BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Usaha pertanian merupakan bidang usaha yang mempunyai risiko karena
seringkali dilakukan di area terbuka.
Huirne (2002: 251-252) menyebutkan
bahwa sistem perusahaan pertanian merupakan sistem yang unik, stochastic, terbuka dan dinamis dengan pendapatan sebagai tujuan.
Keunikan ini
berhubungan dengan lokasi,sejarah, sarana dan orang-orang dalam pertanian tersebut. Stochastic berhubungan dengan kebiasaan dari penduduk, tanaman dan hewan, dan ketidakpastian karakter dari lingkungan. Perusahaan pertanian dapat dikatakan dinamis dan terbuka karena sistem ini
berinteraksi secara terus
menerus dengan lingkungannya. Kamus Bahasa Indonesia (kamusbahasaindonesia.org) mendefinisikan risiko sebagai akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Dalam hal ini risiko memiliki kemungkinan terjadi hasil yang buruk/tidak baik. Djojosoedarso (2003) menyebutkan bahwa risiko selalu dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya sesuatu yang merugikan yang tidak diduga/tidak diinginkan.
Dengan demikian risiko
mempunyai karakteristik: 1.
merupakan ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa;
2.
merupakan ketidakpastian bila terjadi akan menimbulkan kerugian. Hardaker
et.al.(2004:5-7)
mendefinisikan
ketidakpastian
sebagai
pengetahuan yang tidak sempurna dan risiko sebagai konsekuensi yang tidak
1
pasti, khususnya konsekuensi yang tidak baik.
Risiko dalam pertanian
adalah:production risk, price risk atau market risk, institutional risk, humanatau personal risk, business riskdan financial risk. Petani memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap risiko. Hardaker et. al. (2004:7) menyebutkan bahwa sebagian besar orang tidak menyukai risiko (risk averse).
Shahraki dan Saeedlan (2013:1) menyebutkan bahwa petani yang
bersifat risk averseakanberhati-hati dalam menggunakan input yang berbeda karena setiap input akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap fluktuasi dan production risk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shahraki dan Saeedian (2014) mengenai pengaruh dari penggunaan input terhadap peningkatan kesejahteraan petani kurma di Iran menunjukkan bahwa perubahan secara teknik dapat mengurangi produktivitas dan production risk namun dapat meningkatkan kesejahteraan petani pada Tahun 2011/2012 sebesar 912.727,21. Akan tetapi, produktivitas dan risk premiummengalami pertumbuhan positif pada tahun 2010/2011 dan pada akhirnya menurunkan kesejahteraan petani sebesar 1.041.478.Risk premium adalah jumlah minimum di atas nilai yang diharapkan yang dibutuhkan untuk mengajak seseorang untuk mengikuti sebuah pertaruhan (Williams et. al., 1998: 6). Sektor pertanian yang meliputi pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan menjadi mata pencaharian utama di Indonesia. Badan Pusat statistik (2013) menyebutkan bahwa sebanyak 38.882.134 dari 110.808.14 penduduk yang berusia diatas 15 tahun atau sebesar 35 persen bekerja pada sektor 1 (lihat Gambar. 1). Kesalahan pengelolaan sektor 1 dan kegagalan dalam mengelola
2
risiko di sektor 1 akan membawa dampak bagi sebagian besar penduduk Indonesia, terutama yang bekerja langsung di sektor 1.
Oleh karena itu,
pengelolaan risiko (risk management) di sektor 1 perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Schaffnit-chartterjee (2010) menyebutkan bahwa manajemen risiko pada pertanian penting dilakukan karena walaupun pengurangan risiko tidak selalu meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi kegagalan dalam mengelola risiko akan berakibat langsung pada pendapatan petani, stabilitas pasar dan secara potensial ketahanan pangan.
1 2,662,216
17,100,896
4,998,260
2
38,882,134
3 4
23,155,798
5 6
15,367,242
7 1,601,019
6,791,662 248,927
8 9
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013) Gambar 1.1 Distribusi Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2012 Keterangan: 1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 2. Pertambangan dan penggalian 3. Industri Pengolahan. 4. Listrik, gas dan air. 5. Bangunan. 6. Perdagangan besar dan eceran, rumah makan dan hotel. 7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi 8. Keungan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan 9. Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan
Sektor kehutanan merupakan usaha tani yang menggunakan tanaman keras sebagai tanaman utama dengan kayu dan bukan kayu sebagai produk utama.
