BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ulkus kaki diabetik sampai saat ini menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia, karena kasus yang semakin meningkat, ulkus bersifat kronis dan sulit sembuh, mengalami infeksi dan iskemia tungkai dengan risiko amputasi bahkan mengancam jiwa, membutuhkan sumber daya kesehatan yang besar, sehingga memberi beban sosio-ekonomi bagi pasien, masyarakat, dan negara. Berbagai metode pengobatan telah dikembangkan namun sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Peningkatan populasi penderita diabetes mellitus (DM), berdampak pada peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi kronis DM, dimana sebanyak 15-25% penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik di dalam hidup mereka
(Singh
dkk.,
2005).
Di
Amerika
Serikat,
Huang
dkk.
(2009)
memproyeksikan jumlah penyandang DM dalam 25 tahun ke depan (antara tahun 2009-2034) akan meningkat 2 kali lipat dari 23,7 juta menjadi 44,1 juta, biaya perawatan per tahun meningkat sebanyak 223 miliar dolar dari 113 menjadi 336 miliar dolar Amerika Serikat. Biaya pengobatan DM dan komplikasinya pada tahun 2007 di Amerika Serikat mencapai 116 miliar dolar, dimana 33% dari biaya tersebut berkaitan dengan pengobatan ulkus kaki diabetik ( Driver dkk, 2010). Di Indonesia, berdasarkan laporan Riskesdas 2007 yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik 1
2
Indonesia, prevalensi nasional penyakit DM adalah 1,1% (Riskesdas, 2007). Indonesia kini telah menduduki rangking keempat jumlah penyandang DM terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta penyandang DM dengan tingkat prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Pusat Data dan Informasi PERSI, 2012). Risiko infeksi dan amputasi masih cukup tinggi, yaitu 40-80% ulkus kaki diabetik mengalami infeksi (Bernard, 2007), 14-20% memerlukan amputasi (Frykberg dkk., 2000), 66% mengalami kekambuhan dan 12% memiliki risiko amputasi dalam 5 tahun setelah sembuh. Kebanyakan pasien datang berobat dalam fase lanjut, terlihat dari proporsi ulkus kaki diabetik Wagner III-V mencapai 74,6 % dibandingkan dengan Wagner I-II yang hanya mencapai 25,4 % dari seluruh kasus ulkus kaki diabetik yang dirawat di RS Sanglah, dengan kecendrungan semakin tinggi derajat ulkus semakin besar risiko amputasi (Muliawan dkk., 2005). Keadaan ini sangat berkaitan dengan keterlambatan diagnosis dan konsultasi, penanganan yang tidak adekuat, serta luasnya kerusakan jaringan (Van Baal, 2004). Amputasi kaki lebih sering dilakukan atas dasar infeksi jaringan lunak yang luas atau kombinasi dengan osteomielitis, disamping faktor-faktor lain seperti iskemia oleh karena Peripheral artery disease (PAD), dan neuropati (Van Baal, 2004 ; Widatalla
3
dkk., 2009). Dengan program pelayanan kesehatan yang terstruktur, dimana semua disiplin ilmu yang terkait bekerja secara koordinatif tercapai penurunan bermakna angka amputasi major ulkus kaki diabetik lebih dari 75% dibandingkan dengan pelayanan standar (Weck, 2013). Tanpa adanya perubahan strategi penanganan, maka peningkatan populasi penderita DM, dan peningkatan biaya pengobatan DM dan komplikasinya, akan menjadi beban berat bagi sistem pelayanan kesehatan. Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik menurut Tellechea dkk. (2010) terjadi karena empat faktor yaitu adanya hiperglikemia yang berlangsung secara terus menerus, lingkungan pro-inflamasi, penyakit arteri perifir, dan neuropati perifir, keempat keadaan di atas secara bersam-sama menyebabkan gangguan fungsi sel imun, respon inflamasi menjadi tidak efektif, disfungsi sel endotel, dan gangguan neovaskularisasi. Debridemen merupakan pengobatan standar ulkus kaki diabetik sampai saat ini, disamping off-loading dan restorasi perfusi kulit. Meskipun saat ini juga berkembang pengobatan berbasis terapi gen seperti autologous growth factor, recombinant growth factor, bioengineered cell-base therapies (Kirsner, dkk., 2010). Namun sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Memahami dasar-dasar molekuler dari penyakit ini, merupakan hal penting untuk melangkah ke depan menuju pengobatan yang rasional, karena karakteristik sistemik dari DM menyebabkan gangguan di dalam beberapa fungsi dasar sel (Lobmann,dkk., 2005). Strategi baru harus dikembangkan dan diimplementasikan pada pasien ulkus kaki diabetik, sehingga diperlukan segera perubahan paradigma di dalam perawatan ulkus kaki diabetik, dengan memperhatikan gangguan vaskuler (Lepantalo dkk., 2011), karena semua ulkus kronis menunjukkan hipoksia jaringan, dan tekanan
4
oksigen lokal pada ulkus kronis berkisar setengah dari normal sehingga terjadi gangguan replikasi fibroblast, deposisi kolagen, angiogenesis, vaskulogenesis, dan leukosit. Velazques (2007) Telah diketahui bahwa peripheral artery disease (PAD) merupakan salah satu bentuk gangguan vaskuler pada ulkus kaki diabetik sebagai sumber penyebab hipoksia jaringan, karena kebanyakan ulkus kaki diabetik berlokasi pada bagian kaki yang mengalami iskemia akibat komplikasi vaskuler dari DM kronis (Lerman, 2003).
Kejadian PAD pada ulkus kaki diabetik bervariasi antara 10-60%, dan
merupakan prediktor kuat untuk ulkus kaki kronis yang sulit sembuh, amputasi ektremitas bawah, morbiditas dan mortalitas (Tellechea dkk., 2010). Untuk restorasi perfusi kulit karena hipoksia jaringan akibat adanya PAD, sesuai dengan pedoman pengobatan PAD yang telah disepakati (ACC/AHA guideline for PAD, 2006) meliputi program latihan, farmakologi, dan revaskularisasi baik endovaskuler atau operasi bypass (Hirsch dkk., 2006). Bentuk gangguan vaskuler lain
yang diduga sebagai penyebab hipoksia
jaringan adalah adanya peningkatan tekanan kompartemen kaki yang terjadi pada ulkus kaki diabetik. Beberapa laporan kasus menyebutkan adanya sindroma kompartemen pada pasien DM yang memicu iskemia jaringan dan berakhir dengan nekrosis jaringan, sehingga diduga ada indikasi keterkaitan antara DM, peningkatan tekanan
intrakompartemen,
iskemia
jaringan,
serta
nekrosis
jaringan
(Munichoodappa, 1999 ; Pamoukian, 2000 ; Jose, 2004 ; Flamini dkk.,2008). Bukti kuat mendukung terjadinya peningkatan tekanan kompartemen kaki berkaitan dengan DM adalah laporan Lower dan Kenzora (1994) yang melakukan pengukuran
5
empat kompartemen kaki dari pasien dengan neuropati diabetes berat, ditemukan bahwa pada kompartemen medial dari kaki pasien neuropati diabetes lebih tinggi daripada pasien kaki normal, walaupun perbedaannya tidak bermakna, sedangkan pada kompartemen interoseus dan kompartemen sentral perbedaannya bermakna. Mekanisme peningkatan tekanan kompartemen kaki adalah melalui peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, terbukti dari ditemukannya peningkatan permeabilitas mikrovaskuler pada DM baik pada percobaan binatang maupun pada pasien selama fase awal dan lanjut dari penyakitnya, hal ini karena perubahan struktur dan fungsi kapiler menyebabkan gangguan pertukaran molekul melalui membran endotel ke interstitiil
(Bouskela dkk., 2003). Pengamatan di klinik
mendukung temuan di atas, sebab pada pasien ulkus kaki diabetik sering ditemukan edema berkepanjangan dan berulang. Fasiotomi pada umumnya dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai 30 mmHg, atau 30 mmHg dibawah MAP (Mean Arterial Pressure) atau 10-30 mmHg dibawah tekanan darah diastolik (Fulkerson,dkk., 2003). Sedangkan pada ulkus kaki diabetik, fasiotomi dikerjakan jika terdapat infeksi jaringan yang dalam dan berat seperti fasiitis nekrotikan, gas gangren, selulitis asenden, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau instabilitas metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Van Baal, 2004 ; Bernard, 2007 ; Zgonis dkk., 2008). Tujuan fasiotomi adalah mengurangi perbedaan tekanan transmural antara mikrosirkulasi dan interstitial sehingga barier perfusi yang mengakibatkan hipoksia, asidosis dan iskemia jaringan dapat dicegah (Fulkerson, dkk., 2003 ; Frink dkk, 2010). Belum ada laporan tentang pengukuran tekanan
6
intrakompartemen kaki sebagai penilaian rutin dalam penanganan ulkus kaki diabetik, dan juga belum ada laporan tentang fasiotomi pada ulkus kaki diabetik yang mengalami infeksi superfisial. Tekanan oksigen memegang peranan utama dalam regulasi ekspresi gen VEGF (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). VEGF meningkat oleh hipoksia secara in vitro, namun data secara in vivo pada penyakit-penyakit hipoksia kronis masih menjadi pertentangan (Oltmanns dkk., 2006). Diabetic fibroblast meningkatkan produksi VEGF pada
tidak mampu
level normal didalam merespon keadaan
hipoksia sehingga kadar VEGF menjadi rendah akibat akumulasi advanced glycosylation end-products (AGEs) didalam sel-sel yang terpapar dengan hiperglikemia kronis dan kerusakan oksidatif akibat dari produksi berlebihan dari mitochondrial oxidative stressors, keduanya menimbulkan kerusakan sel permanen meskipun lingkungan telah normoglikemia (Lerman, 2003). Gangguan molekuler tersebut bisa terletak di dalam sistem transduksi signal baik yang mengalir turun pada reseptor ( signal transduction defect ) atau pada level reseptor itu sendiri (Waltenberger, 2007). Sebaliknya hiperoksia merangsang pelepasan sel endotel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang, namun
sel-sel ini bisa efektif
meningkatkan vaskulogenesis jika cytokine milieu didalam dasar ulkus adalah optimal (Velazquez, 2007). Fasiotomi yang bertujuan mengurangi perbedaan tekanan transmural antara mikrosirkulasi dan interstitial sehingga barier perfusi yang mengakibatkan hipoksia, asidosis dan iskemia jaringan dapat dicegah (Fulkerson, dkk., 2003 ; Frink dkk, 2010), memungkinkan untuk mencapai keadaan normoksia atau bahkan hiperoksia, sehingga terjadi aktivasi terhadap keratinosit, fibroblast, sel
7
endotel, makrofag, dan platelet untuk melepaskan VEGF sebagai growth factor yang sangat penting dan poten di dalam proses angiogenesis penyembuhan luka (Brem dan Tomic-Canic , 2007) Lobmann dkk. (2005) menerangkan hubungan gangguan fungsi sel, ketidakseimbangan inflamasi, protease, sitokin, dan growth factor. Dijelaskan bahwa pada ulkus kaki diabetik terjadi peningkatan apoptosis fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblas, dan reaksi inflamasi memanjang, terbukti dengan adanya neutrofil granulosit
dalam jumlah besar di dalam luka. Neutrofil granulosit
mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF-α dan interleukin-1 β (IL-1β). Kedua sitokin ini merangsang sintesa matrix metaloprotease (MMP), menyebabkan degradasi matrik protein dan growth factor sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi (Lobmann dkk., 2005). VEGF salah satu growth factor yang memiliki
peran penting dalam neovaskularisasi penyembuhan luka
(Brem dkk., 2009). Beberapa literatur melaporkan adanya peningkatan kadar TNF-α di dalam jaringan ulkus diabetik pasien maupun hewan coba (Lobmann dkk., 2005 ; Goldberg dkk., 2007 ; Leung dkk., 2008 ; Siquiera dkk., 2010), peningkatan TNF-α lokal maupun sistemik pada pasien
DM tipe-2 (Maltezos dkk., 2002), penurunan
kadar VEGF di dalam jaringan ulkus diabetik (Frank dkk.,1995, Brem dan TomicCanic, 2007), dan pada neuropati diabetik (Quatrtrini dkk., 2008). Lingkungan proinflamasi yang meningkat dan memanjang pada ulkus kaki diabetik yang ditandai oleh peningkatan TNF-α, diikuti penurunan VEGF karena proses degradasi oleh TNF-α, disebabkan oleh kontaminasi bakteri dan trauma berulang, dimana endotoksin bakteri, fragmen matriks ekstraseluler, sel-sel detritus
8
mempertahankan inflamasi ini (Lobmann dkk., 2005). Debridemen adalah tindakan operasi untuk menghilangkan kontaminasi bakteri, endotoksin bakteri, fragmen matriks ekstraseluler, sel-sel detritus, membuang kalus. sehingga dengan membuang faktor yang mempertahankan inflamasi di dasar ulkus yang memicu sekresi TNF-α, terjadi perubahan lingkungan lokal (perubahan cytokine milieu di dasar ulkus), berupa penurunan TNF-α diikuti dengan peningkatan VEGF, sehingga sel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang
bisa efektif meningkatkan vaskulogenesis
sehingga terjadi perbaikan klinis dari ulkus kaki diabetik. Velazquez ( 2007) Karena penyembuhan luka memerlukan pengendalian infeksi, perbaikan inflamasi, regenerasi matrik jaringan ikat, angiogenesis / vaskulogenesis, konstriksi luka, dan reepitelisasi (Velazquez, 2007), maka debridemen merupakan langkah penting dan menentukan pada penanganan ulkus kaki diabetik sebagai usaha wound bed preparation dengan mengubah suasana lingkungan atau milieau lokal dari suasana luka kronis menjadi suasana luka akut, untuk merangsang dan mempercepat proses penyembuhan luka (Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal, 2004 ; Vourisalo, 2009). Sel endotel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang bisa efektif meningkatkan vaskulogenesis dan penyembuhan, hanya jika cytokine milieu di dasar ulkus adalah optimal (Velazquez, 2007). Jumlah dan fisiologi jangka panjang mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali ditentukan oleh lingkungan-mikro setempat (host microenviroment), lingkungan ini merupakan elemen penting dari rantai proses seluler yang menjembatani invasi seluler serta remodeling jaringan (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Tanpa adanya respon
9
angiogenesis yang tepat, fase berikutnya dari proliferasi sel dan deposisi matrik menjadi lambat (Lerman, 2003). Pada waktu debridemen, terjadi perdarahan baru sehingga tindakan debridemen pada ulkus kaki diabetik akan mampu meningkatkan kadar VEGF, karena pada hewan coba menunjukkan bahwa ekspresi VEGF meningkat dalam 24 jam setelah luka terjadi dan kadar VEGF mencapai puncaknya pada hari ketiga dan ketujuh dan menurun secara bermakna setelah itu. Periode ini merupakan periode pembentukan jaringan granulasi, sehingga penemuan ini menunjukkan bahwa VEGF memiliki peranan penting dan kuat dalam angiogenesis (Frank dkk., 1995). Oleh karena VEGF hanya meningkat pada fase awal penyembuhan luka dan berlangsung sementara, meskipun selanjutnya kadar VEGF tetap dipertahankan oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag, memunculkan hipotesis bahwa VEGF hanya dilepaskan selama perdarahan luka berlangsung (Frank dkk., 1995). Hal yang penting di dalam perawatan ulkus adalah perkembangan ulkus. Beberapa peneliti mengajukan metode untuk menilai perbaikan, meramalkan kesembuhan, dan mengevaluasi pengobatan ulkus dengan menggunakan pengukuran area ulkus (Shaw dkk., 2007; Lavery dkk., 2008; Rogers dkk., 2010), namun identifikasi tepi luka dan pengukuran area ulkus merupakan hal yang sulit. Woodbury dkk. (2004) mengemukakan alat bantu yang diberi nama Leg Ulcer Measurement Tool (LUMT) dengan beberapa keuntungan yaitu LUMT dapat digunakan oleh satu atau lebih penilai (asesor), penilaian penampakan ulkus dapat diperbanyak, dan mencatat perubahan ulkus sepanjang waktu. Semakin kecil nilai LUMT berarti perbaikan ulkus semakin besar.
10
Dengan melihat bukti-bukti bahwa terjadi peningkatan tekanan kompartemen sejak awal dan berlangsung secara bertahap dan kronis sesuai dengan durasi DM, memicu hipoksia jaringan ditambah dengan lingkungan ulkus yang proinflamasi, menyebabkan ulkus kaki diabetik menjadi sulit sembuh bahkan sampai amputasi, maka tindakan fasiotomi dapat memiliki peran di dalam mengurangi tekanan intrakompartemen kaki sehingga hipoksia jaringan dapat dihilangkan, disamping untuk membuka kantong-kantong infeksi di dalam kompartemen sehingga pengendalian infeksi menjadi lebih baik. Secara biomolekuler tindakan fasiotomi mengembalikan keadaan hipoksia menjadi normoksia bahkan mungkin hiperoksia, peningkatan aktivasi seluler yang melepaskan VEGF sehingga terjadi peningkatan VEGF. Sedangkan debridemen memiliki peran di dalam memberikan perubahan suasana luka kronis menjadi akut, menghilangkan faktor-faktor yang merangsang sekresi TNF-α, sehingga terjadi penurunan TNF-α diikuti dengan penurunan degradasi VEGF. Walaupun debridemen sendiri sangat rasional di dalam menurunkan TNF-α yang diikuti dengan penurunana degradasi VEGF, tetapi tidak dapat memperbaiki oksigenasi jaringan. Atas dasar itu kami melakukan penelitian mengenai debridemen dengan fasiotomi yang dikerjakan secara simultan baik pada ulkus dengan derajat ringan maupun berat, untuk melihat pengaruhnya terhadap penurunan TNF-α dan peningkatan VEGF, serta perbaikan klinis ulkus kaki diabetik yang diamati dengan instrumen LUMT. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
11
1. Apakah penurunan kadar TNF-α di dalam plasma penderita ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada
pasca
debridemen tanpa fasiotomi; 2. Apakah peningkatan kadar VEGF di dalam plasma penderita ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada
pasca
debridemen tanpa fasiotomi; 3. Apakah perbaikan klinis ulkus kaki diabetik (berdasarkan nilai LUMT) pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada pasca debridemen tanpa fasiotomi. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa debridemen dengan
fasiotomi secara simultan lebih baik dibandingkan dengan
debridemen tanpa fasiotomi dalam penanganan ulkus kaki diabetik. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Untuk membuktikan terjadi penurunan kadar TNF-α di dalam plasma penderita ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada pasca debridemen tanpa fasiotomi; 2. Untuk membuktikan terjadi peningkatan kadar VEGF
di dalam plasma
penderita ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada pasca debridemen tanpa fasiotomi.
12
3. Untuk membuktikan terjadi
perbaikan klinis ulkus kaki diabetik
(berdasarkan nilai LUMT) pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada pasca debridemen tanpa fasiotomi 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Manfaat akademik yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah : 1. Memberi sumbangan pemikiran dalam dunia kedokteran mengenai penerapan tehnik debridemen dan fasiotomi secara simultan
pada
penanganan ulkus kaki diabetik, untuk mencapai perbaikan klinis ulkus. Perbaikan klinis yang dihasilkan dari penerapan tehnik ini dicapai melalui patogenesis baru berupa perubahan lingkungan sitokin ulkus yaitu penurunan TNF-α dan peningkatan VEGF serta perubahan mikrosirkulasi jaringan yang dilakukan secara simultan. Dengan demikian tercapai keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan growth factor dalam proses penyembuhan ulkus. 1.4.2 Manfaat praktis Manfaat praktis yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai sumber informasi mengenai manfaat debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan pada penanganan ulkus kaki diabetik. 2. Debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan pada ulkus kaki diabetik, memberikan perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan dengan debridemen saja. Dengan demikian aplikasi debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan, dapat memperpendek masa
13
rawat, serta menurunkan angka amputasi. Perbaikan klinis dari tindakan debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan ini ditunjang oleh adanya perbaikan biomarker angiogenic growth factor seperti VEGF dan TNF-α plasma, yang sangat penting didalam proses angiogenesis dan penyembuhan ulkus kaki diabetik. 3. Debridemen dan fasiotomi yang dilakukan secara simultan pada ulkus kaki diabetik, dapat dipakai sebagai protokol rutin di dalam penanganan ulkus kaki diabetik.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ulkus Kaki Diabetik 2.1.1 Pengertian dan epidemiologi Ulkus adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis. Pengertian ulkus kaki diabetik termasuk nekrosis atau gangren. Gangren diabetikum adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh penyumbatan
pembuluh
darah
(ischemic
necrosis)
karena
mikroemboli aterotrombosis akibat penyakit vaskular perifir oklusi
adanya yang
menyertai penderita diabetes sebagai komplikasi menahun dari diabetes itu sendiri. Ulkus kaki diabetik dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan, dapat terjadi di setiap bagian tubuh terutama di bagian distal tungkai bawah (Gibbons dkk.,1995 ; Rutherford dkk., 1995 ; Cavanagh dkk., 1999). Pasien diabetes memiliki kecendrungan tinggi untuk mengalami ulkus kaki diabetik yang sulit sembuh dan risiko amputasi pada tungkai bawah, keadaan ini memberi beban sosioekonomi baik bagi pasien dan masyarakat. Jumlah penderita DM di Amerika Serikat akan meningkat 2 kali lipat dari 23,7 juta menjadi 44,1 juta antara tahun 2009-2034 (Huang dkk., 2009), 1525% akan mengalami ulkus di kaki didalam hidup mereka. Proporsi ulkus kaki diabetik derajat III-V mencapai 74,6 % dibandingkan dengan derajat I-II yang hanya mencapai 25,4 % dari seluruh kasus ulkus kaki diabetik yang 14
15
dirawat di RS Sanglah, semakin tinggi derajat ulkus semakin besar resiko amputasi (Muliawan dkk., 2005). 2.1.2 Patofisiologi ulkus kaki diabetik Ada beberapa komponen penyebab sebagai pencetus timbulnya ulkus kaki diabetik pada pasien diabetes, dapat dibagai dalam 2 faktor besar (Gibbons dkk., 1995 ; Singh dkk., 2005) yaitu : 2.1.2.1 Faktor kausatif -
Neuropati perifir (sensorik, motorik, autonom)
Merupakan Faktor kausatif utama dan terpenting. Neuropati sensorik biasanya derajatnya cukup dalam (>50%) sebelum mengalami kehilangan sensasi proteksi yang berakibat pada kerentanan terhadap trauma fisik dan termal sehingga meningkatkan resiko ulkus kaki. Tidak hanya sensasi nyeri dan tekanan yang hilang, tetapi juga propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki juga menghilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot-otot di kaki, mengakibatkan penonjolan tulang-tulang abnormal, arsitektur normal kaki berubah, deformitas yang khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Sedangkan neuropati autonom atau autosimpatektomi, ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenous di kulit , hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit , semuanya menjadikan kaki rentan terhadap trauma yang minimal
16
-
Tekanan plantar kaki yang tinggi
Merupakan faktor kausatif kedua terpenting. Keadaan ini berkaitan dengan dua hal yaitu keterbatasan mobilitas sendi ( ankle, subtalar, and first metatarsophalangeal joints ) dan deformitas kaki. Pada pasien dengan neuropati perifir, 28% dengan tekanan plantar yang tinggi, dalam 2,5 tahun kemudian timbul ulkus di kaki dibanding dengan pasien tanpa tekanan plantar tinggi. -
Trauma
Terutama trauma yang berulang, 21% trauma akibat gesekan dari alas kaki, 11% karena cedera kaki (kebanyakan karena jatuh), 4% selulitis akibat komplikasi tinea pedis, dan 4% karena kesalahan memotong kuku jari kaki 2.1.2.2 Faktor kontributif -
Aterosklerosis Aterosklerosis karena penyakit vaskuler perifir terutama mengenai pembuluh darah femoropoplitea dan pembuluh darah kecil dibawah lutut, merupakan faktor kontributif terpenting. Risiko ulkus, dua kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibanding dengan pasien nondiabetes.
-
Diabetes Diabetes menyebabkan gangguan penyembuhan luka secara intrinsik, termasuk diantaranya gangguan collagen cross-linking, gangguan fungsi matrik metalloproteinase, dan gangguan imunologi terutama gangguan fungsi PMN. Disamping itu penderita diabetes memiliki
17
angka onikomikosis dan infeksi tinea yang lebih tinggi, sehingga kulit mudah mengelupas dan mengalami infeksi. Pada DM, ditandai dengan hiperglikemia berkelanjutan serta peningkatan mediator-mediator inflamasi, memicu respon inflamasi, menyebabkan inflamasi kronis, namun keadaan ini dianggap sebagai inflamasi derajat rendah, karena hiperglikemia sendiri menimbulkan ganggguan mekanisme pertahanan seluler. Inflamasi dan neovaskularisasi penting dalam penyembuhan luka, tetapi harus sekuensial, self-limited, dan dikendalikan secara ketat oleh interaksi sel-molekul. Pada DM respon inflamasi akut dianggap lemah dan angiogenesis terganggu sehingga terjadi gangguan penyembuhan luka seperti terlihat pada gambar 2.1 (Tellechea dkk, 2010) Diabetes
Sustained hyperglycemia
Pro-inflamatory environment
Peripheral vascular disease
Peripheral neuropathy
Altered immune cell function Ineffective inflammatory response Endothelial cell dysfunction Impaired neovascularization
ABNORMAL WOUND HEALING Gambar 2.1 Gangguan penyembuhan luka pada diabetes (Dikutip dari Tellechea dkk., 2010)
18
2.1.3 Penilaian, klasifikasi, dan derajat ulkus kaki diabetik 2.1.3.1 Jenis-jenis ulkus kaki diabetik Ulkus kaki diabetik dibedakan atas 2 kelompok yaitu : (Edmon, 2006) 1. Ulkus neuropatik Kaki teraba hangat dan perfusi masih baik dengan pulsasi masih teraba, keringat berkurang, kulit kering dan retak. 2. Ulkus neuroiskemik Kaki teraba lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit tipis, halus dan tanpa rambut, ada atrofi jaringan subkutan, klaudikasio intermiten dan rest pain mungkin tidak ada karena neuropati 2.1.3.2 Penilaian ulkus kaki diabetik Untuk
mencegah
berkepanjangan,
maka
amputasi perlu
kaki
dan
penyembuhan
ulkus
mengetahui
akar
penyebabnya.
Untuk
mendapatkan data ulkus secara menyeluruh yang akan bermanfaat didalam perencanan pengobatan, perlu dilakukan penilaian-penilaian ulkus meliputi : (Van Baal, 2004 ; Khanolkar dkk., 2008) 1. Penilaian neuropati Riwayat tentang gejala-gejala neuropati, pemeriksaan sensasi tekanan dengan
Semmes-Weinstein monofilament 10 g, pemeriksaan sensasi
vibrasi dengan garpu tala 128 Hz
19
2. Penilaian struktur Identifikasi kelainan-kelainan struktur atau deformitas seperti penonjolan tulang di plantar pedis : claw toes, flat toe, hammer toe, callus, hallux rigidus, charcot foot. 3. Penilaian vaskuler Riwayat klaudikasio intermiten, perubahan tropi kulit dan otot, pemeriksaan pulsasi arteri, ABI, Doppler arteri, dilakukan secara sistematis. Iskemia berat atau kritis, apabila ditemukan tanda infeksi, kaki teraba dingin, pucat, tidak ada pulsasi, adanya nekrosis, tekanan darah ankle < 50 mmHg (Ankle Brachial Index < 0,5), TcPO2 < 30mmHg, tekanan darah jari < 30mmHg 4. Penilaian ulkus Pemeriksaan ulkus harus dilakukan secara cermat,teliti dan sistematis. Inspeksi harus bisa menjawab pertanyaan, apakah ulkusnya superfisial atau dalam, apakah mengenai tulang, sehingga bisa ditetapkan derajat ulkus secara akurat. 2.1.3.3 Klasifikasi dan derajat ulkus kaki diabetik Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini seperti, klasifikasi Wagner, University of Texas wound classification system (UT), dan PEDIS ( Perfusion, Extent / size, Depth / tissue loss, Infection, Sensation ). Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas, menggambarkan derajat luas dan berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan ikhtiar pengobatan (Oyibo dkk., 2001 ; Widatalla dkk., 2009 ). Kriteria diagnosa
20
infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat 2 atau lebih tanda-tanda berikut : bengkak, indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal, teraba hangat lokal, adanya pus (Bernard, 2007 ; Lipsky dkk.,2012). Infeksi dibagi dalam infeksi ringan (superficial, ukuran dan dalam terbatas), sedang (lebih dalam dan luas), berat (disertai tanda-tanda sistemik atau gangguan metabolik) (Lipsky dkk., 2012). Termasuk dalam infeksi berat seperti fasiitis nekrotikan, gas gangren, selulitis asenden, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau instabilitas metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Zgonis dkk., 2008). Klasifikasi Wagner ( dikutip dari Oyibo dkk., 2001). Grade 0
Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi
Grade I
Ulkus superfisial terlokalisir.
Grade II
Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi, belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses
Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi osteomielitis, abses atau selulitis. Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal. Grade V Gangren seluruh kaki. 2.1.4 Pengukuran area ulkus Salah satu ketentuan paling dasar dari perbaikan ulkus adalah berkurangnya ukuran ulkus
dari waktu ke waktu. Dengan berkurangnya
ukuran ulkus, bisa dipakai untuk meramalkan penyembuhan ulkus, sehingga pengukuran luka merupakan komponen penting dari keberhasilan penanganan
21
ulkus (Shaw dkk., 2007 ; Rogers dkk., 2010). Beberapa metode untuk bisa menilai, meramalkan kesembuhan, dan mengevaluasi pengobatan ulkus diabetik telah diajukan oleh beberapa peneliti.
Lavery dkk. (2008)
melaporkan tentang kemungkinan penyembuhan ulkus diabetik berdasarkan persentase pengurangan area ulkus. Ulkus yang mencapai pengurangan area sebesar ≥15%
pada minggu pertama memiliki kemungkinan sembuh
sebanyak 68%, atau jika pengurangan area ulkus sebesar ≥ 60% pada minggu kempat, memiliki kemungkinan sembuh sebesar 77%. Besarnya perubahan area ulkus pada awal minggu pertama pengobatan dapat memperkirakan kemungkinan sembuh pada minggu ke 16, serta dapat mengetahui secara rasional untuk mengevaluasi kembali ulkus dan mengubah jenis terapi. Sedangkan Coerper dkk. (2009) meneliti apakah pengurangan area ulkus >50% dalam 4 minggu pengobatan diikuti dengan kemungkinan peningkatan kesembuhan ulkus yang lebih besar. Persentase pengurangan area ulkus dalam 4 minggu menurut Coerper adalah : [ ( area (4
minggu ) / area ( baseline ) )
x 100 ) / area ( baseline ) ]. Kemungkinan sembuh secara keseluruhan adalah 35% setelah 12 minggu, 41% setelah 16 minggu, dan 73% setelah 1 tahun. Pengurangan area ulkus >50% dalam 4 minggu pengobatan diikuti dengan kemungkinan peningkatan kesembuhan ulkus yang lebih besar. Penghitungan persentase pengurangan area ulkus setelah 4 minggu, dapat dipakai untuk memperkirakan kemungkinan sembuh, dan mengevaluasi kembali pengobatan yang sudah dan akan diberikan.
