah: 4
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui secara jelas bagaimana dan sejauh mana sinunő berperan dalam acara penyambutan tamu adat di Kota Gunungsitoli Nias.
5
Penelitian ini bermanfaat untuk mendokumentasikan keberadaan seni etnik, khususnya Nias.
6
Penelitian ini juga bermanfaat untuk pengembangan ilmu etnomuskolologi dalam mengkaji kebudayaan etnik yang terdapat di seluruh dunia ini.
1.4 Konsep dan Teori 1.4.1
Konsep Konsep adalah pengertian abstrak dari jumlah konsepsi-konsepsi atau
pengertian, pendapat (paham) yang telah ada dalam pikiran (Bachtiar, 1997:10). Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya (dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia 1998). Atau dengan kata lain, konsep merupakan istilah dari kata analisa atau analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan 13
dugaan akan sebenarnya. Struktur adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur
yang
berhubungan
satu
sama
lain
dalam
satu
kesatuan
(Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005). Sinunő dalam Kamus Bebas Bahasa Nias berarti nyanyian, sedangkan yang bernyanyi artikan Si Manunő. Nyanyian disebut juga dengan musik vokal, yang menggunakan suara manusia sebagai sumber utamanya. Pertunjukan menurut Richard Schechner (1997:161) adalah suatu proses yang memerlukan ruang dan waktu, yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan terdiri dari persiapan bagi pemain maupun penonton, pementasan, aftermath (yang terjadi setelah pertunjukan selesai). Menurut Singer (1995:165) pertunjukan adalah sesuatu yang selalu memiliki waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton, tempat pertunjukan, dan kesempatan untuk mempertunjukkannya. Sedangkan menurut Sediawaty (1981:58-60) seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan teknis sebagai bahan. Selain hal tersebut, seni pertunjukan dibagi kedalam dua kategori yaitu: (1) seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton saling berhubungan. Dalam hal ini seni yang terdapat dalam tari Ya’ahowu/fanari Ya’ahowu yaitu seni vokal, musik, dan tari. 14
Fanari dalam Kamus Bahasa Nias berarti menari atau menarikan. Jika dilihat dari pengertiannya, tari merupakan gerak tubuh manusia yang sama sekali tidak lepas dari unsur ruang, waktu, dan tenaga. Ada juga yang mengartikan bahwa tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dalam bentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika. Haukin mengatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasai dan di beri bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan si pencipta (Haukins, 1990:2). Dalam konteksnya, beberapa unsur gerak tari yang tampak meliputi gerak, ritme, dan bunyi musik, serta unsur-unsur pendukung lainnya. Ya’ahowu dalam Kamus Bahasa Nias (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia berarti “Semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh yang maha kuasa. Sedangkan Kota Gunungsitoli adalah, kota terbesar di pulau Nias saat ini, membuat kota ini menjadi salah satu tujuan orang dari pelosok desa atau perkampungan di pulau Nias untuk pergi berimigrasi ke kota Gunungsitoli. Di samping itu Kota Gunugsitoli memiliki penduduk yang beragam (heterogen). Hal ini ditandai dengan banyaknya orang-orang Kota GunungSitoli yang tinggal menetap bukan hanya berasal dari Nias itu sendiri melainkan dari luar Nias seperti orang Padang, Batak, Aceh, dan orang-orang keturunan Tionghoa.
15
1.4.2
Teori Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Sebagai landasan berfikir dalam melihat permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis mempergunakan dua teori utama untuk membedah dua permasalahan utama. Untuk mengkaji masalah struktur melodi digunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), dan untuk mengkaji struktur teks (lirik) lagu digunakan teori semiotik. Sinuno atau nyanyian berhubungan erat dengan bahasa (tekstual). Terkadang juga nynyian berhubungan erat dengan musik. Ada 2 faktor yang paling mendasar di dalam hubungan bahasa dan musik, antara lain : 7
Bahasa di dalam musik yang meliputi hubungan tekstual, sifal quistik atau gaya bahasa.
