BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hubungan antara Negara Indonesia dengan Belanda memiliki sejarah yang panjang. Diawali dengan Pada tahun 1595 Belanda mengirimkan tim ekspedisi menuju Nusantara dengan pimpinan Cornelis de Houtman1 yang melakukan penjelajahan dan kemudian tiba di Banten pada tahun 1596. Cornelis de Houtman adalah seorang Belanda yang telah lama bekerja dengan Portugis, dimana Pelaut-pelaut Portugis saat itu sangat unggul dalam banyak hal. Satu tahun kemudian Cournelis mendarat di Banten dimana merupakan pelabuhan utama ketika itu. Pada tahun 1597 Cornelis de Houtman kembali ke Belanda dengan membawa banyak muatan yang berisi rempah-rempah mendorong para penjajah lainnya yang berasal dari Belanda untuk datang ke Indonesia. Kemudian penjajahan dilakukan oleh Perusahaan asal Belanda yang dikenal dengan VOC atau Verenigde Oostindische Compagnie2 Berdiri pada 20 Maret 1602 atas usul Johan van Olderbarnevelt. Sebuah organisasi dagang yang kewenangannya sama dengan kewenangan sebuah Negara. VOC yang memulai hubungan dengan Indonesia dengan 1 2
Ensiklopedia Pelajar,1999 Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, 1998
1
jalan perdagangan rempah-rempah yang secara lambat laun mulai memonopoli perdagangan di Indonesia ketika itu dan mulai menguasai wilayah Indonesia. Seluruh penguasa di Eropa, pedagang serta RajaRaja membahas mengenai Negeri Selatan yang sangat kaya. Dengan terus melakukan monopoli terhadap perdagangan di wilayah Indonesia banyak dari Pemimpin suatu wilayah Indonesia yang ditaklukan oleh VOC yang kemudian dijadikan wilayah boneka oleh VOC. Selama hampir 200 tahun lamanya VOC terus melakukan praktek monopoli sehingga Indonesia berada dibawah pemerintah Belanda. Akan tetapi ke suksesan VOC dalam melakukan monopoli juga berdampak buruk bagi VOC sendiri, VOC mengalami kemunduran yang disebabkan oleh korupsi yang dilakukan oleh para anggota VOC sendiri dan ketidakmampuan VOC untuk bersaing dengan organisasi lainnya. Sehingga VOC mengalami krisis keuangan yang mengakibatkan dibubarkannya VOC pada 1799 Ternyata setelah dibubarkannya VOC penderitaan rakyat Indonesia tidak berhenti begitu saja, akan tetapi sebaliknya penderitaan rakyat Indonesia semakin buruk. kemudian Pemerintah Belanda memberlakukan sistem tanam paksa yang semakin memperburuk keadaan rakyat Indonesia3. Hal tersebut terus berkelanjutan selama hampir ratusan tahun lamanya. Indonesia terus berada dibawah penjajahan Belanda, hingga pada 8 Desember 1947 yakni lebih tepatnya 3
Perkembangan Kolonialisme Barat dan pengaruhnya di Indonesia, hal 87
2
ketika terjadinya Agresi Militer Belanda I4, telah terjadi pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda kepada penduduk Indonesia yang bertempat tinggal di Rawagede, wilayah yang terletak di Desa Balongsari , Rawamerta, Karawang yang berlokasi diantara Karawang dan Bekasi. Telah terjadi pembantaian yang terjadi sehari setelah ditanda tanganinya perjanjian Renville5
memakan korban sebanyak 4316 penduduk
Indonesia yang betempat tinggal di Rawagede. Dengan tujuan melakukan pembersihan terhadap TNI yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda . Tokoh yang paling dicari saat itu adalah Kapten Lukas Kustario7
yang merupakan Komandan Kompi
Siliwangi dan juga menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi. Beliau berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Dengan alasan bahwa rakyat Rawagede ketika itu telah ikut menyembunyikan pemberontak dan tidak bekerjasama dengan Tentara Belanda dalam menangkap pemberontak. Berbeda dengan anggapan rakyat Rawagede dimana mereka mengganggap Kapten Lukas Kustario 4