22
Identifikasi secara tepat dari tepi luka serta pengukuran luas luka merupakan hal yang sulit. Ada beberapa tehnik pengukuran area atau volume ulkus seperti planimetri, tehnik digital fotografi, ,pengukuran luka menggunakan penggaris yang sederhana (Shaw dkk., 2007 ; Rogers dkk., 2010). Tehnik yang paling sederhana dan standar untuk menghitung area ulkus adalah ukuran ulkus yang terpanjang dikalikan dengan ukuran ulkus terlebar. Keterbatasan dari tehnik ini adalah interpretasi subyektif dan variasi diantara pengukur berbagai variasi bentuk disamakan secara linear kedalam dimensi panjang kali lebar, padahal penghitungan panjang kali lebar secara matematis hanya bisa diterapkan dan akurat
pada ulkus berbentuk
bujursangkar atau segiempat. Sehingga terdapat kelebihan perhitungan sebesar 40% dari perhitungan yang sebenarnya dibandingkan dengan tehnik planimetri (Rogers dkk., 2010). Metode planimetri, memakai film transparan yang ditempelkan diatas ulkus, tepi ulkus dijiplak pada film, film discan secara digital, jumlah kotak yang terisi dihitung secara manual, selanjutnya dikalkulasi melalui komputer. Tehnik ini hasilnya lebih akurat dibanding dengan tehnik standar memakai penggaris sederhana (Rogers dkk., 2010) Metode fotografi merupakan sebuah alternatif yang akurat untuk mengukur area luka, tehnik ini menjadikan
luka bersih dan tidak
terkontaminasi, karena kontak dengan dasar luka bisa dihindarkan. Metode fotografi yaitu luka difoto dimana gambar dalam foto tersebut sudah ada
23
bingkai pengukur untuk memungkinkan kalibrasi gambar, gambar di-upload ke komputer lalu dibuka dengan image J, tepi luar luka ditetapkan secara digital dan dengan perangkat lunak image J area luka dikalkulasi. Metode Visitrak memakai film Visitrak transparan
berlapis dua yang diletakkan
diatas luka, batas luka digambar diatas filem tersebut, gambar tiruan diatas lapisan filem paling atas tersebut dijiplak lagi dengan Visitrak digital dan perangkat lunak mengkalkulasi area luka (Chang, 2011). Saat ini telah dikembangkan beberapa alat bantu untuk menilai perbaikan ataupun perburukan luka seperti Pressure Sore Status Tool (PSST), Pressure Ulcer Scale for Healing (PUSH Tool), Sussman Wound Healing Tool (SWHT), Sessing Scale, The Wound Healing Scale (WHS), Photographic Wound Assessment Tool (PWAT), dan Leg Ulcer Measurement Tool (LUMT) (Woodbury dkk.,2004). 2.1.5 Debridemen Debridemen adalah suatu tindakan membuang material yang tidak hidup, benda asing, dan jaringan tidak sehat yang sulit sembuh dari luka (Steed, 2004). Target utama penanganan ulkus kaki diabetik adalah untuk mencapai penutupan luka secepat mungkin, dan menurunkan angka amputasi. Prinsip penanganannya meliputi : pengelolaan komorbid, evaluasi status vaskuler dan penanganannya secara tepat, penilaian faktor-faktor psikososial / gaya hidup, penilaian dan evaluasi ulkus, penanganan luka / debridemen / wound bed preparation dan menghilangkan faktor tekanan / offloading (Frykberg dkk., 2006).
24
Kegagalan penyembuhan dari suatu ulkus, baik itu ulkus diabetik, ulkus vena, maupun ulkus dekubitus, sehingga berkembang menjadi ulkus kronis, karena eradikasi terhadap infeksi yang tidak adekuat dan kuman patogen opurtunistik. Analisa ulkus kronis dengan fluorosensi in situ menemukan mikrokoloni, suatu struktur dasar dari biofilm bakteri. Adanya biofilm tersebut
menumbuhkan peningkatan toleransi bakteri terhadap
pengobatan antibiotika, serta mekanisme proteksi terhadap fagositosis polimorfonuklear (PMN), sehingga eradikasi dengan antibiotika dan aktivitas antimikroba dari sistem imunitas tubuh
menjadi tidak efektif (Bjarnsholt
dkk., 2008). Debridemen merupakan komponen yang tak terpisahkan (integral) dan langkah sangat penting dalam protokol penanganan ulkus kronis, semenjak bahwa kesembuhan tidak akan terjadi pada jaringan yang mati, nekrotik, debris, atau kolonisasi bakteri di daerah luka. Oleh karena itu fungsi dari debridemen adalah membuang jaringan nekrotik, mengurangi tekanan, evaluasi adanya kantong-kantong infeksi yang tersembunyi (tracking and tunneling), drainase, dekolonisasi bakteri, dan
hanya meninggalkan
jaringan sehat untuk mendorong penyembuhan luka (Frykberg dkk., 2006 ; Bernard, 2007 ; Lebrun, 2010). Pada ulkus neuropatik, debridemen harus dilakukan terus menerus sampai terdapat jaringan sehat, tetapi pada ulkus iskemik, debridemen harus dilakukan secara hati-hati dan terbatas hanya drainase saja, bahkan idealnya debridement dilakukan setelah atau bersama sama
dengan
revaskularisasi.
Debridemen
sebaiknya
mampu
memvisualisasikan semua luka, membuka semua daerah yang terkena infeksi
25
untuk drainase yang adekuat serta mendapatkan spesimen bakteri dari jaringan dalam (Bernard, 2007), oleh karena itu pengetahuan anatomi kaki mutlak diperlukan (Rauwerda, 2000). Dasar pemikiran untuk debridement kelihatan sangat masuk akal, tetapi bukti-bukti untuk mendukung hal itu sangat sedikit (Gordon dkk., 2012), meskipun data-data menunjukkan semakin sering debridement, semakin baik hasil penyembuhan luka (Wilcox et al., 2013). Steed dkk. (1996) meneliti pengaruh debridemen dan pemberian faktor pertumbuhan secara topikal secara acak, prospektif, double blind dan multisenter. Ternyata debridemen bedah secara agresif dan berulang pada
ulkus kaki diabetik
memberi respon angka perbaikan yang lebih besar dibandingkan dengan ulkus yang
jarang dilakukan debridemen. Disamping itu ulkus yang diberikan
recombinant human platelet-derived growth factor (rhPDGF) secara topikal, angka penyembuhannya lebih besar dibanding plasebo. Sehingga disimpulkan bahwa debridemen merupakan pengobatan vital di dalam penanganan ulkus kaki diabetik. Karena penyembuhan luka memerlukan pengendalian infeksi, perbaikan inflamasi, regenerasi matrik jaringan ikat, angiogenesis / vaskulogenesis, konstriksi luka, dan reepitelialisasi (Velazquez, 2007), maka debridemen merupakan langkah penting dan menentukan pada penanganan ulkus kaki diabetik sebagai usaha wound bed preparation dengan mengubah suasana lingkungan atau milieau lokal dari suasana luka kronis menjadi suasana luka akut, untuk merangsang dan mempercepat proses penyembuhan
26
luka (Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal, 2004 ; Vourisalo, 2009). Sel endotel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang bisa efektif meningkatkan vaskulogenesis dan penyembuhan, hanya jika cytokine milieu di dasar ulkus adalah optimal (Velazquez, 2007). Jumlah dan fisiologi jangka panjang mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali ditentukan oleh lingkungan-mikro setempat (host microenviroment), lingkungan ini merupakan elemen penting dari rantai proses seluler yang menjembatani invasi seluler serta remodeling jaringan (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). VEGF
meningkat dalam 24 jam setelah luka terjadi dan kadar VEGF
mencapai puncaknya pada hari ketiga dan ketujuh dan menurun secara bermakna setelah itu, sehingga memunculkan hipotesis bahwa VEGF hanya dilepaskan selama perdarahan luka berlangsung (Frank dkk, 1995). Pada waktu debridemen, terjadi perdarahan luka baru, sehingga tindakan debridemen pada ulkus kaki diabetik akan mampu meningkatkan kadar VEGF sesuai dengan hipotesis dari Frank dkk. (1995). Debridemen yang sering dilakukan pada ulkus kaki diabetik, dapat meningkatkan angka penyembuhan luka, walaupun tidak ada cukup bukti untuk menetapkan
pendapat ini
(Cardinal dkk., 2009). Ada 5 jenis debridemen yaitu : bedah, ensimatik, autolitik, mekanik, dan biologik, hanya debridemen bedah terbukti efektif pada uji-uji klinik. Debridemen bedah yaitu debridemen secara tajam untuk membuang semua jaringan dan tulang yang mati. Tujuannya adalah mengubah lingkungan penyembuhan luka kronis menjadi penyembuhan luka akut. Debridemen
27
ensimatik, menggunakan ensim proteolitik eksogen yang dibuat secara spesifik seperti
kolagenase, papain/urea dari pepaya, fibrinolisin/DNAse,
tripsin, kombinasi streptokinase-streptodornase. Debridemen autolitik, terjadi secara alami pada ulkus yang sehat, lembab, dan perfusi yang adekuat. Debridemen mekanik,dilakukan secara fisik dengan cara pembalutan basahkering, irigasi dengan tekanan, lavase, dan hidroterapi. Debridemen biologik, menggunakan larva steril dari
lalat Lucilia sericata, larva tersebut
mengeluarkan ensim proteolitik yang dapat mencairkan jaringan nekrotik (Steed, 2004 ; Frykberg dkk., 2006 ; Edward dan Stapley, 2010). Sampai saat ini belum ada cara untuk menilai ketepatan dari luas dan dalamnya debridemen ulkus, apakah debridemen telah dilakukan dengan adekuat atau belum. Saap dan Falanga (2002), mengajukan suatu cara yang disebut debridemen performance index (score 0-6), kaitannya dengan penyembuhan ulkus kaki diabetikum. Debridemen meliputi debridemen terhadap kalus, tepi ulkus, dan dasar ulkus. Sistem skoring yang dipakai adalah 0 adalah debridemen diperlukan tetapi tidak dikerjakan, skor 1 adalah debridemen diperlukan dan dikerjakan, skor 2 adalah debridemen tidak diperlukan. Semakin rendah debridemen performance index , semakin rendah insiden kesembuhan ulkus, sehingga sistem skoring ini dipakai dapat untuk meramalkan hasil pengobatan. Preparasi dasar luka (wound bed preparation) sangat penting untuk penyembuhan ulkus di kaki, meliputi pengendalian eksudat dan edema, mengurangi kolonisasi bakteri, merangsang terbentuknya jaringan granulasi yang sehat, serta membuang jaringan nekrotik. Sampai saat
28
ini tidak ada sistem klasifikasi untuk preparasi dasar luka (wound bed preparation). Falanga dkk. (2006) mengembangkan sistem klasifikasi baru berdasarkan parameter seperti : tepi luka, dalam luka / jaringan granulasi, jumlah eksudat, adanya eschar, edema, dermatitis disekitar luka, warna dasar luka, adanya kalus atau fibrotik disekitar luka. Ulkus kaki diabetik dengan Infeksi berat, memerlukan intervensi bedah untuk mengendalikan infeksi yang bisa mengancam jiwa maupun kaki pasien. Ahli bedah yang melakukan operasi pada ulkus kaki diabetik dengan infeksi berat hendaknya memiliki pengetahuan tentang anatomi kaki, patofisiologi terjadinya ulkus kaki diabetic dan infeksi, untuk mencegah kegagalan operasi maupun amputasi (Van Baal, 2004 ; Zgonis, 2008). Jalur – jalur perluasan infeksi yang mengikuti jalur anatomi harus dimengerti. Di daerah tumit, aponeurosis plantaris merupakan fasia yang paling superficial. Di bagian sentral kaki, fasianya paling tebal dan melekat pada tuberositas kalkanues, dari sini lalu meluas ke distal menyerupai kipas. Fasia plantaris membentuk batas inferior dari 3 kompartemen plantaris yaitu : kompartemen lateral, sentral dan medial. Kompartemen lateral dibatasi oleh tulang metatarsal kelima dan septum intermuskular lateral,
mengandung semua otot-otot intrinsik jari
kelima. Kompartemen sentral dibatasi oleh septum intermuskular pada sisi medial dan septum intermuskular kedua lateral yang berjalan dari kalkaneus ke kaput metatarsal kelima, atapnya dibentuk oleh struktur tarsometatarsal, mengandung semua otot-otot intrinsik jari kedua, ketiga, keempat.
29
Kompartemen medial dibatasi oleh septum intermuskular lateral yang berjalan longitudinal dari kalkaneus ke kaput metatarsal pertama, atapnya dibentuk oleh permukaan inferior metatarsal pertama, mengandung semua otot-otot intrinsik jari pertama. Kompartemen interoseus dibatasi oleh fasia interoseus dari metatarsal dan mengandung otot-otot interoseus, kompartemen ini memegang peranan penting dalam perluasan infeksi dan perkembangan iskemia (Van Baal, 2004). Untuk melakukan debridement bedah yang adekuat, prosedur pembedahan yang dianjurkan adalah (Zgonis dkk., 2008) : - Tidak menggunakan tourniquet, supaya bisa menentukan viabilitas jaringan. Pakai sarung tangan dua lapis. - Eksplorasi luka, termasuk membuang semua jaringan nekrotik, pus, membuka sinus tract untuk menentukan batas jaringan sehat dan tidak sehat serta kompartemen yang terkena. ― finger test ― bisa dikerjakan durante operasi untuk menentukan luasnya jaringan yang mengalami infeksi. Tekan dengan ibu jari sepanjang bidang jaringan anatomi, jika positif berarti terdapat necrotizing fasciitis, dengan demikian dapat ditentukan mana jaringan yang akan di amputasi atau di eksisi luas saja untuk mengendalikan infeksi secara adekuat. - Insisi dan drainase terbatas hendaknya dihindarkan , karena akan meninggalkan sumber infeksi
30
- Semua jaringan dan tulang yang tidak hidup dan terinfeksi harus dibuang tanpa memandang ukuran dan kuantitasnya. Tendon yang tampak dieksisi untuk mencegah perluasan infeksi ( tracking infection). - Ambil jaringan dalam yang terinfeksi untuk pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas - Irigasi dengan larutan normal saline sebanyak 3 liter atau lebih untuk mengurangi kolonisasi bakteri. Penambahan antibiotika pada larutan irigasi belum diketahui manfaatnya. - Sarung tangan terluar dilepaskan untuk mengurangi kontaminasi setelah luka diirigasi. - Luka ditutup dengan penutup luka yang lembab, lalu ditutup lagi dengan penutup kering. - Pembalut luka diganti setiap hari, dimulai sejak 24-48 setelah debridement pertama. - Redebridemen hendaknya dilakukan jika diperlukan. 2.2 TNF-α 2.2.1 TNF-α pada ulkus kaki diabetik TNF-α merupakan sitokin proinflamasi yang diproduksi terutama oleh monosit dan makrofag. Memiliki peran dalam berbagai proses didalam tubuh, dan dalam patogenesis dari berbagai penyakit seperti shock sepsis, kanker, artritis reumatoid, sklerosis multipel, dan
gangguan autoimun atu inflamasi lainnya.
Penelitian terakhir, TNF-α terlibat didalam resistensi insulin pada kegemukan dan
31
DM tipe 2. Mekanisme molekuler TNF-α menginduksi resistensi insulin masih belum diketahui, tetapi secara in vitro, penelitian menunjukkan bahwa TNF-α menghambat insulin-mediated autophosphorylation dari insulin reseptor, dan menurunkan fosforilasi dalam jaringan otot dan jaringan lemak, yang kebanyakan terikat pada reseptor TNF p55. Kadar TNF-α meningkat secara lokal maupun sitemik pada resisten insulin baik pada binatang maupun manusia yang gemuk. Disamping itu ekspresi TNF-α didalam otot dari orang DM tipe 2 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan orang yang non-DM. Kadar TNF-α yang beredar didalam sirkulasi dari orang dengan kegemukan dan intoleran glukosa meningkat, dan berhubungan dengan massa lemak perut (Maltezoz dkk., 2002). Pada ulkus kaki diabetik ditemukan peningkatan kadar TNF-α (Lobmann dkk., 2005 ; Goldberg dkk., 2007 ; Leung dkk., 2008 ; Siqueira dkk, 2010 ; ), peningkatan apoptosis fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblast (Siqueira dkk, 2010), diikuti dengan gangguan penyembuhan ulkus. TNF-α merupakan petanda inflamasi didalam proses penyembuhan jaringan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan hubungan TNF-α terhadap penyembuhan luka. Penurunan kadar TNF-α, mengindikasikan pengendalian inflamasi serta kemajuan penyembuhan yang adekuat (Leung dkk., 2008). TNF-α merangsang sintesa MMP. Dengan tingginya protease didalam luka, menyebabkan degradasi matrik protein dan growth factor yang merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan luka, sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi (Lobmann dkk, 2005). Disamping itu TNF-α menekan tissue growth factor-β (TGF-β) menginduksi miofibroblas mengalami proliferasi untuk menbentuk protein-protein penting dalam
32
reorganisasi matrik ekstraseluler seperti α-smooth muscle actin (α-SMA), kolagen tipe 1A, and fibronectin, sehingga berimplikasi pada gangguan penyembuhan luka (Goldberg, 2007). 2.2.2 Pengukuran TNF-α Pengukuran kadar TNF-α. dapat dilakukan pada spesimen jaringan maupun plasma.,
Kadar
TNF-α
diukur
menggunakan
metoda
Enzyme-Linked
ImmunoSorbant Assay ( ELISA ) (R&D System, Minneapollis, USA).. Siqueira dkk. (2010) melakukan pengukuran
TNF-α dari spesimen jaringan ulkus, jaringan
diambil dengan punch biopsi dan dibekukan dalam larutan nitrogen, selanjutnya diletakkan kedalam cytoplasmic lysis buffer yang mengandung protease inhibitor (Pierce, Rockford, IL, USA) dan dihancurkan dengan menggunakan Fast Prep (QBiogene, Solon, OH, USA). Nukleus dipisahkan dari protein sitoplasma dengan sentrifuge. Sedangkan Wallace dan Stacey (1998) melakukan pengukuran kadar TNF-α dengan metoda ELISA pada pasien dengan mengambil sampel cairan luka kronis yang tidak sembuh dimana hasil pengukuran adalah median 2428,5 pg/ml, sedangkan pada pasien yang sembuh kadar TNF-α adalah 895,2 pg/ml. 2.3 VEGF Growth factor adalah substansi (biasanya merupakan suatu protein atau hormon steroid) yang memiliki kemampuan untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi sel, serta sangat penting untuk pengaturan berbagai proses selular, bekerja sebagai molekul-molekul signaling diantara sel. Dalam dua dekade terakhir growth factor telah digunakan semakin meningkat didalam pengobatan penyakit
33
hematologi, onkologi dan kardiovaskular. Terdapat 8 famili utama dari growth factors diekspresikan dalam berbagai level oleh sel-sel yang terlibat dalam proses penyembuhan luka (Mitchell dkk., 2007). VEGF merupakan salah satu dari growth factor yang merangsang angiogenesis paling vital dan poten, keberadaannya dalam benyak bentuk isoform, paling sering adalah VEGF165, bekerja sebagai parakrin pada sel-sel endotel, berfungsi sebagai suatu mitogen sel endotel, agen kemotaksis, dan memicu permeabilitas vaskuler dan kulit. Salah satu aktivitas mediator dari VEGF, nitric oxide,
meningkatkan
deposisi
kolagen
pada
ulkus
kaki
diabetik
serta
mengembalikan fungsi endotel untuk memperbaiki konduksi saraf maupun oksigenasi jaringan. VEGF rekombinan telah digunakan dalam eksperimental luka diabetes baik in vivo maupun in vitro (Brem dkk., 2009). 2.3.1 Aktivitas biologi dan struktur VEGF VEGF telah diketahui memiliki berbagai aktivitas biologi yang penting. VEGF
merupakan mitogen yang kuat (ED50 2-10 pm) untuk sel-sel endotel
mikrovaskuler dan makrovaskuler yang diperoleh dari arteri, vena, dan limfatik, tetapi tidak memiliki aktivitas mitogen untuk jenis sel yang lain. VEGF merangsang angiogenesis dalam tiga dimensi yaitu menyebabkan pertemuan sel-sel endotel mikrovaskuler, penetrasi kedalam gel kolagen, dan membentuk struktur seperti kapiler (capillary-like structures). VEGF menyebabkan pertumbuhan (sprouting) pembuluh darah, respon angiogenik yang kuat, mendorong ekspresi dari serine proteases uro-kinase-type dan tissue-type plasminogen activators (PA) dan juga PA inhibitor 1 (PAI-1) dalam sel-sel endotel mikrovaskuler , untuk
34
mempertahankan keseimbangan proses proteolitik. VEGF meningkatkan ekspresi metaloproteinase interstitial collagenase. Dengan
pengaruh yang bersamaan
terhadap kolagenase dan aktivator plasminogen oleh VEGF, ini akan menetapkan suatu lingkungan proderagdasi untuk migrasi dan pertumbuhan dari sel-sel endotel. Lingkungan ini merupakan elemen penting dari rantai proses seluler yang menjembatani invasi seluler serta remodeling jaringan, sebagai aktivitas proangiogenik yang tetap dari VEGF.
VEGF juga diketahui sebagai faktor
permeabilitas vaskuler yang mendorong kebocoran vaskuler. Dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, ini merupakan tahapan yang sangat penting dari angiogenesis terkait dengan tumor dan luka. Fungsi utama dari VEGF dalam proses angiogenesis adalah mendorong kebocoran protein plasma, akibatnya terjadi pembentukan fibrin gel ekstravaskuler, suatu substrat untuk penetrasi dan pertumbuhan sel endotel dan sel-sel tumor. Jumlah dan fisiologi jangka panjang mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali ditentukan oleh lingkungan-mikro setempat (host microenviroment) daripada rangsangan yang memulai angiogenesis itu sendiri (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Famili VEGF saat ini terdiri dari 7 anggota : VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F, dan PIGF. Daerah inti dibentuk oleh motif ikatan sistin, dengan 8 invariant cystine residu dalam inter dan intramolekuler disulfide yang
terikat pada ujung dari 4-stranded pusat pada setiap monomer dengan
orientasi antiparalel bersebelahan (side-by-side). Gen VEGF-A terdiri atas 8 exon yang muncul pada 7 isoform asam amino 121, 145,148,165,183, 189, 206, dan satu isoform asam amino 110 sebagai hasil dari pelepasan proteolitik. VEGF-B
35
terdiri atas 2 isoform asam amino 167 dan 186. VEGF-C dan VEGF-D, dilepaskan secara proteolitik dari masing-masing proprotein. Semua anggota VEGF ini sangat menjaga domain homologinya yang disandikan oleh exon 1-5. 2.3.2 Reseptor VEGF Telah diidentifikasi 3 reseptor VEGF yaitu VEGFR-1 (Flt-1 / fms-liketyrosine kinase-1), VEGFR-2 (KDR/ Flk-1 / fetal liver kinase-1/), dan VEGFR-3 (Flt-4), setiap reseptor memiliki 7 imunoglobuline-like domain dalam ekstraseluler domain (Hoeben dkk., 2004). Flt-1 memiliki afinitas tertinggi terhadap rhVEGF165, sedangkan Flk-1 / KDR afinitasnya sedikit lebih rendah, VEGF-C/VRP mengikat dengan afinitas tinggi dengan Flt-4 (Gerber dkk., 1997).
Gambar 2.2 Reseptor VEGF (Dikutip dari Hoeben dkk., 2004)
2.3.3 Regulasi dari ekspresi gen VEGF 2.3.3.1 Hipoksia Tekanan oksigen memegang peranan utama baik secara in vitro maupun in vivo dalam regulasi ekspresi gen VEGF (Ferrara dan Davis-Smyth,
36
1997). Namun Oltmanns dkk. (2006) mengatakan VEGF meningkat oleh hipoksia secara in vitro, namun data secara in vivo tentang regulasi VEGF pada penyakit-penyakit hipoksia kronis masih menjadi pertentangan. Ekspresi VEGF mRNA dipicu secara cepat dan reversible oleh paparan tegangan oksigen (pO2) yang rendah, juga iskemia yang disebabkan oleh oklusi arteri. Dengan meningkatnya kadar VEGF mRNA diduga bahwa VEGF dapat mendorong terjadinya revaskularisasi spontan setelah iskemia (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Reseptor Flt-1 meningkat oleh hipoksia dan mengikat VEGF dengan afinitas yang tinggi, sedangkan Flk-1/KDR tidak meningkat oleh hipoksia dan afinitas ikatan dengan VEGF lebih rendah (Gerber, dkk. 1997). Oltmanns dkk. (2006), melaporkan bahwa hipoksia akut sistemik pada laki-laki muda sehat menurunkan kadar plasma VEGF dibanding
pada
normoksia, sedangkan konsentrasi Flt-1 tetap tidak berubah selama hipoksia. Gangguan kadar VEGF sistemik telah dilaporkan dalam berbagai keadaan patologis seperti pertumbuhan tumor (Harmey dan Bouchier-Hayes, 2002), penyakit arteri koroner (Freedman dan Isner, 2002), dan penyakitpenyakit hipoksia kronis. Pengamatan ini diduga kemungkinan berkaitan dengan regulasi oksigen. Tetapi pada penyakit-penyakit respirasi dengan manifestasi hipoksia kronik, regulasi VEGF masih menjadi pertentangan. Pada penyakit-penyakit respirasi seperti fibrosis paru idiopatik, sarkoidosis (Meyer dkk., 2000 ; Koyama dkk., 2002), emfisema (Santos dkk., 2003), kadar VEGF adalah menurun dibanding dengan kontrol orang sehat, sedangkan pada perokok dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
37
sedang adalah meningkat (Santos dkk., 2003). Namun semua data tersebut dapat dikelirukan oleh adanya komorbid yang diketahui mempengaruhi VEGF seperti hipertensi (Belgore, 2001), resistensi insulin (Chou 2002), obat-obatan seperti statin (Maeda dkk., 2003). Penelitian di daerah ketinggian pada orang sehat, hasilnya tidak dapat disimpulkan,
karena
ada yang melaporkan
pengaruh keadaan hipoksia, kadar VEGF didalam darah meningkat (Walter dkk., 2001), tidak berubah (Maloney dkk., 2000) atau bahkan menurun (Gunga dkk., 1999). 2.3.3.2 Sitokin Beberapa sitokin atau growth factors meningkatkan ekspresi VEGF mRNA dan / atau memicu prengeluaran dari protein VEGF. Paparan terhadap keratinosit atau keratinosit growth factor, epidermal growth factor (EGF), TGF-β, TGF-α, IL-1β, IL-1α , IL-6, PGE2, IGF-I memicu pelepasan secara nyata dari VEGF mRNA (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). proinflamasi merangsang
Sitokin
ekspresi VEGF mRNA dengan aktivitas yang
berbeda. TNF-α merupakan aktivator paling kuat dalam merangsang ekspresi VEGF mRNA, sedangkan IL-1β, TGF-β1, Interleukin-6 memiliki aktivitas yang lebih rendah (Frank dkk, 1995). 2.3.3.3 Diferensiasi dan transformasi Diferensiasi sel memainkan peranan penting dalam regulasi ekspresi gen VEGF. VEGF mRNA meningkat selama perubahan dari 3T3 preadiposit menjadi adiposit atau selama diferensiasi miogenik dari sel-sel C2C12. Sebaliknya ekspresi gen VEGF akan menurun atau tertekan selama
38
diferensiasi dari sel-sel pheochromocytoma menjadi nonmalignant neuronlike cells (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997) 2.3.4 Ekspresi VEGF pada ulkus kaki diabetik Pada ulkus kaki diabetik, kadar growth factors seperti VEGF, Fibroblast Growth Factor (FGF)-2, adalah rendah,
karena diabetic fibroblast
tidak
mampu meningkatkan produksi VEGF dan FGF-2 pada level normal di dalam merespon keadaan hipoksia. Kadar dan aktivitas VEGF yang abnormal, serta keadaan hipoksia menimbulkan gangguan proses penyembuhan ulkus, karena kebanyakan ulkus berlokasi pada bagian kaki yang mengalami iskemia. Tanpa adanya respon angiogenesis yang tepat, fase berikutnya dari proliferasi sel dan deposisi matrik menjadi lambat
(Lerman, 2003). Pada semua ulkus kronis
menunjukkan hipoksia jaringan, bila hipoksia ini terus meningkat, akan terjadi kegagalan penyembuhan luka. Tekanan oksigen lokal pada ulkus kornis berkisar setengah dari normal sehingga terjadi gangguan replikasi fibroblast, deposisi kolagen, angiogenesis, vaskulogenesis, dan leukosit. Penyembuhan luka normal melalui beberapa tahapan, memerlukan pengendalian infeksi dan kontaminasi, perbaikan
inflamasi,
regenerasi
matrik
jaringan
ikat,
angiogenesis
/
vaskulogenesis, konstriksi luka, dan reepitelialisasi. Ulkus kronis gagal mengikuti tahapan itu (Velazques, 2007). Berkaitan dengan perubahan vaskuler sebagai komplikasi DM kronis, terjadi keadaan paradox yaitu peningkatan angiogenesis pada retinopati proliferative atau plak atherosclerosis dan penurunan angiogenesis pada penyakit arteri koroner atau ulkus kaki diabetik dengan manifestasi klinis berupa
39
kurangnya pertumbuhan kolateral pada jantung dan kegagalan dalam penyembuhan ulkus kaki diabetik. Karena itu memunculkan hipotesis untuk menerangkan paradox angiogenesis ini bahwa respon terhadap faktor pertumbuhan (VEGF) terganggu pada DM. Gangguan molekuler ini terletak didalam sistem transduksi signal baik yang mengalir turun pada reseptor ( signal transduction defect ) atau pada level reseptor (Waltenberger, 2007).
Gambar 2.3 Skema gangguan signaling pada DM ( Dikutip dari Simons, 2005)
Adanya perbedaan regulasi VEGF pada jaringan diabetes seperti yang dilaporkan oleh Chou dkk. (2002), maka Simons (2005) mengusulkan untuk menilai kembali paradigma angiogenesis, arteriogenesis pada DM seperti terlihat pada Gambar 2.4 berikut :
40
Gambar 2.4 Urutan kejadian gangguan angiogenesis pada DM (Dikutip dari Simons, 2005)
2.3.5
Peranan VEGF dalam angiogenesis dan vaskulogenesis
Rendahnya level oksigen dan nutrien, membatasi fungsi dan viabilitas jaringan. Respon alami terhadap keadaan iskemia jaringan adalah meningkatkan angiogenic growth factor bersama dengan pengadaan dan mobilisasi alemenelemen seluler dalam sirkulasi untuk memfasilitasi pertumbuhan pembuluh darah baru ( neovaskularisasi). Neovaskularisasi merupakan hasil dari beberapa proses yaitu vaskulogenesis, angiogenesis, dan arteriogenesis. Angiogenesis adalah sprouting kapiler baru dari kapiler yang sudah ada. Angiogenesis dirangsang terutama oleh hipoksia jaringan melalui Hypoxia-Inducable Factor (HIF)-1 expression. HIF-1 mengaktivasi transkripsi beberapa gen seperti VEGF, reseptor VEGF flt-1, neuropilin-1, dan angiopoietin-2 (Ryu, 2008).
41
Gambar 2.5 : Skema mekanisme neovaskularisasi. A.Vaskulogenesis, pertumbuhan kapiler dari sel-sel endotel progenitor (EPC), B. Angiogenesis, pertumbuhan kapiler baru dari pembuluh darah yang sudah ada, C.Arteriogenesis, pertumbuhan kolateral dengan remodeling dari kolateral yang sudah ada (Dikutip dari Ryu, 2008).