3
Usaha tani tanaman keras ini memerlukan rentang waktu yang cukup panjang sejak penanaman sampai dengan pemanenan. Petani di Pulau Jawa yang memiliki komoditas utama tanaman Sengon (Falcataria mollucana) membutuhkan waktu minimal 5 tahun untuk dapat memanen kayu sebagai hasil utama. Dalam rentang waktu tersebut petani dapat melakukan pemanenan berupa penjarangan yang gunanya untuk memberi ruang tumbuh bagi tanaman yang dominan dan berkualitas bagus. Jadi, penjarangan ini pada umumnya merupakan penebangan tanaman yang mempunyai kualitas kurang baik. Akan tetapi, terkadang petani juga tergiur untuk melakukan pemanenan tanaman dengan kualitas bagus sebelum waktunya. Hal ini terjadi bila petani membutuhkan biaya untuk suatu kegiatan, misalnya untuk biaya hajatan. Usaha tani tanaman keras di Indonesia belum menjadi prioritas dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh belum adanya peraturan yang mengatur perdagangan kayu maupun perlindungan terhadap usaha tani jenis ini. Fluktuasi dan ketidaktransparanan harga kayu tidak diperhatikan pemerintah. Pemberian bantuan pun hanya bersifat stimulan, misalnya dengan pemberian bibit tanaman. Akan tetapi, fasilitas dalam pemeliharaan seperti pemberian pupuk bersubsidi tidak diberikan. Berbeda halnya dengan pertanian tanaman pangan.
Usaha pertanian
tanaman pangan selalu dipantau dan mendapat fasilitas dari pemerintah, misalnya dengan adanya pemberian pupuk bersubsidi, adanya pemantauan harga dan perdagangan tanaman pangan serta adanya perlindungan khusus usaha tani tanaman pangan melalui Undang-Undang No. 19 tahun 2013 tentang
4
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Undang-undang ini menyebutkan bahwa pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem.
Dengan melihat pengertian ini dapat
diketahui bahwa usaha tani tanaman keras yang menjadikan kayu sebagai komoditas utama tidak termasuk ke dalam UU tersebut. Berkurangnya hasil hutan alam dan perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan di beberapa tempat di luar Pulau Jawa industri kayu tidak diikuti oleh penurunan permintaan akan komoditas kayu bulat. Produksi kayu di Indonesia sejak Tahun 2002 – 2011 mengalami fluktuasi tetapi menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama pada produksi kayu bulat yang meningkat tajam dari 9.004.105 m3 pada tahun 2002 menjadi 47.429.335 m3 pada Tahun 2011 (Gambar 1.2). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan dan permintaan kayu yang tidak dapat dipenuhi oleh kayu alam maupun kayu dari hutan tanaman di luar Pulau Jawa. Sebagian besar kebutuhan kayu bulat tersebut dipenuhi oleh kayu dari hutan rakyat.
Seiring dengan hal tersebut, industri
pengolahan kayu pun mulai menjamur di berbagai lokasi di Pulau Jawa, salah satunya di Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.
5
50,000,000 45,000,000 40,000,000 35,000,000 30,000,000
Kayu Bulat
25,000,000
Kayu Gergajian
20,000,000
Kayu Lapis
15,000,000 10,000,000 5,000,000 2002200320042005200620072008200920102011
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012) Gambar 1.2 Produksi Kayu Hutan Tahun 2002-2011
Kabupaten Batang yang memiliki luas wilayah 78.864,16 ha, pada Tahun 2008 meraih Juara I Lomba Bupati Peduli Kehutanan Tingkat Nasional. Kabupaten Batang memiliki hutan rakyat seluas 10.071,34 ha atau 12,77 persen dari luas Kabupaten Batang (Badan Pusat Statistik Batang, 2013).
