BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak memproklamirkan kemerdekaanya pada tahun 1945, bangsa Indonesia masih terjadi praktek-praktek imperialisme. Imperialisme dapat dicirikan oleh adanya hubungan superior-inferior dengan keadaan yang menggambarkan wilayah dan rakyatnya tunduk terhadap negara asing1. Pada awalnya imperialisme masuk melalui bentuk ekspansionisme dari negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ketiga. Pengaruh pihak asing tidak hanya melalui bentuk kolonialisasi fisik, seperti yang dilakukan oleh Belanda, Inggris atau Jepang dulu. Tetapi juga intervensi pihak asing juga melalui mekanisme ekonomi, politik, sosial, budaya. Pada esensinya kemerdekaan yang dapat diartikan dengan kebebasan dari pengaruh pihak asing, tidak terjadi pada Indonesia. Praktek dekolonialisasi masih terjadi, yaitu masih dominannya perusahaan transnasional yang menguasai sumber daya Indonesia sejak masa kolonialisme, yang kedua adalah pasca penandatanaganan KMB (Konferensi Meja Bundar) Indonesia sudah langsung terjebak pada hutang luar negeri, yaitu hutang pemerintahan kolonial Belanda yang dialihkan kepada Indonesia. Negara pasca kolonial tidak hanya berarti peralihan kekuasaan pemerintahan dari bangsa asing ke inlander,tapi kemerdekaan seutuhnya.
1
Imperialisme menurut Kamus Politik adalah Sistem Politik yang bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang lebih besar (B.N.Marbun.SH, Kamus Politik,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2003 hal. 218).
1
Dalam konteks hari ini yang disebut dengan era globalisasi2, dengan neoliberalisme sebagai ideologinya, semakin terasa seakan-akan sudah terjadi borderless antara negara satu dengan yang lain. Globalisasi menurut Amartya Sen,pemenang Nobel Ekonomi 2000,menegaskan bahwa Globalisasi adalah proses yang membutuhkan peran aktif interaksi manusia, yang meliputi travel, trade, migration, dan penyebaran pengetahuan yang menentukan kemajuan dunia di era millennium.
Hal itu tentu membawa konsekuensi yang sangat dasar bagi
kelangsungan hidup umat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
telah
mendorong
terjadinya
perkembangan di berbagai bidang sektor kehidupan. Di sisi lain, globalisasi dengan sistem ekonomi neoliberalismenya tersebut juga membawa ekses negatif, dampaknya lebih memunculkan kelompok negara yang dikategorikan Winner dan Losser. Neo-liberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada pengertian ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan kepada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme sangat erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara politis, menggunakan tekanan pada sektor ekonomi, diplomasi, atau intervensi militer. Gerakan ini mulai berkembang pada tahun 19791980, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari Margaret Thatcher.
2
Dalam prespektif Hubungan Internasional, globalisasi sering diartikan sebagai hubungan keterkaitan (interconnectedness) dan saling ketergantungan antar benua yang berbeda dalam berbagai aspek, dari kriminal hingga aspek budaya, dari aspek keuangan hingga spiritual.
