BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang melanda Indonesia membawa dampak yang luar biasa, sehingga meruntuhkan fundamental ekonomi negara dan jatuhnya penguasa pada tahun 1998. Krisis yang terjadi diikuti dengan gerakan reformasi di semua bidang, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan pendidikan. Sebelum reformasi bergulir atau dikenal dengan masa orde baru pola pemerintahan bersifat sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti menjadi desentralisasi yang ditandai dengan lahirnya UU no. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian lebih dikenal dengan Undang Undang Otonomi Daerah. Lahirnya undang-undang tersebut di atas memberi kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerah masing-masing. Dalam bidang ekonomi setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola potensi daerah masing-masing untuk meningkatkan pendapatan daerah seperti pengelolan pajak daerah, yang diatur dalam UU no. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah yang kemudian diubah dengan UU no. 34 Tahun 2000 tentang Peraturan Umum Retibusi Daerah dan Pajak Daerah dengan aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) no. 65 Tahun 2001 yang meliputi pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak 1
2
reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C, dan pajak parkir. Pada UU no. 18 Tahun 1997, pengenaan pajak atas hotel dan restoran dijadikan satu, tetapi pada UU no. 34 Tahun 2000 pajak atas hotel dan restoran berdiri sendiri menjadi pajak hotel dan pajak restoran. Perubahan ini dilakukan guna memenuhi sistem perpajakan daerah yang sederhana, adil, efektif dan efisien, dengan dipisahnya pajak hotel dan pajak restoran, maka diharapkan setiap pemerintah daerah dapat menetukan jenis pajak yang berlaku di daerahnya masing-masing, sesuai dengan potensi yang ada dan masyarakat dapat dengan mudah memahami jenis pajak yang berlaku. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terdiri dari lima daerah tingkat dua, yaitu Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul. Kelima daerah tingkat dua diatas memiliki potensi daerah yang berbeda-beda sesuai dengan sumber daya yang ada. Potensi daerah yang ada sangat beragam mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri kerajinan tangan, pariwisata, pertambangan dan lain-lain. Dari berbagai potensi diatas bidang pariwisata menjadi salah satu andalan propinsi DIY dalam meningkatkan penerimaan PAD melalui pemungutan pajak. Industri pariwisata dikenal juga sebagai industri jasa yang mengutamakan pelayanan dan kenyamanan, disamping itu pariwisata juga harus dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai seperti hotel dan restoran. Wilayah Propinsi DIY yang terkenal sebagai salah satu tujuan wisata domestik dan manca negara terdapat banyak hotel dan restoran sebagai sarana pendukung dalam ke
3
pariwisataan. Hotel-hotel tersebut menyebar pada kelima wilayah tingkat dua, mulai dari hotel kelas melati sampai dengan hotel berbintang lima. Sama halnya dengan hotel maka restoran juga sangat penting untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan dan juga masyarakat lokal. Sesuai dengan peraturan yang berlaku maka pajak hotel dan pajak restoran merupakan pajak daerah yang dikelolah oleh daerah dan menjadi salah satu sumber penerimaan dalam APBD. Penerimaan pajak hotel dan pajak restoran diharapkan mengalami peningkatan dari tahun ketahun seiring dengan peningkatan pengembangan potensi yang ada sehingga tetap dapat menjadi salah satu penyumbang pendapatan asli daerah. Tetapi pada kenyataannya di setiap daerah wisata terjadi pasang surut jumlah wisatawan yang secara langsung mempengaruhi jumlah tamu yang menginap di hotel dan jumlah tamu yang makan di restoran, sehingga penerimaan daerah melalui pajak hotel dan pajak restoran juga berubah. Faktor-faktor yang mempengaruhi pasang surut jumlah wisatawan tersebut dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal. Dimana faktor internal adalah kepuasan wisatawan terhadap sarana yang ada seperti hotel, restoran, transportasi dan juga obyek-obyek wisata yang ada, apabila faktor-faktor tersebut di atas mengalami peningkatan maka secara otomatis jumlah wisatawan akan meningkat dan juga sebaliknya apabila faktor-faktor tersebut mengalami penurunan baik kualitas maupun kuantitas maka yang terjadi adalah penurunan jumlah wisatawan. Sedangkan faktor eksternal yang sangat berpengaruh adalah keamanan dan situasi politik global, dimana kedua faktor ini sangat mempengaruhi khususnya wisatawan manca negara yang merupakan sasaran utama dalam industri wisata saat ini. Seperti contoh: aksi terorisme yang terjadi di Bali membawa dampak