Adapun
sebaran hutan rakyat di Kabupaten Batang dapat dilihat pada Tabel 1.1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tabel 1.1 Sebaran Hutan Rakyat di Kabupaten Batang Tahun 2012 Kecamatan Luas Wilayah (ha) Luas Hutan Rakyat (ha) persen Wonotunggal 5.235,27 449,99 8,6 Bandar 7.332,80 1.147,93 15,65 Blado 7.838,92 398,98 5,09 Reban 4.633,38 1.225,89 26,46 Bawang 7.384,51 695,99 9,42 Tersono 4.932,98 206,98 4,2 Gringsing 7.276,64 364,98 5,02 Limpung 3.341,66 558,98 16,73 Subah 8.352,17 1.215,98 14,56 Tulis 4.508,78 977,98 21,69 Batang 3.434,54 463,72 13,5 Warungasem 2.355,38 266,4 11,31 Kandeman 4.175,67 741,98 17,77 Pecalungan 3.618,97 495,98 13,71 Banyuputih 4.442,50 859,58 19,35 Jumlah 78.864,17 10.071,34 12,77 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan (2013)
6
Dari Tabel1.1 dapat diketahui bahwa hutan rakyat di Kabupaten Batang tersebar di semua kecamatan dengan jumlah terbesar di Kecamatan Reban sebanyak 1.225,89 ha atau sebesar 26,46 persen dari luas wilayah kecamatan tersebut dan sama dengan 1,55 persen dari luas wilayah Kabupaten Batang. Kecamatan Tersono menjadi kecamatan dengan luas hutan rakyat paling sedikit yaitu sebanyak 206,98 ha atau sebesar 4,2 persen dari luas wilayah kecamatan tersebut dan 0,26 persen dari luas wilayah Kabupaten Batang.
Wilayah
Kecamatan Reban merupakan kecamatan yang berada di kawasan Pegunungan Dieng bagian utara. Kecamatan ini mempunyai topografi yang bergunung dan menjadi kawasan lindung yang berfungsi sebagai catchment area (daerah tangkapan air) bagi wilayah di sekitarnya. Hutan rakyat di Kabupaten Batang mampu memproduksi sebanyak 123.339,42 m3 kayu bulat.Produksi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Batang belum dapat memenuhi kebutuhan dari industri baik yang memiliki Izin Usaha Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) maupun yang belum memiliki izin IUIPHHK. Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Batang menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2012 jumlah industri pengolahan kayu yang berizin di Kabupaten Batang sebanyak 28 perusahaan. Tahun 2013 sampai dengan bulan Agustus 2014 terdapat pengajuan IUIPHHK baru sebanyak 24 perusahaan. Lonjakan jumlah perusahaan sebanyak 24 perusahaan selama kurun waktu 1,5 tahun seharusnya diikuti pula dengan peningkatan kualitas dan kuantitas kayu.Perbandingan antara produksi kayu hutan rakyat dan kebutuhan kayu dapat dilihat pada Tabel 1.2.
7
Tabel 1.2 Tabel Produksi Kayu Hutan Rakyat dan Kebutuhan Kayu Industri Tahun 2013 Produksi Kayu Rakyat Rimba Campuran (m3) 5.983,97
Sengon (m3)
Kebutuhan Bahan Baku Jumlah (m3)
Berizin (m3)
Tidak Berizin (m3)
117.355,45 123.339,42 184.600 340.000 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Batang (2013)
Jumlah (m3) 524.600
Dari Tabel 1.2 dapat diketahui bahwa produksi kayu rakyat di Kabupaten Batang hanya mampu memenuhi 23,5 persen dari total kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu yang ada di Kabupaten Batang. Tingginya permintaan akan kayu yang diikuti dengan rendahnya produksi kayu rakyat seharusnya membuat posisi tawar petani sebagai pemilik kayu lebih kuat dan mampu menentukan harga.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, harga kayu
ditentukan oleh pembeli dalam hal ini tengkulak dan pengepul. Pada umumnya petani mengalami kesulitan dalam menembus perusahaan industri pengolahan kayu secara langsung. Hal ini termasuk ke dalam price risk atau market risk. Ketidakpedulian pemerintah dalam tata usaha perkayuan membuat risiko harga semakin meningkat. Adanya serangan hama dan penyakit menjadi salah satu faktor yang memengaruhi produksi kayu di Kabupaten Batang. Penyakit karat tumor dan hama ulat kantong mewabah di Kabupaten Batang sejak Tahun 2009. Hama penggerek batang juga mulai menyerang pada akhir Tahun 2013 di beberapa tempat. Inilah yang menjadi production risk bagi usaha tani tanaman keras di Kabupaten Batang. Berbagai usaha sudah dilakukan oleh dinas/instansi terkait, diantaranya adalah dengan memberikan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan serta pemberian bantuan berupa bibit tanaman, obat-obatan serta alat pengendali
8
serangan hama dan penyakit tanaman tersebut. Risiko produksi ini berpengaruh langsung terhadap produksi kayu bulat. Sebatang pohon yang sudah terkena serangan hama dan penyakit pada umumnya akan mengalami penurunan mutu secara drastis dan dapat menyebabkan kayu tidak dapat digunakan untuk memasok bahan baku pada industri pengolahan kayu.Bila hal ini dibiarkan maka yang mungkin akan terjadi adalah sebagai berikut. 1.