2
Dimana pada saat itu terpilihnya Margaret Theatcher di Inggris dan Ronald Reagen di Amerika Serikat, politikus dari aliran kanan baru yang antusias memperjuangkan pasar bebas dan dengan tegas-tegas menolak konsep sebuah negara intervensionis3. Neo-liberalisme menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Setelah mereka mendapatkan kemenengan dari perseteruan ideologisnya dengan pendukung Keynesian, kelompok ini kemudian memperjuangkan bagaimana mendorong liberalisasi dan perdagangan bebas dunia. Di dukung oleh para pengambil kebijakan di lembaga dunia ( WTO, IMF, dan Bank Dunia ) serta para pengambil kebijakan publik di negara-negara maju, pikiran kelompok ini menjadi ideologi dominan dalam usahanya menciptakan liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh dunia. Mereka menekankan arti penting pasar bebas dan berusaha memarginalkan bahkan mungkin enghapus peran negara dalam pengambilan kebijakan terhadap proses-proses ekonomi4. Di Indonesia dengan sumber kekayaan alam yang melimpah menjadi incaran untuk dieksploitasi. Berakhirnya kolonialisme bangsa-bangsa yang terjajah selanjutnya memasuki era postkolonialisme, di mana dominasi dan penjajahan tidak
3
Budi Winarno, Globalisasi, Wujud Imperialisme Baru, Peran Negara dalam Pembangunan, Tajidu Press, hal.89 4 Ibid, hal.92
3
lagi dilakukan secara langsung, melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi5. Fase ini ditandai dengan kemerdekaan negara-negara terjajah secara fisik (dekolonisasi), namun dominasi negara-negara penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dilanggengkan melalui kontrol terhadap teori dan kebijakan perubahan sosial. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisasi tidak lagi terjadi secara fisik melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi. Pelaksanaan Developmentalisme semasa Orde Baru dipaksakan oleh Imperialis. Developmentalisme ini di era Orde Baru di terjemahkan dengan tahapan-tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kepatuhan negara kepada perintah lembaga-lembaga Internasional seperti IMF, World Bank, WTO, TNC/MNC menunjukkan bahwa bangsa ini masih terus dipaksa berpikir dan bertindak diluar kehendaknya (dihegemoni), ini sebuah hubungan antara masyarakat dan negara dengan internasionalisasi modal yang tidak seimbang bahkan eksploitatif, yang sebenarnya merupakan hakekat dari penindasan-penjajahan (imperialisme), yang ada semenjak kolonialisme. Kolonialisme maupun era postkolonialisme tersebut merubah paradigma politik agraria6. Penguasaan atas sumber-sumber agraria (termasuk tanah) semakin terpusat di tangan pemilik modal, perusahaan-perusahaan kapitalis dan badan-badan usaha milik negara. Untuk memfasilitasi perluasan imperialisme di lapangan agraria, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang5
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi,Yogyakarta, Insist Press,2002 hal.209. 6 Pemahaman tentang agraria sebenarnya tidak hanya sebatas pada tanah tetapi meliputi juga bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, bahkan dalam batas-batas tertentu juga mencakup luar angkasa (Boedi Harsono SH, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaan UUPA, Penerbit Djambatan,2000 hal 4)
4
undangan di bidang Agraria. Konflik agraria yang dibarengi dengan tindakantindakan kekerasan terhadap kaum tani dan masyarakat tersebut semakin intensif dan meluas di berbagai wilayah di Indonesia. Hal tersebut sama saja mengakibatkan hilangnya petani atas tanahnya dan perubahan fungsi tanah, yang dari awalnya tanah untuk penggarap (memenuhi kebutuhan lokal) menjadi tanah untuk mencukupi komoditas pasar internasional (landed capitalist property)7. Secara berbeda-beda, di awal masa kemerdekaannya banyak elit negara paskakolonial, termasuk presiden Soekarno, benar-benar dipengaruhi oleh naskah resmi Food and Agricultural Organization (FAO) Land Reform, Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development, yang dikeluarkan pada 1951. Apa yang dilakukan oleh FAO kemudian beresonansi dengan cara bagaimana negaranegara dekolonial menjadikan Reforma Agraria bagian dari agenda bangsanya hingga pada puncaknya tahun 1979 pada World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARD). Konferensi dunia yang menghasilkan Peasant Charter (Piagam Petani) itu sayangnya menjadi “upacara kematian” Reforma Agraria, yang digerus oleh model-model Pembangunan Pedesaan (termasuk pertanian) yang baru, seperti revolusi hijau, agroindustri/agribisnis, produksi komoditi untuk ekspor, dan lainnya yang banyak dipraktekan masa Orde Baru8. Walaupun sebenarnya pelaksanaan dari agenda-agenda ekonomi neoliberalisme telah dimulai sejak awal pemerintahan Orde Baru, antara lain melalui paket kebijakan