8
Musik di dalam bahasa meliputi masalah eksistensi sikap atau masalah dari bahasa. Menurut Steven Feld dan Hugo Zemp,vocabulari yang sebelumnya
dianggap sebagai tata bahasa saja, tetapi berhubungan dengan kebiasaan masyarakat seperti bentuk musik, nyanyian vokal, nyanyian pengiring dalam sebuah pertunjukan tari. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori William P. Malm (1977:15) untuk menganalisis sinunő (nyanyian), yang membahas scale (tangga nada), nada dasar, range (wilayah nada), frequency of notes (jumlah nada-nada), prevalent interval (interval yang dipakai), cadence patterns (pola-pola kadensa), melodic formula (formula melodi), dan contour (kontur). Penulis juga melakukan 16
pendekatan seperti yang ditawarkan Nettl (1963:89), yaitu: (1) menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) menuliskan apa yang kita dengar itu di atas kertas, dan kemudian mendeskripsikan apa yang kita lihat itu. Dalam hal ini penulis hanya akan menganalisa nyanyian , yaitu sinuno sebagai nyanyian vocal,bagaimana nada-nadanya, interval yang di pakai, bagaimana irama nyanyian itu. Untuk menganalisis pertunjukan penulis berpedoman pada Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat di dalam pertunjukan, dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji, penyaji dan penonton) diantara variabelvariabel wilayah yang berbeda. Dari segi tari, penulis mengutip apa yang dikatakan Soedarsono (1972:8198), mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak tetapi gerak-gerak di dalam tari bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan perasaan manusia, yang didalamnya mengandung maksudmaksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud simbolis (abstrak) yang sukar untuk dimengerti, hal ini diperbuat agar makna tari itu berbeda dari apa yang dinamakan “pantonim” yang menggunakan gerakan-gerakan yang mudah dimengerti. Qureshi (1986:135-136) menekankan bahwa pentingnya proses dari analisa yang terkait dimana adanya interaksi diantara dua pandangan yang berbeda yaitu
17
bukan hanya sekedar penyajian musikal, karena setiap peristiwa yang terkait memiliki makna tertentu bagi masyarakat pendukungnya.
1.5 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Penulis juga menggunakan metode
penelitian kualitatif
umumnya
ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti.
Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin,
baik dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam. Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sach dalam Nettl (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work). Metode penelitiaan yang digunakan juga memakai metode penelitian deskriptif, merupakan penelitian
yang berusaha
mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, dan akibat atau efek yang terjadi (Sukmadinata 2006:72). Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.
18
1.5.1
Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dilakukan sebagai landasan dalam hal
penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dalam hal ini penulis mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Penulis juga mempelajari buku-buku tentang asal usul Orang Nias, buku tentang bagaimana Nias di zaman dahulu. Penulis juga mempelajari bagaimana kebudayaan Nias dulu, bagaimana kesenian- kesenian yang terdapat di masa dulu serta kaitannya kepada kebudayaan musik sekarang, serta membaca jurnal-jurnal yang membahas dan berkaitan dengan kebudayaan Nias. Dalam mencari informasi yang berhubungan dan mendukung dengan tulisan ini serta dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian, penulis melakukan studi kepustakaan. Ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan yang berguna untuk melengkapi hal-hal yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian lapangan. Selain itu penulis juga mencari penjelasan dari internet yang mana dari literatur tersebut diharapkan dapat membantu penyelesaian dari penulisan skripsi ini.
19
1.5.2
Kerja Lapangan Penelitian lapangan ini dilakukan dengan metode pengumpulan data
dengan cara wawancara dan perekaman. Sebelum wawancara, penulis menyusun daftar pertanyaan untuk mengarahkan kepada pokok permasalahan yang ingin penulis ketahui. Namun demikian penulis tetap akan mengembangkan pertanyaan kepada hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian kualitatif menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data/informan yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selain itu juga penulis mengacu pada pendapat Merriam bahwa dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan.
Metode
lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu meliputi dasar-dasar teoritis yang menjadi acuan bagi teknik penelitin lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam, 1964:39-40). Penulis
juga
melakukan
pengamatan
langsung
ke
tempat
diselengarakannya pertunjukan fanari Ya’ahowu pada sebuah acara penyambutan tamu daerah yang menampilkan naynyian dan tarian tersebut di Kota Gunungsitoli dan melakukan perekaman langsung guna diteliti.
