1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Stroke merupakan masalah utama dalam pelayanan kesehatan dan sekaligus pembunuh nomor tiga di dunia. Stroke menjadi salah satu penyakit yang ditakuti karena menjadi penyumbang angka kematian yang cukup besar dengan perkembangan kematian akibat stroke mencapai 85,5% di dunia, dengan dua per tiga stroke sekarang terjadi di negara-negara berkembang. Secara global pada saat tertentu sekitar 80 juta orang menderita kelumpuhan akibat stroke. Terdapat 13 juta orang penderita stroke baru setiap tahunnya, dimana sekitar 4,4 juta diantaranya meninggal dalam 12 bulan. Terdapat sekitar 250 juta anggota keluarga yang berkaitan dengan para pengidap stroke yang bertahan hidup. Selama perjalanan hidup mereka, sekitar empat dari lima keluarga akan memiliki salah seorang anggota keluarga yang terkena stroke. Serangan stroke selalu datang mendadak tanpa tanda-tanda pasti. Stroke adalah penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah otak. Jika kejadian berlangsung lebih dari 10 detik akan menimbulkan kerusakan permanen pada otak (Feigin, 2006).
1
2
Di Indonesia, stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Rumah Sakit. Sekitar 500.000 penduduk Negara Indonesia setiap tahunnya terkena serangan stroke, 25 % diantaranya meninggal dunia dan sisanya mengalami cacat ringan maupun berat (Yastroki, 2007). Setiap 1000 orang, 8 orang diantaranya terkena stroke. Stroke merupakan penyebab utama kematian pada semua umur, dengan proporsi 15,4%. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke (Kemenkes RI, 2013). Penderita stroke di Indonesia memiliki prevalensi sebesar 8,3 per 1.000 populasi penduduk. Dengan jumlah populasi sekitar 211 juta jiwa, berarti terdapat sekitar 1,7 juta penderita stroke dan yang telah didiagnois oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1.000 penduduk, hal ini menunjukan sekitar 72,3% kasus stroke di masyarakat telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Sekitar 2,5% atau 250 ribu orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat dari jumlah total penderita stroke di Indonesia. Prevalensi stroke tertinggi dijumpai di Nangroe Aceh Darussalam (16,6%) dan terendah di Papua (3,8%). Terdapat 13 provinsi dengan prevalensi stroke lebih tinggi dari angka nasional (DEPKES RI, 2008). Stroke juga menjadi penyebab utama gangguan fungsional dengan 20% penderita membutuhkan institusi pelayanan setelah 3 bulan sejak serangan stroke, dan 15 % hingga 30 % cacat secara permanen. Sebagian besar stroke disebabkan karena adanya kombinasi dari berbagai faktor resiko yaitu hipertensi, kadar kolesterol dalam darah, mengerasnya arteri (atherosklerosis),
3
kelainan jantung, jenis kelamin, usia, diabetes, merokok, riwayat stroke dalam keluarga dan lainnya (Feigin, 2005). Stroke merupakan kumpulan gejala berupa gangguan sensorik dan motorik yang terjadi akibat adanya gangguan atau kerusakan sirkulasi darah di otak. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah serangan stroke tergantung dari bagian otak mana yang cedera, kiri maupun kanan (Harwood, 2010). Gangguan yang timbul bisa berupa gangguan-gangguan fungsi vital otak seperti gangguan koordinasi, keseimbangan, gangguan postural control, gangguan sensasi, dan gangguan refleks gerak yang akan menurunkan kemampuan aktifitas fungsional individu sehari-hari (Irfan, 2010). Setiap
aktivitas
baik
statis
maupun
dinamis
membutuhkan
keseimbangan. Keseimbangan adalah salah satu aspek penting dalam proses perbaikan pasien pasca stroke. Aktivitas yang dilakukan mengharuskan kita untuk bereaksi terhadap gravitasi, dan tubuh akan menyesuaikannya dengan tujuan untuk mempertahankan keseimbangan. Kemampuan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan merupakan normal postural reflex mechanism. Hal ini bergantung pada tonus normal otot. Tonus otot berkaitan dengan keadaan serat otot, aktifitas organ, viskositas otot, dan jaringan ikat. Penyebab terjadinya pergantian tonus adalah adanya kontraksi otot (Raine, 2006). Salah satu parameter dalam mengukur kemajuan ataupun kemunduran kemampuan keseimbangan pasien pasca stroke yaitu dengan Brunel Balance Assessment (BBA). BBA merupakan sebuah alat ukur yang valid dan reliabel serta didesain untuk mengukur perubahan dalam waktu yang cepat setelah
4
intervensi dan mengukur kemampuan keseimbangan fungsional pasien pasca stroke. Tes ini juga murah, simple dan mudah digunakan (Tyson & DeSouze, 2004). Untuk meningkatkan keseimbangan pada pasien pasca stroke maka dibutuhkan pelayanan kesehatan yang salah satu timnya adalah fisioterapi. Tindakan fisioterapi khususnya pada pasien pasca stroke memiliki tujuan utama yaitu untuk meningkatkan kemampuan fungsional. Berbagai macam treatment diberikan guna untuk meningkatkan kemandirian pasien. Namun, semua ini tidak bisa didapatkan secara instan. Berbagai proses harus dilewati, mulai dari meningkatkan kemampuan gerak pasien dalam posisi terlentang, miring kanan kiri, bangun dari posisi terlentang ke duduk, mempertahankan diri dalam posisi duduk, bangun dari posisi duduk ke berdiri dan mempertahankan posisi pada posisi berdiri, sampai kepada kemampuan pasien dalam berjalan. Untuk itu penulis lebih memfokuskan penelitian ini ke dalam peningkatan keseimbangan pada pasien pasca stroke. Berdasarkan PerMenKes RI No 80 Tahun 2013 tentang peran fisioterapi disebutkan bahwa fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi. Hal ini sesuai dengan kebijakan World Confederation of Physical Therapy pada Declaration of Principle dan Position Statement: Description of Physical Therapy pada