7
Dianto Bachriadi dan Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat, Jakarta, Gramedia, 2001, hal 31 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan Belum Berakhir, Yogyakarta, KPA, Insist, Pustaka Pelajar. Hal 69 8
5
deregulasi dan debirokratisasi sebut saja di tahun 1967 dan 1968 Orde Baru mengeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undangundang Penamaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) untuk membuka kran investasi termasuk berinvestasi pada pengelolaan sumber daya Indonesia. Pilihan paradigma pembangunan selama pemerintahan Orde Baru, tersebut karena atas dukungan corak hukum yang pembuatan dan pembentukannya sangat sangat legal formal dan positivistik9. Dengan sejumlah ketentuan-ketentuan hukum yang ada, paradigma pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan ditopang oleh investasi modal asing digalakkan secara besar-besaran melalui industrialisasi. Konsekuensinya, kebutuhan lahan atau tanah (yang umumnya dikuasai rakyat tanpa tanda kepemilikan sesuai kehendak hukum negara) cukup besar sebagai tempat untuk investasi tersebut. Untuk itu negara perlu memberikan jaminan hukum guna memfasilitasi kebutuhan lahan tersebut, yang pada akhirnya memunculkan konflik pertanahan antara rakyat berhadap-hadapan dengan negara yang ditopang oleh perangkatnya, yaitu birokrasi dan keamanan10. Kebijaksanaan Agraria Negara Orde Baru, kemudian membuahkan masalah agraria yang, yang mana hal tersebut tersebut meliputi11: (1). Penggusuran/perampasan tanah rakyat; (2). Penggusuran sumber daya alam kepunyaan masyarakat; (3). Tidak terjamin/terlindunginya hak-hak rakyat atas sumber-sumber daya alam oleh hukum nasional; (4). Penguasaan hutan 9
Dr Mustain, Petani vs Negara, Gerakan sosial Petani Melawan Hegemoni Negara,Yogyakarta, ArRuzz Media, 2007, hal 71. 10 Ibid, hal 72 11 Maria R Ruwiastuti, Pembaruan Sistem Hukum Agraria, dalam Tim Lapera (Penyunting), Prinsipprinsip Reforma Agraria, Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001 hal 52
6
dan penambangan yang melanggar hak-hak tradisional rakyat atas sumber-sumber ekonomi, lingkungan hidup fisik dan perpangkalan sosial budaya mereka; (5). Penguasaan sumber daya laut, pengrusakan lingkungan laut dan kawasan pantai oleh pemodal dan industri pariwisata. Namun corak pembangunan yang kapitalistik, dan ketersediaan tanah menjadi prasyarat beroperasinya industri, menyebabkan tanah selain menjadi komoditas, juga mewarnai setiap kebijakan agraria menjadi pasar tanah. Melalui birokratisasi dan korporatisasi negara, peran negara secara sistematik didesain untuk mendukung kepentingan kapital dan menempatkan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani pemilik tanah ke posisi pinggiran. Selain itu instrumen politik yang sistematik, yang sering digunakan negara, juga telah turut menyumbang terjadinya intensitas konflikkonflik agraria dan proses kekerasan yang terjadi. Ideologi developmentalisme telah memarjinalkan petani karena tanah mereka telah diklaim sebagai milik negara yang pengalihannya secara paksa Bagi petani, kehilangan tanah merupakan penderitaan yang amat sangat berat. Tanah merupakan modal dan alat produksi dalam kehidupan petani menjadi barang langka sehingga mendorong petani menjadi buruh tani. Akibat yang terjadi dari keadaan tersebut dimana petani yang dulunya sebagai pihak mandiri dalam usaha menjadi pihak yang bergantung pada upah kerja. Ironisnya developmentalisme
yang dipakai sebagai strategi pembangunan negara bukanlah
sepenuhnya dari konsep Indonesia, melainkan konstruksi kekuatan capital global12.