Sejarah Nasional Indonesia, hal 220 Perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 diberi nama sesuai dengan nama dimana tempat perjanjian ditandatangani yaitu Kapal Perang Amerika – USS Renville yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. 6 Diunduh pada tanggal 10/12/12, http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/10/netherlands-regret-rawagedetragedy.html 7 Diunduh pada tanggal 11/11/11, The Jakarta Post 5
3
sebagai pahlawan rakyat, sehingga banyak dari penduduk Rawagede yang melindungi keberadaan Kapten Lukas Kustario dengan tidak memberitahukan keberadaannya kepada Tentara Belanda. Hal tersebut ternyata memancing emosi Pemimpin Tentara Belanda pada saat itu, dipimpin Mayor Alphons Wijnen, yang kemudian memberikan perintah kepada Tentara Belanda untuk menembak mati seluruh penduduk lakilaki dan membakar rumah-rumah warga8. Ketika kejadian tersebut beberapa dari penduduk berhasil selamat namun mengalami luka dan cacat fisik akibat terkena tembakan dari Tentara Belanda. Setelah itu Tentara Belanda pergi meninggalkan Rawagede dikarenakan tidak berhasil menemukan atau mengetahui keberadaan dari Kapten Lukas Kustario. Para korban pembantaian ditinggalkan begitu saja. Membuat sungai menjadi sungai yang dialiri darah. Para wanita kemudian menguburkan dan menggali liat kubur untuk para korban lakilaki dengan peralatan seadaannya sehingga dalam beberapa hari bau anyir dari para korban masih tercium di wilayah Rawagede. Setelah 64 tahun lamanya kisah pembantaian yang keji dilakukan oleh Tentara Belanda terkubur begitu saja, tidak ada satupun yang memperdulikan akan nasib dan kelangsungan hidup dari para jandajanda korban pembantaian yang terjadi di Rawagede. Pemerintahpun seakan-akan tidak memperdulikan para janda korban Rawagede. 8
Diunduh pada tanggal 3/3/12, http://news.okezone.com/read/2011/12/09/337/540100/kisah-panjangkorban-tragedi-rawagede
4
Pemerintah hanya berdiam diri atas penderitaan yang dirasakan oleh para korban Rawagede yang selamat hingga saat ini. Pemerintah Indonesia hanya memberikan perhatian simbolik saja, seperti pembuatan monument Rawagede9 dan Pemerintah menyalurkan masalah ini serta memberikan wewenang atas kasus Rawagede kepada Komisi Jasa Baik untuk Indonesia (Committee of Good Offices for Indonesia)10 serta mendukung tindakan para korban dengan memberikan kritikan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh Tentara Belanda yang disebut sebagai Delibrate and ruthless11 . Sejak terjadinya pembantaian hingga saat dimana para janda berinisiatif sendiri untuk meminta keadilaan atas kejahatan yang dilakukan oleh Tentara Belanda hingga ke pengadilan di Den Hag, Belanda. Pemerintah sendiri selaku Badan yang seharusnya melindungi hak rakyatnya12, tidak berupaya untuk melakukan lobby atau perundingan dengan pemerintah Belanda atas tindakan yang dilakukan oleh Tentara Belanda di Rawagede ketika itu yang memakan korban 431 penduduk Indonesia. Hingga pada pertengahan tahun 2011 para janda korban pembantaian yang terjadi pada 9 Desember 1947 di Rawagede memiliki inisiatif 9