Istilah angiogenesis diciptakan oleh John er pada tahun 1787 untuk menjelaskan pertumbuhan pembuluh darah baru. Pada tahun 1971, Judah Folkman mengajukan
suatu
hipotesis
bahwa
pertumbuhan
tumor
sebagai
suatu
ketergantungan angiogenesis (angiogenesis dependent), maka sejak itu penelitian dan publikasi tentang angiogenesis mulai berkembang. Pertumbuhan suatu pembuluh darah dari sel-sel endotel yang sedang berdiferensiasi in situ disebut vaskulogenesis, sedangkan pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah ada disebut angiogenesis atau neovaskularisasi. Sel endotel yang ada dalam lapisan setiap pembuluh darah harus mengalami proliferasi, migrasi, serta bertahan hidup untuk bisa membentuk pembuluh darah baru, atau dengan kata lain lingkungan mikro setempat haruslah menyampaikan signal kepada sel
42
endotel untuk bertambah banyak dan menghindari apoptosis. Angiogenesis merupakan proses yang rumit, bertahap, dan sangat tergantung pada keseimbangan antara faktor yang merangsang dan faktor yang menghambat. Meskipun banyak faktor-faktor pertumbuhan yang merangsang angiogenesis seperti tampak pada Tabel 2.1, VEGF merupakan faktor pertumbuhan yang paling spesifik untuk endotel pembuluh darah (Gupta dan Zhang, 2005). Tabel 2.1 Aktivator dan Inhibitor Angiogenesis (Dikutip dari Gupta dan Zhang, 2005). Aktivator Angiogenin Angiopoetin-1 AC133 Kemokin Del-1 Β estradiol Ephrin FGFαβ FGF Folistatin HGF Id1/Id3 Integrin αVβ3, αVβ5, α5β1 IL-8 Leptin MCP-1 MMPs NOS PLGF PDGF-BB Pleiotrofin (PTN) PD-ECGF P1GF Proliferin TGF-αβ TNF-α VE cadherin VEGF
Inhibitor Angiostatin (plasminogen fragment) Anti-angiogenik antithrombin III Constatin Cartilage deliver inhibitor (CDI) CD59 complement fragment Endostatin (collagen XIII fragment) Fibronectin fragment Fragment of SPARC Heparinase HCG IFN-αβγ Interferon inducable protein (IPO) IL4, IL12, IL18 2-metoksiekstradiol Maspin Kringle-5 (plasminogen fragmen) Osteopontin fragmen Placental ribonuclease ionhibitor PEDF PF4 Prolaktin 16kDa fragmen Retinoid Tissue inhibitor metaloprotenase (TIMP) TSP1 Vaskulostatin
Neovaskularisasi pada manusia telah diketahui terjadi pada plak atherosclerosis, retinopati proliferative, dan neoplasia malignan. Pemeriksaan histokimia pada plak atherosclerosis menunjukkan bahwa VEGF diekspresikan
43
oleh sel-sel otot halus dan makrofag didalam intima atherosclerosis. Jumlah sel dengan VEGF positif, berkorelasi dengan jumlah intima pembuluh darah. Tampak ekspresi berlebihan dari VEGF seiring dengan adanya proliferasi angiomatoid pada binatang percobaan setelah diberikan transfer gen VEGF maupun yang dibuat diabetes. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa VEGF berperan sebagai regulator lokal dan endogen dari fungsi sel endotel, serta bahwa VEGF merangsang neovaskularisasi pada kondisi patofisiologis (Nakagawa dkk., 2000) 2.3.6 Mekanisme molekuler dan peran VEGF dalam penyembuhan luka Galiano dkk. (2004) menduga bahwa berkurangnya produksi VEGF dan angiogenesis memberi sumbangan terhadap kegagalan penyembuhan ulkus pada pasien diabetes, sehingga mendorong dilakukannya penelitian apakah pemberian recombinant human VEGF165 protein secara topikal mampu memperbaiki gangguan penyembuhan luka pada tikus diabetes. Hasil penelitianya menunjukkan peningkatan angka penyembuhan yang bermakna dari luka yang mendapat terapi VEGF, ditandai dengan early leaky, pembentukan vaskuler diikuti oleh deposisi jaringan granulasi, peningkatan epitelialisasi, peningkatan deposisi matriks, serta peningkatan proliferasi seluler. Analisis ekspresi gen dengan real-time reverse transcriptase-polymerase chain reaction menunjukkan peningkatan bermakna dari platelet-derived growth factor-B and fibroblast growth factor-2 yang dikaitkan dengan peningkatan jaringan granulasi di dalam luka. Pemberian topikal VEGF juga memiliki efek sistemik, dengan ditemukannya peningkatan sejumlah sel-sel VEGFR2+/CD11b− di dalam sirkulasi, sebagai cerminan suatu prekursor endotel. Sehingga disimpulkan bahwa pemberian VEGF secara topikal dapat memperbaiki
44
penyembuhan luka secara lokal maupun sistemik, dimana
secara lokal akan
terjadi peningkatan faktor-faktor pertumbuhan penting dan secara sistemik meningkatkan angiogenesis dengan mobilisasi sel-sel yang berasal dari sumsum tulang (mobilizing and recruiting bone marrow-derived cells) termasuk sel-sel untuk pembentukan vaskuler dan sel-sel untuk perbaikan lingkungan luka dimana akan terjadi percepatan penyembuhan luka. Berbagai
gangguan
fisilogi
menyebabkan
terjadinya
gangguan
penyembuhan pada ulkus kaki diabetik seperti gangguan migrasi sel (Brem dkk., 1997), gangguan inervasi (Gibran dkk., 2002), dan angiogenesis yang tidak adekuat
(Cho
dkk.,
2006).
Telah
diidentifikasi
metalloproteinases (MMPs) dan hinbitornya dalam
perbedaan
matrix
mengontrol proses antara
pembentukan tabung kapiler (morfogenesis) dengan penghentian / regresi tabung kapiler didalam matrik kolagen, terkait dengan pembentukan dan penghentian / regresi jaringan granulasi selama penyembuhan luka. Membran metalloproteinase, MT1-MMP (MMP-14) dibutuhkan untuk pembentukan tabung sel endotel untuk sprouting dalam matrik kolagen, namun kejadian ini dihambat oleh small interfering RNA (siRNA) suppression dari MT1-MMP atau oleh tissue inhibitor of metalloproteinases (TIMPs)-2,-3,-4 tetapi tidak TIMP-1 (Davis dan Saunders. 2006). VEGF merangsang penyembuhan luka melalui beberapa mekanisme diantaranya deposisi kolagen, angiogenesis dan epitelialisasi. Dengan merangsang sel endotel , fase-fase dari kaskade angiogenesis meningkat seperti tampak pada Gambar 2.6. Dalam praktek klinik, pengaruh mitogenik, kemotaktik, dan
45
permeabilitas dari VEGF dapat memiliki potensi untuk membantu merangsang penyembuhan pada luka kronis pada pasien penyakit arteri oklusif dan diabetes, sehingga kadar VEGF hendaknya diperiksa sesegera mungkin pada pasien ulkus kaki diabetik dan ulkus dekubitus (Bao dkk., 2009).
Gambar 2.6 Diagram peranan VEGF dalam penyembuhan luka. Dengan merangsang sel endotel , fase-fase dari kaskade angiogenesis meningkat (dikutip dari Bao dkk., 2009) Penyembuhan luka terjadi sebagai suatu respon seluler akan cedera, termasuk aktivasi keratinosit, fibroblast, sel endotel, makrofag, dan platelet. Beberapa growth factor dan sitokin dilepaskan oleh sel-sel tersebut untuk koordinasi dan menjaga penyembuhan luka. VEGF merupakan faktor fisiologis penting di dalam penyembuhan luka baik pada orang sehat maupun orang DM namun dengan kwalitas respon yang berbeda (Gambar 2.7).
46
Gambar 2.7 Mekanisme penyembuhan luka pada orang sehat dan orang diabetes dari Brem H. dan Tomic-Canic M., 2007) 2.3.7. Aplikasi(dikutip Terapi VEGF Beberapa uji klinik efektivitas terapi angiogenesis dengan protein VEGF pada pasien penyakit jantung koroner dan penyakit arteri perifir yang diberikan, secara intramiokard, intrakoroner, intraarterial, dan perkutan, memberi hasil yang bervariasi, ada positif dan negatif (Yla-Hertula dkk., 2007). Dalam
menilai
efektivitas terapi, dipakai beberapa parameter seperti peningkatan kolateral, perbaikan fungsi global dan regional jantung, percepatan penyembuhan ulkus, angka amputasi, dan toleransi terhadap latihan (Banai, 1994 ;Takeshita dkk., 1994a, 1994b ; Pearlman, 1995 ; Takeshita dkk., 1996 ; Harada, 1996 ; Isner dkk., 1996 ; Yla-Herttuala dkk ; Brem dkk., 2009 ). 2.3.7 Pengukuran kadar VEGF Pengukuran kadar VEGF dapat dilakukan pada spesimen jaringan, plasma, ataupun serum dengan metoda Enzyme-Linked ImmunoSorbant Assay ( ELISA )
47
(R&D System, Minneapollis, USA). Rivard dkk. (1999), melakukan pengukuran
kadar VEGF didalam jaringan iskemik pada tikus diabetes yang mengalami pengurangan
neovaskularisasi akibat rendahnya kadar VEGF dengan analisa
Northern blot, Western blot, dan immunohistokimia. 2.4 Penyembuhan Luka 2.4.1 Penyembuhan luka normal Fisiologi respon seluler terhadap cedera jaringan kulit pada keadaan normal, berlangsung melalui rangkaian fase-fase waktu dan ruang, sehingga
integritas
anatomi dan fungsional dari jaringan kembali secara normal. Adapun fase-fase penyembuhan luka pada kondisi normal meliputi fase akut (hemostasis, inflamasi), fase proliferatif (garanulasi, epitelialisasi), dan fase remodeling (Lobmann dkk., 2005 ; Gabriel dkk., 2009). Pada orang dewasa, penyembuhan luka yang optimal meliputi beberapa peristiwa sebagai berikut yaitu ( Guo dan DiPietro, 2010). 1. Hemostasis yang cepat 2. Inflamasi yang tepat 3. Diferensiasi, proliferasi, dan migrasi sel-sel mesensimal ke tempat luka 4. Angiogenesis 5. Re-epitelialisasi ( pertumbuhan kembali jaringan epitel diatas permukaan luka ) 6. Sintesis, cross-linking, dan alignment dari pada kolagen untuk memberi kekuatan terhadap jaringan yang sembuh
48
Fase hemostasis Fase pertama dari hemostasis dimulai segera setelah terjadi luka, dengan kontriksi vaskuler dan pembentukan bekuan fibrin (fibrin clot). Bekuan dan jaringan di sekitar luka melepaskan sitokin pro-inflamasi dan growth factors seperti
transforming
growth factor (TGF)-β, platelet-derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF),
dan epidermal growth factor (EGF). Begitu perdarahan bisa
dikontrol, sel-sel inflamasi bermigrasi ke dalam luka (kemotaksis) dan memicu fase inflamasi. Fase inflamasi Ditandai oleh infiltrasi secara berurutan dari neutrofil, makrofag, dan limfosit. Fungsi neutrofil adalah membersihkan mikroba serta debris seluler di dalam luka, meskipun sel ini memproduksi substansi seperti protease dan
reactive oxygen
species (ROS), yang dapat menyebabkan beberapa kerusakan. Makrofag mempunyai peranan penting di dalam penyembuhan luka. Pada luka awal, makrofag melepaskan sitokin yang memicu respon inflamasi dengan cara menarik dan mengaktifkan leukosit. Makrofag juga bertanggung jawab untuk mendorong dan menghilangkan sel-sel apoptosis (termasuk neutrofil), dengan demikian merupakan cara resolusi terhadap inflamasi. Sel sel apoptosis melakukan transisi fenotif untuk memperbaiki keadaan yang merangsang keratinosit, fibroblas, dan angiogenesis untuk mendorong regenerasi jaringan. Dengan cara ini, makrofag mendorong transisi kearah fase proliferasi dari fase penyembuhan. Limfosit T migrasi ke dalam luka mengikuti selsel inflamasi dan makrofag, dan mengalami puncaknya selama fase proliferatif lanjut / remodeling awal. Peranan limfosit T tidak diketahui secara jelas. Beberapa
49
penelitian menduga bahwa terlambatnya
infiltrasi sel T yang diikuti dengan
penurunan konsentrasi sel T di dalam luka diikuti dengan gangguan penyembuhan luka, sementara yang lain melaporkan bahwa sel sel CD4+ (sel sel T helper) memiliki peranan positif di dalam penyembuhan luka, sedangkan sel sel CD 8+ ( sel sel T supresor-sitotoksik) memiliki peranan menghambat penyembuhan luka. Yang menarik pada penelitian terakhir ini, pada tikus percobaan dimana kedua sel sel T dan sel B adalah rendah, menunjukkan bahwa pembentukan scar berkurang. Ditambahkan pula, sel sel T gamma-delta mengatur banyak aspek penyembuhan luka, termasuk mempertahankan integritas jaringan, melawan kuman patogen, dan mengatur inflamasi. Sel sel ini disebut juga dendritic epidermal T-cells (DETC), karena meiliki morfologi dentritik yang unik. DETC diaktifkan oleh stres, kerusakan, atau keratinosit, dan memproduksi fibroblast growth factor 7 (FGF-7), keratinocyte growth factors, dan
insulin-like growth factor-1, untuk membantu
proliferasi keratinosit dan kelangsungan hidup sel. DETC juga mendorong kemokin dan sitokin yang berperan dalam memulai dan mengatur respon inflamasi selama penyembuhan luka. Keseimbangan antara DETC dan keratinosit membantu mejaga kulit
normal
dan
penyembuhan
luka.
Kekurangan
DETC
menunjukkan
keterlambatan penyembuhan luka dan penurunan proliferasi keratinosit pada luka. Fase proliferasi Umumnya mengikuti dan tumpang tindih dengan fase inflamasi, ditandai oleh proliferasi epitel dan migrasi diatas matrik di dalam luka (re-epitelialisasi). Di dalam dermis, fibroblas dan sel sel endotel tampak lebih menonjol dan menopang pertumbuhan kapiler, pembentukan kolagen, dan pembentukan jaringan granulasi.
50
Di dalam dasar luka, fibroblas memproduksi kolagen dan juga glikoaminoglikan serta proteoglikan, yang merupakan komponen utama dari matrik ekstraseluler. Fase remodeling Setelah proliferasi dan sintesis matriks ekstraseluler, penyembuhan luka memasuki fase remodeling. Dalam fase ini terjadi regresi kapiler sehingga densitas vaskuler dari luka kembali normal. Yang paling kritis dalam fase remodeling adalah remodeling matriks ekstraseluler untuk mencapai arsitektur jaringan normal. Luka juga
melakukan
kontraksi
yang di
mediasi
oleh
contractile
fibroblasts
(myofibroblasts) yang ada di dalam luka. Peranan stem sel di dalam penyembuhan luka dan regenerasi jaringan, dengan fokus pada stem sel dewasa seperti epidermal stem cells dan bone-marrow (BM)-derived cells (BMDCs). Epidermal stem cells yang berada di folikel rambaut dan bagian basal lapisan epidermis, mengangkat keratinosit untuk migrasi ke dalam luka. Dua stem sel utama yang berada di dalam sumsum tulang adalah hematopoietic SC (HSC) and mesenchymal SC (MSC). BMMSCs mampu untuk berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel seperti adiposit, osteoblas, kondrosit, fibroblat, dan keratinosit. Endothelial progenitor cells (EPCs) berasal dari HSC merupakan sel kunci dalam neovaskularisasi. EPC dan BM-MSC, keduanya terlibat di dalam proses penyembuhan luka. Wound-induced hypoxia, merupakan trigger untuk mobilisasi EPC ke dalam sirkulasi, yang berperan jelas di dalam proses neovaskularisasi.
51
Tabel. 2.2 Proses penyembuhan luka normal (Dikutip dari Guo dan DiPietro, 2010).
Fase
Hemostasis
Inflamasi
Proliferasi
Remodeling
Kejadian seluler dan Bio-fisiologi
1. Konstriksi vaskuler 2. Agregasi platelet, degranulasi, dan pembentukan fibrin (trombus) 3. Infiltrasi neutrofil 4. Infiltrasi monosit dan diferensiasi ke makrofag lymphocyte infiltration 5. Infiltrasi limfosit 6. re-epitelialisasi 7. Angiogenesis 8. Sintesis kolagen 9. Pembentukan ekstraseluler matrik 10. Remodeling kolagen 11. Maturasi dan regresi vaskuler
Banyak faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka. Secara umum faktorfaktor tersebut dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu lokal dan sistemik. Faktor lokal adalah faktor yang secara langsung mempengaruhi karakteristik luka itu sendiri, sedangkan faktor sistemik adalah keadaan penyakit atau kesehatan dari individu yang mempengaruhi kemampuan untuk sembuh seperti terlihat pada Tabel 2.3. Beberapa dari faktor-faktor ini adalah berkaitan, dan faktor-faktor sistemik bekerja melalui efek lokal. Beberapa kondisi dan penyakit seperti sepsis, trauma, penyakit hati menahun, sindroma nefrotik, luka bakar, luka terbuka menahun, dapat mengganggu penyembuhan luka, karena terjadi penurunan kadar protein tubuh. Protein memiliki peran penting
52
dalam penyembuhan luka melalui pembentukan kolagen. Penurunan kadar protein dapat dihitung dengan mengukur berbagai marker penyimpanan protein seperti albumin, prealbumin, transferin, dan insulin growth factor I. Namun pemeriksaan marker ini terbatas untuk mencerminkan status nutrisi pasien terkini, sebagai contoh albumin memiliki waktu paruh 3 minggu, dan malnutrisi protein dapat terjadi sebelum terjadi penurunan serum albumin. Konsekuensi dari penurunan protein terhadap penyembuhan luka adalah terjadi penurunan angiogenesis dan proliferasi fibroblas (Burns dkk., 2003). Obesitas berpengaruh terhadap penyembuhan luka, terbukti pada percobaan binatang dimana obesitas disertai dengan gangguan
struktur dan fungsi kolagen,
gangguan deposisi kolagen, serta gangguan penyembuhan luka, hal ini diduga akibat dari bagian dari perubahan struktur jaringan lemak (Yosipovitch dkk., 2007) . Menurut World Health Organization
(WHO) , definisi obesitas dan kelebihan berat badan
(overweight) adalah penumpukan lemak di badan secara abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan seseorang. Dikatakan obesitas apabila body mass index (BMI) ≥ 30 kg/m2 , sedangkan kelebihan berat badan, bila BMI ≥ 25 kg/m2. Pada tikus percobaan yang
obesitas,
resistensi
terhadap skar aponeurosis lebih rendah
dibandingkan kontrol, sedangkan intensitas reaksi inflamasi dan densitas kolagen tidak berbeda (Biondo-Simoes dkk., 2010). Obat - obat kemoterapi menyebabkan terlambatnya proses penyembuhan luka, karena fase inflamasi penyembuhan luka melemah, sehingga infiltrasi seluler dan deposisi fibrin menurun ditambah lagi dengan gangguan sintesa protein, produksi DNA/RNA, osmosis sel terutama sel fibroblas. Sedangkan (glukokortikoid) sistemik
pemberian steroid
menganggu penyembuhan luka, dengan secara langsung
53
melemahkan respon seluler, sehingga terjadi gangguan proliferasi fibroblas, sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi, matriks ekstraseluler, dan epitelialisasi (Burns dkk., 2003). Tabel 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka (dikutip dari Guo dan DiPietro, 2010)
Faktor lokal
Faktor sitemik
Oksigenasi Infeksi Benda asing Insufisiensi vena
Usia dan jenis kelamin Hormon seks Stress Iskemia Penyakit : DM, keloid, fibrosis, kelainan penyembuhan herediter, penyakit hati jaundice , uremia Obesitas Obat-obatan : steroid glukokortikoid, anti inflamasi non steroid, kemoterapi Alkohol dan merokok Keadaan-keadaan gangguan imunologi : kanker, radioterapi, AIDS Nutrisi
2.4.2 Patobiologi penyembuhan luka diabetes Proses penyembuhan luka dikoordinasi oleh struktur yang kompleks dan dinamis pada luka meliputi berbagai sel (trombosit atau platelet, neutrofil granulosit, makrofag, fibroblas, keratinosit), sitokin dan growth factor, serta protease ( matrix metaloprotease / MMP, plasmin, dan elastase). Berbeda dengan luka normal, pada luka diabetes, terdapat gangguan dari fungsi sel, dan ketidakseimbangan dari protease, sitokin, dan growth factor. Reaksi inflamasi pada luka diabetes tampak memanjang, merangsang peningkatan intensitas respon protease. Reaksi inflamasi ini
54
disebabkan oleh kontaminasi bakteri dan trauma berulang akibat pasien sudah kehilangan rasa sakit. Endotoksin bakteri, fragmen matriks ekstraseluler, sel-sel detritus mempertahankan inflamasi ini, terbukti dengan adanya granulosit neutrofil dalam jumlah besar didalam luka. Granulosit neutrofil juga mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF-α dan IL-1β. Kedua sitokin ini mampu secara langsung merangsang sintesa MMP. Dengan tingginya protease didalam luka, menyebabkan degradasi matrik protein dan growth factor yang merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan luka, sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi (Lobmann dkk, 2005). Disamping itu TNF-α menekan tissue growth factor-β (TGF-β) menginduksi miofibroblas mengalami proliferasi untuk menbentuk protein-protein penting dalam reorganisasi matrik ekstraseluler seperti α-smooth muscle actin (α-SMA), kolagen tipe 1A, and fibronektin, sehingga berimplikasi pada gangguan penyembuhan luka (Goldberg, 2007). Usaha telah dilakukan untuk menetralisir TNF-α dengan pemberian anti TNF-α secara sistemik pada luka diabetes dari binatang percobaan yang terbukti mempercepat penutupan luka. Penutupan luka tersebut, paralel dengan melemahnya inflamasi didalam luka secara nyata, pengurangan secara kuat dari sel-sel monosit dalam sirkulasi, dan pengurangan jumlah
makrofag didalam luka. Data ini
merupakan bukti kuat, bahwa anti TNF-α akan mengurangi baik jumlah atau aktivitas makrofag dalam luka kronis yang mengalami gangguan penyembuhan. Dengan kata lain bahwa kegagalan penyembuhan luka pada diabetes dipicu oleh makrofag yang mengekspresikan TNF-α (Goren dkk, 2007).
55
Gambar.2.8 Patofisiologi molekuler ulkus kaki diabetik (Dikutip dari Lobmann dkk, 2005).
56
2.5 Sindrom Kompartemen Sindrom kompartemen adalah keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan didalam kompartemen yang mengganggu aliran darah dari kompartemen tersebut, menyebabkan ganngguan fungsi dari kaki, dan bahkan kematian sel (Lee dkk., 1995 ; Pamoukian, 2000). Mengetahui dengan tepat suatu sindrom kompartemen adalah sangat dibutuhkan untuk memperoleh hasil terapi yang optimal (Moed dan Thorderson, 1993). Dalam literatur tidak banyak laporan mengenai kasus sindroma kompartemen yang terjadi pada pasien diabetes. Pamoukian (2000), dalam review literatur menemukan 3 kasus sindroma kompartemen idiopatik, dan 1 kasus dari pengalamnnya sendiri. Mikhnevych dkk. (2001), melaporkan 35 pasien ulkus kaki diabetik mengalami sindroma kompartemen sebagai komplikasi dari infeksi dengan pus purulen dan jaringan nekrosis. Infeksi pada kaki diabetes biasanya terdapat pada seluruh kompartemen dan dapat meluas ke kompartemen disekitarnya. Dengan disertainya infeksi dan peningkatan tekanan kompartemen pada kaki diabetes membuat penanganannya menjadi sangat menantang (Lee dkk., 1995). Lower dan Kenzora (1994), melakukan pengukuran empat kompartemen kaki dari pasien dengan neuropati diabetes berat dan kaki pasien normal, ditemukan bahwa pada kompartemen medial dari kaki pasien neuropati diabetes lebih tinggi daripada pasien kaki normal, namun perbedaannya tidak bermakna ( 7,8 mmHg , SD 2,55 pada kaki normal, dibanding 9,4 mmHg, SD 4,08 pada kaki diabetes). Terdapat perbedaan bermakna pada kompartemen interoseus ( 6,4 mmHg, SD 2,72 pada kaki normal vs 9,3 mmHg, SD 4,75 pada kaki diabetes) dan kompartemen
57
sentral ( 5,7 mmHg, SD 2,89 pada kaki normal vs 8,9 mmHg, SD 5,0 pada kaki diabetes). 2.5.1 Permeabelitas vaskuler pada diabetes DM meningkatkan resiko komplikasi vaskuler, dimana pada fase awal ditandai oleh peningkatan permeabilitas vaskuler, dan pada fase lanjut bisa disertai mikroalbuminuria. Meskipun patofiologi dari peningkatan permeabilitas vaskuler ini sepenuhnya belum dimengerti, namun diduga hiperglikemia dipandang sebagai faktor penyebabnya (Brownlee, 2001).
Penelitian terkini menunjukkan bahwa pada
hiperglikemia akut ditemukan gangguan berat dari glikokalik endotel yaitu suatu lapisan yang mengandung proteoglikan dengan glikosaminoglikan (GAG), yang melindungi lapisan endotel dari kontak langsung dengan elemen-elemen darah, akibatnya terjadi disfungsi vaskuler dan aktivasi system koagulasi berupa peningkatan adesi leukosit dan trombosit. Sedangkan pada hiperglikemia kronik, terdapat penurunan jumlah glikokalik sebanyak 50% (Nieuwdorp, 2000). Dengan suplemen glikokalik (sulodexide), terbukti bisa memperbaiki kerusakan glikokalik melalui peningkatan N-asetil glukosamin yang meningkatkan sintesa GAG dan pengurangan katabolisme GAG (Broekhuizen, 2010). Hal lain yang berpengaruh terhadap permeabelitas vaskuler adalah hilangnya tonus simpatik sebagai bagian dari disfungsi saraf sensorik-motorik pada pasien diabetik neuropati, dan tampaknya ini dipandang sebagai penentu utama dari peningkatan permeabilitas kapiler (Lefrandt, 2003). Peranan VEGF, suatu angiogenik growth factor yang memiliki pengaruh terhadap permeabilitas endotel , molekul ini telah diidentifikasi sebagai regulator potensial dari kebocoran maupun perbaikan vaskuler (Kosmidou, 2008).
58
2.5.2 Anatomi kompartemen kaki Tidak ada konsensus mengenai jumlah kompartemen pada kaki (Frink dkk., 2010). Pada akhir tahun 1920 ada 3 kompartemen (medial, lateral, superficial) yang dijelaskan, ini diperkuat oleh Kamel dan Sakla pada tahun 1961, namun kemudian Myerson mengidentifikasi 4 kompartemen, yang lain 5 kompartemen (interossei dan aduktor), serta 9 kompartemen ditemukan pada cadaver (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010). Penelitian terakhir pada cadaver menyebutkan bahwa tidak dapat diidentifikasi perbedaan kompartemen pada kaki depan, dan disimpulkan bahwa fasiotomi pada kompartemen kaki belakang melalui modifikasi insisi medial dapat memberikan dekompresi kaki secara memadai (Frink dkk., 2010). Tabel 2.4 Kompartemen Kaki ( Dikutip dari Frink dkk., 2010)
59
Anatomi kaki pada beberapa potongan melintang melalui kaki depan dan kaki belakang seperti terlihat pada Gambar 2.9, Gambar 2.10, dan Gambar 2.11 (Frink dkk., 2010).
Gambar 2.9 Anatomi penampang melintang dari kaki depan. Pendekatan dorsal menggunakan 1 atau 2 insisi longitudinal, memungkinkan akses kepada kompartemen interoseus dan aduktor MT = metatarsal; M = medial compartment; A = adductor compartment; S = superficial compartment; L = lateral compartment.
Gambar 2.10 Anatomi penampang melintang kaki depan. Kompartemen dicapai melalui pendekatan medialplantar. MT = metatarsal; M = medial compartment; A = adductor compartment; S = superficial compartment; L = lateral compartment.
60
Gambar 2.11 Anatomi penampang melintang pada kaki belakang. Pendekatan medial plantar memberi akses kepada kompartemen kalkaneal menggunakan 1 atau 2 insisi . M = medial compartment; C = calcaneal compartment; S = superficial compartment; L = lateral compartment.
2.5.3 Patofisiologi sindroma kompartemen Sindroma kompartemen akut disebabkan baik oleh karena perdarahan dan edema atau
berkurangnya ruang kompartemen. Penyebab tersering adalah
perdarahan setelah cedera vaskuler atau fraktur. Penyebab yang lain yaitu edema, ini berkembang setelah adanya suatu peningkatan permeabelitas kapiler yang juga dapat disebabkan oleh suatu pengurangan oksigen akibat perdarahan. Edema meningkatkan barier perfusi mengakibatkan hipoksia dan asidosis, kemudian hipoksia dan asidosis itu sendiri kembali mengakibatkan peningkatan permeabelitas kapiler dan ekstravasasi cairan. Karena ruang miofasial tidak elastis dan terbatas untuk menampung perluasan edema, akibatnya tekanan intrakompartemen menjadi
61
meningkat, menyebabkan berkurangnya perbedaan tekanan transmural (transmural pressure gradient) antara mikrosirkulasi dan interstitial, hal ini mengakibatkan iskemia jaringan bahkan kematian sel (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010). 2.5.4 Pengukuran tekanan kompartemen Dikenal 3 tehnik pengukuran tekanan kompartemen yaitu tehnik jarum sederhana, tehnik menggunakan kateter slit, dan tehnik menggunakan jarum sideported. Tidak ada perbedaan bermakna antara tehnik kateter slit dengan jarum sideported (Moed dan Thorderson, 1993 ; Wilson,1997) sedangkan tehnik jarum sederhana, nilai pengukuran lebih tinggi secara konsisten dibanding dengan 2 tehnik lainnya. Untuk mendapat nilai pengukuran yang akurat dapat digunakan kateter slit atau jarum side-ported (Moed dan Thorderson, 1993). Untuk membaca besarnya tekanan kompartemen, arteri line manometer adalah paling akurat, dibandingkan dengan Stryker Intracompartmental Pressure Monitor System maupun Whitesides apparatus (Boody dan Wongworawat (2005). Tehnik dengan jarum sederhana. Menggunakan jarum 18 G yang dihubungkan pada manometer merkuri Tehnik dengan kateter slit
Tehnik ini menggunakan kateter slit (Stryker, Kalamazoo, Michigan) yaitu suatu kateter polietilen dengan diameter luar 1,6 milimeter. Kateter yang berisi jarum didalamnya dimasukkan kedalam intrakompartemen dengan kemiringan 45 derajat dari permukaan kompartemen. Setelah itu jarum dilepas sedangkan ujung kateter tetap berada didalam kompartemen. Kateter dihubungkan dengan manometer digital untuk membaca nilai tekanan intrakompartemen.
62
Tehnik dengan jarum side-ported Tehnik ini menggunakan jarum side-ported (Stryker) 18 G dengan 1,5 milimeter port, jarum dimasukkan kedalam kompartemen dengan arah tegak lurus dari permukaan kompartemen. Ujung kateter dihubungkan dengan manometer digital yang sudah dikalibrasi untuk membaca nilai tekanan intrakompartemen. 2.5.5 Diagnosis sindroma kompartemen Ada 4 gejala utama yang manifes dari sindroma kompartemen yaitu nyeri, parestesi, parese, dan nyeri saat peregangan pasif atau dorsofleksi kaki (4 P), ditambah lemahnya pulsasi arteri dan pucat. Nyeri merupakan tanda klinis paling awal, paling sensitive, tetapi tidak spesifik. Nyeri saat dorsofleksi pasif kaki, memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediktif yang sebanding. Penurunan sensoris dengan ketidakmampuan membedakan 2 titik rasa, lebih dapat dipercaya daripada tes jarum (pinprick). Pengukuran
invasif tekanan intrakompartemen
merupakan cara diagnostik yang cepat dan aman dalam diagnosa sindroma kompartemen. Pada keadaan normal, tekanan kompartemen adalah < 8 mmHg (Fulkerson dkk., 2003 ; Lower dan Kenzora, 1994). Batas ambang tekanan kompartemen yang harus dilakukan fasiotomi masih menjadi perdebatan. Beberapa penulis memakai nilai absolut 30 mmHg, yang lain 30 mmHg dibawah MAP (mean Arterial Pressure) atau 10-30 mmHg dibawah tekanan darah diastolik. Pencatatan perkembangan klinis adalah sangat penting, karena dengan pemeriksaan serial akan dapat dibandingkan perkembangannya untuk dijadikan pedoman melakukan fasiotomi (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010).