12
Noer Fauzi, Keadilan Agraria di Masa Transisi, dalam Tim Lapera (Editor), Prinsip-prinsip Reforma Agraria, Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal 11
7
Hegemoni Neoliberalisme tersebut, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997, krisis ekonomi yang masih saja berlangsung ini, juga menimbulkan dampak sosial yang sangat serius.Eksploitasi terhadap negara Dunia Ketiga semakin intensif karena ikatan hutang yang semakin akumulatif bahkan sudah tidak mungkin lagi terbayar. Bank Dunia memulai program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang bertujuan memotong hutang 41 negara yang membelanjakan 20 % pendapatan ekspornya untuk membayar bunga hutang. Dimana hal ini tentu saja tidak dilandasi dengan niatan baik dari negara kapitalis (IMF dan Bank Dunia) tetapi ada beberapa alasan yang melandasinya. Bahwa negara-negara kapitalis sadar bahwa negara-negara dunia ketiga tidak akan pernah mampu untuk melunasi semua hutangnya. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, pemerintah Indonesia kemudian mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat mencairkan dana pinjaman yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Structural Adjusment Program (SAP) /Washington Consensus. Dalam kasus Indonesia hal itu dituangkan dalam Letter of Intent (LoI), IMF meminta agar dilakukan perubahan fundamental dalam hubungan negara dengan pasar, persyaratan itu biasa disebut IMF conditionality13. Neoliberal tidak bisa menghasilkan pemerataan (equality) tapi justru memperbesar ketimpangan (inequality) itu. Kebijakan-kebijakan neoliberal itu bersenjatakan neoliberal enclosure dengan ragam variasi substansi dan penampakannya. Yang dimaksud dengan neoliberal enclosure 13
Tony Prasentiantono, “International Monetery Fund (IMF)”, dalam I Wibowo dan Francis Wahono (editor), Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Cerdas, 2002, hal 118
8
dapat dibedakan dengan bentuk-bentuk enclosure yang klasik seperti perampasan tanah dan kekayaan alam para petani untuk badan-badan usaha raksasa milik negara atau swasta, atau proses “paksa” petani menjadi tenaga kerja bebas buruh upahan, yaitu “untuk memperdalam dan memperkokoh hubungan kepemilikan kapitalistik dengan mengurangi secara relatif kekuasaan rakyat miskin pedesaan”. Hal ini dicapai melalui penggunaan proses-proses pasar yang dikombinasi dengan intervensi pemerintah. Dalam arti ini, neoliberal enclosure adalah hasil-samping dari proses akumulasi kekayaan yang menggunakan rasionalitas ekonomi. Namun pada tingkat permulaan, neoliberal enclosure mensyaratkan pengukuhan status kepemilikan pribadi atas tanah dan kekayaan alam, lalu kemudian kekayaan modal yang diperoleh dari usaha-usaha produksi maupun perdagangan. Neoliberal enclosure menguatkan struktur agraria yang ‘terbelah dua’ (bifurcated agrarian structure): Satu sub-sektor berorientasi ekspor, modal lebih intensif dan berhubungan dengan TNC, namun kurang dalam integrasi hubungan hulu-hilir, dan lainnya adalah ragam produksi untuk kebutuhan domestik, lebih padat-karya, hubungan hulu-hilir lebih kuat, namun tidak homogen14. Penguasaan asing terlihat dengan masuknya MNC-TNC, atas nama investasi, dalam penguasaan tanah-tanah rakyat, sehingga banyak terjadi sengketa dengan warga dan petani. Konflik pemilikan lahan dengan korporasi, antara lain dikarenakan ketidakadilan dalam pembagian hasil eksplorasi antara pengusaha, pemerintah (pusat dan daerah) dan warga sekitar. Kesenjangan inilah salah satu pemicu konflik, bahkan 14
Nur Fauzi,, Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria, dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global, Yogyakarta, Insist, 2003 hal 41