Perusahaan/industri pengolahan kayu akan memindahkan lokasi industrinya ke wilayah kabupaten lain.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya
pengangguran dan hilangnya mata pencaharian penduduk di sekitar lokasi industri, misalnya pedagang makanan dan minuman serta pengusaha kostkostan. 2.
Perusahaan akan mempertahankan industrinya di wilayah Kabupaten Batang tetapi akan mendatangkan bahan baku dari wilayah kabupaten lain. Hal ini tidak akan menyebabkan pengangguran tetapi akan mengurangi kesejahteraan petani hutan sebagai pemasok bahan baku. Tidak adanya pengaturan lalu lintas perdagangan kayu antarwilayah membuat perusahaan dengan mudah mencari bahan baku dari wilayah lain, sedangkan posisi tawar petani sebagai pemilik bahan baku akan semakin lemah. Penelitian mengenai dampak peningkatan risiko usaha tani tanaman keras
terhadap pendapatan petani hutan ini dilakukan di wilayah Kabupaten Batang karena potensi hutan rakyatnya yang cukup besar dan belum adanya penelitian serupa di kabupaten ini. Penelusuran pustaka yang telah dilakukan menunjukkan bahwa analisis risiko di Indonesia lebih banyak dilakukan pada tanaman semusim
9
seperti bawang merah, padi, dan kentang.
Penelitian akan mengambil kasus
tanaman Sengon yang saat ini sedang menjadi primadona di Kabupaten Batang. Adanya serangan hama dan penyakit tanaman membuat risiko usaha tani tanaman Sengon menjadi semakin tinggi tetapi di sisi lain animo masyarakat untuk menanam Sengontetap tinggi.
1.2
Keaslian Penelitian Penelitian mengenai dampak peningkatan risiko usaha tani tanaman keras
masih jarang dilakukan. Di Indonesia penelitian mengenai risiko lebih banyak dilakukan pada usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta perkebunan.Saptana et. al.(2010) melakukan penelitian mengenai perilaku petani cabai merah dalam menghadapi risiko.
Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa petani cabai merah berani dalam mengambil risiko (risk taker).
Marianty (2010) melakukan penelitian mengenai risiko produksi dan
pendapatan petani pada usaha tani jagung di Kota Palangkaraya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jagung lokal memiliki risiko usaha tani yang lebih tinggi daripada jagung unggul. Anggraeni (2008) melakukan penelitian mengenai risiko usaha tani tanaman Karet alam klon lama dan baru di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa risiko biaya dan risiko produksi usaha tani klon baru lebih tinggi daripada klon lama, sedangkan risiko pendapatan usaha tani klon baru lebih rendah daripada klon lama dan pendapatan usaha tani klon baru lebih tinggi daripada usaha tani klon lama. Di luar negeri, Bergiford (2013) melakukan penelitian mengenai variasi perilaku petani dalam menghadapi keuntungan dan kerugian dalam bertani.
10
Qiujie (2010) menggunakan asumsi bahwa petani lebih memilih menghindari risiko (risk averse) dan ingin memaksimalkan manfaat dari keuntungan dan ketidakpastian. Selain itu, penelitian mengenai risiko di luar negeri lebih bersifat spesifik, seperti yang dilakukan oleh Xu et. al.(2011), yang melakukan penelitian mengenai risiko pertanian di lahan rawan bencana. Penelitian mengenai risiko dalam usaha tani di luar negeri juga sudah mengarah ke pola asuransi. Dalam hal ini para peneliti melakukan penelitian mengenai efisiensi operasional pada pendapatan dalam kontrak asuransi tanaman (Tejeda, 2010) dan penilaian dari kontrak permanen yang ditawarkan oleh The Washington State Department of Natural Resources dan metode penilaian pohon berdiri (Petrasek, 2010).
Pope et.al.(2011) melakukan penelitian mengenai
konsistensi dari level keengganan dalam menghadapi risiko. Brunette dan Couture (2013) melakukan penelitian mengenai perilaku petani hutan dalam menghadapi peningkatan risiko di Eropa dengan menggunakan 2 alat yaitu financial savings dan physical savings. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dengan segala keterbatasan pada permukaan lahan, pemilik akan memilih alat yang menawarkan rate of return yang paling besar, kecuali jika kedua alat tersebut tidak dapat saling menggantikan secara sempurna. Dengan asumsi luas permukaan lahan tetap dapat mengarahkan pemilik untuk dua alat pengeloalaan risiko secara bersamaan.