63
2.5.6 Fasiotomi Kompartemen sindrom pada ulkus kaki diabetik jarang dikenal, tetapi kewaspadaan akan hal ini dianjurkan bagi para dokter yang menangani pasien kaki diabetes. Fasiotomi dapat memperbaiki pengendalian infeksi serta penyembuhan luka pada ulkus kaki diabetik (Lee, 1995). Fasiotomi harus segera dilakukan begitu diagnosa sindroma kompartemen ditegakkan, semakin awal, semakin sedikit sequelae akan berkembang. Tujuan dari fasiotomi adalah mengurangi perbedaan tekanan transmural (transmural pressure gradient) antara mikrosirkulasi dan interstitial, sehingga barier perfusi yang mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan iskemia jaringan bahkan kematian sel dapat dicegah (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010). Pada semua ulkus kronis menunjukkan hipoksia jaringan, sehingga terjadi gangguan replikasi fibroblas, deposisi kolagen, angiogenesis, dan leukosit (Velazques, 2007), disamping itu diabetic fibroblast tidak mampu meningkatkan produksi VEGF dalam merespon hipoksia (Lerman, 2003). Fasiotomi pada ulkus kaki diabetik dipandang mampu memperbaiki mikrosirkulasi, merangsang pelepasan sel endotel progenitor atau stem sel dari sumsum tulang, merangsang replikasi fibroblas untuk meningkatkan VEGF, selanjutnya proses angiogenesis dan perbaikan area ulkus dapat ditingkatkan. Ada beberapa pendekatan insisi fasiotomi, sesuai dengan kompartemen yang terkena (Fulkerson dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010). Pendekatan Plantar. Pada kasus sindroma kompartemen kalkaneal. Pendekatan ini dimulai dengan insisi mengikuti permukaan plantar dari metatarsal pertama, sehingga
64
kompartemen medial terlihat, lalu dibelah secara longitudinal. Abductor hallucis diretraksi untuk mencapai kompartemen lain. Pendekatan Dorsal. Untuk sindroma kompartemen interoseus. Pendekatan ini dapat dimodifikasi dalam dua insisi dorsal diatas metatarsal kedua dan metatarsal keempat, dengan cara ini memungkinkan untuk mencapai semua kompartemen. Jika 2 insisi dorsal ini dikerjakan, dianjurkan melakukan insisi medial disebelah medial dari metatarsal kedua dan insisi lateral disebelah lateral dari metatarsal keempat. Untuk mengurangi resiko skin bridge necrosis , kedua insisi dibuat subkutan agar perfusi tidak terganggu. Fasia dorsal dari setiap kompartemen interoseus dibuka secara longitudinal. Pada kompartemen interoseus pertama, otot dibebaskan dari fasia medial dan diretraksi ke medial. Fasia putih dari kompartemen adductor menjadi kelihatan, Pendekatan Medial Plantar. Insisi medial dimulai dari origo abductor hallucis ( sekitar 3 cm diatas permukaan plantar dan 4 cm dari posterior tumit), diperluas paralel ke permukaan plantar sepanjang 6 cm, fasia abductor hallucis akan terlihat lalu dibelah sejajar dengan insisi kulit. Setelah membelah kompartemen medial, otot abductor hallucis dilepaskan dari fasianya dan diretraksi ke superior, terlihat fasia putih dari kompartemen kalkaneal lalu fasia dibelah longitudinal. Setelah itu kompartemen superficial diidentifikasi disebelah lateral dari kompartemen medial, insisi longitudinal dikerjakan pada fasia kompartemen ini. Flexor digitorum brevis diretraksi ke inferior, fasia medial dari kompartemen lateral dapat diidentifikasi.
65
Dekompresi dari kompartemen ini , jika abductor digiti quinti and flexor digiti minimi terlihat. Semua luka dibiarkan terbuka. Pendekatan Lateral. Insisi dimulai pada maleolus lateral dan diperluas ke forefoot antara metatarsal keempat dan kelima.
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir Berdasarkan pada latar belakang permasalahan dan kajian pustaka yang telah disajikan, selanjutnya dikemukakan kerangka berpikir sebagai berikut : Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik bersumber pada empat hal yaitu gangguan fungsi sel-sel imun, respon inflamasi yang tidak efektif, gangguan fungsi sel endotel, dan gangguan neovaskularisasi. Meskipun berbagai konsep penanganan telah dikembangkan dan diimplementasikan pada pasien ulkus kaki diabetik, sampai saat ini pendekatan baru dengan memperhatikan gangguan vaskuler belum banyak dilakukan. Pada diabetes yang disertai ulkus kaki diabetik, ulkus bersifat kronis dengan suasana lingkungan ulkus adalah proinflamasi sehingga kadar TNF-α meningkat. Bila terjadi infeksi maka perluasan infeksi melalui kompartemen kaki, kompartemen interoseus memegang peranan penting dalam perluasan infeksi dan perkembangan iskemia. Diabetes sendiri meningkatkan risiko komplikasi vaskuler berupa PAD, neuropati perifir, serta peningkatan permeabelitas vaskuler yang berlangsung sejak awal sampai fase lanjut penyakit, menimbulkan peningkatan kompartemen yang memicu hipoksia jaringan. Peningkatan permeabelitas vaskuler juga berkaitan dengan hilangnya tonus simpatik sebagai bagian dari disfungsi saraf sensorikmotorik pada pasien diabetik neuropati. Diabetic fibroblast gagal memproduksi VEGF di dalam merespon hipoksia. Peningkatan TNF-α merangsang sintesis MMP,
66
67
menyebabkan degradasi matrik protein dan VEGF, sedangkan diabetic fibroblast sendiri gagal memproduksi VEGF di dalam merespon hipoksia, akibatnya kadar VEGF di dalam plasma dan jaringan semakin menurun, dan proses neovaskularisasi menjadi terganggu sehingga ulkus menjadi sulit sembuh. Debridemen merupakan langkah vital dan esensial sebagai usaha mengubah lingkungan cytokine milieu
ulkus,
akibatnya terjadi penurunan kadar TNF-α.
Debridement juga menciptakan luka dan perdarahan baru yang dapat merangsang pelepasan VEGF . Sementara fasiotomi bertujuan disamping dapat memperbaiki pengendalian infeksi, fasiotomi juga bertujuan untuk mengurangi perbedaan tekanan transmural (transmural pressure gradient) antara mikrosirkulasi dan interstitial, sehingga barier perfusi yang mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan
iskemia
jaringan bahkan kematian sel dapat dicegah. Setelah fasiotomi, hipoksia jaringan berangsur angsur pulih kembali menjadi normoksia bahkan mungkin hiperoksia. Hiperoksia merangsang pelepasan sel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang, merangsang pelepasan VEGF, dan bersamaan dengan lingkungan sitokin yang sudah membaik akibat debridemen, maka
proses
angiogenesis dan vaskulogenesis
menjadi lebih optimal, sehingga tercapai perbaikan klinis ulkus. Skema kerangka bepikir dijabarkan seperti Gambar 3.1.
68
Diabetes dengan Ulkus kaki diabetik
Lingkungan proinflamasi
Perluasan infeksi ke kompartemen
Peningkatan permeabelitas vaskuler
Neuropati perifir
PAD
Peningkatan tekanan kompartemen
Hipoksia jaringan
↑ TNF-α plasma
↓ VEGF plasma
DEBRIDEMEN DAN FASIOTOMI Perbaikan lingkungan ulkus (cytokine milleau), Perdarahan baru, ↓ Tekanan kompartemen Perbaikan mikrosirkulasi Umur, Jenis kelamin, Derajat ulkus Jenis ulkus HbA1c Lama DM Glukosa plasma
↓ ↓ TNF-α Plasma ↑ ↑ VEGF plasma
FGF-2 ↑ ↑ Perbaikan klinis
DEBRIDEMEN Perbaikan lingkungan ulkus (cytokine milleau), Perdarahan baru, Tekanan kompartemen tetap ↑ Tetap hipoksia
↓ TNF-α Plasma ↑ VEGF plasma
FGF-2 ↑ Perbaikan klinis
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
Umur Jenis kelamin Derajat ulkus Jenis ulkus HbA1c Lama DM Glukosa plasma
69
3.2 Kerangka Konsep Dari kerangka berfikir tersebut di atas, selanjutnya dibuat kerangka konsep penelitian untuk merumuskan hipotesis. Kerangka konsep tersebut adalah sebagaimana tercantum pada Gambar 3.2
Lingkungan proinflamasi dan hipoksia jaringan ulkus kaki diabetik
Debridemen dengan Fasiotomi
Debridemen tanpa Fasiotomi
Umur, Jenis kelamin, HbA1c, Jenis ulkus Derajat ulkus, Lama DM, PAD, Tek. Kompartemen Glukosa plasma
Umur, Jenis kelamin, HbA1c, Jenis ulkus Derajat ulkus, Lama DM, PAD, Tek. Kompartemen Glukosa plasma
↓↓ TNF-α plasma ↑↑ VEGF plasma ↑↑ Perbaikan klinis ulkus V. Bebas
V. Kendali
↓ TNF-α plasma ↑ VEGF plasma ↑ Perbaikan klinis ulkus
V. Tergantung
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
FGF-2
70
3.3 Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka dapatlah dikemukakan rumusan hipotesis sebagai berikut : 1. Penurunan kadar TNF-α
plasma pada ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca
debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi; 2. Peningkatan kadar VEGF plasma pada ulkus kaki diabetik tujuh hari pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi; 3. Perbaikan klinis ulkus kaki diabetik (berdasarkan nilai LUMT) pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
eksperimental
(clinical
trial)
menggunakan rancangan randomized pretest-posttest control group design ( Pocock, 2008 ; Saepudin, 2011) yang bagannya disajikan pada Gambar 4.1. Pada penelitian ini dicari perbedaan kadar TNF-α di dalam plasma, maupun perbedaan kadar VEGF di dalam plasma antara sebelum dan 1 minggu sesudah debridemen dengan atau tanpa fasiotomi. Selanjutnya dilakukan monitoring terhadap perbaikan klinis ulkus menggunakan instrumen Leg Ulcer Measurement Tool (LUMT) yang diadopsi dari Woodbury, dkk. (2004) pada setiap minggu sampai dengan 4 minggu posttest.
P
S
O1
K
O2
O3
PL
O4
RA
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian Pretest dan Posttest Control Group Design (Pocock, 2008 ; Saepudin, 2011) Keterangan : P = Populasi, S = Sampel, RA = Random Alokasi, O1 = pengamatan sebelum perlakuan debridemen tanpa fasiotomi, K = Kontrol (debridemen tanpa fasiotomi), O2 = pengamatan setelah perlakuan debridemen tanpa fasiotomi, O3 = pengamatan sebelum perlakuan debridemen dengan fasiotomi, PL = Perlakuan (debridemen dengan fasiotomi), O4 = pengamatan setelah perlakuan debridemen dengan fasiotomi.
71
72
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di unit Bedah Toraks Kardiovaskuler Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Pemeriksaan kadar TNF-α dan VEGF plasma dilakukan di UPT. Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Sejak protokol penelitian sampai selesai penelitian memerlukan waktu selama 4 minggu. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi sampel Populasi target adalah semua pasien DM tipe-2 yang menjalani operasi oleh karena ulkus kaki diabetik. Populasi terjangkau adalah semua pasien DM tipe-2 yang menjalani operasi oleh karena ulkus kaki diabetik derajat Wagner II, III, dan IV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. 4.3.2
Sampel penelitian Sampel (intended sample) adalah subyek yang dipilih dengan tehnik
berurutan (consecutive sampling) dari populasi terjangkau, setelah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Subyek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah sampel yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi informed consent (Pocock, 2008 ; Saepudin, 2011) 4.3.3
Kriteria inklusi Pasien DM tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik, , derajat ulkus Wagner II, III,
dan IV, bersedia menjalani operasi debridemen dengan fasiotomi atau debridemen tanpa fasiotomi ditandai dengan kesediaan untuk mengisi informed consent, kadar glukosa plasma sebelum operasi terkontrol. Batasan yang dipakai dalam kriteria inklusi sampel adalah sebagai berikut :
73
1. Ulkus kaki diabetik : adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis yang menyertai penderita diabetes, dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan, pada bagian distal tungkai bawah (Gibbons dkk.,1995 ; Rutherford dkk., 1995 ; Cavanagh dkk., 1999). 2. Kriteria diagnosis DM dan DM tipe 2 sesuai dengan American Diabetes Association 2012 yaitu : DM tipe 2 adalah individu yang memiliki resistensi terhadap insulin disertai dengan defisiensi insulin relatif atau gangguan sekresi insulin disertai dengan resistensi insulin. Kriteria diagnosis DM : 1. Gejala-gejala diabetes seperti poliuri, polidipsi, dan kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, ditambah dengan konsentrasi gula darah sewaktu ≥200 mg/dl (11.1 mmol/l), atau 2. Konsentrasi gula darah puasa ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l). Pengertian puasa disini adalah tidak ada pasokan kalori paling sedikit 8 jam, atau 3. HbA1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan ini hendaknya dikerjakan pada laboratorium yang menggunakan metoda yang sudah disertifikasi melalui
program
standarisasi glikohemoglobin Nasional (Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP)
atau standar nilai (assay) dari Diabetes Control and
Complications Trial (DCCT), Atau 4. Konsentrasi gula darah 2 jam postprandial ≥200 mg/dl (11.1 mmol/l)
74
3. Kadar glukosa plasma terkontrol adalah kadar glukosa plasma preprandial 70130 mg / dl, kadar glukosa 2 jam postprandial < 180 mg / dl ( Standard Medical Care of Diabetes ADA, 2011 ) 4. Derajat ulkus kaki diabetik Wagner sesuai dengan klasifikasi Wagner (Oyibo dkk., 2001) yaitu : Grade 0
Tidak ada ulkus pada penderita kaki risiko tinggi
Grade I
Ulkus superfisial terlokalisir.
Grade II
Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligamen, otot,sendi, belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses
Grade III Ulkus lebih dalam sudah mengenai tulang sering komplikasi osteomielitis, abses atau selulitis. Grade IV Gangren jari kaki atau kaki bagian distal. Grade V
Gangren seluruh kaki.
4.3.4 Kriteria ekslusi Pasien yang sejak awal direncanakan amputasi major (Below Knee / Above Knee). Pasien dengan penyakit penyerta seperti penyakit jantung kongestif, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), sindroma nefrotik, penyakit hati menahun, anemia, kanker, sedang dalam terapi steroid, kemotrerapi. Drop out
apabila
sebelum 4 minggu pasca operasi tidak bisa di follow up ( meninggal, tidak bisa dihubungi ). Dikeluarkan dari penelitian apabila ditemukan kondisi seperti abses yang dalam yang harus dilakukan fasiotomi pada kelompok non fasiotomi.
75
4.3.5 Tehnik pengambilan sampel Sampel yang telah memenuhi syarat penelitian (eligable sample), selanjutnya dilakukan randomisasi untuk menetapkan jenis perlakuan yang akan diberikan dengan cara Permutted Block Randomization menggunakan komputer dengan program statistik pepi. Nomor urut sampel dan jenis perlakuan sesuai Permutted Block, ditulis pada secarik kertas dan diletakkan didalam amplop tertutup, dan baru dibuka sesaat sebelum operasi. Adapun kode perlakuan ditetapkan sebagai berikut : A, untuk perlakuan fasiotomi, B untuk perlakuan tanpa fasiotomi. Pasien yang memenuhi syarat dipilih secara berurutan (consecutive random sampling) sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. 4.3.6 Besar sampel Menetapkan besar sampel tergantung pada besar densitas exposure faktor risiko pada populasi, besar Odd ratio terkecil yang dianggap bermakna , besar alfa dan power of test yang diinginkan. Penghitungan besar sampel dihitung menggunakan formula Pocock (Pocock, 2008) seperti ditunjukkan dengan persamaan berikut : n=
2σ2 X f α,β (μ2 - μ1 )2
Besarnya (µ2 - µ1) merupakan efek faktor risiko antara kelompok perlakuan dan kontrol dapat ditentukan dengan asumsi (clinical judgment), pilot study atau dari data penelitian serupa. Berdasarkan penelitian Leung (2008) ditemukan bahwa kadar TNF-α serum pada pasien ulkus kaki diabetik pada minggu kedua pasca perlakuan terapi herbal
adalah 36 ± 76 pg/ml, sedangkan pada pasien yang
76
diberikan plasebo kadar TNF-α adalah 41 ± 68 pg/ml. Sehingga dengan mengacu pada penelitian serupa dapat ditetapkan bahwa (µ2 - µ1) antara kedua kelompok adalah sebesar 5. Kesalahan tipe 1 (α) ditetapkan sebesar 5%, kesalahan tipe 2 (β) sebesar 20%, maka f (α, β) = 7,9 Dengan memasukkan nilai-nilai tersebut pada persamaan diatas didapatkan nilai n = 26,5 dibulatkan menjadi 27 orang. Dengan asumsi drop out sebanyak 20% maka sampel yang digunakan adalah sebanyak 32 orang. Jadi untuk 2 kelompok jumlah sampel yang digunakan adalah sebanyak 64 orang. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel Variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok variabel, yaitu : 1. Variabel bebas adalah tindakan operasi debridemen dengan fasiotomi dan tindakan operasi debridemen tanpa fasiotomi. 2. Variabel tergantung adalah kadar TNF-α plasma dan kadar VEGF plasma, serta perbaikan klinis ulkus kaki diabetik (nilai LUMT) 3. Variabel kendali : umur, jenis kelamin, lama DM, kadar HbA1c, PAD, derajat ulkus, jenis ulkus, dan tekanan kompartemen daerah kaki. 4.4.2 Hubungan antar variabel Dari 3 kelompok variabel yang diteliti, maka dibuat skema hubungan antar variabel seperti terlihat pada Gambar 4.2 berikut :
77
V. BEBAS Debridemen tanpa fasiotomi Debridemen dengan fasiotomi
V. KENDALI Umur Jenis kelamin Derajat ulkus Jenis ulkus
V. KENDALI HbA1c PAD Lama DM Tekanan kompartemen
V. TERGANTUNG Kadar TNF-α plasma Kadar VEGF plasma Perbaikan klinis ulkus (nilai LUMT) Gambar 4.2 Hubungan antar variabel V= Variabel, LUMT= Leg Ulcer Measurement Tool 4.4.3 Definisi operasional variabel penelitian Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variable-variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi operasional dari variable-variabel tersebut adalah sebagai berikut ; 1. Debridemen dengan fasiotomi adalah tindakan bedah debridemen dan fasiotomi yang dikerjakan secara simultan. 2. Debridemen adalah tindakan bedah membuang semua jaringan nekrotik, eksudat, pus, darah,
di dalam dan tepi ulkus sampai ke jaringan sehat
(Frykberg dkk., 2006 ; Bernard, 2007 ; Lebrun, 2010).
78
3. Fasiotomi adalah tindakan bedah dengan melakukan insisi longitudinal pada fasia yang membungkus sekelompok otot dari satu kompartemen. Pemilihan kompartemen pada fasiotomi disesuaikan lokasi ulkus. Ada beberapa pendekatan insisi fasiotomi yang telah dipakai untuk dekompresi, sesuai dengan kompartemen mana yang terkena (Fulkerson dkk.,2003 ; Frink dkk., 2010). 4. Ulkus kaki diabetikum adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full thickness) dari dermis yang menyertai penderita diabetes, dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan pada kaki (Gibbons dkk.,1995 ; Rutherford dkk., 1995 ; Cavanagh dkk., 1999). 5.
Derajat ulkus kaki diabetik adalah Wagner II, III, dan IV menurut klasifikasi Wagner (Oyibo, dkk., 2001).
6. TNF-α adalah sitokin proinflamasi yang diambil dari bahan jaringan dan plasma. Kadar TNF-α diukur menggunakan metoda
ulkus
Enzyme-Linked
ImmunoSorbant Assay (ELISA) (R&D System, Minneapollis, USA) 7. VEGF adalah vascular endothelial growth factor yang diambil dari bahan plasma. Kadar VEGF diukur dengan metoda Enzyme-Linked ImmunoSorbant Assay (ELISA) (R&D System, Minneapollis, USA) 8. Perbaikan klinis ulkus adalah besarnya nilai LUMT yang diukur secara periodik setiap minggu berturut-turut selama 4 minggu posttest. Pengamatan perbaikan klinis dilakukan dengan alat ukur berupa formulir LUMT
79
(Woodbury dkk.,2004). Semakin kecil nilai LUMT posttest, semakin besar perbaikan klinis ulkus. 9. Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan keterangan tanggal lahir 10. Jenis kelamin adalah laki-laki atau wanita 11. Lama DM adalah rentang waktu pasien menderita DM yang dihitung sejak pasien mengetahui pertama kali sampai dengan waktu dilakukan wawancara penelitian. 12. HbA1c adalah hemoglobin yang terglikosilasi diukur dengan Bio-Rad D-10 Hemoglobin testing system, spesimen diambil dari darah lengkap (American Diabetes Association, 2012). 13. PAD adalah penyakit arteri perifir oklusi. Kriteria diagnosis PAD adalah intermitent claudication, kaki pucat dan dingin, atrofi otot, berkurangnya pertumbuhan rambut dan kuku, pulsasi arteri kaki melemah atau tidak ada, Ankle Brachial Index (ABI) ≤ 0,90 (Norgren dkk, 2007). 14. Tekanan kompartemen kaki adalah besarnya tekanan kompartemen daerah kaki. Pengukuran dilakukan pada kompartemen lateral, sentral, medial, dan interoseus
kaki, yang diukur dengan tehnik jarum sederhana 18G yang
dihubungkan dengan transduser arteri line monitor (Moed dan Thorderson, 1993 ; Wilson, 1997). Tehnik pengukuran. Daerah kompartemen kaki yang akan diukur didesinfeksi dengan alkohol 90%, ditusukkan jarum 18 G dengan posisi miring 45o dari permukaan kulit menembus fasia kompartemen, jarum difiksasi dengan jahitan silk 3/0 agar
80
tidak terlepas selama pengukuran, ujung jarum dihubungkan dengan transduser arterial line yang sudah terhubung dengan monitor. Dilakukan kalibrasi, lalu dilakukan pembacaan nilai tekanan kompartemen. 15. Jenis ulkus. Ulkus diabetikum dibedakan atas 2 kelompok yaitu : (Edmon, 2006) 1. Ulkus neuropatik. Kaki teraba hangat dan perfusi masih baik dengan pulsasi masih teraba, keringat berkurang, kulit kering dan retak. Penilaian neuropati : Riwayat tentang gejala-gejala neuropati, pemeriksaan sensasi tekanan dengan
Semmes-Weinstein monofilament 10 g, pemeriksaan sensasi
vibrasi dengan garpu tala 128 Hz (Khanolkar dkk., 2008 ; Van Baal, 2004) 2. Ulkus neuroiskemik. Kaki teraba lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit tipis, halus dan tanpa rambut, ada atrofi jaringan subkutan, klaudikasio intermiten dan rest pain mungkin tidak ada karena neuropati . 4.5 Bahan Penelitian 4.5.1 Bahan sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita ulkus kaki diabetik derajat Wagner II, III, dan IV.
81
4.5.2 Bahan sediaan untuk uji TNF-α dan VEGF Bahan sediaan untuk pemeriksaan TNF-α dan VEGF adalah plasma penderita ulkus kaki diabetik. Adapun pemeriksaan
TNF-α di dalam jaringan
sebelum perlakuan diperlukan untuk melihat korelasinya dengan kadar TNF-α plasma, namun tidak dikerjakan posttest karena pertimbangan etik. 4.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Alat pengukur tekanan kompartemen yang terdiri dari : jarum ukuran 18G, transduser, artery line invasive monitor 2. Alat pengukur panjang / lebar berupa penggaris sederhana 3. Semmes-Weinstein monofilament 10 g dan Garpu tala 128 Hz 4. Stetoskop dan Spignomanometer 5. Formulir pengumpulan data penelitian dan rekaman medik 4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Tahap persiapan Penelitian ini dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan penelitian (ethical clearance) dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Persetujuan penelitian dengan menandatangani surat informed consent. Sampel penderita ulkus kaki diabetikum dipilih secara consecutive kemudian dipersiapkan untuk tindakan bedah. Preparasi bedah dipersiapkan sesuai dengan prosedur baku penanganan ulkus diabetikum. Glukosa plasma sebelum operasi dalam keadaan terkontrol.
82
4.7.2 Pelaksanaan penelitian 4.7.2.1 Pengukuran tekanan kompartemen Dilakukan pengukuran tekanan kompartemen pada masing-masing kompartemen di daerah kaki yaitu : kompartemen lateral, sentral, medial, dan interoseus diukur dengan memakai jarum 18G yang dihubungkan dengan transduser dari system monitor invasive. Pengukuran dilakukan pada semua subyek penelitian sebelum dilakukan operasi debridemen dengan atau tanpa fasiotomi (pretest), kadar glukosa plasma sebelum pengukuran adalah dalam keadaan terkontrol. Pengukuran tekanan kompartemen posttest tidak dilakukan karena kompartemen sudah terbuka akibat fasiotomi, sehingga pengukuran tekanan kompartemen posttest diasumsikan menjadi tidak relevan serta hasil pengukuran tidak bisa dipercaya.. n. 4.7.2.2 Debridemen tanpa fasiotomi Operasi dilakukan dengan memakai instrument bedah untuk membuang semua jaringan nekrotik, eksudat, pus, darah, didalam dan tepi ulkus sampai ke jaringan sehat, tanpa disertai dengan fasiotomi. 4.7.2.3 Debridemen dengan fasiotomi Operasi dilakukan dengan memakai instrument bedah untuk membuang semua jaringan nekrotik, eksudat, pus, darah didalam dan tepi ulkus sampai ke jaringan sehat, disertai dengan fasiotomi secara simultan. Lokasi fasiotomi disesuaikan dengan lokasi ulkus. Tehnik fasiotomi adalah sebagai berikut :
83
Pendekatan Plantar. Pendekatan ini dimulai dengan insisi mengikuti permukaan plantar dari metatarsal pertama, sehingga kompartemen medial terlihat, lalu dibelah secara
longitudinal.
Abductor
hallucis
diretraksi
untuk
mencapai
kompartemen lain. Pendekatan Dorsal. Pendekatan ini dapat dimodifikasi dalam dua insisi dorsal diatas metatarsal kedua dan metatarsal keempat, dengan cara ini memungkinkan untuk mencapai semua kompartemen. Jika 2 insisi dorsal ini dikerjakan, dianjurkan melakukan insisi medial disebelah medial dari metatarsal kedua dan insisi lateral disebelah lateral dari metatarsal keempat. Untuk mengurangi resiko skin bridge necrosis , kedua insisi dibuat subkutan agar perfusi tidak terganggu. Fasia dorsal dari setiap kompartemen interoseus dibuka secara longitudinal. Pada kompartemen interoseus pertama, otot dibebaskan dari fasia medial dan diretraksi ke medial. Fasia putih dari kompartemen adductor menjadi kelihatan, Pendekatan Medial Plantar. Insisi medial dimulai dari origo abductor hallucis ( sekitar 3 cm diatas permukaan plantar dan 4 cm dari pascaterior tumit), diperluas paralel ke permukaan plantar sepanjang 6 cm, fasia abductor hallucis akan terlihat lalu dibelah sejajar dengan insisi kulit. Setelah membelah kompartemen medial, otot abductor hallucis dilepaskan dari fasianya dan diretraksi ke superior, terlihat fasia putih dari kompartemen kalkaneal lalu fasia dibelah
84
longitudinal. Setelah itu kompartemen superficial diidentifikasi disebelah lateral dari kompartemen medial, insisi longitudinal dikerjakan pada fasia kompartemen ini. Flexor digitorum brevis diretraksi ke inferior, fasia medial dari kompartemen lateral dapat diidentifikasi. Dekompresi dari kompartemen ini , jika abductor digiti quinti and flexor digiti minimi terlihat. Semua luka dibiarkan terbuka. Pendekatan Lateral. Insisi dimulai pada maleolus lateral dan diperluas ke kaki depan antara metatarsal keempat dan kelima.
Gambar 4.3 Pendekatan dorsal dan medial untuk fasiotomi pada empat kompartemen. Insisi dorsal melalui dua insisi persis sebelah medial dari metatarsal kedua dan di sebelah lateral dari metatarsal keempat, memungkinkan mencapai keempat kompartemen kaki. Insisi medial lebih mudah mencapai kompartemen medial dan sentral (Dikutip dari ABST Lab manual, ACS)
85
4.7.2.4 Prosedur tetap tehnik operasi, pengambilan spesimen jaringan dan plasma, dan perawatan luka. Prosedur tetap tindakan debridemen dengan atau tanpa fasiotomi dan pengambilan spesimen jaringan dan plasma ( pretest ) : -
Penderita disiapkan dalam general atau regional anestesi
-
Tutup ulkus dengan kasa steril
-
Desinfeksi daerah disekitar ulkus dengan povidone iodine
-
Cuci ulkus dengan normal saline dengan cara irigasi untuk membuang pus, eksudat, darah, dan benda asing lainnya
-
Pengambilan spesimen jaringan, plasma
-
Debridemen dengan atau tanpa fasiotomi
-
Ulkus ditutup dengan kasa steril lalu dibebat dengan bebat elastis.
Prosedur tetap pengambilan spesimen : a. Jaringan : eksisi jaringan ulkus dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 2 cm, dan kedalaman 1 cm dari dasar ulkus sampai batas dengan jaringan sehat dasar ulkus. Spesimen kemudian dikirim ke Laboratorium Analitik Universitas Udayana. b. Plasma : diambil darah vena sebanyak 3 mililiter yang ditampung dan disimpan dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian dikirim ke Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Prosedur tetap debridemen : a. Eksisi jaringan nekrotik di tepi dan dasar ulkus secara tajam sampai ke jaringan sehat dan pembersihan permukaan ulkus secara tumpul sampai
86
timbul perdarahan baru, perdarahan selanjutnya dirawat. b. Cuci ulkus dengan larutan normal saline dengan cara irigasi untuk membuang sisa-sisa pus, eksudat, darah, dan benda asing lainnya. Prosedur tetap fasiotomi : a. Identifikasi lokasi ulkus dan proyeksikan area kompartemen dari ulkus tersebut. Lokasi ulkus dibagi 2 area yaitu dorsum pedis dan plantar pedis, b. Ulkus yang berlokasi di dorsum pedis, dikerjakan fasiotomi kompartemen interosesus dengan pendekatan dorsal, c. Ulkus yang berlokasi di plantar lateral, dikerjakan fasiotomi kompartemen lateral dengan pendekatan lateral, d. Ulkus yang berlokasi di plantar medial dan atau sentral dikerjakan fasiotomi kompartemen medial dan kompartemen sentral dengan pendekatan medialplantar. Prosedur tetap tindakan dan pengambilan spesimen plasma 1 minggu pasca debridemen dengan atau tanpa fasiotomi ( posttest ) : Diambil darah vena sebanyak 3 mililiter yang
ditampung dan disimpan
dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian dikirim ke Laboratorium Analitik Universitas Udayana. Prosedur tetap perawatan ulkus : -
Tutup ulkus dengan kasa steril
-
Desinfeksi daerah disekitar ulkus dengan povidone iodine
87
-
Cuci
ulkus dengan cairan normal saline dengan cara irigasi untuk
membuang pus, eksudat, darah, dan benda asing lainnya -
Ulkus ditutup dengan kasa steril lalu dibebat dengan bebat elastis.
4.7.3 Pemeriksaan laboratorium Pengukuran kadar TNF-α plasma dan jaringan ulkus, serta kadar VEGF plasma menggunakan metoda ELISA (Quantikine(R) ELISA, Human TNF-α dan VEGF Immunoassay. R&D System Inc., Minneapolis, USA). Spesimen diambil dari plasma dan jaringan ulkus untuk TNF-α , dan dari plasma untuk VEGF, sesaat sebelum operasi dan 1 minggu setelah operasi. Kadar glukosa plasma terkontrol selama pengambilan spesimen. Prosedur pengambilan dan penyimpana sampel, persiapan reagen, prosedur assay, serta hasil penghitungan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan dari perusahan Quantikine(R) ELISA, Human TNF-α dan VEGF Immunoassay. R&D, Inc. Minneapolis, USA, sebagai berikut : Pengambilan dan Penyimpanan Spesimen : a. Jaringan : biakan sel supernatan
(cell culture supernates) hendaknya
mengandung paling sedikit fetal calf serum 1% untuk stabilitas TNF-α dan VEGF. Partikel partikel dibuang dengan cara sentrifugasi, dan setelah itu segera dikerjakan analisis atau disimpan terlebih dahulu pada suhu ≤ -20 0C. Hindarkan pencairan dari yang beku (freeze-thaw cycles) secara berulang. b. Plasma : tampung plasma menggunakan EDTA sebagai anticoagulant. Dilakukan sentrifugasi selama 15 menit pada 1000 x g, endapkan selama 30 menit. Analisa segera dilakukan atau sampel disimpan pada suhu ≤ -20 0C. Hindarkan pencairan dari yang beku ( freeze-thaw cycles ) secara berulang.
88
Persiapan Reagen. a. Tempatkan semua reagen pada tempratur kamar sebelum digunakan b. Pencucian buffer. Jika reagen masih dalam bentuk konsentrat kristal, hangatkan terlebih dahulu pada tempratur kamar, lalu dicampur secara hati hati sampai seluruh kristal terlarut sepenuhnya. Larutkan konsentrat pencuci buffer ( Wash Buffer Concenctrate ) sebanyak 20 ml kedalam air yang sudah di deionisasi atau distilasi menjadi 500 ml Wash Buffer. c. Larutan dasar. Reagen A dan B dicampurkan dalam volume yang sama dalam waktu 15 menit. Hindarkan dari cahaya. Dibutuhkan 200 µl hasil larutan tercampur untuk setiap sumur atau perigi (well). d. Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : gunakan tabung polypropylene. Tuangkan dengan pipet 500 µL calibrator diluent RD5K kedalam setiap tabung untuk menghasilkan pengenceran serial. Campurkan setiap tabung terlebih dahulu sebelum dicampurkan ke tabung berikutnya. Pengenceran 1000 pg/ml digunakan sebagai standard tinggi. Calibrator diluent RD5K digunakan sebagai standar zero ( 0 pg/ml ). e. Untuk sampel plasma / serum : gunakan tabung polypropylene. Tuangkan dengan pipet 500 µL calibrator diluent RD6U kedalam setiap tabung untuk menghasilkan pengenceran serial. Campurkan setiap tabung terlebih dahulu sebelum dicampurkan ke tabung berikutnya. Larutan tanpa pengenceran standard digunakan sebagai stan.dard tinggi ( 2000 pg/ml ). Calibrator diluent RD6U digunakan sebagai standar zero ( 0 pg/ml ).
