1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhannya merupakan hak asasi setiap orang. Dalam hal ini yang dimaksud makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.1 Suatu produk makanan dan minuman untuk sampai kepada konsumen tidak terjadi secara langsung tetapi melalui jalur pemasaran yaitu pelaku usaha atau media perantara. Akibat proses industrialisasi dalam memproses produk makanan dan minuman timbul permasalahan hukum sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk makanan dan minuman yang cacat dan berbahaya yang merugikan konsumen, baik materi maupun immateri. Para pakar kesehatan mengatakan, bahwa kesehatan seseorang ditentukan oleh apa yang ia makan dan minum. Pernyataan tersebut sulit dibantah, karena secara nyata memang membuktikan apa yang kita makan menentukan kualitas kesehatan kita. Jika makanan dan minuman tidak
1
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Kemanan Mutu dan Gizi Pangan Pasal 1 angka 1
2
memenuhi standar dan/atau persyaratan kesehatan, maka tidak diragukan lagi kualitas kesehatan kita buruk. Sebaliknya jika kita selalu mengkonsumsi makanan yang memenuhi standar kesehatan, dapat dipastikan kualitas kesehatan kita terjamin. Dalam Pasal 111 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Dengan demikian, undang-undang kesehatan dengan tegas menentukan bahwa makanan yang beredar haruslah aman untuk kesehatan. Industri rumah tangga makanan maupun minuman merupakan salah satu industri yang sangat potensial dan memiliki prospek yang baik untuk ditumbuhkembangkan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya industri rumah tangga yang tersebar secara luas di seluruh pelosok tanah air meski dalam jenis dan skala usaha yang berbeda-beda. Faktor yang mendukung tumbuhkembangnya industri rumah tangga adalah bahwa industri tersebut hampir 100% menggunakan bahan baku yang tersedia di dalam negeri, dipasarkan dalam negeri, dikonsumsi masyarakat secara luas, dan memberikan kontribusi bagi pengembangan ekonomi masyarakat kecil.2 Konsumen dalam menentukan suatu makanan yang diproduksi dari usaha rumahan yang baik tentunya juga melihat dari kemasan dari pangan tersebut yang sudah tertera label halal, komposisi, tanggal kadaluwarsa dan nomor Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Produk makanan 2
Abrianto, “Pertanggungjawaban terhadap Produk Industri Rumah Tangga (Home Industri) Tanpa Izin Dinas Kesehatan”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2012, hlm. 37
3
hasil industri rumah tangga ini banyak ditemukan di daerah-daerah yang mana biasanya memproduksi makanan khas untuk oleh-oleh sebagai ciri khas di daerah tersebut. Pelaku industri rumah tangga yang melakukan produksi walaupun dalam skala yang kecil tetapi tidak boleh melanggar sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu masalah yang dalam masyarakat yakni banyaknya beredar produk industri rumah tangga yang tidak memiliki izin dinas kesehatan. Kebanyakan dari pelaku industri rumah tangga menyadari hal tersebut, karena usaha mereka sudah berjalan maka banyak pelaku usaha industri rumah tangga mengelabuhi Dinas Kesehatan dan BPOM. Sehingga banyak ditemui produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan (bahan tambahan pangan, cemaran mikroba, tanggal kadaluarsa), masih banyaknya kasus keracunan, masih rendahnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggungjawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan pangan. Suatu produk industri rumah tangga khususnya produk pangan harus sesuai dengan standar agar aman dikonsumsi. Produk industri rumah tangga yang telah memiliki izin dari Dinas Kesehatan berarti produk tersebut telah sesuai standar atau persyaratan keamanan, mutu, serta manfaat dari produk tersebut, sebaliknya produk industri rumah tangga yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan baik itu berupa produk makanan maupun minuman tentu saja belum melewati tahap pemeriksaan oleh pihak yang berwenang memeriksa.
4
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan bahwa “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan
barang
dan/atau
jasa
yang
tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu”.3 Pencantuman tanggal kadaluwarsa ini merupakan hak konsumen yang harus dilakukan oleh pelaku usaha agar konsumen mendapat informasi yang jelas mengenai produk yang dikonsumsinya. Masyarakat sebagai konsumen perlu dilindungi dari pangan yang merugikan dan membahayakan kesehatan. Oleh karena itu Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi konsumen dan para pelaku usaha akan hak dan kewajibannya. Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. 4 Hal ini juga tercantum di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Oleh karena itu berbicara mengenai perlindungan konsumen berarti mempersoalkan mengenai jaminan ataupun kepastian mengenai terpenuhinya hak-hak konsumen.5
3
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 ayat (1) huruf g Jamus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.9. 5 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, hlm.3. 4
5
Pada kenyataannya, hak-hak konsumen kerap diabaikan oleh pelaku usaha dalam memproduksi barang dan/atau jasa yang dalam hal ini adalah makanan. Sebagai contoh kasus, ditemukannya 35 merek abon sapi yang beredar di pasaran positif mengandung DNA babi. Hasil penelitian itu diungkap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dari uji sampel di enam kota, yakni Jambi, Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor dan Bandung.6 Salah satu merek abon yang ditemukan mengandung daging babi yaitu merek Linmas dari produsen Langgeng Salatiga. Produk abon babi yang ditemukan tersebut, mencantumkan nomor pendaftaran produk namun nomor yang dicantumkan setelah dicek ternyata palsu dan bahkan produk tersebut memiliki stempel halal dari MUI. Tindakan produsen tersebut jelas melanggar Undang-undang perlindungan konsumen. Berdasarkan contoh kasus di atas dapat dikatakan bahwa tidak semua makanan yang ditawarkan oleh pelaku usaha aman dan sehat untuk dikonsumsi. Hal ini bisa disebabkan dari cara pembuatan makanan yang menggunakan alat-alat yang tidak steril, bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan makanan yang kurang bahkan tidak memenuhi standar mutu dan gizi pangan, dan bisa juga karena makanan tersebut sudah ditambahkan dengan bahan tambahan yang berbahaya. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengadakan penulisan hukum dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN OLEH PELAKU USAHA INDUSTRI RUMAH
6
Republika online mobile, “lima merek Abon Sapi Haram”, http://m.republika.co.id/berita/shortlink/44604, diakses pada tanggal 4 Desember 2015 Pukul 22.49
6
TANGGA TERHADAP KEAMANAN PANGAN ABON DI UD. CAP LOMBOK SALATIGA”. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana perlindungan konsumen yang diberikan oleh Pelaku Usaha Industri Rumah Tangga terhadap keamanan pangan abon di UD. Cap Lombok? 2. Bagaimana peran Dinas Kesehatan dalam upaya perlindungan konsumen terhadap beredarnya produk makanan Industri Rumah Tangga?