Peneliti juga menggunakan hasil
comparative static untuk menginvestigasi pendapatan, forest stocks, harga kayu dan opportunity cost.Dari penelitian ini juga dapat diketahui pengaruh intervensi
11
pemerintah terhadap keputusan pengelolaan risiko yang diambil oleh pemilik lahan. Blennow dan Sallnas (2002) menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki kemauan untuk menginvestasikan modal dalam rangka untuk memperkecil risiko baik dengan membayar asuransi maupun dengan melakukan tindakanlain. Andersson et. al. (2010) melakukan penelitian mengenai perbedaan sikap antara perempuan dan laki-laki dalam menghadapi risiko dalam pengelolaan hutan milik non industri. Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan lebih toleran dalam menghadapi risiko finansial daripada laki-laki. Secara ringkas studi-studi empiris terdahulu yang berkaitan dengan dampak peningkatan risiko usaha tani disajikan dalam Tabel 1.3 berikut. No 1.
2.
3.
4.
Tabel 1.3 Rangkuman Studi-studi Empiris Mengenai Risiko Usaha Tani Peneliti Metoda dan Alat Analisis Hasil Penelitian Bergjford Pengolahan data dengan tabel Terdapat variasi perilaku petani (2013) dan grafik. Analisis dilakukan dalam menghadapi keuntungan dan secara statistik deskriptif. kerugian dalam bertani.Investasi Variabel yang digunakan: lebih dipengaruhi oleh keuntungan investasi, konsumsi, intensitas saat itu, sedangkan kerugian akan produksi dan unexpected memengaruhi divestasi. monetary losses and gains. Qiujie (2010) Menggunakan metode non Menggunakan asumsi petani parametrik untuk mengestimasi sebagai risk averse dan ingin bivariate distribusi panen dan memaksimalkan kegunaan yang 3 model untuk diharapkan dari keuntungan dan studi mengestimasi persamaan ketidakpastian. supplydi bawah harga dan jumlah output yang tidak tentu untuk tanaman biofuel. Saptana et. Pengolahan data menggunakan Input yang bersifat mengurangi al.(2010) fungsi produksi Cobb-Douglas risiko adalah penggunaan benih, dan pendekatan Stochastic pupuk N, PPC dan tenaga kerja luar keluarga, sedangkan input lain Production Frontier. bersifat meningkatkan risiko. Perilaku petani cabai adalah berani mengambil risiko (risk taker). Marianty Analisis data dengan Ordinary Risiko produksi dan pendapatan (2010) Least Square (OLS) dan usahatani jagung lokal lebih tinggi analisis usaha tani. daripada risiko usahatani jagung unggul.
12
Tabel 1.3 lanjutan Metoda dan Alat Analisis Menggunakan metode deskriptif analitis. Pengolahan data dengan uji t test, analisis koefisien variansi (CV) dan STBO-focus loss.
No 5.
Peneliti Anggreni (2008)
6.
Petrasek (2010)
Metode Monte Carlo.
7.
Tejeda (2010)
8.
Pope et. (2011)
al.
Menggunakan metode parametrik dan distribusi normal, metode Copula. Dan Extention of Regime Switching Dynamic Correlations (RSDC). Pengolahan data menggunakan ekonometri.
9.
Xu et. (2011)
al.
10.
Brunette dan Couture (2013) Blennow dan Sallnas (2002)
Menggunakan Comparative Static.
Andersson (2010)
Penelitian dilakukan dengan cara survei dengan mengirimkan surat ke 1000 pemilik lahan dengan luas lebih besar daripada 25 ha. Pengolahan data dilakukan dengan analisis statistik.
11.
12.
Menggunakan metode Peak over Treshold (PoT) dan Value at risk (VaR).
metode
Pengambilan data melalui kuesioner dan pengolahan data dengan analisis statistik.