89
Prosedur Assay. 1. Siapkan semua reagen, standard, dan sampel seperti yang sudah diterangkan sebelumnya. 2. Pindahkan strip mikroplate yang lebih dari kerangka plate ke dalam foil poch yang berisi desicant pack, lalu disegel kembali. 3. Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : tambahkan 50 µL assay diluent RD1W ke dalam setiap sumur atau perigi (well). Untuk plasma / serum tambahkan 100 µL assay diluent RD1W ke dalam setiap sumur atau perigi (well). 4. Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : tambahkan 200 µL standard, kontrol, atau sampel per sumur. Untuk plasma / serum tambahkan 100 µL standard, kontrol, atau sampel per sumur. Tutup dengan plester yang sudah disediakan dan inkubasi selama 2 jam pada tempratur kamar. Sebuah plate layout disiapkan untuk mencatat assay standard dan sampel. 5. Aspirasi setiap sumur dan dicuci, ulangi proses ini 2 kali untuk 3 pencucian total. Cuci dengan mengisi setiap sumur dengan wash buffer ( 200 µL ) menggunakan botol semprot, manifold dispenser, atau pencuci otomatis. Membersihkan secara keseluruhan cairan pada setiap langkah merupakan hal yang sangat penting untuk penampilan yang baik. Setelah pencucian terakhir, bersihkan
sisa
sisa
wash
buffer
dengan
cara
menuangkannya. Keringkan plate dengan handuk kertas.
mengaspirasi
atau
90
6. Tambahkan 200 µL conjugat VEGF atau TNF-α pada setiap sumur. Tutup dengan plester baru. Inkubasi selama 2 jam pada tempratur kamar. 7. Ulangi aspirasi atau pencucian seperti dalam langkah 5. 8. Tambahkan 200 µL larutan dasar pada setiap sumur. Lindungi dari cahaya. Untuk sampel jaringan ( biakan sel supernatan ) : inkubasi selama 20 menit pada suhu kamar. Untuk plasma / serum inkubasi selama 25 menit pada suhu kamar. 9. Tambahkan 50 µL larutan penutup ( stop solution ) untuk setiap sumur. Jika perubahan warna tidak tampak merata, plate diketok-ketok secara hati hati agar tercampur dengan baik. Jika warna di dalam sumur adalah hijau atau perubahan warna tidak tampak merata, plate diketok-ketok secara hati hati agar tercampur dengan baik. 10. Tetapkan densitas optik dari setiap sumur dalam waktu 30 menit, menggunakan pembaca mikroplate dan diset sampai 450 nm. Jika koreksi panjang gelombang tersedia, set sampai 540 nm atau 570 nm. Jika koreksi panjang gelombang tidak tersedia, kurangi pembacaan dari 540 nm atau 570 nm menjadi 450 nm. Pengurangan ini akan mengoreksi ketidaksempurnaan optik pada plate. Pembacaan yang dibuat langsung pada 450 nm tanpa koreksi dapat menjadi lebih tinggi dan kurang akurat.
91
4.7.4 Pemeriksaan perbaikan klinis ulkus Pemeriksaan perbaikan klinis ulkus dilakukan sampai 4 minggu pasca operasi. Dilakukan pengamatan terhadap perbaikan klinis ulkus menggunakan instrument LUMT diadopsi dari Woodbury GM dkk. (2004) pada setiap akhir minggu I, II, III, dan IV pasca operasi (formulir monitoring LUMT terlampir). Perawatan ulkus dilakukan setiap 3 hari sekali selama 4 minggu, di ruang perawatan atau di Poliklinik Bedah RSUP Sanglah. Kadar glukosa plasma terkontrol selama pengamatan berlangsung. 4.8 Alur Penelitian Untuk lebih mempermudah pelaksanaan penelitian maka dibuat skema alur penelitian yang ditunjukkan dengan bagan pada Gambar 4.4 berikut :
92 PASIEN DM TIPE 2 DENGAN ULKUS KAKI DIABETIK
KRITERIA INKLUSI
KRITERIA EKSLUSI
CONSECUTIVE SAMPLING
ALOKASI RANDOM
KONTROL (32 SUBYEK)
PERLAKUAN (32 SUBYEK)
PENGUKURAN : TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI, TNF-α PLASMA dan JARINGAN, VEGF PLASMA, NILAI LUMT (PRETEST ) *Glukosa plasma terkontrol
DATA PRETEST : TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI , TNF-α PLASMA dan JARINGAN, VEGF PLASMA, NILAI LUMT OPERASI DEBRIDEMEN
OPERASI DEBRIDEMEN + FASIOTOMI
PENGUKURAN : TNF-α PLASMA, VEGF PLASMA, NILAI LUMT TUJUH HARI PASCA OPERASI (POSTTEST) *Glukosa plasma terkontrol
DATA POSTTEST : TNF-α PLASMA, VEGF PLASMA, NILAI LUMT
EVALUASI PERBAIKAN KLINIS ULKUS (NILAI LUMT) MINGGU II, III, IV PASCA OPERASI *Glukosa plasma terkontrol
DATA PERBAIKAN KLINIS ULKUS NILAI LUMT MINGGU I, II, III, IV PASCA OPERASI ANALISIS STATISTIK DATA
SIMPULAN PENELITIAN
Gambar 4.4 Alur Penelitian
93
4.9 Analisis Data Untuk menganalisis perbedaan kadar TNF-α plasma dan kadar VEGF plasma, serta perbaikan klinis ulkus yang diukur dari nilai LUMT akibat perlakuan debridemen dengan atau tanpa fasiotomi, dilakukan tahapan-tahapan analisis statistik data sebagai berikut : 1. Analisis deskriptif; menggambarkan karakteristik perlakuan dan distribusi frekuensi berbagai variabel yaitu : jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, BMI, HbA1c, lama menderita DM, lama menderita ulkus, tekanan kompartemen kaki, derajat ulkus, jenis ulkus, dan PAD; 2. Analisis normalitas; normalitas data TNF-α dan VEGF plasma kelompok debridemen dengan fasiotomi dan kelompok debridemen tanpa fasiotomi antara sebelum dan sesudah perlakuan dianalisis menggunakan uji Shapiro Wilk pada α = 0,05. Hipotesis ; H0 : frekuensi observasi = frekuensi ekspektasi, Ha : frekuensi observasi ≠ frekuensi ekspektasi. H0 diterima (data berdistribusi normal) p > α, H0 ditolak (data tidak berdistribusi normal) p < α ; 3. Analisis homogenitas; analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kesamaan varian (equality of variance) pada kedua kelompok perlakuan dengan menggunakan Levene’s Test pada α = 0,05. Hipotesis; H0: σ12 = σ22 (varian kelompok debridemen dengan fasiotomi sama dengan kelompok debridemen tanpa fasiotomi), Ha:σ12 ≠ σ22 (varian kelompok debridemen dengan fasiotomi berbeda dengan kelompok debridemen tanpa fasiotomi), H0 diterima (varian pada kedua kelompok equal), p > α. H0 ditolak (varian pada kedua kelompok tidak equal), p < α;
94
4. Analisis komparabilitas; dilakukan terhadap nilai pre-tes kelompok debridemen dengan fasiotomi dan kelompok debridemen tanpa fasiotomi menggunakan uji-t group (α = 0,05. H0 : μ1 = μ2 (pre-tes kelompok debridemen dengan fasiotomi = kelompok debridemen tanpa fasiotomi), Ha: μ1 ≠ μ2 (pre-tes kelompok debridemen dengan fasiotomi ≠ kelompok debridemen tanpa fasiotomi). H0 diterima, p > α ini berarti yang diuji adalah nilai posttest kelompok debridemen dengan fasiotomi dan posttest kelompok debridemen tanpa fasiotomi , H0 ditolak (data tidak berdistribusi normal), p < α ini berarti yang diuji adalah penurunan antara pre-tes dengan posttest; 5. Analisis perbedaan rerata; dengan asumsi varian pada kedua kelompok ekual maka perbedaan rata-rata antara hasil pengukuran TNF-α dan VEGF plasma pada kelompok debridemen dengan fasiotomi berbeda dengan
kelompok
debridemen tanpa fasiotomi yang ditentukan berdasarkan nilai posttest antara kedua kelompok tersebut dianalisis dengan uji-t independent sample atau uji-t group (dua sampel bebas) pada tingkat kemaknaan α = 0,05. Hipotesis; H0: μ1 = μ2 (rerata posttest kelompok debridemen dengan fasiotomi sama dengan rerata posttest kelompok debridemen tanpa fasiotomi), Ha: μ1 ≠ μ2 (rata-rata posttest kelompok debridemen dengan fasiotomi berbeda dengan rata-rata posttest kelompok debridemen tanpa fasiotomi atau ada perbedaan antara kedua kelompok). H0 diterima (tidak ada perbedaan antara kedua kelompok), p > α. H0 ditolak (ada perbedaan antara kedua kelompok), p < α; dan
95
6. Perbedaan perbaikan klinis ulkus yang diukur menggunakan system LUMT diukur pada minggu I, II, III, dan IV. Analisis menggunakan uji-t tidak berpasangan pada tingkat signifikansi p < 0,05; 7. Pada penelitian ini dikonstruksi regresi linier peningkatan kadar VEGF dengan kadar TNF-α. Hal ini penting untuk mendapatkan linieritas antara kedua variabel tersebut. Analisis regresi linier terhadap kedua variabel tersebut menggunakan regresi linier sederhana 8. Analisis statistik tersebut di atas menggunakan nilai p < 0,05 sebagai batas kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistika, yaitu program SPSS for windows.
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 60 orang pasien penderita DM yang terkena ulkus kaki diabetik memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien selanjutnya dimasukkan ke dalam 2 kelompok yaitu: kelompok-1 terdiri dari 28 orang mendapatkan perlakuan debridemen dan kelompok-2 sebanyak 32 orang mendapatkan perlakuan debridemen dan fasiotomi. Pada kelompok-1 tercatat seorang pasien drop out karena meninggal dunia. Data karakteristik subjek penelitian disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Data Karakteristik Subjek Kelompok-1 dan Kelompok-2 Variabel N Jenis Kelamin Laki (%) Perempuan (%) Umur (tahun) Kisaran umur (tahun) Pendidikan SD (%) SLTP (%) SLTA (%) PT (%) Pekerjaan IRT (%) Swasta (%) PNS (%) BMI HbA1c (%) Lama menderita DM (tahun) Lama menderita Ulkus (minggu) Tekanan Kompartemen (mmHg) Medial Lateral Sentral Interosesus
Kelompok-1 (Debridemen) 27
Kelompok-2 (Debridemen + Fasiotomi) 32
18 (66,70) 9 (33,30) 54,59±8,23 42 - 70
22 (68,80) 10 (31,20) 54,72±11,67 28 - 77
8 (29,70) 3 (11.10) 13 (48,10) 3 (11,10)
11 (34,30) 4 (12,50) 13 (40,60) 4 (12,50)
3 (11,10) 17 (63,00) 7 (25,90) 24,02±3,73 10,19±2,14 8,52±8,57 7,15±12,61
2 (6,30) 20 (62,50) 10 (31,30) 24,52±4,26 10,75±2,80 9,81±7,65 8,38±17,13
15,19±7,34 13,63±7,70 14,04±9,60 13,70±11,38
18,59±11,74 15,06±8,19 21,75±12,89 21,53±13,24
96
p*
0,963
0,639 0,404
97
Lanjutan Tabel 5.1 Variabel Derajat ulkus Derajat-II (%) Derajat-III (%) Derajat-IV (%) Jenis Ulkus Neuroiskemik (%) Neuropatik (%) PAD Ya (%) Tidak (%)
Kelompok-1
Kelompok-2
13 (48,1) 11 (40,8) 3 (11,1)
5 (15,6) 16 (50,0) 11 (34,4)
8 (29,6) 19 (70,4)
9 (28,1) 23 (71,9)
7 (25,9) 20 (74,1)
13 (40,6) 19 (59,4)
p*
*Tidak ada perbedaan (komparabel) p>0,05 5.2 TNF-α jaringan, TNF-α plasma, dan VEGF Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar TNF-α plasma, TNF-α jaringan, dan VEGF pretest dan posttest untuk kelompok-1 (perlakuan debridemen) dan kelompok-2 (perlakuan debridemen dan fasiotomi). Data yang diperoleh selanjutnya diuji normalitas dan homoginitasnya. Semua data berdistribusi normal dan variannya homogen (Lampiran 5). Secara keseluruhan data pretest kadar TNF-α plasma, TNF-α jaringan, dan VEGF disajikan pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 Data Pretest Kadar TNF-α plasma, TNF-α jaringan, dan VEGF plasma Variabel TNF-α plasma (pg/ml) Minimum Maksimum p* TNF-α jaringan (pg/ml) Minimum Maksimum p* VEGF plasma (pg/ml) Minimum Maksimum p*
Kelompok-1 pretest 422.30±17,05 381,47 450,37 0,264 383,46±14,59 348,39 407,47 0,270 282,50±11,58 264,36 304,13 0,218
Kelompok-2 pretest 424,47±12,02 387,17 450,50 0,113 385,91±9,58 363,09 410,79 0,66 286,74±10,19 269,20 308,24 0,590
p** 0,093
0,094
0,510
p* berdistribusi normal pada nilai > 0,05; p** varian homogeny pada nilai > 0,05 Kelompok-1 debridemen , Kelompok-2 debridemen dengan fasiotomi
98
Penelitian ini menentukan terjadi penurunan kadar TNF-α dan peningkatan kadar VEGF 7 hari posttest debridemen maupun perlakuan debridemen dan fasiotomi pada kedua kelompok perlakuan . Untuk maksud ini, selanjutnya dilakukan pengukuran kadar TNF-α dan VEGF posttest. Sedangkan, pengukuran kadar TNF-α pada jaringan posttest tidak dilakukan karena alasan etik. Data kadar TNF-α plasma, VEGF, serta perubahan kadar kedua marker tersebut setelah perlakuan disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Kadar TNF-α dan VEGF plasma 7 hari setelah perlakuan, serta perubahan kadar kedua marker tersebut pada Kelompok-1 dan Kelompok-2 Variabel TNF-α plasma (pg/ml) Minimum Maksimum p* VEGF plasma (pg/ml) Minimum Maksimum p*
Kelompok-1 postest Perubahan (∆) 390,91±12,85
31,40±17,98
Kelompok-2 postest Perubahan (∆) 290,26±16,42 134,21±14,50
368,69 412,10 0,407 289,19±21,91
9,51 70,08 0,952 15,03±11,02
259,54 332,86 0,168 338,69±20,11
90,03 158,33 0,091 51,96±13,54
248,53 327,48 0,293
2,67 35,89 0,242
303,46 395,80 0,064
29,38 92,44 0,064
p* berdistribusi normal pada nilai > 0,05 p** varian homogen pada nilai > 0,05
p** 0,179
0,330
Kelompok-1 debridemen Kelompok-2 debridemen dengan fasiotomi
Untuk mengetahui adanya perubahan (∆) antara kadar TNF-α plasma dan VEGF plasma kelompok-1 dan kelompok-2 akibat pengaruh perlakuan, maka dilakukan uji-t independen. Secara menyeluruh hasil uji-t disajikan pada Lampiran 5. Resume hasilnya disajikan pada Tabel 5.4.
99
Tabel 5.4 Resume Hasil Uji-t perubahan kadar TNF-α dan VEGF plasma 7 hari posttest Kelompok-1 dan Kelompok-2 Variabel
Kelompok-1
Kelompok-2
Beda Mean
t
TNF-α (pg/ml) pre 422,20±17,05 424,47±12,02 2,17 0,571 VEGF (pg/ml) pre 282,50±11,58 286,74±10,19 4,23 1,494 TNF-α (pg/ml) pasca 390,91±12,85 290,26±16,42 100,64 25,85 VEGF (pg/ml) pasca 289,19±21,91 338,70±20,11 49,50 9,04 ∆ TNF-α (pg/ml) 31,40±17,98 134,21±14,50 102,81 24,32 ∆ VEGF (pg/ml) 15,23±10,73 51,96±13,54 36,73 11,39 *Signifikan pada nilai p < 0,05 Kelompok-1 debridemen Kelompok-2 debridemen dengan fasiotomi
p* 0,570 0,141 0,001 0,001 0,001 0,001
Interval Kepercayaan (95%) lower Upper -9,77 -9,91 92,84 -60,47 -111,27 -43,19
5,44 5,70 108,44 -38,54 -94,34 -30,27
Untuk lebih memperjelas adanya perbedaan kadar TNF-α dan VEGF dapat dilihat pada Gambar 5.1, 5.2, 5.3, dan 5.4. Data kadar TNF-α plasma pada kelompok-1 maupun kelompok-2 posttest disajikan pada Gambar 5.1, Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa kadar TNF-α pada kelompok-1 berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kelompok-2 ditunjukkan dengan nilai p<0,05.
400 350 300 250 200
TNF-α
150 100 50 0 Debredemen
Debredemen dan fasiotomi
Gambar 5.1 Perbedaan Kadar TNF-α plasma pada Kelompok-1(debridemen) dengan Kelompok-2 (debdanfasio) posttest.
100
Data kadar VEGF pada kelompok-1 maupun kelompok-2 posttest disajikan pada Gambar 5.2. Dari Gambar 5.2 tersebut terlihat bahwa kadar VEGF pada kelompok-1 berbeda secara signifikan dibandingkan dengan pada kelompok-2, p < 0,05.
340 330 320 310
VEGF
300 290 280 270 260 Debredemen
Debredemen dan fasiotomi
Gambar 5.2 Perbedaan Kadar VEGF pada Kelompok-1(debridemen) dengan Kelompok-2 (debdanfasio) posttest.
Data penurunan kadar TNF-α plasma pada kelompok-1 maupun kelompok-2 disajikan pada Gambar 5.3. Terlihat penurunan kadar TNF-α plasma pada kelompok-1 berbeda secara signifikan dari kelompok-2, p < 0,05.
101
140 120 Penurunan TNF-α
100 80 60 40 20 0 Debredemen
Debredemen dan fasiotomi
Gambar 5.3 Penurunan Kadar TNF-α plasma pada Kelompok-1(debridemen) dan Kelompok-2 (debdanfasio) posttest.
Data peningkatan kadar VEGF pada kelompok-1 maupun kelompok-2 disajikan pada Gambar 5.4. Terlihat penurunan kadar VEGF pada kelompok-1 berbeda secara signifikan dari kelompok-2, p < 0,05.
60 50 40 30 Peningkatan VEGF
20 10 0 Debredemen
Debredemen dan fasiotomi
Gambar 5.4 Peningkatan Kadar VEGF pada Kelompok-1(debridemen) dan Kelompok-2 (debdanfasio) posttest.
102
5.3 Perbaikan Klinis Ulkus Perbaikan
klinis ulkus pada kelompok debridemen dan kelompok
debridemen dengan fasiotomi diamati sejak selesai perlakuan sampai empat minggu pasca-perlakuan. Perbaikan klinis ulkus diukur menggunakan sistem Leg Ulcer Measurement Tool/LUMT (Woodbury, dkk. 2004). Data LUMT keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 5.5. Data tersebut diuji normalitas dan homogenitas variannya. Tabel 5.5 Data Perbaikan Klinis Ulkus yang diukur sesuai Kriteria LUMT pada Kelompok Debridemen (Kelompok-1) serta Kelompok Debridemen dan Fasiotomi (Kelompok-2), Minggu I, II, III, dan IV Posttest Variabel Kelompok-1 LUMT minggu I 34,56±7,90 Minimum 12,00 Maksimum 46,00 p* 0,061 LUMT minggu II 28,70±5,89 Minimum 9,00 Maksimum 38,00 p* 0,077 LUMT minggu III 27,44±6,07 Minimum 9,00 Maksimum 38,00 p* 0,061 LUMT minggu IV 26,22±6,21 Minimum 8,00 Maksimum 34,00 p* 0,066 LUMT = Leg Ulcer Measurement Tool *Data berdistribusi normal bila nilai p > 0,05 **Data variansnya homogen bila p > 0,05
Kelompok-2 30,22±9,94 9,00 50,00 0,334 22,53±8,27 8,00 37,00 0,087 21,00±8,04 6,00 33,00 0,096 18,75±8,83 4,00 33,00 0,061
p** 0,279
0,082
0,070
0,094
Selanjutnya dilakukan uji-t independent untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan perbaikan klinis ulkus antara kelompok debridemen dengan kelompok debridemen dengan fasiotomi. Resume hasil uji-t nya disajikan pada Tabel 5.6.
103
Tabel 5.6 Resume Perbedaan Data Perbaikan Klinis Ulkus Kelompok Debridemen (Kelompok-1) serta Kelompok Debridemen dan Fasiotomi (Kelompok-2), Minggu I, II, III, dan IV Posttest Beda mean LUMT minggu I 4,34 LUMT minggu II 6,17 LUMT minggu III 6,44 LUMT minggu IV 7,47 LUMT = Leg Ulcer Measurement Tool *Signifikan bila nilai p < 0,05 Pengamatan
t
p*
1,83 3,24 3,42 3,69
0,073 0,002 0,001 0,001
Interval Kepercayaan 95% Lower bound Upper bound - 0,409 9,083 2,362 9,982 2,672 10,217 3,418 11,526
5.4 Konstruksi Regresi Linier Peningkatan kadar VEGF dengan Penurunan kadar TNF-α Pada penelitian ini dikonstruksi regresi linier peningkatan kadar VEGF dengan kadar TNF-α. Hal ini penting untuk mendapatkan linieritas antara kedua variabel tersebut. Sebelumnya, kedua variabel tersebut diuji terlebih dahulu korelasinya dengan korelasi Pearson (Product Moment). Hasil analisis korelasi mendapatkan terjadi korelasi yang kuat (r = 0,753) dan signifikan (p < 0,05) antara peningkatan kadar VEGF dengan penurunan kadar TNF-α). Hasil analisis korelasi secara lengkap disajikan pada Lampiran-5. Selanjutnya dilakukan analisis regresi linier terhadap kedua variabel tersebut menggunakan regresi linier sederhana. Hasil analisis regresi linier secara menyeluruh disajikan pada lampiran-5, resumenya disajikan pada Tabel 5.7.
104
Tabel 5.7 Resume Hasil Analisis Regresi Linier antara Peningkatan Kadar VEGF dengan Penurunan Kadar TNF-α Coefficientsa Model 1
Unstandardized Coefficients B Std. Error 8,301 3,654 0,308 0,036
Konstan Penurunan TNF-α a. Dependent Variable: Peningkatan VEGF
Standardized Coefficients Beta 0,753
t
p.
2,272 8,627
0,027 0,000
Dari data pada Tabel 5.7 dapat dibuat persamaan regresi antara peningkatan kadar VEGF dengan penurunan kadar TNF-α, yaitu: VEGF = 8,301 + 0,308 TNF-α. Hal ini berarti bahwa setiap penurunan 1 pg/mL kadar TNF-α terjadi peningkatan kadar VEGF sebesar 8,301 + 0,308 = 8,609 pg/mL.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian ini menunjukkan karakteristik subjek pada kedua kelompok kebanyakan adalah laki-laki (66,70% laki-laki vs 33,30% perempuan pada kelompok debridement ; 68,80% laki-laki vs 31,20% perempuan pada kelompok debridement dan fasiotomi) dengan umur rerata 54 tahun (kisaran umur 42-70 tahun pada kelompok debridement, 28-77 tahun pada kelompok debridement dan fasiotomi). Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada penyembuhan luka sebagai faktor sistemik. Semakin tua usia (usia tua menurut WHO, ≥ 60 tahun) semakin besar risiko gangguan penyembuhan luka, hal ini berkaitan dengan gangguan respon inflamasi seperti lambatnya infiltrasi sel T ke daerah luka disertai dengan gangguan produksi kemokin dan penurunan kapasitas fagositosis makrofag, disamping juga karena lambatnya re-epitelialisasi dan angiogenesis (Guo dan DiPietro, 2010). Dibandingkan dengan perempuan, maka penyembuhan luka pada laki-laki lebih lambat. Hormon sek berperan dalam gangguan penyembuhan luka, dimana estrogen memperbaiki penyembuhan luka melalui regulasi berbagai ekspresi gen yang berhubungan dengan regenerasi, produksi matriks, penghambat protease, fungsi epidermal, dan gen-gen yang terutama berkaitan dengan inflamasi, sementara androgen berpengaruh secara negative terhadap penyembuhan luka (Guo dan DiPietro, 2010). Melihat karakteristik subyek pada kedua kelompok
105
106
kebanyakan laki-laki dengan rerata usia hampir tua, berarti kedua faktor ini memiliki pengaruh negative terhadap perbaikan klinis ulkus. Pada analisis komparabilitas umur dan jenis kelamin kedua kelompok adalah komparabel (p>0,05)l, ini berarti bahwa perbaikan klinis ulkus pada kelompok debridemen dan fasiotomi adalah benar- benar karena faktor perlakuan. Dengan kisaran umur antara 28-77 tahun untuk kelompok perlakuan, penelitian ini membuktikankan bahwa secara statistik debridemen dan fasiotomi memberi hasil yang sama baik pada pasien umur muda maupun tua. Penelitian ini menunjukkan rerata BMI subjek pada kedua kelompok tidak menunjukkan obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2) walaupun ada 4 subjek yang menunjukkan obesitas (2 dari kelompok debridemen, 2 dari kelompok debridemen dan fasiotomi). Rerata BMI kelompok debridemen adalah 24,02±3,73 vs 24,52±4,26 kelompok debridemen dengan fasiotomi. Obesitas berpengaruh terhadap penyembuhan luka, disebabkan adanya gangguan
struktur dan fungsi kolagen, gangguan deposisi
kolagen, hal ini diduga akibat dari bagian dari perubahan struktur jaringan lemak (Yosipovitch dkk., 2007). Obesitas pada tikus percobaan menunjukkan resistensi terhadap skar aponeurosis lebih rendah dibandingkan kontrol, sedangkan intensitas reaksi inflamasi dan densitas kolagen tidak berbeda (Biondo-Simoes dkk, 2010). Dengan melihat rerata semua subjek tidak menunjukkan obesitas pada kedua kelompok, berarti peluang terjadi perbaikan ulkus adalah baik dan tidak berbeda antara kedua kelompok. Terbukti pada analisis komparabilitas kedua kelompok adalah komparabel (p > 0,05), sehingga pengaruh perlakuan betul-betul merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan klinis ulkus. Pada kelompok perlakuan
107
terdapat 2 subjek yang menunjukkan obesitas, secara statistik penelitian ini membuktikan bahwa debridemen dan fasiotomi memberikan hasil yang sama, baik pada pasien dengan obesitas maupun tidak. Berdasarkan data klinik subjek penelitian pada Tabel 5.1, tampak bahwa 95% pasien memiliki nilai HbA1c > 7% (kelompok debridemen 10,19 ± 2,14 vs 10,75 ± 2,80 kelompok debridemen dengan fasiotomi) , hal ini membuktikan bahwa kebanyakan pasien dalam keadaan DM tidak terkontrol, dan memiliki hubungan dengan komplikasi mikrovaskuler dan neuropati (ADA, 2011), hal ini terlihat dari angka kejadian PAD pada penelitian ini (kelompok debridemen 25,9% vs 40,6% kelompok debridemen dengan fasiotomi). Kejadian PAD dua kali lebih sering diantara pasien DM daripada non-DM, dan setiap peningkatan 1% HbA1c meningkatkan risiko PAD sebanyak 26% (Norgren,2007), penelitian terakhir menyebutkan PAD mencapai 50% pada pasien ulkus kaki diabetik (Hinchliffe, dkk.,2012). Kebanyakan ulkus merupakan jenis neuropati (kelompok debridemen 70,4% vs 71,9% kelompok debridemen dengan fasiotomi), sisanya merupakan jenis neuroiskemik (kelompok debridement 29,6% vs 28,1% kelompok debridemen dengan fasiotomi). Neuropati perifir merupakan faktor kausatif utama dan terpenting timbulnya ulkus kaki diabetik pada pasien diabetes (Singh dkk., 2005 ; Gibbons dkk., 1995). Derajat ulkus kebanyakan Wagner derajat III (kelompok debridemen 40,8% vs 50% kelompok debridemen dengan fasiotomi). Dengan melihat nilai HbA1c yang tinggi (>7%) dan lama ulkus ( ± 8 minggu), membuktikan bahwa ulkus kaki diabetik pada penelitian ini merupakan ulkus kronis yang gagal mengikuti urutan penyembuhan luka normal (Liu, dkk.,
108
2008). DM yang lama (kelompok debridemen 8,52±8,57 tahun vs 9,81±7,65 tahun kelompok debridemen dengan fasiotomi) berakibat paparan terhadap hiperglikemia kronis, sehingga peningkatan permeabilitas mikrovaskuler telah terjadi selama fase awal dan lanjut dari penyakitnya, adanya perubahan struktur dan fungsi kapiler menyebabkan gangguan pertukaran molekul melalui membran endotel ke interstitiil (Bouskela dkk., 2003). Terbukti pada penelitian ini terdapat rerata peningkatan tekanan kompartemen (tekanan kompartemen > 8 mmHg) pada semua kompartemen kaki dan pada semua subjek penelitian, baik pada
kelompok kontrol maupun
kelompok perlakuan, meskipun secara perorangan, tidak semua subjek menunjukkan peningkatan tekanan kompartemen pada semua kompartemen. Peningkatan tekanan kompartemen tertinggi terjadi pada kompartemen sentral (kelompok debridemen 14,04±9,60 mmHg vs 21,75±12,89 mmHg kelompok debridemen dengan fasiotomi) dan kompartemen interoseus (kelompok debridemen 13,70±11,38 vs 21,53±13,24 mmHg kelompok debridemen dengan fasiotomi). Adanya peningkatan tekanan kompartemen yang berlangsung kronis, memicu hipoksia jaringan yang juga berlangsung kronis, diikuti dengan penurunan kada VEGF plasma pada semua subjek. Dengan demikian sangat rasional melakukan tindakan fasiotomi bahkan pada stadium awal dari ulkus kaki diabetik. Bukti lain tentang kronisitas ulkus didukung oleh kadar TNF-α plasma maupun jaringan yang tinggi pada semua subjek sebelum perlakuan (kadar TNF-α plasma kelompok debridement 422.30±17,05 vs 424,47±12,02 kelompok debridement dengan fasiotomi, dan kadar TNF-α jaringan kelompok debridement 383,46±14,59 vs 385,91±9,58 kelompok debridement dengan fasiotomi), sedangkan rerata kadar TNF-α plasma pada populasi umum pada
109
kelompok umur 19 - ≥70 tahun adalah 10,30 – 16,48 pg/ml on age group 19 - ≥70 (Himmerich, H., 2006).