9
banyak dari warga dan petani ini yang dirampas secara paksa lahannya, yaitu “difasilitasi” pemerintah. Ini merupakan kebijakan negara atas dorongan IMF supaya hambatan-hambatan bagi liberalisasi perdagangan dan menciptakan kemudahan untuk memasuki pasar (barriers to entry) supaya pasar menjadi semakin kompetitif, bagi kepentingan modal. Alih fungsi lahan makin sering terjadi di Indonesia, yang ironisnya justru merupakan lahan produktif pertanian. Maka semakin banyaklah saat ini petani yang kemudian menjadi masyarakat urban perkotaan15. Efek lain yang ditimbulkan adalah menurunnya produktifitas hasil pertanian Indonesia, sehingga harus melalui impor, bahkan untuk bisa mencukupi basic needs masyarakat. Dampak lain dari pengaruh neoliberalisme di sektor agraria adalah privatisasi terhadap BUMN. Beberapa BUMN sebenarnya dalam posisi kinerja yang sehat sehinga tidak membutuhkan “suntikan” bantuan modal, tetapi sebagai konsekuensi dari pelaksanaan salah satu poin dalam Letter of Intent (LoI), yaitu privatisasi BUMN. Termasuk BUMN yang mengurusi dalam hal eksplorasi dan pengolahan sumber daya alam Indonesia, seperti PTPN II dan Sucfindo (Perkebunan), Pupuk Kaltim (Pupuk), atau
TBB Bukit Asam
(Pertambangan) yang akan dikuasai pihak asing. Privatisasi yang diperintahkan oleh IMF tidak semata-mata untuk memperbaiki kinerja perusahaan, melainkan langsung
15
Ibid hal 63
10
diarahkan untuk mengubah status kepemilikan dari BUMN tersebut menjadi perusahaan swasta, tanpa intervensi pemerintah Indonesia16. Padahal jika berdasarkan kepada penjelasan pasal 33 UUD 1945, dapat diketahui bahwa pada dasarnya sistem ekonomi yang hendak dijalankan Indonesia adalah demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan, yaitu mengutamakan peningkatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses penyelenggaraan ekonomi. Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Cabangcabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air dan segala kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Tapi dalam prakteknya saat ini negara tidak memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh neoliberalisme dalam penguasaan sumber daya.
B. Pokok Permasalahan ”Bagaimana proses hegemoni neoliberalisme terhadap politik agraria di Indonesia tahun 1997-2007?”
C. Kerangka Teoritik Salah satu teori politik dari kalangan marxis yang populer dan dijadikan rujukan bagi pengikutnya ataupun bukan, adalah teori tentang hegemoni. Adapun signifikansi
16
Revrisond Baswir. “Privatisasi BUMN:Menggugat Model Ekonomi Neoliberal IMF, dalam I Wibowo dan Francis Wahono (editor), Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Cerdas, 2002, hal 208
11
teori hegemoni ini dalam bagi studi hubungan internasional, lebih dikarenakan berbagai aspek peristiwa dan agenda perubahan dalam konteks internasional maupun dalam negara adalah akibat dari tidak bisa dilepaskan dari dominasi dan hegemoni Kapitalisme Internasional atas negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Hegemoni bagi Gramsci, akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas yang lain. Titik awal tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensus17. Gramsci membagi keberadaan hegemoni dalam dua wilayah super struktur, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik atau negara18. Dalam kamus marxis ortodox bahwa basic struktur pasti akan mempengarui super struktur. Inilah yang kemudian ditolak Gramsci, Gramsci melihat arti penting "ruh" dan "ide" seperti halnya dalam filsafat Hegel dalam mempengaruhi kesadaran manusia dalam wilayah super struktur yang ternyata mampu mempertahankan bentuk basic struktur Kapitalisme dapat bertahan