Diunduh pada tanggal 12/12/11, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/248048kontras--perhatian-ke-rawagede-hanya-simbolis 10 Pemerintah Indonesia tak mau mendukung secara terbuka upaya Komite Utang Kehormatan Belanda (Comite Nederlandse Ereschulden/KUKB) ataupun berkomentar terhadap keberhasilan gugatan para janda korban Rawagede terhadap Pemerintah Belanda. 11 Tindakan yang dilakukan secara sengaja dan kejam 12 Diunduh pada tanggal 10/10/11, Korban Rawagede: Presiden, Bantulah Kami, Vivanews.com
5
sendiri untuk meminta keadilan dan menuntut pihak Belanda untuk bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan pada korban Rawagede dan memberikan ganti rugi yang sepadan atas penderitaan yang dialami oleh para korban Rawagede. Sebenarnya para janda korban Rawagede sudah menuntut pihak Belanda sejak tahun 2008, akan tetapi tuntutan tersebut selalu kandas dan dinyatakan sudah kadaluwarsa oleh pengadilan Belanda. Dengan meminta dukungan kepada Pemerintah Indonesia melalui DPR, DPR memberikan dukungan walaupun secara tidak resmi. Hal tersebut cukup mengecewakan para janda korban pembantaian Rawagede, namun dengan tekad yang kuat akhirnya para korban terus maju untuk menuntut pihak Belanda atas kejahatan yang telah merugikan penduduk Rawagede hingga saat ini. Pada bulan September 2011 akhirnya Belanda menerima tuntutan dari para janda korban pembantaian Rawagede. Para janda yang didampingi oleh Liesbeth Zegveld13
berusaha menuntut keadilan atas tindakan
Pemerintah Belanda pada masa itu dan menuntut pihak Belanda agar dikenakan dakwaan kriminal atas pembantaian yang dilakukan di Rawagede. Namun tuntutan yang diajukan oleh para janda korban pembantaian Rawagede tidak diterima begitu saja oleh pihak Belanda. 13
Liesbeth Zegveld, seorang pengacara dan guru besar Hukum Humaniter Internasional serta pengagas Yayasan Belanda Nuhanovic Foundation. Perempuan asal Belanda yang menjadi pengacara sukarela bagi janda korban Rawagede, Guru Besar Hukum Humaniter Internasional dan pendiri Yayasan Belanda Nuhanovic Foundation
6
Pihak Belanda kemudian membentuk tim investigasi untuk kasus ini Rawagede,
tim
yang
digunakan
untuk
meneliti
kasus-kasus
penyimpangan yang dilakukan oleh Tentara Belanda pada tahun 1945 hingga 1950. Kemudian hasil dari investigasi yang dilakukan oleh Tim Kepolisian Belanda untuk kasus Rawagede dituangkan kedalam buku De Excessennota
dimana didalam buku tersebut dituliskan bahwasanya
korban yang terbunuh di Rawagede ketika itu adalah 150 orang, namun para janda korban perbantaian yang ketika itu menjadi saksi mata mengatakan bahwa jumlah korban tersebut salah dan yang benar adalah 431 orang sesuai dengan angka yang tertulis pada batu peringatan yang terdapat di Rawagede. Hal tersebut kemudian menjadi perdebatan dikalangan para sejarawan Belanda karena para sejarawan menemukan bukti yang berbeda dengan yang tertulis di buku De Excessennota14. Kurangnya peran Pemerintah Indonesia dalam mencari keadilan dari kasus pembantaian yang terjadi di Rawagede pada tahun 1947 sangatlah memprihatinkan, dimana suatu Negara seharusnya melindungi hak hidup para penduduk sipil. Menurut ahli sejarah kejahatan perang, Stef
14
Dokumen atau nota yang berisi penelitian tentang tindakan yang dilakukan oleh militer Belanda pada tahun 1945-1950 yang terjadi di Indonesia
7