6.2 Hubungan antara Debridemen dan Fasiotomi dengan Penurunan Kadar TNF-α Plasma Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna dari perubahan (∆) kadar TNF-α plasma antara kelompok kontrol debridemen dan kelompok perlakuan debridemen dan fasiotomi (independen t-test, p < 0,05). Debridement dan fasiotomi memberikan penurunan kadar TNF-α plasma yang lebih tinggi dengan besar perubahan (∆) TNF-α (pg/ml) 134,21±14,50 dibandingkan dengan debridement tanpa fasiotomi dengan besar perubahan (∆) TNF-α (pg/ml) 31,40±17,98. Telah diketahui bahwa endotoksin bakteri, fragmen matriks ekstraseluler, sel-sel detritus sebagai faktor yang mempertahankan inflamasi di dasar ulkus yang akan memicu sekresi TNF-α. Debridemen adalah tindakan bedah membuang semua jaringan nekrotik, eksudat, pus, darah,
di dalam dan tepi ulkus , mengurangi
tekanan, evaluasi adanya kantong-kantong infeksi yang tersembunyi (tracking and tunneling), drainase, dekolonisasi bakteri, dan hanya meninggalkan jaringan sehat untuk mendorong penyembuhan luka (Frykberg dkk., 2006 ; Bernard, 2007 ; Lebrun, 2010), sehingga faktor yang mempertahankan inflamasi di dasar ulkus yang akan memicu sekresi TNF-α, dapat diturunkan. Debridemen merupakan langkah penting dan menentukan pada penanganan ulkus kaki diabetik sebagai usaha wound
110
bed preparation dengan mengubah suasana lingkungan atau milieau lokal dari suasana luka kronis menjadi suasana luka akut, untuk merangsang dan mempercepat proses penyembuhan luka (Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal, 2004 ; Vourisalo, 2009). Sel endotel progenitor atau sel stem dari sumsum tulang bisa efektif meningkatkan vaskulogenesis dan penyembuhan, hanya jika cytokine milieu di dasar ulkus adalah optimal (Velazquez, 2007). Debridemen sebaiknya mampu memvisualisasikan semua luka, membuka semua daerah yang terkena infeksi untuk drainase yang adekuat serta mendapatkan spesimen bakteri dari jaringan dalam (Bernard, 2007), oleh karena itu pengetahuan anatomi kaki mutlak diperlukan (Rauwerda, 2000). Pada penelitian ini menunjukkan penurunan bermakna dari kadar TNF-α plasma pada kelompok debridemen dan fasiotomi dibandingkan dengan debridemen saja. Fasiotomi dapat memperbaiki pengendalian infeksi serta penyembuhan luka pada ulkus kaki diabetik (Lee, 1995), mengurangi tekanan, evaluasi adanya kantong-
kantong infeksi yang tersembunyi (tracking and tunneling), serta drainase yang adekuat (Frykberg dkk., 2006 ; Bernard, 2007 ; Lebrun, 2010), sehingga debridemen dan fasiotomi akan berdampak sinergis dalam pengendalian infeksi, sehingga lebih
memicu penurunan TNF-α. 6.3 Hubungan antara Debridemen dan Fasiotomi dengan Peningkatan Kadar VEGF Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna dari perubahan
(∆) kadar VEGF plasma antara kelompok kontrol debridement dan
kelompok perlakuan debridemen dan fasiotomi (independen t-test, p < 0,05).
111
Debridemen dan fasiotomi memberikan peningkatan perubahan kadar VEGF plasma yang lebih tinggi dengan besar perubahan
(∆) VEGF (pg/ml)
51,96±13,54
dibandingkan dengan debridement tanpa fasiotomi dengan besar perubahan (∆) VEGF (pg/ml) 15,23±10,73. Peningkatan kadar VEGF plasma pada kelompok perlakuan debridement dan fasiotomi dapat diterangkan melalui berbagai mekanisme. Telah diketahui bahwa VEGF
meningkat dalam 24 jam setelah luka terjadi, kadar VEGF mencapai
puncaknya pada hari ketiga dan ketujuh dan menurun secara bermakna setelah itu (Frank dkk, 1995). Pada waktu debridemen, terjadi perdarahan luka baru, sehingga tindakan debridemen akan mampu meningkatkan kadar VEGF melalui mekanisme perdarahan luka baru sesuai dengan hipotesis dari Frank dkk. (1995). Disamping itu debridemen sendiri terbukti menurunkan kadar TNF-α, menurunkan faktor yang membuat degradasi VEGF, sehingga secara otomatis VEGF bisa meningkat. Fasiotomi yang dilakukan bersama debridemen berperan mengubah keadaan hipoksia menjadi normoksia, karena ada bukti-bukti yang menunjukkan terjadi hipoksia jaringan pada ulkus kaki diabetik, dimana pada semua ulkus kronis tekanan oksigen lokal berkisar setengah dari normal sehingga terjadi gangguan replikasi fibroblast, deposisi kolagen, angiogenesis, vaskulogenesis, dan leukosit (Velazques, 2007). Beberapa laporan kasus juga menyebutkan adanya sindroma kompartemen pada pasien DM yang memicu iskemia jaringan dan berakhir dengan nekrosis jaringan, sehingga diduga ada indikasi keterkaitan antara DM, peningkatan tekanan intrakompartemen, iskemia jaringan, serta nekrosis jaringan (Munichoodappa, 1999
112
; Pamoukian, 2000 ; Jose, 2004 ; Flamini dkk.,2008). Penelitian lain mendukung adanya peningkatan tekanan kompartemen kaki pada pasien neuropati diabetes, ditemukan bahwa pada kompartemen medial dari kaki pasien neuropati diabetes lebih tinggi daripada pasien kaki normal, namun perbedaannya tidak bermakna. Terdapat perbedaan bermakna pada kompartemen interoseus dan kompartemen sentral (Lower dan Kenzora, 1994). Pada penelitian ini terdapat peningkatan tekanan kompartemen pada semua subjek penelitian dari kedua kelompok perlakuan (Tabel 5.1). Tekanan kompartemen kaki normal adalah 5 – 7 mmHg (Lower dan Kenzora, 1994) , pada penelitian ini terdapat peningkatan kompartemen pada semua subjek terutama kompartemen sentral (21,75 ± 12,89) dan kompartemen interoseus (21,53 ± 13,24). Penelitian ini membuktikan bahwa sesungguhnya telah terjadi peningkatan tekanan kompartemen yang berjalan secara kronis pada penderita ulkus kaki diabetik walaupun tidak sampai pada tingkat kompartemen sindrom. Peningkatan tekanan kompartemen menimbulkan hipoksia jaringan, memicu gangguan replikasi fibroblas, maupun pelepasan VEGF oleh fibroblas. VEGF merupakan faktor penting di dalam mekanisme penyembuhan luka, dimana VEGF akan menginduksi fosforilasi dan aktivasi eNOS di dalam sumsum tulang, yang akan menghasilkan peningkatan kadar NO (Nitric Oxide) yang akan mencetus mobilisasi EPC (Endothel Progenitor Cell) dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi menuju daerah luka (EPC Homing), meskipun untuk proses EPC Homing membutuhkan partisipasi kemokin Stromal cell-derived factor-1α /
SDF-1α (Brem dan Tomic-canic, 2007). Gallagher dkk.
(2007) menunjukkan bahwa pada hewan coba tikus DM, hiperoksia meningkatkan
113
mobilisasi dari EPCs di dalam sirkulasi dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi perifir. Tindakan fasiotomi pada penelitian ini terbukti meningkatkan kadar VEGF plasma. Kami menduga bahwa fasiotomi disini mencegah hipoksia jaringan, memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan replikasi fibroblas maupun pelepasan VEGF. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa fasiotomi sebaiknya dilakukan pada semua ulkus kaki diabetik derajat Wagner II, III, dan IV, sebagai prosedur rutin bersamaan dengan tindakan debridemen. Fasiotomi harus segera dilakukan begitu diagnosa sindroma kompartemen ditegakkan, semakin awal, semakin sedikit sequelae akan berkembang. Tujuan dari fasiotomi adalah mengurangi perbedaan tekanan transmural (transmural pressure gradient) antara mikrosirkulasi dan interstitial, sehingga barier perfusi yang mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan iskemia jaringan bahkan kematian sel dapat dicegah (Fulkerson, dkk., 2003 ; Frink dkk., 2010). Tegangan oksigen memegang peranan utama baik secara in vitro maupun in vivo dalam regulasi ekspresi gen VEGF (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Walaupun VEGF meningkat oleh hipoksia secara in vitro, namun data secara in vivo masih menjadi pertentangan ( Oltmanns dkk. (2006). Fakta lain menyebutkan bahwa ekspresi VEGF mRNA dipicu secara cepat dan reversible oleh paparan tegangan oksigen (pO2) yang rendah, juga iskemia yang disebabkan oleh oklusi arteri. Berkaitan dengan perubahan vaskuler sebagai komplikasi DM kronis, terjadi keadaan paradox yaitu peningkatan angiogenesis pada retinopati proliferative atau plak atherosclerosis dan penurunan angiogenesis pada penyakit arteri koroner atau ulkus kaki diabetik dengan manifestasi klinis berupa kurangnya pertumbuhan kolateral pada jantung dan kegagalan dalam penyembuhan
114
ulkus kaki diabetik. Karena itu memunculkan hipotesis untuk menerangkan paradox angiogenesis ini bahwa respon terhadap faktor pertumbuhan (VEGF) terganggu pada DM. Gangguan molekuler ini terletak didalam sistem transduksi signal baik yang mengalir turun pada reseptor ( signal transduction defect ) atau pada level reseptor (Waltenberger, 2007). Pada ulkus kaki diabetik, kadar growth factors seperti VEGF, Fibroblast Growth Factor (FGF)-2, adalah rendah,
karena diabetic fibroblast
tidak mampu meningkatkan produksi VEGF dan FGF-2 pada level normal didalam merespon keadaan hipoksia.
Kadar dan aktivitas VEGF yang abnormal, serta
keadaan hipoksia menimbulkan gangguan proses penyembuhan ulkus, karena kebanyakan ulkus berlokasi pada bagian kaki yang mengalami iskemia. Tanpa adanya respon angiogenesis yang tepat, fase berikutnya dari proliferasi sel dan deposisi matrik menjadi lambat (Lerman, 2003). Dengan melihat peran penting debridemen dalam memperbaiki lingkungan sitokin di dasar ulkus, menciptakan keseimbangan sitokin dan growth factor, yang memicu penurunan kadar TNF-α dan
mengurangi degradasi VEGF. Adanya
perdarahan baru sewaktu debridemen, respon inflamasi akut akan dimulai, menginduksi pelepasan VEGF di dalam plasma pada hari ketujuh pasca operasi. Peran fasiotomi dalam memperbaiki mikrosirkulasi jaringan, meningkatkan tekanan oksigen jaringan, menginduksi pelepasan VEGF didalam plasma, dan memicu proses neovaskularisasi di dalam ulkus. Fasiotomi dan debridemen, terbukti bersinergi meningkatkan kadar VEGF plasma. Strategi baru harus dikembangkan dan diimplementasikan pada pasien ulkus kaki diabetik, sehingga diperlukan segera perubahan paradigma di dalam perawatan
115
ulkus kaki diabetik, yaitu pendekatan baru dengan memperhatikan gangguan vaskuler baik untuk praktek klinik dan penelitian (Lepantalo, dkk.,2011). Pada penelitian ini terbukti peningkatan tekanan kompartemen kaki merupakan salah satu penyebab gangguan vaskuler, dimana sebagai jawaban yang tepat untuk itu adalah dengan melakukan fasiotomi. Adapun fasiotomi plantar dapat dilakukan dengan pendekatan endoskopik maupun pembedahan (Urovitz, dkk., 2008). 6.4 Hubungan antara Debridemen dan Fasiotomi dengan Perbaikan Klinis Ulkus Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa debridemen dan fasiotomi terbukti meningkatkan perbaikan klinis ulkus kaki diabetik berdasarkan pengamatan nilai LUMT (semakin kecil nilai LUMT, semakin besar perbaikan klinis ulkus). Terdapat perbedaan yang bermakna dari nilai LUMT antara kelompok kontrol debridemen dan kelompok perlakuan debridemen dan fasiotomi (independen t-test, p < 0,05) pada minggu II (LUMT kelompok debridement 28,70±5,89 vs LUMT kelompok debridemen dan fasiotomi 22,53±8,27), minggu III (LUMT kelompok debridemen 27,44±6,07 vs LUMT kelompok debridemen dan fasiotomi 21,00±8,04) , dan minggu IV (LUMT kelompok debridemen 26,22±6,21 vs LUMT kelompok debridemen dan fasiotomi 18,75±8,83). Tidak ada perbedaan bermakna nilai LUMT pada minggu I pasca operasi pada kedua kelompok, ini sesuai dengan proses penyembuhan luka dimana pada minggu I merupakan fase hemostasis dan inflamasi, sedangkan fase proliferasi yang ditandai dengan reepitelilisasi baru terjadi pada minggu II (Guo dan DiPietro, 2010) sehingga perbaikan klinis ulkus baru terlihat pada dan setelah minggu II. Perbaikan klinis ulkus kaki diabetik pada kelompok perlakuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan penurunan kadar TNF-α
116
plasma maupun peningkatan kadar VEGF plasma akibat perlakuan debridemen dan fasiotomi. Sudah diketahui bahwa TNF-α merangsang sintesis MMP, dengan tingginya protease didalam luka, menyebabkan degradasi matrik protein dan growth factor yang merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan luka, sehingga penyembuhan luka menjadi terputus dan tidak terkoordinasi (Lobmann dkk, 2005). Usaha-usaha telah dilakukan untuk menetralisir TNF-α dengan pemberian anti TNFα secara sistemik pada luka diabetes dari hewan coba yang terbukti mempercepat penutupan luka. Penutupan luka paralel dengan melemahnya inflamasi didalam luka secara nyata, pengurangan secara kuat dari sel-sel monosit dalam sirkulasi, dan pengurangan jumlah makrofag didalam luka. Data ini merupakan bukti kuat, bahwa anti TNF-α akan mengurangi baik jumlah atau aktivitas makrofag dalam luka kronis yang mengalami gangguan penyembuhan. Dengan kata lain bahwa kegagalan penyembuhan luka pada diabetes dipicu oleh makrofag yang mengekspresikan TNFα (Goren dkk, 2007). Pada penelitian ini debridemen dan fasiotomi terbukti jauh lebih efektif didalam menurunkan kadar TNF-α, dibandingkan dengan debridemen saja. Penghambatan
TNF-α
melalui
debridement
dan
fasiotomi
yang
meningkatkan luaran klinis dapat dihubungkan dengan penurunan aktivasi caspase-3 dan deoxynucleotidyl transferase (Behl dkk, 2008), peningkatan level mRNA dari kolagen I dan III, peningkatan densitas fibroblast dan pembentukan matriks (AlMashat dkk, 2006 ; Siqueira dkk, 2010). Dengan kata lain bahwa penurunan apoptosis fibroblast dan peningkatan proliferasi, jika TNF-α dihambat (Siqueira
117
dkk., 2010), dan penurunan kadar TNF-α mengindikasikan pengendalian terhadap inflamasi (Leung dkk., 2008). Debridemen dilakukan sebagai langkah wound bed preparation untuk merangsang dan mempercepat proses penyembuhan luka dengan mengubah suasana lingkungan atau milieau lokal dari suasana luka kronis menjadi suasana luka akut, (Mueller, 1994; Gibbons, 1995 ; Van Baal, 2004 ; Vourisalo, 2009), sehingga tercapai keadaan
cytokine milieu di dasar ulkus menjadi optimal. Jumlah dan
fisiologi jangka panjang mikrovaskuler yang didorong oleh VEGF, terutama sekali ditentukan oleh lingkungan-mikro setempat (host microenviroment) daripada rangsangan yang memulai angiogenesis itu sendiri, dan lingkungan ini merupakan elemen penting dari rantai proses seluler yang menjembatani invasi seluler serta remodeling jaringan, (Ferrara dan Davis-Smyth, 1997). Penggunaan terapi biologis berbasis faktor pertumbuhan di klinik seperti PDGF (Kirsner, dkk., 2010), pada hewan coba dengan recombinant human VEGF165 protein (Galiano, dkk., 2004), terbukti memperbaiki penyembuhan ulkus. Penggunaan pentoksifilin yang menurunkan kadar TNF-α dan statin yang meningkatkan kadar VEGF secara bersama sama terbukti memperbaiki penyembuhan ulkus peptikum pada hewan coba diabetes (Baraka, dkk., 2010). Wound bed preparation merupakan pendekatan bermanfaat yang dapat membantu klinisi memungkinkan kemampuan penyembuhan dari ulkus kaki diabetik dalam cara sistemik dan holistik. Konsep TIME yaitu Tissue management melalui debridement, Infection and inflammation control melalui pengurangan biofilm bakteri, Moisture balance dengan menjaga kelembaban luka,
118
Epithelial advancement dengan menghilangkan barier fisik dan mekanik untuk migrasi epitel dari tepi luka (Saad, dkk., 2013).
6.5 Konstruksi Regresi Linier Peningkatan kadar VEGF dengan
Penurunan
kadar TNF-α. Sitokin dan growth factor merupakan polipeptida kecil yang disekresi oleh tipe-tipe sel yang berbeda dan bekerja sebagai molekul signal yang mengontrol proliferasi, diferensiasi, migrasi dan metabolisme sel, mengatur dan mengganti berbagai komponen dari matriks ekstraseluler pada penyembuhan luka. Beberapa sitokin proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, Interferon γ, sitokin anti inflamasi yaitu IL-4, IL-10 dan growth factor yaitu TGF, PDGF, VEGF, FGF, EGF berperan dalam proses penyembuhan luka ((Lobmann, dkk., 2005). Gangguan penyembuhan luka pada ulkus kaki diabetik karena adanya disfungsi sel yang berperan di dalam penyembuhan luka, dan ketidakseimbangan antara sitokin, growth factor dan protease, dimana terjadi peningkatan sitokin proinflamasi terutama TNF-α dan interleukin (IL-1β) yang selanjutnya secara langsung mampu merangsang sintesis MMP. Tingginya kadar MMP, menyebabkan proses penyembuhan ulkus menjadi terputus dan tidak terkoordinasi karena degradasi matriks protein dan growth factor yang
sangat penting dalam
penyembuhan luka (Lobmann, dkk., 2005). Pada penelitian ini berdasarkan hasil analisis korelasi mendapatkan terjadi korelasi yang kuat (r = 0,753) dan signifikan (p < 0,05) antara peningkatan kadar VEGF dengan penurunan kadar TNF-α) pasca operasi debridemen dengan fasiotomi.
119
Kekuatan korelasi antara peningkatan kadar VEGF dengan penurunan kadar TNF-α, seperti terlihat dalam persamaan regresi berikut ini yaitu:
VEGF = 8,301 + 0,308 TNF-α.
Hal ini berarti bahwa setiap penurunan 1 pg/mL kadar TNF-α terjadi peningkatan kadar VEGF sebesar 8,301 + 0,308 = 8,609 pg/mL. Penurunan kadar TNF-α plasma terjadi melalui tindakan debridemen, dengan adanya penurunan kadar TNF-α maka proses degradasi VEGF akan dicegah, sehingga kadar VEGF menjadi meningkat. Disamping debridemen sendiri mampu meningkatkan kadar VEGF plasma, peningkatan kadar VEGF plasma juga terjadi melalui perbaikan oksigenasi jaringan karena tindakan fasiotomi. . 6.6 Kebaharuan Penelitian (Novelty) Penanganan baku ulkus kaki diabetik sampai saat ini adalah debridemen yang hasilnya secara klinis kurang memuaskan. Pada debridemen yang terjadi adalah perbaikan lingkungan inflamasi dan membuat perdarahan baru, namun ternyata masih tetap terjadi hipoksia jaringan yang disebabkan oleh karena peningkatan tekanan kompartemen. Pada penelitian ini dimana kami melakukan debridemen dengan fasiotomi secara simultan pada ulkus kaki diabetik, yang terjadi adalah selain memperbaiki lingkungan inflamasi dan membuat suatu perdarahan baru, terjadi juga perbaikan hipoksia jaringan melalui fasiotomi tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan hasil
120
penelitian ini bahwa debridemen dengan fasiotomi pada kaki diabetik lebih besar bermakna menurunkan kadar TNF-α plasma dan meningkatkan kadar VEGF plasma yang disertai dengan perbaikan klinis ulkus darpada debridemen saja. Dengan demikian ini merupakan temuan baru yang dapat disumbangkan dari penelitian ini. Dikemukakan usulan model mekanisme regulasi TNF-α dan VEGF sebagai pathogenesis baru perbaikan klinis ulkus akibat perlakuan debridemen dengan fasiotomi dan akibat perlakuan debridemen tanpa fasiotomi seperti tercantum pada Gambar 6.1.
121
Ulkus kaki diabetik
Tekanan kompartemen kaki ↑
Respon inflamasi ↑
Gangguan mikrosirkulasi Hipoksia jaringan VEGF ↓
TNF-α ↑
Ulkus kronis
Debridemen ↓ Inflamasi + Fasiotomi ↓↓ Infeksi
Debridemen ↓ Inflamasi ↓ Infeksi
↓ Tekanan kompartemen memperbaiki mikrosirkulasi *Glukosa plasma terkontrol *Glukosa plasma terkontrol ↓↓ TNF-α Perbaikan oksigenasi jaringan
↑↑ VEGF
↑↑ Perbaikan Klinis Ulkus
↓ TNF-α
↑ VEGF
↑ Perbaikan Klinis Ulkus
Gambar 6.1 Model mekanisme regulasi TNF-α dan VEGF plasma sebagai pathogenesis baru perbaikan klinis ulkus kaki diabetik akibat perlakuan debridemen dengan fasiotomi dan debridemen tanpa fasiotomi.
122
6.7 Kelemahan Penelitian 6.7.1
Bias Tidak bisa menilai ketepatan dari luas dan dalamnya debridemen, apakah
telah dilakukan dengan adekuat atau belum. Sampai saat ini belum ada suatu cara yang dianggap baku untuk menilai ketepatan dari luas dan dalamnya debridemen ulkus maupun fasiotomi. Saap dan Falanga (2002) mengajukan suatu cara yang dinamakan debridemen performance index (score 0-6), meliputi debridemen terhadap kalus, tepi ulkus, dan dasar ulkus. Sistem skoring yang dipakai adalah 0 adalah debridemen diperlukan tetapi tidak dikerjakan, skor 1 adalah
debridemen diperlukan dan
dikerjakan, skor 2 adalah debridemen tidak diperlukan. Semakin rendah debridemen performance index , semakin rendah insiden kesembuhan ulkus, sehingga sistem skoring ini dapat dipakai untuk meramalkan hasil pengobatan. Kami tidak memakai sistem tersebut diatas karena belum dianggap baku. Kadar TNF-α di dalam jaringan posttest pada penelitian ini tidak dikerjakan karena pertimbangan etika, sehingga tidak bisa diketahui perubahannya secara lokal di dalam jaringan, walaupun secara sistemik menunjukkan penurunan yang bermakna, namun apakah perubahan sistemik tersebut memiliki korelasi dengan perubahan di dalam jaringan ulkus. Goren dkk. (2007) melaporkan adanya peningkatan secara nyata ekspresi reseptor insulin di dalam jaringan dan penurunan secara nyata jumlah monosit/makrofag di dalam jaringan pada hewan coba diabetes setelah pemberian anti TNF-α antibodi secara sistemik. Mengacu pada penelitian Goren dkk. (2007) tersebut kami berpendapat bahwa perubahan kadar TNF-α plasma
123
pasca debridemen dengan fasiotomi memiliki korelasi positif dengan perubahan di dalam jaringan ulkus. Peningkatan kadar VEGF plasma pada penelitian ini dipicu oleh dua hal yaitu penurunan kadar TNF-α melalui tindakan debridemen dan perbaikan oksigenasi jaringan melalui fasiotomi, yang memicu perubahan dari hipoksia jaringan menjadi normoksia atau bahkan mungkin hiperoksia. Apakah fasiotomi yang dilakukan telah mencapai keadaan normoksia atau bahkan hiperoksia, tidak bisa dibuktikan karena tidak dilakukan pengukuran ulang tekanan kompartemen pasca fasiotomi maupun pengukuran tekanan oksigen jaringan ulkus. Argumentasi yang bisa dikemukakan disini adalah bahwa pengukuran tekanan kompartemen pasca fasiotomi tidak relevan lagi dan hasilnya tidak bisa dipercaya, karena fasia atau kompartemen sudah terbuka. Yang paling akurat untuk menilai telah terjadi perbaikan oksigenasi jaringan tentunya adalah dengan mengukur tekanan oksigen jaringan. Namun kami menggunakan parameter tidak langsung melalui peningkatan kadar VEGF plasma sebagai parameter perbaikan oksigenasi jaringan pasca perlakuan debridemen dengan fasiotomi, ini terbukti dari peningkatan VEGF lebih besar bermakna pada kelompok perlakuan daripada kontrol.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa : a. Peningkatan kadar TNF-α dan penurunan kadar VEGF plasma, tampak berkontribusi pada gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik. b. Terdapat rerata peningkatan tekanan kompartemen pada semua kompartemen kaki ulkus kaki diabetik. Peningkatan tekanan kompartemen kaki ini diduga ikut berperan pada penurunan kadar VEGF plasma sebagai parameter hipoksia jaringan. c. Penurunan kadar TNF-α plasma pada ulkus kaki diabetik pasca debridemen dengan fasiotomi, lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi. d. Peningkatan kadar VEGF plasma pada ulkus kaki diabetik pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi; e. Terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antara peningkatan kadar VEGF dengan penurunan TNF-α. plasma pada ulkus kaki diabetik pasca debridemen dengan fasiotomi f. Perbaikan klinis ulkus kaki diabetik pasca debridemen dengan fasiotomi lebih besar daripada debridemen tanpa fasiotomi. 7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan serta kelemahan penelitian ini maka ada beberapa saran yang dapat dilakukan baik untuk pengembangan ilmu maupun kepentingan di klinik dalam rangka pelayanan kepada masyarakat :
124
125
Untuk pengembangan ilmu : a. Melakukan penelitian eksperimental lebih lanjut dengan mengukur tekanan oksigen jaringan pasca fasiotomi untuk mengetahui perbaikan oksigenasi jaringan. Untuk kepentingan di klinik dalam pelayanan kepada masyarakat : a. Melakukan tindakan debridemen dan fasiotomi secara simultan sebagai tindakan alternative pilihan untuk mencapai perbaikan klinis ulkus kaki diabetik derajat wagner II, III, dan IV. b. Melakukan pengukuran tekanan kompartemen kaki pada setiap ulkus kaki diabetik sebagai pemeriksaan rutin untuk menilai status vaskuler, sehingga dapat memberi tuntunan perlu tidaknya tindakan fasiotomi. c. Diperlukan segera perubahan paradigma di dalam perawatan ulkus kaki diabetik, dengan memperhatikan peningkatan tekanan kompartemen kaki sebagai salah satu penyebab gangguan vaskuler terutama pada ulkus kaki diabetik yang tidak ada perbaikan.
126
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mashat, H.A., Kandru, S., Liu, R., Behl, Y, Desta, T., Graves, D.T. 2006. Diabetes Enhances mRNA Levels of Proapoptotic Genes and Caspase Activity, Which Contribute to Impaired Healing. Diabetes ; 55 : 487-95. American College Of Surgeon (ACS). Anatomically Based Surgery for Trauma Course (ABST), Lab Manual : Extremity Chapter 4 : Injuries to the Extremities : Compartment Syndrome and Fasciotomy. American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 35 (supplement 1) : S64-S71. American Diabetes Association. 2011. Standard of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care, 34 ( Supplement 1) : S11-S61. Banai, S., Jaklitsch, M.T., Shou, M., Lazarous, D.F., Scheinowitz, M., Biro, S., Epstein, S., Unger, E. 1994. Angiogenic-induced enhancement of collateral blood flow to ischemic myocardium by vascular endothelial growth factor in dogs. Circulation 89:2183–9. Bao, P., Kodra, A., Tomic-Canic, M., Golinko, M.S., Ehrlich, H.P., Brem, H. 2009. The Role of Vascular Growth Factor in Wound Healing. J Surg Res, 15:347-58. Baraka, A.M., Guemei, A., Gawad, H.A. 2010. Role of modulation of vascular endothelial growth factor and tumor necrosis factor-alpha in gastric ulcer healing in diabetic rats. Biochemical Pharmacology; 79 : 1634–9 Behl, Y., Krothapalli, P., Desta, T., Graves, D. 2008. Diabetes-Enhanced Tumor Necrosis Factor-α Production Promotes Apoptosis and the Loss of Retinal Microvascular Cells in Type 1 and Type 2 Models of Diabetic Retinopathy. Am J Pathol ; 172(5) : 1411 – 8. Belgore, F.M., Blann, A.D., Li-Saw-Hee, F.L., Beevers, D.G., Lip, G.Y. 2001. Plasma levels of vascular endothelial growth factor and its soluble receptor (SFlt-1) in essential hypertension. Am J Cardiol, 87: 805–7. Bernard, L. (Chairman Working Group). 2007. Clinical practice guidelines: Management of diabetic foot infections. Medicine et maladies infectieuses, 37:14-25. Biondo-Simoes, M.,L.,P., Zammar, G.,R., Fernandes, R.,S., Biondo-Simos, R., Mello, F., S., R., Noronha, L. 2010. Obesity and abdominal wound healing in rats. Acta Cir. Bras. 25(1).
127
Bjarnsholt, T., Kirketerp-Moller, K., Jensen P.O., Madsen, K.G., Phipps, R., Krogfelt, K., Hoiby, N., Givskov, M. 2008. Why chronic wounds will not heal: a novel hypothesis. Wound Repair Regen. 16(1):2-10. Bouskela, E., Botttino, D.A., Tavares, J.C. 2003. Microvascular permeability in diabetes. In: Schmid-Schonbein, G.W., Neil Granger, D., editors. Molecular Basis for Microcirculatory Disorders. Paris : Springer-Verlag France. p 545-55.
Boody, A.R., Wongworat, M.D. 2005. Accuracy in the measurement of compartment pressures: a comparison of three commonly used devices. J Bone Joint Surg Am, 87:2415-22. Brem, H., Erlich, P., Tsakayannis, D., Folkma, J. 1997. Delay of wound healing by the angiogenesis inhibitor TNP-470. Surgical forum, 48 :714-6. Brem, H., Kodra, A., Golinko, M.S., Entero, H., Stojadinovic, O., Wang, V.M., Sheahan, C.M., Weinberg, A.D., Woo, S.L.C., Ehrlich H.P., TomicCanic, M. 2009. Mechanism of Sustained Release of Vascular Growth Factor in Accelerating Experimental Diabetic Healing. Journal of Investigative Dermatology, 129:2275-87. Brem, H., Tomic-Canic, M. 2007. Cellular and molecular basis of wound healing in diabetes. J. Clin. Invest. 117:1219–22. Broekhuizen, L.N., Lemkes, B.A., Mooij, H.L., Meuwese, M.C., Verberne, H., Holleman, F., Schlingemann, R.O., Nieuwdorp, M., Stroes, E.S.G., Vink, H. 2010. Effect of sulodexide on endothelial glycocalyx and vascular permeability in patients with type 2 diabetes mellitus. Diabetologia, 53:2646–55. Brownlee, M. 2001 Biochemistry and molecular cell biology of diabetic complications. Nature , 414:813-20. Burns, J., L., Mancoll, J., S., Phillips, L., G. 2003. Impairments to wound healing. Clin Plastic Surg., 30 : 47-56. Cardinal, M., Eisenbud, D.E., Armstrong, D.G., Zelen, C., Driver, V., Attinger, C., Phillips, T., Harding, K. 2009. Serial surgical debridement: a retrospective study on clinical outcomes in chronic lower extremity wounds. Wound Repair Regen. ;17(3):306-11. Cavanagh, P.R., Buse, J.B., Frykberg, R.B., Gibbons, G.W., Lipsky, B.A., Pogach, P., Reiber, G.E., Sheehan, P. 1999. Consensus Development Conference on Diabetic Foot Wound Care. DIABETES CARE, 22(8) Chang, A.C., Dearman, B., Greenwood, J.E. 2011. A Comparison of Wound Area Measurement Techniques: Visitrak Versus Photography. Eplasty, 11 : e18.
128
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). History of foot ulcer among persons with diabetes—United States, 2000-2002. MMWR Morb Mortal WklyRep. 2003;52(45):1098-02. Cho, C.H., Sung, H.K., Kim, K.T., Cheon, H.G., Hong, H.J. 2006. COMPangiopoetin-1 promotes wound healing through enhanced angiogenesis, lymphangiogenesis, and blood flow in diabetic mouse model. Proc Natl Acad Sci USA, 103:4946-51. Chou, E., Suzuma, I., Way, K.J., Opland, D., Clermont, A.C., Naruse, K., Suzuma, K., Bowling, N.L., Vlahos, C.J., Aiello, L.P., King, G.L. 2002. Decreased cardiac expression of vascular endothelial growth factor and its receptors in insulin-resistant and diabetic States: a possible explanation for impaired collateral formation in cardiac tissue. Circulation, 105:373–9. Coerper, S., Beckert, S., Kuper, M.A., Jekov, M., Konigsrainer, A. 2009 Fifty percent area reduction after 4 weeks of treatment is a reliable indicator for healing--analysis of a single-center cohort of 704 diabetic patients. J Diabetes Complications, 23(1):49-53. Darby, I.A., Bisucci, T., Hewitson, T.D., MacLellan, D.G. 1997. Apoptosis is increased in a model of diabetes-impaired wound healing in genetically diabetic mice. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology ; 29(1) : 191 -200 Davis, G.E., Saunders, W.B. 2006. Molecular balance of capillary tube formation versus regression in wound repair: role of matrix metalloproteinases and their inhibitors. J Investig Dermatol Symp Proc, 11:44-56. Driver, V.,R., Fabbi, M., Lavery, L., A., Gibbons, G. 2010. The costs of diabetic foot: the economic case for the limb salvage team. J Am Podiatr Med Assoc.;100(5):335-41. Edmonds, M.E. 2006. ABC of wound healing. BMJ, 18: 407-10 Edwards, J., Stapley, S. 2010. Debridement of diabetic foot ulcers. Cochrane Database Syst Rev, 20: CD003556. Falanga, V., Saap, L.J., Ozonoff, A. 2006. Wound bed score and its correlation with healing of chronic wounds. Dermatol Ther ; 19(6):383-90. Ferrara, N., Davis-Smyth, T. 1997. The Biology of Vascular Endothelial Growth Factor. Endocrine Review, 18:4-25. Flamini, S., Zoccali, C., Persi, E., Calvisi, V. 2008. Spontaneous compartement syndrome in patient with diabetes and statin administration : a case report. J Orthopaed Traumatol, 9:101-3.