5
General Meeting, Juni 2007 menyatakan bahwa fisioterapi memberikan pelayanan kepada individu dan masyarakat untuk meningkatkan, memelihara dan memperbaiki gerak dan kemampuan fungsional sepanjang daur kehidupannya, dimana gerak fungsional merupakan inti dari arti sehat bagi individu. Berbagai macam modalitas atau teknologi fisioterapi yang dapat digunakan untuk meningkatkan keseimbangan pada penderita stroke adalah metode
Bobath,
Proprioceptive
Neuromuscular
Facilitation
(PNF),
Feldenkrais, Brunnstrøm, Motor Relearning Programme (MRP), Constraint Induce Movement Therapy (CIMT) dan Functional Strength Training (FST) (Coleman, 2007). Pada penelitian ini dipilih metode Bobath dan Feldenkrais oleh karena kedua metode ini mempunyai konsep pendekatan yang menarik dalam mempengaruhi central nervous system untuk memperbaiki keseimbangan. Selain itu belum ada penelitian sebelumnya yang membandingkan kedua penelitian tersebut, sehingga peneliti tertarik membandingkan kedua penelitian tersebut. Bobath merupakan sebuah konsep dengan pendekatan problem solving yaitu cara pemeriksaan dan tindakan secara individual yang diarahkan pada tonus, gerak dan fungsi akibat lesi pada system saraf pusat. Tujuan dari intervensi dengan metode Bobath adalah optimalisasi fungsi dengan peningkatan kontrol postur dan gerakan selektif melalui fasilitasi (IBITA, 1995). Metode ini sangat baik untuk bisa meningkatkan keseimbangan pada
6
pasien pasca stroke (Raine, 2006; IBITA, 2007). Menurut penelitian yang dilakukan Smedal et al, pada tahun 2006 bahwa pelatihan dengan metode Bobath yang dilakukan 4-6 minggu dapat meningkatkan keseimbangan. Metode Feldenkrais adalah cara latihan motorik berupa integrasi fungsional dengan mengkomunikasikan sensasi spesifik dengan sistem saraf pusat. Metode Feldenkrais bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh menyadari gerakan-gerakan yang dibentuk, mengurangi nyeri, keterbatasan gerak,
meningkatkan
keseimbangan
serta
meningkatkan
kebugaran
tubuh, sehingga tubuh dapat bergerak lebih efektif dan efisien (Ginsburg, 2010). Mekanisme pelatihan metode Feldenkrais untuk meningkatkan keseimbangan yaitu dengan terjadinya functional integration dan Awareness Through Movement (ATM) dimana akan memberikan informasi ke individu agar berperan aktif dan akan memberikan fasilitasi untuk meningkatkan kekuatan ototnya. Menurut penelitian, pelatihan dengan metode Feldenkrais yang dilakukan selama 6 minggu dapat meningkatan keseimbangan (Batson, 2005). Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat topik tersebut kedalam bentuk penelitian, yakni dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pelatihan metode Bobath dan pelatihan metode Feldenkrais terhadap peningkatan keseimbangan pada pasien pasca stroke yang akan dipaparkan dalam bentuk penelitian dengan judul “Pelatihan Metode Bobath Lebih Baik Daripada Pelatihan Metode Feldenkrais Terhadap Peningkatan Keseimbangan Pada Pasien Pasca Stroke”.
7
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini apakah pelatihan metode Bobath lebih baik daripada metode Feldenkrais terhadap peningkatan keseimbangan pasien pasca stroke?
1.3 Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Pada penelitian ini peneliti bertujuan untuk mengetahui pelatihan metode Bobath lebih baik daripada metode Feldenkrais terhadap peningkatan keseimbangan pasien pasca stroke.
2.
Tujuan Khusus Untuk membuktikan pelatihan metode Bobath lebih baik daripada metode Feldenkrais terhadap peningkatan keseimbangan pasien pasca stroke.
1.4 Manfaat Penelitian 1.
Bagi Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada institusi mengenai manfaat pelatihan metode Bobath lebih baik daripada metode Feldenkrais untuk pasien pasca stroke, serta dapat juga menjadi
bahan
masukan
dan
menambah
pengembangan ilmu fisioterapi di Indonesia.
pengetahuan
dalam
8
2.
Bagi Pendidikan Sebagai referensi tambahan dan bahan masukan dalam program penyuluhan terhadap penderita pasca stroke dan keluarganya sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
3.
Bagi Peneliti Adanya penelitian ini, membuat peneliti dapat mengetahui sejauh mana pengaruh pelatihan metode Bobath lebih baik dari pada metode Feldenkrais untuk pasien pasca stroke.
4. Bagi tempat penelitian Hasil dari penelitian diharapkan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan fisioterapi di tempat tersebut khususnya bagi pasien pasca stroke yang mengalami gangguan keseimbangan. 5. Bagi masyarakat Hasil penelitian diharapkan bisa menjadi panduan bagi masyarakat khususnya yang memiliki keluarga pasien pasca stroke.