Scagliola, Pemerintah Indonesia tak pernah mengutik-utik kejahatan perang Belanda guna menutupi kejahatan di negeri sendiri15. Dimana tindakan yang dilakukan oleh Tentara Belanda ketika itu sangatlah salah dan termasuk pelanggaran keras yang dilakukan oleh pihak militer kepada rakyat sipil dan hal tersebut haruslah diberi sanksi yang keras agar tidak terulang kembali kepada Negara lainnya kelak. Tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang hanya berdiam diri dan hanya sekedar memantau apa yang dilakukan oleh para janda korban Rawagede tanpa sedikitpun memberikan kemudahan bagi para korban16, sungguh memprihatinkan dimana Pemerintah Indonesia hanya dapat memberikan peringatan berupa kritikan kepada Pemerintah Belanda atas pembantaian yang terjadi ketika itu dikarenakan ketakutan pemerintah Indonesia atas kejahatan HAM dalam negeri yang dikhawatirkan akan dibuka oleh pihak Belanda apabila pemerintah Indonesia terlalu ikut campur dalam masalah HAM dan hingga saat ini pihak pemerintah Indonesia tidak memberikan bantuan materil maupun non materil kepada para janda korban Rawagede, sehingga para janda korban Rawagede harus mencari
15
Dikutip dari http://internasional.kompas.com/read/2011/09/22/05502782/Jeffrey.Ingin.Bongkar.Keja hatan.Belanda (2011,09,22) 16 Tidak adanya bantuan secara resmi dari pemerintahan Indonesia, tak sekalipun parlemen Indonesia membahas mengenai pembantaian Rawagede, dikutip dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/09/lvxhcuperjuangkan-kasus-rawagede-tak-ada-sedikitpun-perhatian-dari-pemerintah
8
keadilan sendiri hingga ke pengadilan di Den Hag, Belanda guna melanjutkan hidup.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut; Mengapa Pemerintah Indonesia kurang berperan dalam menuntut pertanggung jawaban Belanda atas perlakuannya terhadap penduduk Rawagede yang terjadi pada 1947 ?
Kerangka Pemikiran/Teori yang digunakan a)
Teori Hukum Humaniter Internasional Dalam teori ini terkandung instrument kebijakan yang dapat
dijadikan pedoman yang dapat digunakan oleh semua aktor Internasional untuk mengatasi isu Internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang. Memuat aturan-aturan tentang perlindungan korban perang17 yang landasan utamanya ialah konvensi-konvnsi janewa (The Geneva Convention).
17
Hukum Humaniter Internasioanl dalam studi Hubungan Internasional, Hal 27-28
9
Menurut Jean Pictet18, yang menulis buku tentang “The Principle of International Humanitarian Law”. Dalam buku tersebut, Pictet membagi Hukum Humaniter menjadi dua golongan besar, yaitu : 1. Hukum Perang, yang dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu : •
The Hague Laws, atau hukum yang mengatur tentang alat dan cara berperang, dan
•
The Geneva Laws, atau hukum yang mengatur tentang perlindungan para korban perang.
Kemudian Pictet memberikan definisi Hukum Humaniter sebagai berikut: “International Humanitarian Law, in the wide sense, is constituted by all the international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for individual and his well being”. Yang dapat diartikan sebagai Hukum Perikemanusian itu memiliki arti yang luas, akan tetapi didasari oleh semua ketentuan Hukum Internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, dimana hal tersebut menjamin penghormatan atas diri individu dan untuk kebaikan individu. Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam dua pengertian, yaitu hukum perang dalam yang sebenarnya (the laws of war properly socalled), yaitu hukum den Haag; dan hukum humaniter dalam pengertian 18
Definisi Hukum Humaniter Internasional http://arlina100.wordpress.com/2008/11/11/definisi-hukum-humaniter/
10
yang sebenarnya (humanitarian law properly so-called), yaitu hukum Jenewa. Konvensi Jenewa disepakati pada 12 Agustus 1949 di Jenewa, Swiss. Merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 194919.