129
Frank, S., Hubner, G., Breier, G., Longaker, M.T., Greenhalgh, D.G., Werner, S. 1995. Regulation of Vascular Endothelial Growth Factor Expression in Cultured Keratinocytes: Implication for Normal and Impaired Wound Healing, The Journal of Biological Chemistry, 270:12607-13. Freedman, S.B., Isner, J.M. 2002. Therapeutic angiogenesis for coronary artery disease. Ann Intern Med, 136:54–71. Frink, M., Hildebrand, F., Krettek, C., Brand, J., Hankemeier, S. 2010. Compartment syndrome of the lowert leg and foot. Clin Orthop Relat Res, 468:940-50. Frykberg, R.G., Armstrong,. D.G., Giurini, J., Edwards, A., Kravette, M., Kravitz, S., Ross, C., Stavosky, J., Stuck, R., Vanore, J. 2000. Diabetic Foot Disorders : A Clinical Practice Guideline. Journal of Foot & Ankle Surgery, 39:S1-S60. Fulkerson, E., Razi, A., Tejwani, N. 2003. Review : acute compartment syndrome of foot. Foot & Ankle Int., 24 : 180-187. Gabriel, A., Mussman, J., Rosenberg, L.Z., de la Torre, J.I., 2009. Wound Healing and Growth Factors. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1298196. Diakses pada Desember 2010
Gallagher, K.A., Liu Z-J., Xiao, M., Chen, H., Goldstein, L.J., Buerk, D.G., Nedeau, A., Thom, S. R., Velasques, O.C. 2007. Diabetic impairments in NOmediated endothelial progenitor cell mobilization and homing are reversed by hyperoxia and SDF-1α. J Clin Invest. ;117(5):1249–1259. Galiano, R.D., Tepper, O.M., Pelo, C.R., Bhatt, K.A., Callaghan, M., Bastidas,N., Bunting, S., Steinmetz, H.G., Gurtner, G.C. 2004. Topical Vascular Endothelial Growth Factor Accelerates Diabetic Wound Healing through Increased Angiogenesis and by Mobilizing and Recruiting Bone MarrowDerived Cells. Am J Pathol. 164(6): 1935–1947. Gerber, H.P., Condorelli, F., Park, J., Ferrara N. 1997. Differential transcriptional regulation of the two vascular endothelial growth factor receptor genes. Flt-1, but not Flk-1/KDR, is up-regulated by hypoxia. J Biol Chem, 272: 23659–67. Gibbons , G.W., Marcaccio, E.J., Habershaw , G.M. 1995. Management of diabetic foot. In : Callow, A.D., Ernst, C.B., editors.Vascular surgery : theory and practice. Connecticut : Appleton and Lange. p.167-79. Gibran, N.S., Jang, Y.C., Isik, F.F., Greenhalgh, D.G, Muffley, L.A., Underwood, R.A. 2002. Diminished neuropeptide levels contribute to the impaired cutaneous healing response associated with diabetes mellitus. J Surg Res, 108:122-8.
130
Goldberg, M.T., Han, Y-P., Yan, C., Shaw, M.C., Garner, M.L. 2007. TNF-α Suppresses α-Smooth Muscle Actin Expression in Human Dermal Fibroblasts: An Implication for Abnormal Wound Healing. J Invest Dermatol, 127(11): 2645–55. Gordon, K.,A., Lebrun, E.,A, Tomic-Canic, M., Kirsner, R.,S. 2012. The role of surgical debridement in healing of diabetic foot ulcers. Skinmed,10(1):246. Review. Goren, I., Muller, E., Schiefelbein, D., Christen, U., Pfeilschifter, J., Muhl, H., Frank, S. 2007. Systemic Anti-TNF Treatment Restores Diabetesimpaired Skin Repair in ob/ob Mice by Inactivation of Macrophages. Journal of Investigative Dermatology, 127:2259–67 Gunga HC, Kirsch K, Rocker L, Behn C, Koralewski E, Davila EH, Estrada MI, Johannes B, Wittels P, and Jelkmann W. 1999. Vascular endothelial growth factor in exercising humans under different environmental conditions. Eur J Appl Physiol Occup Physiol 79:484–90. Guo, S., DiPietro, L.A. 2010. Factors Affecting Wound Healing. J Dent Res., 89(3) : 219-29 Gupta, K., Zhang, J. 2005. Angiogenesis : a curse or cure. Postgrad Med J, 81:23642. Harada, K., Friedman, M., Lopez, J., Wang, S., Li, J., Prasad, P.V., Pearlman, J.D., Edelmam, E., Sellke, F.W., Simons, M. 1996. Vascular endothelial growth factor in chronic myocardial ischemia. Am J Physiol, 270:H1791–180. Harmey, J.H., Bouchier-Hayes, D. 2002. Vascular endothelial growth factor (VEGF), a survival factor for tumour cells: implications for antiangiogenic therapy. Bioessays, 24:280–3. Himmerich, H., Fulda, S., Linseisen, J., Seiler, H., Wolfram, G., Himmerich, S., Gedrich, K., Pollmacher, T. 2006. TNF-α, soluble TNF receptor and Interleuikin-6 plasma levels in the general population. Eur.Cytokine Netw., 17 : 196-201. Hinchliffe RJ, Andros G, Apelqvist J, Bakker K, Friederichs S, Lammer J, Lepantalo M, Mills JL, Reekers J, Shearman CP, Valk G, Zierler RE, Schaper NC. 2012. A systematic review of the effectiveness of revascularization of the ulcerated foot in patients with diabetes and peripheral arterial disease. Diabetes Metab Res Rev., Suppl 1:179-217.
131
Hirsch, A.T., Haskal, Z.J., Hertzer, N.R., Bakal, C.W., Creager, M.A., Halperin, J.L., Hiratzka, L.F., Murphy, W.R.C., Olin, J.W., Puschett, J.B., Rosenfield, K.A., Sacks, D., Stanley, J.C., Taylor, JR, L.M., White, C.J., White, J., White, R.A. 2006. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal Aortic): Executive Summary A Collaborative Report From the American Association for Vascular Surgery/Society for Vascular Surgery, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease). JACC, XX (X) : 1–75. Hoeben, A., Landuyt, B., Highley M.S., Wildier, H., Van Oosterom, A.T., De Bruijn, E.A. 2004. Vascular Endothelial Growth Factor and Angiogenesis. Pharmacol Rev, 56:549-80. Huang, E.S., Basu, A., O’Grady, M., Capreta, J.C. 2009. Projecting the Future Diabetes Population Size and Related Costs for the U.S. Diabetes Care, 32: 2225-9. Isner, J.M., Walsh, K., Symes, J.F., Pieczek, A., Takeshita, S., Lowry, J., Rosenfield, K., Weir, L., Brogi, E., Jurayj, D. 1996. Arterial gene transfer for therapeutic angiogenesis in patients with peripheral artery disease. Hum Gene Ther 7:859–88. Jose, R.M., Viswanathan, N., Aldlyani, E., Wilson, Y., Moiemen, N., Thomas, R. 2004. Case report : Aspontaneous compartment syndrome in a patient with diabetes. The Journal of Bone and Joint Surgery, 86-B:1068-70. Khanolkar, M.P., Bain, S.C., Stephens, J.W. 2008. The diabetic foot. QJM, 101: 685-95 Kirsner, R.S., Warriner,R., Michela, M., Stasik, L., Freeman, K. 2010. Advanced Biological Therapies for Diabetic Foot Ulcers. Arch Dermatol.;146(8):857-62. Kosmidou, I., Karmpaliotis, D., Kirtane, A.J., Barron, H.V., Gibson, C.M. 2008. Vascular endothelial growth factors in pulmonary edema: an update. J Thromb Thrombolysis, 25:259-64. Koyama, S., Sato, E., Haniuda, M., Numanami, H., Nagai, S., Izumi, T. 2002. Decreased level of vascular endothelial growth factor in bronchoalveolar lavage fluid of normal smokers and patients with pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med, 166:382–5.
132
Lavery, L.A., Barnes, S.A., Keith, M.S., Seaman, J.W., Armstrong, D.G. 2008. Prediction of Healing for Postoperative Diabetic Foot Wounds Based on Early Wound Area Progression. Diabetes Care, 31 (1): 26-9 Lebrun, E., Tomic-Canic, M., Kirsner, R.S. 2010. The role of surgical debridement in healing of diabetic foot ulcers. Wound Repair Regen, 18:433-8. Lee, B.Y.,Guerra, J., Civelek, B. 1995. Compartment syndrome in diabetic foot. Adv Wound Care, 8:36,38,41-2. Lefrandt, J.D., Bosma, E., Oomen, P.H., Hoeven, J.H., Roon, A.M., Smit, A.J., Hoogenberg, K. 2003. Sympathetic mediated vasomotion and skin capillary permeability in diabetic patients with peripheral neuropathy. Diabetologia, 46:40-7. Lepantalo, M., Apelqvist, J., Setacci, C., Ricco, J.B., de Donato, G., Becker, F., Robert-Ebadi, H., Cao, P., Eckstein, H.H., De Rango, P., Diehm, N., Schmidli, J., Teraa, M., Moll, F.L., Dick, F., Davies, A.H. 2011. Diabetic foot. Eur J Vasc Endovasc Surg.;42 Suppl 2:S60-74. Lerman, O.Z., Galiano, R.D., Armour, M., Jamie, P., Levine, J.P., Gurtner, G.C. 2003. Cellular Dysfunction in the Diabetic Fibroblast Impairment in Migration, Vascular Endothelial Growth Factor Production, and Response to Hypoxia. Am J Pathol, 162: 303-12. Leung, P.C., Wong M.W.N., Wong, W.C. 2008. Limb salvage in extensive diabetic foot ulceration : an extended study using a herbal supplement. Hong Kong Med J, 14:29-33. Liu, Z-J.,Velazquez, O.C. 2008. Hyperoxia, Endothelial Progenitor Cell Mobilization, and Diabetic Wound Healing. Antioxid. Redox Signal., 10: 1869–82. Lipsky,B.A.,. Berendt, A.R., Cornia, P.B., Pile, J.C., Peters, E.J.G., Armstrong, D.G., Deery, H.G., Embil, J.M., Joseph, W.S., Karchmer, A.W., Pinzur, M.S., Senneville, E. 2012. IDSA GUIDELINES 2012 - Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot Infections. Clinical Infectious Diseases ; 54(12):132-73. Lobmann, R., Schultz, G., Lehnert, H. 2005. Proteases and Diabetic Foot Syndrome: Mechanisms and Therapeutic Implications. Diabetes care, 28(2):462-71. Lower, R.F., Kenzora, J.E. 1994. The diabetic neuropathic foot: a triple crush syndrome--measurement of compartmental pressures of normal and diabetic feet. Orthopedic, 17: 241-8.
133
Maeda, T., Kawane, T., Horiuchi, N. 2003. Statins augment vascular endothelial growth factor expression in osteoblastic cells via inhibition of protein prenylation. Endocrinology, 144: 681–92. Maloney J, Wang D, Duncan T, Voelkel N, and Ruoss S. 2000. Plasma vascular endothelial growth factor in acute mountain sickness. Chest 118: 47–52. Maltezoz, E., Papazoglou, D., Exiara, T., Papazoglou, L., Karathanasis, E., Christakidis, D., Ktenidou-Kartali, S. 2002. Tumour Necrosis Factor-α Levels in Non-diabetic Offspring of Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. The Journal of International Medical Research, 30 : 576-83. Meyer, K.C., Cardoni, A., Xiang, Z.Z. 2000. Vascular endothelial growth factor in bronchoalveolar lavage from normal subjects and patients with diffuse parenchymal lung disease. J Lab Clin Med, 135: 332–8. Mikhnevych, O.E., Horielov, S.V., Bezliuda, N.P., Sapa, S.A . 2001. Compartment syndrome in patients with diabetic foot syndrome complicated by purulent necrotic lesions. Klin Khir, 8: 33-5. Mitchell, R.S., Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N. 2007. Robbins Basic Pathology. Philadelphia: Saunders. 8th edition. Moed, B.R., Thorderson, P.K. 1993. Measurement of Intracompartmental Pressure : A Comparison of the Slit Catheter, Side-ported Needle, and Simple Needle. The Journal of Bone and Joint Surgery, 75-A: 231-5. Mueller, M.,P., Wright, J., Klein, .,R. 1994. Diabetes and Peripheral Vascular Disease. In : Veith, F.,J., Hobson II, R.,W., Williams, R.,A., Wilson, S.,E., editors.Vascular Surgery Principle and Practice. McGraw-Hill. p. 514-22. Muliawan, M., Semadi, N., Yasa, K.P. 2007. ―Pola Kuman dan Korelasi Klinis Ulkus Kaki Diabetikum di RSUP Sanglah Denpasar― (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Munichoodappa, C., Sheriff, S.A. 1999. Case report : Spontaneous muscle infarction in diabetes mellitus. Int.J. Diab. Dev. Countries, 19:115-6. Nakagawa, K., Chen, Y.X., Yonemitsu, Y., Murata, T., Hata, Y., Nakashima, Y. Sueishi, K. 2000. Angiogenesis and its regulation : roles of vascular endothelial cell growth factor. Semin Thromb Hemost, 26:61-6. Nieuwdorp, M., van Haeften TW., Gouvemeur MC et al. 2000. Loss of endothelial glycocalyx during acute hyperglycemia coincides with endothelial dysfunction and coagulation activation in vivo. Diabetes, 55:480-6.
134
Norgren, L., Hiat, W.R., Dormandy, J.A., Nehler, M.R., Harris, K.A., Fowkes, F.G.R. 2007. Inter-Society Consensus for the Management of Peripheral Arterial Disease (TASC II). Journal of Vascular Surgery, 45(1) Supplement : S5A-67A Oltmanns, K.M., Gehring, H., Rudolf, S., Schultes, B., Hackenberg, C., Schweiger, U., Born, J., Fehm, H.L., Peters , A. 2006. Acute hypoxia decreases plasma VEGF concentration in healthy humans. Am J Physiol Endocrinol Metab, 290(3): E434-E439. Oyibo, S.O., Jude, E.B., Tarawneh, I., Nguyen, H.C., Harkless, L.B., Boulton, A.J.M. 2001. A Comparison of Two Diabetic Foot Ulcer Classification Systems The Wagner and the University of Texas wound classification systems . Diabetes, 24(1): 84-8 Pamoukian, V.N., Rubino, F., Iraci, J.C. 2000. Review and case report of idiopathic lower extremity compartment syndrome and its treatment in diabetic patient. Diabetes & Metabolism, 26:489-92. Pearlman, J.D., Hibberd, M.G., Chuang, M.L., Harada, K., Lopez, J.J., Gladstone, S.R., Friedman, M., Sellke, F.W., Simons, M. 1995. Magnetic resonance mapping demonstrates benefits of VEGF-induced myocardial angiogenesis. Nature Med, 1:1085–9. Pocock S., J. 2008. CLINICAL TRIALS A Practical Approach. Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. John Wiley & Sons Ltd : 1-7, 12338. Pusat
Data dan Informasi Persi. Available from http://www.pdpersi.co.id/conten/m_news. Diakses pada Juni 2012.
:
Quantikine ELISA. Available from : (http://www.rndsystems.com/pdf/dve00.pdf) Quattrini, C., Jeziorska, M., Boulton, A.J.M., Malik, R.A. 2008. Reduced Vascular Endothelial Growth Factor Expression and Intra-Epidermal Nerve Fiber Loss in Human Diabetic Neuropathy. Diabetes Care, 31 :140-5. Rauwerda J.A. 2000. Foot debridement: anatomic knowledge is mandatory. Proceedings of the Third International Symposium on the Diabetic Foot , 16(issue suppl 1) : S23-S26. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
135
Rivard, A., Silver, M., Chen, D., Kearney, M., Magner, M., Annex, B., Peters, K., Isner, J.M. 1999. Rescue of Diabetes-Related Impairment of Angiogenesis by Intramuscular Gene Therapy with Adeno-VEGF. Am J Pathol, 154: 355–63. Rogers, L.C., Bevilacqua, N.J., Armstrong, D.G., Andros, G. 2010. Digital Planimetry Results in More Accurate Wound Measurements : A Comparison to Standard Ruler Measurements. Journal of Diabetes Science and Technology, 4:799-802. Rutherford, R.B. 1995. Recommended standards for reports on vascular disease and its management. In : Callow AD, Ernst CB, editors. Vascular surgery : theory and practice. Connecticut : Appleton and Lange : 1145 - 59. Ryu, J.K. 2008. Therapeutic Angiogenesis: The Pros and Cons and the Future. Korean Circ J , 38:73-9. Saad, A.Z.M., Khoo,T.L., Halim, A.S. 2013. Wound Bed Preparation for Chronic Diabetic Foot Ulcers (review article). ISRN Endocrinology Volume 2013, Article ID 608313, 9 pages. Saap, L.J., Falanga, V. 2002. Debridement performance index and its correlation with complete closure of diabetic foot ulcers. Wound Repair Regen,10(6):354 Saepudin, M. 2011. Metodologi penelitian Kesehatan masyarakat. Jakarta : Trans Info Media (TIM) : 45-59. Santos, S., Peinado, V.I., Ramirez, J., Morales-Blanhir, J., Bastos, R., Roca, J., Rodriguez-Roisin, R., Barbera, J.A. 2003. Enhanced expression of vascular endothelial growth factor in pulmonary arteries of smokers and patients with moderate chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med, 167:1250–6. Shaw, J., Hughes, C.M., Lagan, K.M., Bell, P.M.,Stevenson, M.R. 2007. An Evaluation of Three Wound Measurement Techniques in Diabetic Foot Wounds. Diabetes Care, 30:2641-2. Simons, M. 2005. Angiogenesis, Arteriogenesis, and Diabetes: Paradigm Reassessed?. Journal of the American College of Cardiology, 46. Singh, N., Armstrong, D.G., Lipsky, B.A. 2005. Preventing foot ulcers in patients with diabetes. Jama , 293:217-28.
136
Siqueira, M. F., Li, J., Chehab, L., Desta, T., Chino, T., Krothpali, N., Behl, Y., Alikhani, M., Yang, J., Braasch, C., Graves, D. T. 2010. Impaired wound healing in mouse models of diabetes is mediated by TNF-α dysregulation and associated with enhanced activation of forkhead box O1 (FOXO1). Diabetologia, 53(2): 378–88. Steed, D.L., Donohoe, D., Webster, M.W., Lindsley, L. 1996. Effect of extensive debridement and treatment on the healing of diabetic foot ulcers. Diabetic Ulcer Study Group. J Am Coll Surg ;183(1):61-4. Steed, D.L. 2004. Debridement. J Am Coll Surg ; 187 (Suppl) : 71S–74S Takeshita, S., Zhung, L., Brogi, E., Kearney, M., Pu L-Q, Bunting, S., Ferrara, N., Symes, J.F., Isner, J.M. 1994. Therapeutic angiogenesis: a single intraarterial bolus of vascular endothelial growth factor augments collateral vessel formation in a rabbit ischemic hindlimb model. J Clin Invest, 93:662–70. Takeshita, S., Pu L-Q, Stein, L.A., Sniderman, A.D., Bunting, S., Ferrara, N., Isner, J.M., Symes, J.F. 1994. Intramuscular administration of vascular endothelial growth factor induces dose-dependent collateral artery augmentation in a rabbit model of chronic limb ischemia. Circulation, 90:[Suppl II]228-34. Takeshita S, Tsurumi Y, Couffinhal T, Asahara T, Bauters C, Symes JF, Ferrara N, Isner JM. 1996. Gene transfer of naked DNA encoding for three isoforms of vascular endothelial growth factor stimulates collateral development in vivo. Lab Invest 75:487–502. Tellechea, A., Leal, E., Veves, A., Carvalho, E. 2010. Inflammatory and Angiogenic abnormalities in Diabetic Wound Healing: Role of Neuropeptides and Therapeutic Perspectives. The Open Circulation and Vascular Journal, 3: 43-55. Urovitz, E.P., Birk-Urovitz, A., Birk-Urovitz, E. 2008. Endoscopic plantar fasciotomy in the treatment of chronic heel pain. Can J Surg.; 51(4): 281– 3. Van Baal, J.G. 2004. Surgical treatment of the Infected Diabetic Foot. Clinical Infectious Diseases, 39: S 123-8. Velazquez O.,C. 2007. Angiogenesis and vasculogenesis: Inducing the growth of new blood vessels and wound healing by stimulation of bone marrow– derived progenitor cell mobilization and homing. J Vasc Surg, 45:39A47A. Vourisalo, S., Venermo, M., Lepäntalo, M . 2009. Treatment of diabetic foot ulcers. J Cardiovasc Surg (Torino), 50:275-91.
137
Wallace, H.,J., Stacey, M.,C. 1998. Level of tumour Necrosis Factor-α (TNF-α) and Soluble TNF Receptors in Chronic Venous Leg Ulcer – Correlations to Healing Status. J Invest Dermatol ; 110 (3) : 292-6. Waltenberger, J. 2007. New Horizons in Diabetes Therapy: The Angiogenesis Paradox in Diabetes: Description of Problem and Presentation of Unifying Hypothesis. Immun.,Endoc. & Metab. Agents in Med. Chem., 7:87-93. Walter, R., Maggiorini, M., Scherrer, U., Contesse, J., Reinhart, W.H. 2001. Effects of high-altitude exposure on vascular endothelial growth factor levels in man. Eur J Appl Physiol, 85:113–7. Weck, M., Slesaczeck, T., Paetzold, H., Muench, D., Nanning, T., von Gagern, G., Brechow, A., Dietrich, U., Holfert, M., Bornstein, S., Barthel, A., Thomas, A., Koehler, C., Hanefeld, M. 2013. Structured health care for subjects with diabetic foot ulcers results in a reduction of major amputation rates. Cardiovascular Diabetology 2013, 12:45. Widatalla, A.H., Mahadi, S., Shawer, M.A., Elsayem, H.A., Ahmed, M.E. 2009. Implementation of diabetic foot ulcer classification system for research purposes to predict lower extremity amputation. Int J Diabetes Dev Ctries, 29:1–5. Wilson, S.C., Vrahas, M.S., Berson, L., Paul, E.M. 1997. A Simple method to measure compartment pressure using an intravenous catheter. Orthopedics, 20:403-6. Wilcox, J.,R., Carter, M.,J., Covington, S. 2013. Frequency of Debridements and Time to Heal. A Retrospective Cohort Study of 312 744 Wounds. JAMA dermatol,149(9):1050-8. Woodbury, M.,G., Houghton, P.,E., Campbell, K., E., Keast, D.,H. 2004. Development,Validity, Reliability, and Responsiveness of a New Leg Ulcer Measurement Tool. SKIN WOUND CARE ,17:187-96. Yla-Herttuala, S., Rissanen, T.T., Vajanto, I., Hartikainen, J. 2007. Vascular Endothelial Growth Factors: Biology and Current Status of Clinical Applications in Cardiovascular Medicine. J Am Coll Cardiol, 49:1015-26. Yosipovitch, G., DeVore, A., Dawn, A. 2007. Obesity and the skin : Skin physiology and skin manifestations of obesity. Journal Am Acad Dermatol. 56 (6) : 901-16 Zgonis, T., Stapleton, J.J.,Girard-Powel, V.A., Hanigo, R.T. 2008. Surgical Management of Diabetic Foot Infections and Amputations. AORN J, 87: 935-46.
Lampiran 1 138
INFORMASI PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN YANG DISAMPAIKAN KEPADA PASIEN ATAU KELUARGA PASIEN SEBELUM MENANDA TANGANI FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN (informed concent)
Kami mengharapkan keikut-sertaan anda dalam penelitian yang akan dilaksanakan oleh Dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV(K). Penelitian ini akan mengikut sertakan 62 orang pasien yang menderita diabetes mellitus (DM) yang mengalami luka di kaki termasuk anda. Bacalah informasi ini baik-baik sebelum anda memutuskan apakah anda setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini. Apabila anda belum mengerti dan belum jelas mengenai informasi ini, janganlah anda ragu-ragu untuk bertanya. Seperti anda maklumi, selama ini anda telah menderita DM yang disertai dengan komplikasinya terutama dalam hal ini luka di kaki yang sulit atau lama sembuh. Luka di kaki merupakan komplikasi menahun dari penyakit DM, namun tidak semua penderita DM mengalami luka di kaki. Diantara pasien DM, disamping ada perbedaan tentang kejadian luka di kaki ( ada yang mengalami luka ada pula yang tidak ) , berat-ringannya luka juga berbeda (ada yang ringan dan ada pula yang berat), waktu kesembuhannya juga berbeda-beda. Aspek-aspek diatas mendorong kami melakukan penelitian, agar masalah- masalah tersebut bisa diketahui dan ditangani secara tepat. Bagi anda yang tidak ada komplikasi tentu akan berharap agar komplikasi itu bisa dicegah, sedangkan yang telah mengalami komplikasi berupa luka di kaki tentu juga berharap agar lukanya cepat sembuh. Penanganan yang umum dilakukan adalah mengontrol kadar gula darah agar senantiasa berada pada level normal, pemberian antibiotika apabila terdapat luka
Lanjutan lampiran 1 139
dengan tanda-tanda infeksi, pembersihan luka disertai dengan membuang bagianbagian luka dan disekitar luka yang telah mangalami kerusakan atau kematian sampai ke daerah yang sehat, ini disebut debridemen. Debridemen memiliki tujuan mengubah lingkungan luka dari suasana luka kronis menjadi luka akut, membuat luka menjadi baru dengan perdarahan baru, untuk memicu penurunan kadar sitokin Tumour Necrosis Factor-α ( TNF-α ), dan peningkatan vascular endothelial growth factor ( VEGF ) suatu faktor pertumbuhan luka yang sangat penting. Dengan penurunan kadar sitokin TNF-α dan peningkatan VEGF diharapkan kesembuhan luka kaki diabetikum bisa lebih baik. Tindakan pembedahan ini rutin dan standar dikerjakan pada setiap luka kaki diabetes. Tindakan fasiotomi (membuka fasia yaitu pembungkus sekelompok otot dan jaringan ikat lainnya dalam satu kompartemen, disesuaikan dengan kompartemen dari lokasi luka), tanpa melihat beratnya infeksi, merupakan tindakan bedah yang tidak rutin dikerjakan. Alasan dilakukannya fasiotomi adalah untuk menurunkan atau mencegah peningkatan tekanan intrakompartemen, memperbaiki sirkulasi didalam kompartemen, memicu pelepasan VEGF, sehingga diharapkan proses penyembuhan luka bisa lebih cepat, serta resiko luka berulang bisa dicegah. Berkaitan dengan uraian tersebut diatas, maka penelitian yang akan kami lakukan ini bertujuan untuk melihat pengaruh debridemen dan fasiotomi yang dikerjakan secara simultan pada luka kaki diabetes terhadap kadar TNF-α dan VEGF. Bila diketahui nantinya ada hubungan yang bermakna, mungkin akan dianjurkan tindakan fasiotomi sebagai prosedur tambahan pada setiap tindakan debridemen ulkus kaki diabetikum .
Lanjutan lampiran 1 140
Prosedur yang berkenaan dengan penelitian ini terdiri dari : 1. Semua pasien yang diiuktsertakan dalam penelitian akan diperiksa tekanan intrakompartemen ( tekanan didalam ruang tertentu di daerah kaki ) dengan memakai alat khusus yang telah disediakan. Pemeriksaan tersebut tidak dikenai biaya 2. Semua pasien yang diiuktsertakan dalam penelitian ini akan dilakukan pengambilan contoh bahan pemeriksaan dengan tata cara sebagai berikut : a. Pengambilan
darah vena sebanyak 3 ml. Bahan ini dipakai
untuk
pemeriksaan TNF-α dan VEGF. b. Pengambilan jaringan ulkus dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 2 cm, dengan ketentuan 1 cm mengenai daerah ulkus, 1 cm mengenai jaringan sehat dari tepi ulkus, serta kedalaman sampai dengan batas jaringan sehat. Bahan ini dipakai untuk pemeriksaan TNF-α. c. Waktu pengambilan bahan adalah sesaat sebelum tindakan operasi, dan akan diulang kembali 1 minggu setelah operasi. d. Bahan pemeriksaan tersebut kemudian dikirim ke laboratorium dengan metode yang sudah ditetapkan. Pemeriksaan tersebut tidak dikenai biaya. 3. Semua pasien akan dilakukan pemeriksaan dan penilaian klinis tentang luka menurut klasifikasi Wagner. 4. Pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini akan dibagi secara acak kedalam 2 kelompok. Kelompok pertama mereka yang mendapat tindakan debridemen dengan fasiotomi secara simultan, kelompok kedua pasien yang mendapat tindakan debridemen tanpa disertai fasiotomi. tersebut tidak dikenai biaya
Pemeriksaan
Lanjutan lampiran 1 141
Peneliti dan petugas laboratorium akan melaksanakan segala prosedur pemeriksaan maupun tindakan dengan menjaga kerahasiaan data. Jika terjadi hal-hal yang tidak terduga ( komplikasi ), akan menjadi tanggung jawab peneliti sesuai protokol yang berlaku. Segala prosedur ini hanya dapat dilakukan bila telah mendapat ijin dari anda dan dengan menanda tangani pertanyaan kesediaan (terlampir) setelah anda mengerti maksud, tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian ini. Data dari hasil pemeriksaan ini akan dikumpulkan ke dalam komputer dengan kode nama untuk menjaga kerahasiaan identitas anda. Hanya dokter peneliti yang mengetahui data-data kesehatan anda yang berkaitan dengan penelitian ini. Namun bila anda ingin mengetahuinya anda dapat memperolehnya dari kami. Data ini mungkin akan dipublikasi tanpa mencantumkan identitas dari mana data tersebut diperoleh. Apabila selama keikut-sertaan anda dalam penelitian ini terdapat hal-hal yang dirasakan mengganggu dan merugikan anda dapat mengundurkan diri atau membatalkan keikut-sertaan anda ini tanpa prasarat apapun. Apabila ada kejadian yang tidak diinginkan
akibat tindakan debridemen dan atau fasiotomi selama
periode penelitian, akan dicatat dan dilaporkan kepada Data safety monitoring Board Rumah Sakit Sanglah. Berkaitan dengan hal ini atau sewaktu-waktu anda memerlukan informasi lebih lanjut anda dapat menghubungi Dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV, , pada nomor telpon : 08123843260 atau 0361-7918861.
Lanjutan lampiran 1 142
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya , yang bertanda tangan dibawah ini Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pekerjaan
:
Telah membaca dengan seksama keterangan (terlampir) yang berkenaan dengan penelitian ini dan setelah mendapat penjelasan, saya mengerti dan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.
(
Yang Menyetujui
Dokter / Petugas
Pasien / keluarga pasien
Yang memberikan penjelasan
Tanda tangan
Tanda tangan
)
(
)
Lampiran 2 143
FORMULIR PENGUMPULAN DATA PENELITIAN IDENTITAS PASIEN 1. Nama 2. Umur 3. Jenis kelamin 4. Body Mass Index (Kg / m2) 5. Pekerjaan 6. Pendidikan 7. Alamat 8. No. MR 9. Tanggal MRS 10. Tanggal KRS
.......................................................................... ..................tahun L/ P .......................................................................... .......................................................................... .......................................................................... .......................................................................... .......................................................................... ........................................................................... ...........................................................................
STATUS DM 11. Lama menderita DM 12. Kadar HbA1c
...............(dihitung sejak di dx/ s/d wawancara) ...........................................................
