BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan dunia perekonomian dalam era globalisasi
membuat persaingan dunia bisnis semakin kompetetitif dan kompleks. Keadaan ini menuntut para manajemen perusahaan agar dapat mengelola perusahaannya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Disamping persaingan yang semakin ketat, masalah yang mungkin dihadapi oleh perusahaan tidak hanya berasal dari faktor eksternal, namun tidak sedikit masalah-masalah yang justru timbul disebabkan oleh faktor internal perusahaan. Pada dasarnya pengendalian intern perusahaan didesain sebaik mungkin supaya aktivitas perusahaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Salah satu komponen pengendalian internal menurut COSO (Committee of Sponsoring Organization) adalah penaksiran risiko yang berarti identifikasi entitas dan analisis terhadap risiko yang relevan untuk mencapai tujuannya, membentuk suatu dasar untuk menentukan bagaimana risiko harus dikelola (SPAP, 2004:69). Kecurangan (fraud) yang terjadi dilingkungan perusahaan masih sering terjadi dan terkadang sulit untuk diatasi. Kecurangan biasanya tidak hanya dilakukan oleh karyawan pada tingkat bawah, tetapi juga dapat dilakukan oleh jajaran direksi (top management) baik secara individual ataupun secara bersama sama. Kecurangan mencakup perbuatan melanggar hukum dan pelanggaran
1
2
terhadap peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dilakukan dengan niat untuk berbuat curang. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja demi keuntungan atau kerugian suatu organisasi oleh orang dalam atau juga oleh orang di luar organisasi tersebut (SPAI, 2004:63). Kesadaran yang tinggi dari pegawai dapat berfungsi sebagai pencegah dan pendeteksi kecurangan karena potensi pelaku penipuan menyadari bahwa mudah bagi individu untuk melaporkan kecurigaan mereka. Suatu hasil kajian menunjukkan lebih banyak kecurangan terdeteksi melalui informasi dari sesama pegawai dari pada yang ditemukan oleh auditor (Setianto dkk, 2008:15). Semua pegawai harus merasa disadarkan bahwa teman sekerja atau teman di luar lingkungan kerjanya ikut mengawasi (others are watching). Teman sekerjanya diberi kesempatan untuk melaporkan adanya gejala kecurangan walaupun tanpa harus menyebut namanya (anonymous). Pada dasarnya, mendeteksi kecurangan dan evaluasi adalah salah satu tugas dari seorang auditor internal tetapi semua pihak yang terlibat dalam organisasi juga beperan dalam hal itu. Pengendalian intern juga harus terus dilakukan perbaikan karena sistem dapat menjadi kurang sesuai yang disebabkan perubahan kondisi operasi organisasi (Hartadi, 1997:68). Seorang whistleblower dinilai sebagai orang yang paling efektif yang mampu mendeteksi secara dini segala hal yang berkaitan dengan indikasi kecurangan (fraud) dalam suatu perusahaan. Sehingga memberikan peluang bagi perusahaan untuk secara lebih awal melakukan langkah-langkah koreksi dan mitigasi yang diperlukan untuk mengamankan asset, reputasi, dan risiko kerugian yang mungkin timbul.
3
Salah satu bentuk pengendalian intern dalam mencegah atau mengungkap tindak kecurangan dalam suatu perusahaan yaitu dengan diterapkannya whistleblowing system. Tujuan dari Pedoman ini adalah menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan dan mengelola suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran atau disebut juga Whistleblowing System (WBS). Panduan ini sifatnya generik, sehingga perusahaan bisa mengembangkan sendiri sesuai kebutuhan dan keunikan perusahaan masing-masing. Diharapkan pedoman ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan pelaksanaan corporate governance di Indonesia. Selain itu melalui sistem ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan dalam melaporkan pelanggaran. Menurut Kurt, et al. (2009:8-14) menjelaskan mengenai pentingnya whistleblowing system yaitu: “... As noted earlier in this chapter, the ACFE Report to the Nation indicates that frauds are more likely to be detected by a tip than by audits, controls, or other means. Therefore, it is important for an organization to establish a reporting system to facilitate and encourage reporting of potential fraud incidents. For example, a whistleblower hotline provides a means for prompt notification, helps in gathering the necessary information to enable an investigation, if necessary, and provides for confidentiality if desired by the individual reporting the incident. The reporting system can be managed by a member of management, but it may also be appropriate, and even required by regulation, for there to be a reporting mechanism directly to the board in certain circumstances. This provides an avenue of reporting should the individual believe senior management may be involved in the fraud incident.” Maksud dari kutipan diatas adalah menurut laporan ACFE menunjukkan bahwa kecurangan lebih mungkin untuk dideteksi oleh tip (informasi dugaan) dari pada audit, kontrol, atau cara lain. Oleh karena itu, penting bagi suatu organisasi
4