Keempat Konvensi Jenewa adalah: 1. Konvensi Jenewa Pertama, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949) 2. Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)
19
Diunduh pada tanggal 27 Agustus 2012 , 13.46 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Humaniter_Internasional
11
3. Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949] 4. Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907) Aturan-aturan dasar HHI20 1. Orang yang tidak ikut berperang dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi. 2. Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah atau yang tidak ikut berperang adalah dilarang. 3. Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan
Sabit
Merah”
harus
dihormati
sebagai
tanda
perlindungan. 4. Tentara dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan. 20
Ibid, Hal 50-52
12
5. Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat. 6. Pihak peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang. 7. Pihak peserta konflik harus membedakan antara penduduk sipil dan Tentara. Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer21. Warga sipil yang dilindungi HARUS; 1) Diperlakukan secara manusiawi setiap saat dan dilindungi terhadap tindakan atau ancaman kekerasan, penghinaan dan keingintahuan publik. 2) Berhak untuk dihormati, hak keluarga, keyakinan dan praktek keagamaan, dan tingkah laku mereka dan adat istiadat. 3) Khusus dilindungi, misalnya di zona keselamatan, jika luka, sakit, tua, anak di bawah 15, ibu hamil atau ibu dari anak di bawah 7. 4) Keluarga harus ditempatkan bersama-sama dan disediakan fasilitas untuk melanjutkan kehidupan keluarga secara normal. 21
Catatan; Setelah konflik berakhir, orang yang telah melakukan pelanggaran apapun atas Hukum Perang, terutama kekejaman, boleh dimintai pertanggungjawaban individual atas kejahatan perang melalui proses hukum.
13
Warga sipil terluka atau sakit, rumah sakit sipil dan staf, dan transportasi rumah sakit darat, laut atau udara harus dihormati khusus dan dapat ditempatkan di bawah perlindungan lambang salib/ bulan sabit merah22. Warga Sipil Dilindungi Dilarang; 1) Diskriminasi karena alasan ras, agama atau politik. Dilarang untuk paksa memberikan informasi. 2) Digunakan untuk melindungi operasi militer atau membuat area kebal dari operasi militer. 3) Dihukum untuk kesalahan yang tidak dilakukan. 4) Perempuan dilarang keras untuk diserang, diperkosa, atau dipaksa menjadi pelacur23. Jadi berdasarkan poin-poin diatas Belanda telah melanggar Konvensi Jenewa24, karena Belanda telah melakukan tindakan pembantaian yang mengakibatkan penderitaan dan kerugian bagi para korban pembantaian dimana para korban merasa dirugikan dengan terputusnya ekonomi. Seharusnya Pemerintah Indonesia turut andil dan proaktif dalam membantu para korban pembantaian yang menuntut pihak Belanda untuk 22
International Committee of the Red Cross (ICRC) sebuah komite yang berpusat di Jenewa, Swiss. 23 Sumber; Third Geneva Convetion(POW), 1949. 24 Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949, United States Government Printing Office Washington: 1955.
14
memberikan hak-hak para warga sipil yang dulu telah direnggut secara paksa oleh pihak Belanda dimana seharusnya warga sipil dilindungi.
b)
Teori Kedaulatan
Istilah kedaulatan atau “sovereignity” berasal dari kata latin yaitu “superanus” yang sinonimnya kata “supernius” atau “hiperbus” atau “superus” yang berarti titik yang tertinggi. Jadi Savereignity diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi25. Dari sejarah kelahiran, perkembangan maupun pelaksanaan diberbagai Negara, konsep Negara Hukum sangat dipengaruhi dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat, asas demokasi serta asas konstitusional, karena hukum yang bersumber dari rakyat, untuk rakyat, dan dibuat oleh rakyat melalui wakilnya yang dipilih secara konstitusional. Terdapat beberapa elemen yang penting sebagai syarat mutlak Negara Hukum, yaitu26 : •
Asas pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia
•
Asas legalitas
•
Asas pembagian kekuasaan Negara
•
Asas peradilan bebas dan tidak memihak
25 26
Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bahder Johan Nasution, hal 48-51 Ibid, hal 52-53
15
•
Asas kedaulatan rakyat
•
Asas demokrasi
•
Asas konstitusional
Dalam teori diatas ditekankan bahwa suatu Negara hukum27 memiliki syarat mutlak untuk memberikan jaminan dan perlindungan serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Pemerintah harus menjamin bahwa ditengah masyarakat terdapat instrumen penegak hukum guna melindungi masyarakat.