STATUS Ulkus Kaki Diabetik 13. Lama menderita Ulkus 14. Lokasi Ulkus 15. Derajat Wagner 16. Jenis Ulkus 17. Jenis kuman 18. Luas ulkus (PxL, dalam cm2) pra perlakuan 19. Ankle Brachial Index (Tek. sistolik A/B) 20. Peripheral artery diseases (PAD) TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI (PRE-TEST) 21. Tekanan kompartemen medial 22. Tekanan kompartemen lateral 23. Tekanan kompartemen sentral 24. Tekanan kompartemen interosesus
.............minggu ................................................................................ 1. Wg II 2. Wg III 3. Wg IV 1. Neuroiskemik 2. Neuropatik (test Semmes +) ................................................................................... ....................cm2 1. ≤ 0,90 2. > 0,90 1.Ya ( satu dari gejala/tanda : klaudikasio, pulsasi lemah-negatif, kaki pucat-dingin, ABI ≤ 0,90. 2. Tidak ...............mmHg ...............mmHg ...............mmHg ...............mmHg
TEKANAN KOMPARTEMEN KAKI (PRE-TEST) 25. Tekanan kompartemen medial 26. Tekanan kompartemen lateral 27. Tekanan kompartemen sentral 28. Tekanan kompartemen interosesus
...............mmHg ...............mmHg ...............mmHg ...............mmHg
KADAR TNF-α dan VEGF ( PRE-TEST ) 29. TNF-α jaringan 30. TNF-α plasma 31. VEGF plasma
.............. .............. ..............
KADAR TNF-α dan VEGF ( POST-TEST) 32. TNF-α jaringan 33. TNF-α plasma 34. VEGF plasma
.............. ............. .............
LUARAN KLINIS 35. Luas area UKD minggu I pos perlakuan 36. Luas area UKD minggu II pos perlakuan 37. Luas area UKD minggu III pos perlakuan 38. Luas area UKD minggu IV pos perlakuan 39. Amputasi major 40. Amputasi minor 41. Waktu pelaksanaan amputasi 42. Indikasi amputasi 43. Masa rawat 44. Meninggal
.............cm2 .............cm2 .............cm2 .............cm2 1.Ya 2.Tidak 1.Ya 2.Tidak ......................bulan 1.Infeksi 2. Iskemia 3. Kombinasi ......................hari 1.Ya 2.Tidak
Lampiran 3 144
PERMUTED BLOCK RANDOMIZATION
Lanjutan lampiran 3 145
Lanjutan lampiran 3 146
Lampiran 4 147
Nama Pasien
:
No. RM
:
Alamat/HP
:
Jenis Operasi
: Fasiotomi / Non Fasiotomi
Tgl Operasi
:
Lanjutan lampiran 4 148
Lanjutan lampiran 4 149
Lanjutan lampiran 4 150
Lampiran 5 151
FGJDIKJGFK
Lampiran 6
152
LAMPIRAN DATA KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN
6.32
Lama DM (tahun) 0.33
Lama Ulkus (minggu) 4
14.5
20
4
22
12.83
0.02
SLTA
20.76
9.54
Pensiunan
SLTA
20
PNS
SLTA
29.3
P
Pegawai Swasta
SLTA
43
P
IRT
55
L
PNS
IMA
43
L
11
AAGR
59
12
NS
52
13
MW
64
14
JW
15
BK
16
No
Identitas
Umur (tahun)
JK
Pendidikan
BMI
HbAic (%)
Derajat ulkus
Jenis Ulkus
PAD
1
INR
70
P
2
AAAA
56
P
Pedagang
SD
23
IRT
SLTA
22
1
2
2
2
2
3
IWS
46
L
Swasta
SLTA
1
2
1
1
4
IWD
55
L
POLRI
1
12
3
1
1
2
5 6
MM
67
L
IKS
58
L
7.56
19
3
2
1
1
10.4
38
2
1
2
7
PP
49
2
26
9.93
5
1
3
2
2
8
KM
9
MG
SD
30
11.43
1
3
2
2
2
Sarjana
32.6
9.9
11
1
1
1
10
2
Wiraswasta
SMP
24.22
8.61
2
4
2
2
2
L
Wiraswasta
SLTA
23.4
13.48
6
2
2
1
1
P
Buruh
SD
18.7
6.95
12
2
1
2
2
L
Pegawai Swasta
SLTA
27.5
13.57
2
2
3
1
1
44
P
Swasta
SLTA
21.5
13
10
2
3
2
2
56
L
Pensiunan PNS
SLTA
21.2
7.45
9
12
2
2
2
INC
48
L
Swasta
SMP
24.2
9.89
0.5
24
2
2
2
17
IMR
63
L
swasta
SD
29
8.49
5
48
2
2
2
18
IWW
60
L
Petani
SD
23.4
8.9
0.08
4
1
1
1
19
IWSY
47
L
petani
SMP
18.5
10.3
13
4
2
2
2
20
IKK
45
L
swasta
SMA
24.8
11.1
10
1
1
2
2
21
GMKS
55
L
Pensiunan PNS
S1
19
9.3
19
3
1
2
2
22
TTL
58
L
Swasta
SMA
21.1
9.4
10
2
1
2
2
23
SSR
42
P
PNS
S1
24.9
13
2.5
2
1
2
2
24
IGMT
65
L
Petani
SD
22.4
10.67
0.08
4
2
1
1
25
NKS
49
P
IRT
SD
28.6
10.9
12
2
1
2
2
26
NLS
59
P
Swasta
SD
22.9
8.7
0.5
4
1
2
2
27
AS
66
L
Swasta
SMA
27.6
9.08
10
48
2
2
2
28
IGNT
60
L
Pensiunan
SLTA
25
8.09
17
3
2
1
1
29
DKT
60
L
Swasta
SLTA
22.6
7.62
1
2
2
2
1
30
IWS
60
L
Pensiunan
SMP
22.49
9.57
24
4
2
2
1
31
NKR
56
P
Guru
Sarjana
25.4
9.2
17
2
2
2
2
32
IGAGP
54
L
PNS
SLTA
20.75
13.6
17
24
2
2
2
33
IKS
49
L
Swasta
SLTP
26
10.14
0.04
2
2
1
1
34
KT
47
L
Pegawai Swasta
SLTA
25.4
8.53
18
1
2
1
1
35
IKW
54
L
pedagang
SD
25.4
9.3
20
6
3
1
1
36
IWP
71
P
Pedagang
SD
23
11.96
1
2
2
2
2
37
NMS
62
P
Petani
SD
27.3
6.65
0.08
3
2
2
2
38
NNP
61
P
Petani
SD
21.3
9.9
11
2
1
2
2
39
IKP
40
L
Pegawai Swasta
SD
25.34
8.9
0.25
12
3
2
1
40
AAPA
57
L
PNS
SLTA
28.37
7.31
20
1
3
2
2
41
NKK
52
L
Pegawai Swasta
SD
28.5
6.71
12
24
1
2
2
42
AAIOA
71
P
Pensiunan
SLTA
25.39
18.24
8
9
2
1
1
43
INNA
60
L
Wiraswasta
SD
17.4
11.73
14.5
96
2
2
1
44
NKD
77
P
Petani
SD
21.5
9.65
6
1
3
1
1
45
KN
37
L
Tidak Bekerja
SMP
15
13.62
9
4
3
2
2
Pekerjaan
Lanjutan lampiran 6 153
46
NMM
70
P
PNS Pensiunan
SLTA
23
10.4
26
2
1
2
2
47
HAS
64
L
PNS
SLTA
29
10.62
7
3
3
1
1
48
NPS
49
P
IRT
SD
26
15.63
4
12
1
2
2
49
INS
45
L
Swasta
SLTA
28.2
11.33
17
3
2
2
2
50
PA
35
L
swasta
SLTA
23.5
9.3
4
2
2
2
2
51
INT
48
L
swasta
SD
23.54
15.82
5
4
3
2
2
52
MS
54
L
PNS
Universitas
32.6
9.25
11
16
1
2
2
53
INT
42
L
swasta
SMA
38
9.16
2
12
2
2
2
54
SMA
61
L
Swasta
Diploma
22
10.01
13
2
2
2
2
55
IWM
52
L
Pensiunan PNS
SMP
23.2
15.86
7
3
3
2
2
56
NKTA
28
P
IRT
SMA
22
10.7
15
1
3
2
2
57
BS
54
P
PNS
S1
22.2
13.17
2
4
3
1
1
58
IMW
76
L
petani
SD
19.5
10.9
5
2
3
1
1
59
SPY
45
L
swasta
SMU
25.7
11
0.08
4
2
2
2
Lampiran 7 154
LAMPIRAN HASIL ANALISIS TNF- (PLASMA DAN JARINGAN) DAN VEGF TNF- plasma dan jaringan serta VEGF pre tes kelompok debridemen (kelompok-1) dan kelompok debridemen plus fasiotomi (kelompok-2) Data absorbansi kelompok-1 (Standar) 0.233 450
No. pasien 1
0.143
250
0.08
150
0.051
100
TNF-Plasma (pg/ml) kelompok-1 absorban TNF- 0.219 414.008
2
0.217
410.18
3
0.222
419.75
4
0.221
417.836
5
0.223
421.664
6
0.213
402.524
7
0.231
436.976
8
0.231
436.976
9
0.232
438.89
10
0.232
438.89
11
0.212
400.61
12
0.233
440.804
13
0.234
442.718
14
0.238
450.374
15
0.202
381.47
16
0.216
408.266
17
0.234
442.718
18
0.217
410.18
19
0.217
410.18
20
0.216
408.266
21
0.224
423.578
22
0.211
398.696
23
0.221
417.836
24
0.223
421.664
25
0.233
440.804
26
0.229
433.148
27
0.229
433.148
500 400 300 200 100 0
y = 1914,x - 5,158 R² = 0,993
0
0,05
0,1
0,15
Kurva Kalibrasi
0,2
0,25
Lanjutan lampiran 7 155
Data absorbansi kelompok 2 (Standar) 0.231 450 0.141 250 0.079 150 0.049 100
500 y = 1919,x - 2,388 R² = 0,993
400 300
250
200 100
No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
TNFPlasmapg/ml) Kelompok-2 absorban TNF- 0.218 415.954 0.216 412.116 0.221 421.711 0.213 406.359 0.223 425.549 0.224 427.468 0.223 425.549 0.225 429.387 0.226 431.306 0.227 433.225 0.228 435.144 0.228 435.144 0.232 442.82 0.236 450.496 0.235 448.577 0.203 387.169 0.226 431.306 0.225 429.387 0.225 429.387 0.223 425.549 0.223 425.549 0.222 423.63 0.222 423.63 0.221 421.711 0.221 421.711 0.222 423.63 0.221 421.711 0.219 417.873 0.218 415.954 0.219 417.873 0.217 414.035 0.216 412.116
450
100
150
0 0
0,1
0,2
Kurva Kalibrasi
0,3
Lanjutan lampiran 7
No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
TNF-Jaringan (pg/mg) Kelompok-1 Kelompok- 2 Absorban TNF- Absorban TNF- 0.22 377.93 0.221 382.825 0.217 373.007 0.219 379.535 0.222 381.212 0.22 381.18 0.221 379.571 0.223 386.115 0.223 382.853 0.223 386.115 0.213 366.443 0.209 363.085 0.231 395.981 0.221 382.825 0.231 395.981 0.215 372.955 0.232 397.622 0.224 387.76 0.232 397.622 0.225 389.405 0.212 364.802 0.228 394.34 0.233 399.263 0.23 397.63 0.234 400.904 0.232 400.92 0.238 407.468 0.237 409.145 0.202 348.392 0.238 410.79 0.216 371.366 0.226 391.05 0.234 400.904 0.224 387.76 0.217 373.007 0.225 389.405 0.217 373.007 0.225 389.405 0.216 371.366 0.223 386.115 0.224 384.494 0.225 389.405 0.211 363.161 0.223 386.115 0.221 379.571 0.222 384.47 0.223 382.853 0.221 382.825 0.233 399.263 0.221 382.825 0.229 392.699 0.222 384.47 0.229 392.699 0.221 382.825 0.219 379.535 0.218 377.89 0.219 379.535 0.217 376.245 0.216 374.6
156
Lanjutan lampiran 7
No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
VEGF Plasma (pg/ml) Kelompok-1 Kelompok-2 Absorban VEGFP Absorban VEGFP 0.142 273.396 0.119 276.52 0.142 273.396 0.119 276.52 0.143 275.204 0.118 274.08 0.145 278.82 0.12 278.96 0.148 284.244 0.12 278.96 0.15 287.86 0.121 281.4 0.153 293.284 0.122 283.84 0.155 296.9 0.122 283.84 0.156 298.708 0.124 288.72 0.159 304.132 0.125 291.16 0.156 298.708 0.125 291.16 0.155 296.9 0.126 293.6 0.149 286.052 0.127 296.04 0.158 302.324 0.132 308.24 0.148 284.244 0.13 303.36 0.144 277.012 0.131 305.8 0.145 278.82 0.129 300.92 0.139 267.972 0.128 298.48 0.138 266.164 0.127 296.04 0.14 269.78 0.126 293.6 0.148 284.244 0.125 291.16 0.144 277.012 0.124 288.72 0.139 267.972 0.124 288.72 0.137 264.356 0.123 286.28 0.144 277.012 0.122 283.84 0.146 280.628 0.122 283.84 0.147 282.436 0.121 281.4 0.12 278.96 0.119 276.52 0.118 274.08 0.117 271.64 0.116 269.2
157
Lanjutan lampiran 7
158
TNF- plasma dan VEGF plasma postes kelompok debridemen (kelompok-1) dan kelompok debridemen plus fasiotomi (kelompok-2) No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
TNF-(pg/ml) TNF-(pg/ml) kelompok-1 Kelompok- 2 absorban TNF- absorban TNF- 0.209 392.367 0.149 276.458 0.21 394.34 0.15 278.338 0.211 396.313 0.162 300.898 0.212 398.286 0.163 302.778 0.213 400.259 0.164 304.658 0.213 400.259 0.165 306.538 0.215 404.205 0.166 308.418 0.216 406.178 0.166 308.418 0.217 408.151 0.162 300.898 0.215 404.205 0.162 300.898 0.218 410.124 0.162 300.898 0.219 412.097 0.162 300.898 0.208 390.394 0.163 302.778 0.207 388.421 0.163 302.778 0.202 378.556 0.179 332.858 0.2 374.61 0.16 297.138 0.199 372.637 0.16 297.138 0.198 370.664 0.158 293.378 0.197 368.691 0.156 289.618 0.2 374.61 0.156 289.618 0.202 378.556 0.153 283.978 0.204 382.502 0.153 283.978 0.209 392.367 0.153 283.978 0.204 382.502 0.152 282.098 0.206 386.448 0.15 278.338 0.211 396.313 0.149 276.458 0.207 388.421 0.146 270.818 0.148 274.578 0.149 276.458 0.140 259.538 0.141 261.418 0.141 261.418
Lanjutan lampiran 7 159
No. Pasien 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
VEGF Plasma VEGF Plasma (pg/ml) (pg/ml) kelompok-1 kelompok-2 absorban VEGFPos absorban VEGFPos 0.136 248.53 0.14 315.61 0.137 250.366 0.142 320.47 0.141 257.71 0.146 330.19 0.145 265.054 0.151 342.34 0.151 276.07 0.152 344.77 0.164 299.938 0.149 337.48 0.165 301.774 0.15 339.91 0.165 301.774 0.151 342.34 0.166 303.61 0.153 347.2 0.166 303.61 0.154 349.63 0.167 305.446 0.156 354.49 0.173 316.462 0.157 356.92 0.175 320.134 0.158 359.35 0.179 327.478 0.162 369.07 0.175 320.134 0.173 395.8 0.168 307.282 0.163 371.5 0.167 305.446 0.161 366.64 0.165 301.774 0.159 361.78 0.155 283.414 0.147 332.62 0.154 281.578 0.146 330.19 0.154 281.578 0.145 327.76 0.152 277.906 0.144 325.33 0.153 279.742 0.145 327.76 0.15 274.234 0.143 322.9 0.151 276.07 0.143 322.9 0.148 270.562 0.142 320.47 0.147 268.726 0.145 327.76 0.145 327.76 0.143 322.9 0.135 303.46 0.143 322.9 0.141 318.04
Lampiran 8
160
LAMPIRAN HASIL ANALISIS STATISTIKA DATA
Explore Data Pretest Variabel
Perlakuan
TNF-α Plasma (Pretest)
debridemen
95% Confidence Interval for Mean
Debridemen plus fasiotomi
TNF-α Jaringan (Pretest)
Mean
debridemen
Statistic
Std. Error
422.3020
3.28192
Lower Bound
415.5559
Upper Bound
429.0481
5% Trimmed Mean
422.8730
Median
421.6640
Variance
290.817
Std. Deviation
17.05337
Minimum
381.47
Maximum
450.37
Range
68.90
Interquartile Range
28.71
Skewness
-.343
.448
Kurtosis
-.465
.872
Mean
424.4696
2.12453
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
420.1365
Upper Bound
428.8026
5% Trimmed Mean
424.7361
Median
424.5895
Variance
144.437
Std. Deviation
12.01818
Minimum
387.17
Maximum
450.50
Range
63.33
Interquartile Range
12.95
Skewness
-.450
.414
Kurtosis
2.438
.809
Mean
383.4608
2.80855
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
377.6877
Upper Bound
389.2338
5% Trimmed Mean
383.9571
Median
382.8530
Lanjutan lampiran 8
Debridemen dan fasiotomi
VEGF Plasma (Pretest)
debridemen
161
Variance
212.975
Std. Deviation
14.59368
Minimum
348.39
Maximum
407.47
Range
59.08
Interquartile Range
24.62
Skewness
-.356
.448
Kurtosis
-.438
.872
Mean
385.9094
1.69362
95% Confidence Interval for Mean
382.4552
Upper Bound
389.3635
5% Trimmed Mean
385.6238
Median
385.2925
Variance
91.787
Std. Deviation
9.58053
Minimum
363.09
Maximum
410.79
Range
47.71
Interquartile Range
9.46
Skewness
.622
.414
Kurtosis
1.731
.809
Mean
282.5030
2.22897
95% Confidence Interval for Mean
Debridemen dan fasiotomi
Lower Bound
Lower Bound
277.9212
Upper Bound
287.0847
5% Trimmed Mean
282.3095
Median
280.6280
Variance
134.144
Std. Deviation
11.58208
Minimum
264.36
Maximum
304.13
Range
39.78
Interquartile Range
19.89
Skewness
.343
.448
Kurtosis
-.885
.872
Mean
286.7375
1.80170
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
283.0629
Upper Bound
290.4121
Lanjutan lampiran 8 162
5% Trimmed Mean
286.5172
Median
285.0600
Variance
103.876
Std. Deviation
10.19195
Minimum
269.20
Maximum
308.24
Range
39.04
Interquartile Range
14.64
Skewness
.343
.414
Kurtosis
-.608
.809
Tes Normalitas
Variabel
Perlakuan
TNF-α Plasma (Pretestz) TNF-α Jaringan (Pretest) VEGF Jaringan (Pretest)
debridemen Debridemen dan fasiotomi debridemen Debridemen dan fasiotomi debridemen Debridemen dan fasiotomi
Statistic .954 .946
Shapiro-Wilk df 27 32
p .264 .113
.954 .938
27 32
.270 .066
.950 .973
27 32
.218 .590
df1
df2
p
Tes homogenitas varian Variabel TNF-α Plasma (Pretest)
TNF-α Jaringan (Pretest)
VEGF Plasma (Pretest)
Levene Statistic 6.407 6.158 6.158 6.605 8.171 7.797 7.797 8.413 .439 .359 .359 .437
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
57 57 56.612 57 57 57 55.638 57 57 57 55.667 57
.093 .066 .061 .081 .094 .071 .072 .083 .510 .552 .552 .511
Lanjutan lampiran 8
163
T-test Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F
Sig.
TNF-α Plasma (Pretest)
Equal variances assumed
6.407
.014
VEGF Plasma (Pretest)
Equal variances assumed
.439
.510
Independent Samples Test t-test for Equality of Means t
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
TNF-α Plasma (Pretest)
Equal variances assumed
-.571
57
.570
-2.16756
Equal variances not assumed
-.554
45.635
.582
-2.16756
VEGF Plasma (Pretest)
Equal variances assumed
-1.494
57
.141
-4.23454
Equal variances not assumed
-1.477
52.336
.146
-4.23454
Independent Samples Test t-test for Equality of Means Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
TNF-α Plasma (Pretest)
Equal variances assumed
3.79772
-9.77237
5.43724
Equal variances not assumed
3.90956
-10.03879
5.70367
VEGF Plasma (Pretest)
Equal variances assumed
2.83482
-9.91116
1.44209
Equal variances not assumed
2.86608
-9.98488
1.51580
Lanjutan lampiran 8
164
Explore data postes Variabel
perlakuan
TNF-α Plasma (Postes)
debridemen
95% Confidence Interval for Mean
Debridemen dan fasiotomi
VEGF Plasma (Postes)
Mean
debridemen
Statistic
Std. Error
390.9055
2.47333
Lower Bound
385.8215
Upper Bound
395.9895
5% Trimmed Mean
390.9624
Median
392.3670
Variance
165.169
Std. Deviation
12.85182
Minimum
368.69
Maximum
412.10
Range
43.41
Interquartile Range
23.68
Skewness
-.118
.448
Kurtosis
-1.083
.872
Mean
290.2643
2.90294
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
284.3437
Upper Bound
296.1848
5% Trimmed Mean
290.0749
Median
291.4980
Variance
269.665
Std. Deviation
16.42149
Minimum
259.54
Maximum
332.86
Range
73.32
Interquartile Range
25.38
Skewness
.064
.414
Kurtosis
.133
.809
Mean
289.1940
4.21701
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
280.5258
Upper Bound
297.8622
5% Trimmed Mean
289.4056
Median
283.4140
Variance
480.146
Std. Deviation
21.91224
Minimum
248.53
Lanjutan lampiran 8
Debridemen dan fasiotomi
Peningkatan TNF-α
debridemen
165
Maximum
327.48
Range
78.95
Interquartile Range
31.21
Skewness
-.128
.448
Kurtosis
-.908
.872
Mean
338.6950
3.55572
95% Confidence Interval for Mean
331.4431
Upper Bound
345.9469
5% Trimmed Mean
337.7331
Median
331.4050
Variance
404.581
Std. Deviation
20.11420
Minimum
303.46
Maximum
395.80
Range
92.34
Interquartile Range
30.38
Skewness
.858
.414
Kurtosis
.631
.809
Mean
31.3965
3.46052
95% Confidence Interval for Mean
Debridemen dan fasiotomi
Lower Bound
Lower Bound
24.2833
Upper Bound
38.5097
5% Trimmed Mean
31.4960
Median
32.7710
Variance
323.331
Std. Deviation
17.98141
Minimum
-9.51
Maximum
70.08
Range
79.60
Interquartile Range
20.08
Skewness
-.132
.448
Kurtosis
.429
.872
Mean
134.2053
2.56132
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
128.9815
Upper Bound
139.4292
5% Trimmed Mean
135.1557
Median
137.7525
Variance
209.931
Lanjutan lampiran 8
Peningkatan VEGF
debridemen
166
Std. Deviation
14.48900
Minimum
90.03
Maximum
158.33
Range
68.30
Interquartile Range
19.54
Skewness
-1.115
.414
Kurtosis
1.755
.809
Mean
15.0296
2.12012
95% Confidence Interval for Mean
Debridemen dan fasiotomi
Lower Bound
10.6716
Upper Bound
19.3875
5% Trimmed Mean
14.8339
Median
12.0780
Variance
121.363
Std. Deviation
11.01647
Minimum
-2.67
Maximum
35.89
Range
38.56
Interquartile Range
16.69
Skewness
.398
.448
Kurtosis
-.774
.872
Mean
51.9575
2.39340
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
47.0761
Upper Bound
56.8389
5% Trimmed Mean
51.3676
Median
53.6650
Variance
183.307
Std. Deviation
13.53910
Minimum
29.38
Maximum
92.44
Range
63.06
Interquartile Range
24.26
Skewness
.592
.414
Kurtosis
.849
.809
Lanjutan lampiran 8
167
Tes Normalitas perlakuan TNF-α Plasma (Postes) VEGF Plasma (Postes) Peningkatan TNF-α
Peningkatan VEGF
debridemen Debridemen dan fasiotomi debridemen Debridemen dan fasiotomi debridemen Debridemen dan fasiotomi debridemen Debridemen dan fasiotomi
Shapiro-Wilk Statistic df .962 27 .952 32
Sig. .407 .168
.956 .938
27 32
.293 .064
.985 .920
27 32
.951 .091
.952 .916
27 32
.242 .064
Tes Homogenitas Varian Variabel TNF-α Plasma (Postes) VEGF Plasma (Postes) Peningkatan en TNF-α Peningkatan VEGF
Levene Statistic 1.852
df1
df2
p
1
57
.179
.965
1
57
.330
.993
1
57
.323
1.471
1
57
.230
T-Test
TNF-α Plasma (Postes) VEGF Plasma (Postes) Peningkatan TNF-α Plasma
Peningkatan VEGF Plasma
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Levene's Test for Equality of Variances F Sig. 1.852 .179
.965
.330
.993
.323
1.758
.190
Lanjutan lampiran 8
168
t-test for Equality of Means t
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
TNF-α Plasma (Postes)
Equal variances assumed
25.848
57
.000
100.64127
Equal variances not assumed
26.389
56.711
.000
100.64127
VEGF Plasma (Postes)
Equal variances assumed
-9.040
57
.000
-49.50100
Equal variances not assumed
-8.974
53.452
.000
-49.50100
Peningkatan TNF-α Plasma
Equal variances assumed
-24.322
57
.000
-102.80883
Equal variances not assumed
-23.880
49.764
.000
-102.80883
Peningkatan VEGF Plasma
Equal variances assumed
-11.393
57
.000
-36.73046
Equal variances not assumed
-11.619
56.803
.000
-36.73046
t-test for Equality of Means Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
TNF-α Plasma (Postes)
Equal variances assumed
3.89355
92.84456
108.43797
Equal variances not assumed
3.81372
93.00359
108.27894
VEGF Plasma (Postes)
Equal variances assumed
5.47553
-60.46555
-38.53645
Equal variances not assumed
5.51601
-60.56253
-38.43947
Peningkatan TNF-αPlasma
Equal variances assumed
4.22703
-111.27332
-94.34434
Equal variances not assumed
4.30530
-111.45729
-94.16037
Peningkatan VEGF Plasma
Equal variances assumed
3.22409
-43.18659
-30.27434
Equal variances not assumed
3.16124
-43.06122
-30.39971
Lampiran 9 169
LAMPIRAN ANALISIS STATISTIKA PERBAIKAN KLINIS ULKUS Explore Perlakuan Descriptives LUMT minggu I
perlakuan debridemen
Debridemen dan fasiotomi
LUMT minggu II
debridemen
Debridemen dan fasiotomi
Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Lower Bound Upper Bound
Lower Bound Upper Bound
Lower Bound Upper Bound
Lower Bound Upper Bound
Statistic 34.5556 31.4285 37.6826 35.0864 36.0000 62.487 7.90488 12.00 46.00 34.00 8.00 -1.092 1.508 30.2188 26.6335 33.8040 30.1736 30.5000 98.886 9.94415 9.00 50.00 41.00 12.00 -.120 -.189 28.7037 26.3742 31.0332 29.1235 30.0000 34.678 5.88881 9.00 38.00 29.00 5.00 -1.377 3.941 22.5313 19.5497 25.5128 22.5972 23.0000 68.386 8.26959 8.00 37.00 29.00 14.25 -.358 -1.046
Std. Error 1.52130
.448 .872 1.75789
.414 .809 1.13330
.448 .872 1.46187
.414 .809
Lanjutan lampiran 9 170
LUMT minggu III
debridemen
Debridemen dan fasiotomi
LUMT Minggu IV
debridemen
Debridemen dan fasiotomi
Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Lower Bound Upper Bound
Lower Bound Upper Bound
Lower Bound Upper Bound
Lower Bound Upper Bound
27.4444 25.0449 29.8440 27.7963 30.0000 36.795 6.06588 9.00 38.00 29.00 9.00 -1.131 1.939 21.0000 18.0997 23.9003 21.1667 20.5000 64.710 8.04423 6.00 33.00 27.00 14.25 -.302 -1.072 26.2222 23.7656 28.6788 26.6872 29.0000 38.564 6.21000 8.00 34.00 26.00 8.00 -1.185 1.328 18.7500 15.5658 21.9342 18.7778 19.0000 78.000 8.83176 4.00 33.00 29.00 19.00 .082 -1.359
1.16738
.448 .872 1.42203
.414 .809 1.19512
.448 .872 1.56125
.414 .809
Lanjutan lampiran 9
171
Tes Normalitas Variabel LUMT Minggu I LUMT Minggu II LUMT Minggu III LUMT Minggu IV
perlakuan debridemen debdanfasio debridemen debdanfasio debridemen debdanfasio debridemen debdanfasio
Statistic .928 .963 .877 .925 .902 .919 .886 .921
Shapiro-Wilk df 27 32 27 32 27 32 27 32
p .061 .334 .077 .087 .061 .096 .066 .061
Tes Homogenitas Varian Variabel LUMT minggu I LUMT minggu II LUMT mingguIII LUMT minggu IV
Levene Statistic 1.197
df1
df2
p
1
57
.279
7.517
1
57
.082
2.931
1
57
.092
6.292
1
57
.094
T-Test
LUMT Minggu I LUMT Minggu II LUMT Minggu III LUMT Minggu IV
LUMT Minggu I LUMT Minggu II LUMT Minggu III LUMT Minggu IV
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
t 1.830
df
Levene's Test for Equality of Variances F p 1.197 .279
7.517
.008
2.931
.092
6.292
.015
t-test for Equality of Means p (2-tailed) Mean Difference 57 .073 4.33681
3.244
57
.002
6.17245
3.421
57
.001
6.44444
3.691
57
.001
7.47222
Lanjutan lampiran 9 172
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 2.37042 -.40987 9.08348
Std. Error Difference LUMT Minggu I LUMT Minggu II LUMT Minggu III LUMT Minggu IV
1.90261
2.36254
9.98237
1.88397
2.67187
10.21702
2.02436
3.41852
11.52593
Lampiran 10
173
LAMPIRAN HASIL ANALISIS STATISTIKA REGRESI LINIER
Correlations Peningkatan VEGF
Penurunan TNF-
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Peningkatan VEGF 1 59 0.753 0.000 59
Penurunan TNFa 0.753 0.000 59 1 59
Regression Variables Entered/Removedb Mod Variables Variables Method el Entered Removed 1 penTNFaa . Enter a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PeningkatanVEGF
Model Summaryb Adjusted R Model R R Square Square a 1 .753 .566 .559 a. Predictors: (Constant), penTNFa b. Dependent Variable: PeningkatanVEGF
ANOVAb Model Sum of Squares 1 Regression 16102.237 Residual 12331.092 Total 28433.329 a. Predictors: (Constant), penTNFa b. Dependent Variable: PeningkatanVEGF
df 1 57 58
Std. Error of the Estimate 14.70833
Mean Square 16102.237 216.335
F 74.432
Sig. .000a
Lanjutan lampiran 10
Coefficientsa Model
174
Unstandardized Coefficients
B Std. Error (Constant) 8.301 3.654 penTNFa .308 .036 a. Dependent Variable: PeningkatanVEGF
Standardized Coefficients Beta
1
.753
t
Sig.
2.272 8.627
.027 .000
Residuals Statisticsa Minimum Predicted Value 5.3701 Std. Predicted Value -1.787 Standard Error of Predicted 1.918 Value Adjusted Predicted Value 5.1215 Residual -27.69418 Std. Residual -1.883 Stud. Residual -1.929 Deleted Residual -29.05403 Stud. Deleted Residual -1.977 Mahal. Distance .003 Cook's Distance .000 Centered Leverage Value .000 a. Dependent Variable: PeningkatanVEGF
Charts
Maximum 57.0742 1.316 3.947
Mean 35.1486 .000 2.681
Std. Deviation 16.66208 1.000 .388
N 59 59 59
58.4340 48.49321 3.297 3.333 49.57171 3.682 3.194 .124 .055
35.1773 .00000 .000 -.001 -.02869 .006 .983 .016 .017
16.73233 14.58098 .991 1.007 15.04211 1.034 .589 .023 .010
59 59 59 59 59 59 59 59 59
Lanjutan lampiran 10
175