BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah
degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa : lahan kritis, lahan gundul, erosi pada lereng-lereng yang curam, sedimentasi di waduk atau di bagian hulu sungai, banjir kiriman atau bandang, tanah longsor serta kekeringan. Secara khusus bahkan Nawir dkk (2008) memperkirakan luasan lahan terdegradasi 54,6 juta ha dari lahan hutan yang mencakup kawasan hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung 41,7 juta ha lahan terdegradasi berada di luar kawasan hutan. Secara nasional, jumlah DAS yang mengalami degradasi cukup kritis sebanyak 105 diantaranya adalah DAS Solo merupakan salah satu DAS prioritas di Indonesia (Dephut, 2009). Makna dari kalimat di atas adalah DAS Solo sedang mengalami penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya alam serta degradasi atau kerusakan lingkungan. Permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan merupakan permasalahan yang multi-dimensional dan menurut pemerintah (pusat) DAS Solo perlu mendapat perhatian lebih melalui program-program prioritas dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya. Berdasarkan kekritisannya, kondisi lahan di DAS Solo terbagi dalam beberapa klasifikasi yaitu : sangat kritis dengan luas 770,21 Ha; kritis dengan luas 48.056,47 Ha; agak kritis dengan luas 478.753,88 Ha dan potensial kritis dengan luas 1
462.759,36 Ha dan selebihnya seluas 604.374,68 Ha merupakan lahan tidak kritis. Dari data diatas terlihat bahwa sepertiga lebih dari luasan DAS yaitu seluas 527.580,56 atau 33,08 % merupakan lahan kritis (BP DAS Solo, 2009). Upaya untuk mengatasi kerusakan hutan dan lahan telah dilakukan oleh berbagai pihak dari yang bersifat swadaya maupun campur tangan pemerintah dengan anggaran maupun kebijakan. Menurut Iskandar dan Nugraha (2004), pemerintah telah lama merespon kerusakan hutan dan lahan dengan berbagai macam kebijakan. Berbagai kebijakan pemerintah diimplementasikan dalam berbagai bentuk program maupun kegiatan, baik preventif maupun kuratif agar laju kerusakannya dapat dikurangi atau bahkan dihentikan. Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan sebuah solusi terhadap kerusakan hutan yang telah mencapai angka 43 juta ha atau lebih dari 33 % luas hutan Indonesia. Namun demikian, upaya RHL yang sudah diselenggarakan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan/Kementrian Kehutanan) berupa kegiatan reboisasi disinyalir gagal merehabilitasi dan mereboisasi hutan dan lahan. Proyek Inpres reboisasi dan penghijaiaun DAS kritis antara 1970/1980 gagal dan program penghijauan DAS kritis antara tahun 1970 dan 1974 juga tidak berhasil membangun hutan dan merehabilitasi lahan kritis. (Iskandar dan Nugroho, 2004;62-63) Pada dasarnya konsepsi RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS).
2
Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan (Dephut, 2000). Pemerintah secara khusus telah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan RHL yaitu dengan mengeluarkan peraturan perundangan berupa Peraturan Pemerintah (PP). Pada prinsipnya, kegiatan RHL dilakukan di dalam kawasan hutan maupun luar kawasan hutan. Kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan hutan dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional sedangkan rehabiltasi di luar kawasan hutan dilakukan di semua lahan kritis. Pada tahun 2010, Kementerian Kehutanan mencanangkan program Kebun Bibit Rakyat (KBR) sebagai program berskala nasional. Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) merupakan fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna Multi Purpose Tree Species (MPTS) yang prosesnya dibuat secara swakelola oleh kelompok tani. Sasaran penanaman bibit hasil Kebun Bibit Rakyat digunakan untuk merehabilitasi dan menanam di lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak produktif sebagai upaya percepatan rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi dengan fokus pada DAS prioritas yang rawan bencana (Kementerian Kehutanan, 2010) Berbeda dengan program sebelumnya yaitu Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan/GNRHL), yang dicanangkan pada tahun 2003 dengan menggunakan mekanisme pemberian bibit dan sarana lainya. Dalam Gerhan, masyarakat diberikan
3