karena
kaum
borjuis
mampu
17
membangun
dan
mempertahankan
Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal. 30-31 18 Roger Simon, Gagasan-gagasan politik Gramsci,Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press, Yogyakarta, 1999
12
hegemoninya terhadap kelas pekerja, sedangkan kaum intelektual proletariat yang memiliki wilayah hegemoni bagi kelas pekerja ternyata gagal menggerakan kelas pekerja untuk melakukan perjuangan kelas dan revolusi akibat direduksinya pemikiran Karl Marx menjadi bentuk Darwinisme dan Determinisme, yang percaya akan keruntuhan kapitalisme dan keniscayaan revolusi akan terjadi dengan sendirinya dalam sebuah "hukum besi sejarah". Serta meletakan kesadaran dan strategi perjuangan pada perspektif determinan ekonomi. Hal ini didasarkan atas filsafat Materialisme Dialektika Historis, yang melihat bahwa sejarah dan perkembangan masyarakat di tentukan oleh alat produksi yang kemudian disebut sebagai basis struktur sebagai bagian bawah yang mempengaruhi bangunan atas atau supra struktur (negara, moral, idelogi, politik). Disini kemudian Gramsci melihat arti penting intelektual sebagai alat organiser bagi hegemoni. Bagaimana Hegemoni diciptakan, agar resistensi rakyat terhadap kelompok dominan dapat diminimalisir. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah hegemoni dengan memperluas cakupanya sehingga hegemoni juga mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasan yang sudah diperoleh. Konsep Hegemoni Gramsci ini mengimplikasikan bahwa aplikasinya melibatkan konstelasi kekuatan sosial politik yang luas yang disebut dengan ”blok historis” ,yaitu hubungan resiprok antara wilayah aktivitas politik, etika maupun ideologis dengan wilayah ekonomi. tanggung jawab untuk membangun sebuah blok historis dan memproduksi hegemoni, memproduksi dan menguniversalisasi pandangan dunia kelompok penguasa dalam
13
rangka mengorganisasikan persetujuan atau partisipasi sukarela massa maupun untuk mengawetkan legitimasi kekuasaan kelompok penguasa berada pada intelektual organik. Yaitu setiap intelektual yang kehadirannya terkait dengan struktur produktif dan politik masyarakat, yakni dengan kelompok atau kelas yang mereka wakili. Intelektual organik tampil sebagai ”fungsionaris” atauu ”deputi” kelompok penguasa, yaitu mereka yang aktivitas intelektualnya
diarahkan untuk memproduksi dan
menyebarkan filasafat, teori politik maupun teori ekonomi sebagai sebuah pandangan dunia yang koheren guna mencapai dan memelihara ”hegemoni sosial dan pemerintahan politik”19. Bagaimana Hegemoni diciptakan, agar resistensi rakyat terhadap kelompok dominan dapat diminimalisir. Bagi Gramsci titik tolak pembangunan Hegemoni adalah konsensus. Di Indonesia saat ini, kerja dan produksi (ekonomi) nyaris sepenuhnya di bawah persyaratan pasar dunia dalam kerangka kapitalisme global. Bahkan ketertundukan dan kepatuhan Negara Indonesia terhadap lembaga Internasionalisasi Modal yang menjadi alat hegemoni Neoliberal, imperialisme praktis masuk dalam kerangka logika kapitalistik tersebut. Peran lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World Bank atau WTO merupakan jembatan penghubung maupun alat hegemoni Neoliberalisme dalam menerapkan kebijakan-kebijakan mereka. Inilah ketika kapitalisme menemukan mantelnya yang lebih radikal. Karl Marx pada abad ke-19 pernah mengatakan bahwa kapitalisme akan keluar dari batas-batas nasional negara. Lenin juga meramalkan bahwa kapitalisme akan menjelma menjadi imperialisme.