Hasil Penelitian Terdapat perbedaan risiko dalam penggunaan Karet klon baru dan klon lama. Kerugian yang dialami petani karet berdampak tidak langsung karena petani masih memperoleh pendapatan. Menunjukkan masalah penilaian dari kontrak pemanenan yang ditawarkan oleh The Washington State Department of Natural Resources serta menentukan metode penilaian pohon berdiri. Terdapat efisiensi operasional pada pendapatan kontrak asuransi tanaman dan ada korelasi antar pasar yang terpengaruh oleh kondisi kenaikan konsumsi jagung. Data yang diperoleh konsisten dengan level dari keengganan terhadap risiko. Pendekatan untuk mengumpulkan data kerugian di lahan pertanian dan model probability distribution dari kerugian akibat bencana di lahan pertanian. Ada dua alat dalam menghadapi risiko yaitu financial savings dan physical savings. Mayoritas pemilik lahan hutan mempunyai kemauan untuk menginvestasikan modalnya untuk mengurangi risiko. Penyusunan Financial Dependence Index (FDI) dan Risk Tolerance Index (RTI).
Keaslian penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah pada metode yang digunakan.
Penelitian yang dilakukan di Indonesia pada
umumnya memakai koefisien variansi yang diperoleh dari standar deviasi sebagai alat untuk menghitung tingginya tingkat risiko.
Penelitian ini menggunakan
deviasi antara harga yang diharapkan (dalam hal ini sama dengan harga pasar)
13
dengan harga yang diterima oleh petani yang kisarannya ada di bawah harga pasar. Standar deviasi menghitung semua harga yang tidak sama dengan harga pasar, dalam hal ini baik diatas maupun dibawah harga pasar sebagai risiko, padahal harga diatas harga pasar bukanlah merupakan risiko, tetapi windfall (atau rezeki nomplok) bagi petani hutan. Pada penelitian ini harga jual diatas harga pasar akan disisihkan dan dilakukan perhitungan tersendiri tetapi bukan sebagai risiko.
1.3
Rumusan Masalah Usaha tani pada tanaman keras mempunyai risiko karena jangka waktu
penanaman yang cukup lama dan berada di area yang cukup terbuka. Adanya ketidakpastian cuaca dan harga serta kemungkinan terjadi serangan hama/penyakit dan kejadian tanah longsor menjadi sumber peningkatan risiko.
Selain itu,
pencurian dan perubahan tren jenis komoditas yang disukai dan dibutuhkan oleh dunia industri serta harga kayu yang cenderung fluktuatif semakin memperbesar tingkat risiko dari usaha tani tanaman keras ini. Peningkatan risiko ini akan berpengaruh pada tingkat pendapatan petani hutan yang pada umumnya menggantungkan hidupnya dari lahan yang dimiliki.
1.4
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pada studi pustaka dan review hasil-hasil penelitian
sebelumnya diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1.
Berapa besar peluang (probabilitas) suatu pohon akan terkena risiko (kasus pada serangan hama dan penyakit pada tanaman Sengon).
14
2.
Berapa besar pengaruh risiko usaha tani tanaman keras terhadap pendapatan petani hutan?
1.5
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh dari risiko
usaha tani tanaman keras terhadap pendapatan petani hutan.
Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengidentifikasi besarnya peluang (probabilitas) suatu pohon terkena serangan hama dan penyakit pada suatu lahan/hamparan yang sudah terkena serangan hama dan penyakit. 1.6
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
bagi pemerintah selaku pengambil kebijakan: dapat menentukan kebijakan yang tepat untuk mengurangi dampak peningkatan risiko usaha tani tanaman keras, misalnya dengan menerapkan sistem asuransi;
2.
bagi petani: mengetahui tingkat risiko yang dihadapi dalam mengelola usaha tani tanaman keras sehingga dapat melakukan pengelolaan risiko dengan tepat, misalnya apakah ke depannya akan tetap menggunakan pola usaha tani tersebut, beralih ke pola usaha tani lainnya atau melakukan diversifikasi usaha tani;
3.
bagi peneliti lain: memperkaya acuan bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai risiko usaha tani tanaman keras;
15
1.7
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I yang merupakan Pendahuluan berisi latar belakang penelitian, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian dan manfaat dari penelitian ini.
Bab II merupakan Landasan Teori/kajian pustaka yang
mendasari penelitian ini.
Bab ini akan menguraikan teori yang melandasi
penelitian ini dan kajian terhadap penelitian terdahulu. Bab III berisi Metoda Penelitian yang berisi desain penelitian, metoda pengumpulan data, metoda penyampelan, definisi operasional, instrumen penelitian dan metoda analisis data. Bab IV merupakan Analisis yang akan menguraikan data yang diperoleh dan analisis terhadap data tersebut.
Bab V
merupakan Penutup yang berisi
kesimpulan, implikasi, keterbatasan penelitian dan saran.
16