20
1.5.3
Wawancara Dalam rangka penelitian ini, penulis melakukan wawancara langsung
kepada objek yang di teliti, baik penarinya, penyanyinya serta pemusiknya yang berguna untuk mengumpulkan data-data yang akurat untuk penelitian ini. Menurut Moleong wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak-pihak yaitu pewawancara (interviewer) dan yang
diwawancari
(interview).
Patton
(dalam
Moleong,
1988:135),
mengungkapkan beberapa jenis wawancara, yaitu: (1) wawancara pembicaraan informal, (2) pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan (3) wawancara baku terbuka. Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1990:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.
1.5.4
Perekaman Data Visual dan Audio Perekaman data baik itu visual dan audio merupakan salah satu bagian
terpenting juga yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain menggunakan teknik wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pertunjukan Fanari Ya’ahowu ditampilkan pada acara
21
penyambutan tamu dengan langsung merekamnya dengan format video dan mengambil foto-foto tentang pertunjukan itu. Perekaman data ini di lakukan dengan menggunakan handycam Sony dan menggunakan camera Nikkon. serta merekam nyanyianatau sinuno melalui laptop yang menggunakan software Nuendo 4.2 dan menyimpannya dalam format mp3. Hasil dari rekaman ini kemudian di edit dan dipilih, sehingga dapat dimuat dalam data skripsi. Data nyanyian atau sinunő tersebut di pindahkan ke dalam satu notasi yang sifatnya visual agar mudah dipelajari.
1.5.5
Kerja Laboratorium Dari semua data yang diperoleh dari perekaman melalui penelitian
langsung, Semua data yang diperoleh di lapangan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna pengolahan dan penganalisisan data. Dalam kerja laboratorium ini juga penulis di bimbing langsung oleh dosen pembimbing yaitu: Bapak Fadlin dan Muhammad Takari yang juga mengarahkan penulis melalui pendekatan-pendekatan etnomusikologi tentang masalah yang penulis bahas. Sehingga jika terdapat kekurangan dapat langsung diperbaiki melalui saran dari dosen pembimbing.
22
1.5.6
Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan Di Nias terdapat banyak sanggar seni, baik itu sanggar seni yang berada di
bawah pembinaan atau naungan sekolah, seperti sanggar Sma Xaverius Gunungsitoli, Sanggar SMA Negeri 3 Gunungsitoli, Sanggar Perguruan Pemda (Pemerintah Daerah) Gunungsitoli, dan masih banyak lagi sanggar seni yang ada di bawah naungan sekolah lainnya. Ada juga sanggar seni yang dimiliki oleh instansi-instansi tertentu. Dalam pemilihan lokasi penelitian, penulis menetapkan Sanggar Bolalahina Sma Negeri 1 Kota Gunungsitoli yang merupakan sanggar pencipta tari Ya’ahowu dan sanggar ini juga merupakan sanggar yang paling banyak di undang untuk mengisi setiap acara-acara yang menampilkan kesenian-kesenian Nias. Sanggar ini di pilih karena di sanggar inilah banyak terdapat informasiinformasi yang berhubungan dengan penelitian yang di kerjakan oleh penulis. Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan. Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari terlebih dahulu adalah informan pangkal yaitu orang yang terlebih dahulu penulis kenal yang mampu membeikan informasi yang penulis butuhkan sebelum melakukan penelitian. Informan pangkal inilah nantinya yang akan membawa atau mengarahkan penulis kepada informan kunci. Adapun kapasitas dan criteria informan kunci ini adalah orang yang mengetahui tentang Sinuno dalam tari Ya’ahowu dan memberikan semua informasi yang penulis butuhkan. Informan kunci yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Ibu Adiria Zendrato (42) dan Ibu Eka Gulo (45). Ibu Adiri Zendrato dan Ibu Eka Gulo dianggap oleh masyarakat Nias di Gunungsitoli 23
sebagai orang yang banyak memahami sinuno untuk tari Ya’ahowu. Keduanya melatih dan menghasilkan para penari Ya’ahowu dengan kualitas estetik dan teknis yang dipandang baik. Keduanya juga berwawasan budaya dalam konteks memaknai tari dan lagu ini.
24