19
Muhadi Sugiono, op cit, hal 42-43
14
Pada tahun 1997
model kapitalisme negara, developmentalisme yang
merupakan hegemoni Imperialisme pada masa Orde Baru mengalami krisis, dimana salah satu penyebabnya adalah akibat ditenggelamkan dan didominasi oleh kekuatan kapitalisme global. Kebijakan politik agraria juga diterapkan melalui metode konsensus. Melalui berbagai paket kesepakatan dalam Letter of Intent (LoI), sebagai konsekuensi
pinjaman
hutang
(jebakan
hutang),
yaitu
melalui
kebijakan
SAP/Washington Consensus yang dipaksakan oleh IMF. Tujuannya adalah mendorong beroperasinya mekanisme free trade dengan menggunakan mekanisme SAP/Washington Consensus yang secara garis besar meliputi liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Disinilah peran dari kelas hegemon (penguasa total) terlihat, seperti penguasaan MNC/TNC atas sumber daya agraria (Kontrak Karya/KK) yang timpang, negara maju yang melakukan proteksi terhadap produk pertaniannya tetapi mendorong negara berkembang melepas subsidi pertanian, dan organisai atau rezim internasional (IMF, Bank Dunia, WTO) sebagai pengawas terlaksananya konsensus tersebut, seperti kesepakatan LoI Indonesia-IMF, atau AoA Indonesia-WTO. Konflik yang terjadi di tingkatan petani kemudian dijawab dengan mengeluarkan serangkaian peraturan yang represif dan pro modal. Selain itu juga menghilangkan peran negara dan lebih banyak peran swasta. Babak Imperialisme tampil menggantikan model terdahulu yakni penguasaan secara fisik seperti pada masa kolonialisme.
15
D. Hipothesa ”Hegemoni Neo-Liberalisme terhadap politik agraria di Indonesia dengan cara menggunakan praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi”
E. Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode deduksi, yaitu teori digunakan sebagai dasar analisa untuk diperoleh sebuah kesimpulan dari permasalahan yang diteliti. Sedangkan pendekatan penelitian bersifat deskriptif kualitatif, yaitu analisis hanya sampai pada taraf deskripsi yang menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan dapat disimpulkan. Penekanannya pada usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian melalui cara berpikir formal dan argumentatif.20
F. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan ini, pengamatan permasalahan tersebut secara empirik dengan menerapkan studi pustaka dari berbagai sumber yang ada, seperti buku-buku referensi, surat kabar, majalah, jurnal, internet, dan beberapa data pendukung lainnya.
G. Jangkauan Penulisan Jangkauan dalam penulisan ini adalah dari tahun 1997 (pasca penandatanganan LoI) sampai tahun 2007 (masa pemerintahan SBY-JK)
20
Saefudin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999. hal.5-6
16
H. Sistematika Penulisan Bab
Pertama,
merupakan
pendahuluan
yang
memuat
unsur-unsur
metodologis yang harus dipenuhi dalam penulisan karya ilmiah yang meliputi ;Latar Belakang Permasalahan, Pokok Permasalahan, Kerangka Dasar/ teori, Hipotesa, Metode Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Jangkauan Penulisan dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua, menjabarkan bagaimana sejarah dan dinamika hegemoni Neoliberalisme ketika memanfaatkan dekolonisasi melalui pembangunan negara berkembang, kemudian fase developmentalisme, dan penerapan Neoliberalisme saat ini. Bab Ketiga, Menjabarkan bagaimana situasi politk agraria Indonesia pasca penandatanganan kesepakatan LoI, Indonesia dengan Neolib (IMF), permasalahan apa yang timbul, dan kebijakan yang muncul dari peristiwa tersebut. Bab Keempat, merupakan bab yang akan memberikan penilaian atas pelaksanaan agenda neoliberalisme pada bidang agaria Indonesia yang bersandarkan pada fakta-fakta yang berkembang yang kemudian terungkap, yang merupakan pembuktian atas hipotesa. Bab Kelima, Kesimpulan dari seluruh penulisan skripsi ini.
17