bibit hasil dari proses pengadaan oleh pemerintah selanjutnya diserahkan ke Pemerintah Daerah/ Dinas yang menangani bidang Kehutanan untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun dalam program KBR, pemerintah memberikan stimulan kepada kelompok, berharap bisa memberdayakan dalam pembuatan persemaian dan tanaman yang dibuat secara swakelola. Jenis bibit yang akan diproduksi, direncanakan, dikerjakan serta diawasi sendiri oleh kelompok dengan pendampingan yang difasilitasi pemerintah. Untuk menunjang terlaksananya konsepsi program KBR, dibutuhkan pengawasan yang ketat dan kepastian bahwa penyaluran bantuan sosial memang diperuntukkan untuk kegiatan program KBR dan bukan untuk kepentingan yang lain. Sehingga dengan Program KBR diharapkan dapat menghasilkan kelompok yang berdaya dan mempunyai ketrampilan dalam pembuatan persemaian serta tanaman. Sebuah kebijakan hanya akan sekedar konsep belaka apabila tidak ada implementasinya. Begitupun dengan Program KBR, yang bertujuan sebagai sarana penyediaan bibit berkualitas, peningkatan pengetahuan masyarakat dalam pembuatan persemaian serta menanami lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak produktif. Tujuan tersebut tidak akan tercapai apabila program KBR tidak diimplementasikan dengan baik. Implementasi KBR seharusnya selalu dimonitor untuk melihat apakah implementasi telah berjalan sesuai dengan yang diinginkan dalam peraturan pelaksananya. Apakah KBR telah berjalan sesuai amanat aturan? Apakah proses implementasi telah sesuai atau belum? Apakah anggaran KBR telah mencukupi atau
4
belum? Apakah KBR telah benar-benar memberikan manfaat secara optimal kepada kelompok sasaran seperti yang diamanatkan dalam dasar hukumnya? Hal-hal inilah yang perlu diteliti untuk melihat apakah implementasi KBR telah berjalan optimal. Optimal dalam artian KBR telah berjalan “on the track” menuju arah tujuan yang telah ditetapkan dalam aturan. Apabila ternyata implementasi KBR masih menemukan
permasalahan/
kekurangan,
maka
penemuan
“permasalahan
/kekurangan” implementasi KBR ini bisa dijadikan bahan koreksi bagi perbaikan format implementasi KBR yang lebih baik ke depannya. Program KBR merupakan skala prioritas yang bersifat nasional yang dilaksanakan hampir oleh seluruh kabupaten dan kota yang ada di Indonesia. Dalam prakteknya, pelaksanaan KBR menemui beberapa permasalahan. Beberapa catatan terkait permasalahan dalam pelaksanaan KBR seperti hasil penelitan Safitri dan Fajarwati (2012) menemukan beberapa keluhan masyarakat selama pelaksanaan program yang diantaranya : 1). Bibit yang dibagikan memiliki kualitas yang beragam, sehingga pembagian bibit tidak merata. 2). Banyak masyarakat yang menerima bibit dengan kualitas buruk yaitu bibit yang masih terlalu kecil masih terlalu muda. 3).Banyak bibit yang mati ketika ditanam di lahan milik warga. Sementara Hidayat dkk (2012) dari hasil penelitiannya mengemukakan bahwa pelaksanaan KBR di Kabupaten Bandung Barat mengalami permasalahan diantaranya : Sumber Daya Manusia (SDM) penyuluh yang belum memadai, kekurangpahaman Kelompok dalam pengelolaan administrasi KBR.
5
B.
Rumusan masalah Memperhatikan dari apa yang sudah diuraikan dalam latar belakang tersebut,
bahwa pelaksanaan program KBR di Kabupaten Sragen sebagai salah satu administratif yang berada di daerah hulu, memiliki kedudukan dan fungsi yang penting dalam upaya mempertahankan fungsi perlindungan tata air di DAS Solo. Dalam pelaksanaannya, KBR sebagai salah satu bentuk kegiatan rehabilitasi tentu harus tetap mengacu kepada peraturan perundangan yang mengatur tentang pelaksanaaanya
yaitu
Permenhut
No
:P.24/Menhut-II/2010,
Permenhut
No
:P.46/Menhut-II/2010, Permenhut No :P.23/Menhut-II/2011 dan Permenhut No :P.17/Menhut-II/2012. Berdasarkan fenomena dan data empirik di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan implementasi program KBR di Kabupaten Sragen berpotensi mengalami ketidaksesuaian antara pelaksanaan dengan peraturan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diingini dalam konsepsi program. Program KBR di Kabupaten Sragen yang baru berjalan selama 5 tahun tentu masih memerlukan perbaikan dan koreksi dalam implementasinya. Hal ini dilakukan sehingga program KBR ataupun program sejenis dapat berjalan baik di waktu mendatang. Untuk melihat sejauh mana implementasi Program KBR di Kabupaten Sragen berjalan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
1.
Bagaimanakah implementasi kebijakan program KBR di Kabupaten Sragen ?
2.
Faktor - faktor apa yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan program KBR di Kabupaten Sragen ?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui implementasi kebijakan program KBR di Kabupaten Sragen.
2.
Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program KBR di Kabupaten Sragen.
D. 1.
Manfaat Penelitian Memberikan tambahan bukti empiris tentang pelaksanaan KBR di Kabupaten Sragen sekaligus memberikan bukti tentang faktor faktor yang mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan.
2.
Memberikan tambahan referensi tentang implementasi kebijakan dan tentang kebijakan pemberian stimulan untuk pembuatan bibit kepada masyarakat
7