Hipotesa Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas dengan menggunakan kerangka konseptual maka dapat ditarik suatu hipotesa atau jawaban sementara sebagai berikut; Lemahnya peranan Pemerintah Republik Indonesia dalam penyelesaian kasus pembantaian penduduk di Rawagede
karena
tidak
adanya
keharusan
bagi
pemerintah Indonesia untuk mendampingi para korban Rawagede, tidak adanya suatu undang-undang yang menyatakan bahwasanya pemerintah Indonesia harus 27
Tertulis pada pasal 1 ayat (3) UUD tahun 1945 dikatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum tidak atas kekuasaan belaka.
16
mendampingi para korban selama proses penuntutan hal tersebut
yang
Pemerintah
mengesankan
Indonesia
serta
lemahnya ketika
peranan terjadinya
pembantaian Indonesia belum merdeka sepenuhnya secara hukum dari Belanda. Hal ini disebabkan karena Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 1945 sehingga ketika itu Rawagede masih dianggap sebagai salah satu wilayah dari
kerajaan
Belanda.
Kerajaan
Belanda
baru
memberikan kemerdekaan pada Indonesia pada KMB 29 Desember 1949 dengan perjanjian tidak akan mempersoalkan berbagai kasus kejahatan perang yang terjadi sebelumnya.
Tujuan penelitian 1) Ingin menggunakan dan mengaplikasikan Ilmu yang telah didapatkan selama mengenyam pendidikan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jurusan Hubungan Internasional dalam bentuk suatu karya ilmiah yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari. 2) Tujuan dari diangkatnya masalah diatas adalah dengan maksud ingin mengetahui peran dari Pemerintah Indonesia terhadap korban
17
Rawagede yang selamat dari pembantaian yang terjadi pada 8 Desember 1947, 3) Untuk mengetahui alasan dibalik lemahnya peranan pemerintah Indonesia dalam menuntut pihak Belanda atas kasus Rawagede.
Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan ini penulis mencoba menganalisa permasalahan dengan menerapkan studi pustaka dan berbagai sumber yang ada seperti buku-buku, referensi, surat kabar, majalah, internet, dan berbagai pendukung lainnya.
Jangkauan Penelitian Untuk memberikan jangkauan yang jelas dalam penulisan ini, maka penulis memberikan batasan yang diawali dengan ditanda tanganinya perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 sampai dengan 2011, dimana selama 64 tahun kasus ini pernah dilupakan. Hingga tuntutan para korban Rawagede tersebut diterima oleh pihak Belanda dan pihak Belanda dinyatakan bersalah pada Desember 2011.
18
Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 bab dengan berbagai subtopik pembahasan, sebagai berikut; BAB I
akan berbicara alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teoritik, hipotesa, metodologi penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
akan berbicara Pemerintah Belanda khususnya sejarah Hubungan
Pemerintahan
dengan
Indonesia,
dan
Pemerintah Belanda dalam kasus Rawagede. BAB III
akan berbicara Pemerintah Indonesia khususnya Sejarah
Hubungan
Luar
Negeri
Pemerintahan
Indonesia, Peran dan Posisi Pemerintah Indonesia dalam kasus Rawagede serta alasan atau penyebab lemahnya
peranan
pemerintah
Indonesia
dalam
menuntut tanggung jawab pihak Belanda atas kasus pembantaian yang terjadi di Rawagede. BAB IV
Penutup / Kesimpulan, berisi ringkasan singkat tentang penelitian yang disusun oleh penulis dari seluruh halhal yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya.
19