4
jumlah wisatawan ke daerah tersebut menurun drastis, di daerah Yogyakarta sendiri belum pernah terjadi aksi terorisme tetapi keamanan wisata di daerah ini pernah terganggu dengan adanya gempa bumi pada tahun 2006 yang berdampak terhadap penurunan jumlah wisatawan sampai 90 % dengan kerugian hotel bintang tiga sampai bintang lima 30-50 juta rupiah per hari. Faktor politik global juga dapat mempengaruhi industri pariwisata dan hal ini sering terjadi seperti adanya peringatan resmi yang dikeluarkan suatu negara agar warganya tidak berkunjung ke suatu negara atau dikenal dengan trafic warning, peringatan ini bisa dikeluarkan akibat hubungan politik yang memanas antara dua negara. (hhtp//javacrisismediacentre.com) Agar penerimaan asli daerah melalui sektor pajak hotel dan pajak restoran tetap menjadi andalan maka setiap daerah perlu membangun sektor industri wisata dan prasarana yang ada, dengan catatan bahwa faktor eksternal seperti keamanan dan politik global tidak terganggu, sehingga jumlah wisatawan terus meningkat baik lokal maupun manca negara. Untuk mengetahui potensi penerimaan pajak hotel dan pajak restoran tersebut maka penulis mencoba mengadakan penelitian mengenai “Analisis Potensi Pajak Hotel dan Pajak Restoran di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sesuai Dengan UU no. 34 Tahun 2000”
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pencapaian penerimaan pajak hotel dan restoran di Propinsi DIY efisien? 2. Apakah pertumbuhan pajak hotel dan restoran di Propinsi DIY berpotensi?
5
3. Apakah potensi pajak hotel dan restoran dalam Pajak Daerah (PD) dan pendapatan asli daerah (PAD) di Propinsi DIY unggul? 4. Apakah potensi pajak hotel dan restoran di Propinsi DIY untuk periode yang akan datang berkembang? 5. Apakah matriks pajak hotel dan restoran di Propinsi DIY berpotensi?
1.3. Batasan Masalah 1.3.1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Propinsi DIY yang meliputi lima wilayah kabupaten/kota, antara lain : 1. Kotamadya Yogyakarta 2. Kabupaten Sleman 3. Kabupaten Bantul 4. Kabupaten Kulon Progo 5. Kabupaten Gunung Kidul 1.3.2. Objek Penelitian Penelitian dilakukan terhadap pajak daerah secara khusus yaitu pajak hotel dan pajak restoran, dengan data penunjang seperti: jumlah hotel, jumlah restoran, jumlah wisatawan, tingkat hunian kamar, PAD, Pajak Daerah (PD) dan artikel-artikel yang berhubungan. 1.3.3. Penelitian dibatasi dari tahun anggaran 2003 hingga tahun anggaran 2007 karena keterbatasan data.
6
1.3.4. Peningkatan potensi apabila basis penerimaan obyek pajak hotel dan pajak restoran meningkat, diukur dengan perubahan tingkat efisiensi, tingkat pertumbuhan. 1.3.5. Potensi pajak hotel dan pajak restoran diukur dari tingkat pertumbuhan. 1.3.6. Potensi efisiensi dihitung melalui tingkat efisiensi/Collection Ratio (CR), yaitu keterkaitan antara potensi, target dan realisasi dalam pencapaian pajak hotel dan pajak restoran, dengan membandingkan realisasi terhadap target. 1.3.7. Potensi pertumbuhan dihitung melalui tingkat pertumbuhan pajak hotel dan pajak restoran yang merupakan rata-rata perubahan realisasi pajak hotel dan pajak restoran. 1.3.8. Potensi keunggulan pajak hotel dan pajak restoran terhadap pajak daerah dan pendapatan asli daerah dihitung melalui analisis Contribution (C) dan Location Quotient (Q).
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui
besarnya
efisiensi
kinerja
pemerintah
daerah
dalam
melaksanakan pajak hotel dan pajak restoran. 2. Mengetahui besarnya pertumbuhan penerimaan pajak hotel dan pajak restoran. 3. Mengetahui seberapa besar potensi keunggulan pajak hotel dan pajak restoran terhadap pajak daerah dan penerimaan asli daerah.
7
4. Mengetahui matriks potensi pajak hotel dan restoran di Propinsi DIY. 5. Mengetahui potensi perkembangan pajak hotel dan pajak restoran daerahdaerah di Propinsi DIY untuk periode yang akan datang.
1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1.5.1. Pemerintah Propinsi DIY Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Propinsi DIY terhadap perencanaan dan kebijakan keuangan daerah, khususnya pajak hotel dan pajak restoran. 1.5.2. Mahasiswa Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian berikutnya yang ada hubungannya dengan pajak daerah khususnya pajak hotel dan pajak restoran. 1.5.3. Penulis Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi penulis tentang keterkaitan antara teori-teori yang diperoleh dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam dunia kerja khususnya mengenai pajak.