untuk membangun sistem pelaporan dalam memfasilitasi dan mendorong pelaporan kecurangan yang berpotensial terjadi. Seperti, hotline whistleblower yang menyediakan sarana untuk pemberitahuan secara cepat, membantu dalam mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk memungkinkan penyelidikan, dan menyediakan kerahasiaan jika diinginkan oleh individu melaporkan kejadian tersebut. Sistem pelaporan dapat dikelola oleh anggota manajemen, tetapi juga mungkin diperlukan oleh peraturan atau pedoman untuk itu mekanisme pelaporan langsung ke jajaran BOD dalam keadaan tertentu. Ini memberikan jalan pelaporan kepada individu untuk manajemen yang mungkin terlibat dalam tindak kecurangan. Pada dasarnya, dalam sistem pelaporan dan perlindungan, ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang whistleblower untuk memberi laporan atau kesaksian dan mendapatkan perlindungan. Misalnya, hal yang diungkap oleh whistleblower haruslah fakta dan bukan gosip atau isu semata. Motif seseorang sebagai whistleblower dapat bermacam-macam, mulai dari motif itikad baik, menyelamatkan lembaga/perusahaan, persaingan pribadi atau bahkan persoalan pribadi. Bagi pengembangan sistem ini yang terpenting adalah seseorang tersebut melaporkan untuk mengungkap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di perusahannya bukan motifnya (Semendawai dkk, 2011:25). Perusahaan-perusahaan swasta yang besar dan memiliki manajemen yang baik, baik swasta nasional maupun swasta asing, umumnya memiliki kode etik, aturan perilaku (code of conduct) atau standar tata kelola perusahaan yang baik Good Corporate Governance (GCG) yang jelas dan ketat. Namun, belum tentu
5
perusahaan-perusahaan itu memiliki sistem pelaporan whistleblower yang baik. Whistleblowing system yang efektif akan mendorong partisipasi masyarakat dan karyawan perusahaan untuk lebih berani bertindak dalam mencegah terjadinya kecurangan dan korupsi dengan melaporkannya ke pihak yang dapat menanganinya. Ini berarti whistleblowing system mampu untuk mengurangi budaya “diam” menuju ke arah budaya “kejujuran dan keterbukaan”. (Semendawai dkk, 2011:16). Penelitian atau survey yang telah dilakukan menemukan bahwa kurang dari separuh dari seluruh perusahaan yang disurvey memiliki prosedur pelaporan atau pengaduan (WBS) untuk melaporkan dugaan penyimpangan atau pelanggaran (Semendawai dkk, 2011:18). Sebanyak 60 persen dari perusahaanperusahaan yang memiliki prosedur pelaporan ternyata tidak menggunakan prosedur, dan menurut catatan yang dipublikasikan oleh KNKG, sistem ini dibangun karena dilatar belakangi hasil survey yang dilakukan oleh Institute of Bussiness Ethics (2007), yang menyimpulkan bahwa satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran. Tetapi lebih dari separuh (52%) yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam dan tidak berbuat sesuatu dan menurut catatan KNKG, sistem ini diharapkan dapat bekerja secara efektif, transparan, dan bertanggung jawab, sehingga dapat meningkatkan partisipasi karyawan untuk melaporkan pelanggaran. Di Indonesia, kesadaran terhadap pentingnya sistem pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower mulai meningkat. Beberapa lembaga, seperti Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terus “mempromosikan”
6
praktik-praktik tata kelola yang baik (good governance), termasuk di sektor swasta. Perusahaan-perusahaan besar dan memiliki manajemen yang baik juga sudah mulai menerapkan sistem pelaporan untuk menerima laporan dari karyawan atau whistleblower. Negara sendiri telah mempersiapkan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan termasuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk melakukan perlindungan tersebut. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tersebut diterbitkan dengan mendasarkan pengaturan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal lainnya yang penting dari surat edaran tersebut bahwa perlakuan khusus untuk whistleblower dan justice collaborator tersebut hanya untuk kasuskasus tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, serta tindak pidana lainnya yang menimbulkan masalah dan ancaman yang luas. Seringkali masyarakat menganggap bahwa saksi dan whistleblower adalah sama, padahal ini serupa tetapi tidak sama. Pasal 1 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebut saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan atau ia alami. Sementara dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, whistleblower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
7
Berdasarkan fenomena yang dikutip dari antaranews.com, Komite Audit PT Telkom, Tbk akan mendalami dan menindaklanjuti informasi adanya pejabat Telkom dan PT Telkomsel yang dalam aksi korporasinya telah merugikan negara. Kasus ini berawal dari surat terbuka dari GM Special Audit PT Telkomsel yang menuturkan alasannya karena Tim Audit tidak menindaklanjuti permintaan dari whistleblower agar dilakukan evaluasi kasus yang terjadi di dua perusahaan itu. Ia membeberkan terjadi indikasi korupsi pada proyek renovasi gedung senilai Rp 35 miliar, proyek swap BTS Telkomsel, serta pengadaan SIM Card RF untuk Telkomsel Cash (T-Cash). Seluruh kasus ini disebut-sebut melibatkan direksi Telkom-Telkomsel dan mantan Komisaris Utama Telkom, informasi ini disebutsebut disampaikan oleh whistleblower, tapi belum masuk ke Komite Audit Telkom, namun, kita akan melakukan audit investigasi dan audit forensik atas setiap laporan dari whistleblower (Bambang, 2011). Berdasarkan fenomena yang dikutip dari nytimes.com, adapun kasus yang terjadi pada The Coca-Cola Company dengan mantan eksekutif yang mengajukan gugatan
terhadap
perusahaan
sehingga
ia
menyatakan
dipecat
setelah
menyuarakan tentang penipuan akuntansi dan pemasaran untuk meningkatkan penjualan di Burger King. Mantan eksekutif tersebut telah setuju untuk bekerja sama dengan jaksa federal dan Securities and Exchange Commission, dan ia mengatakan bahwa menjadi seorang whistleblower adalah pekerjaan yang mengerikan, sehingga The Coca-cola Company menyebutnya sebagai karyawan yang tidak puas. Sedangkan The Coca-cola Company mengatakan bahwa ia tidak dipecat
karena
meningkatkan
kekhawatiran
dan
benar-benar
telah
8
dipertimbangkan untuk posisi pasca-reorganisasi. Kami ingin semua orang di perusahaan ini untuk membawa masalah mereka kepada manajemen melalui jalur yang tepat, dan setiap manajer untuk membawa kekhawatiran mereka dengan serius, menyelidiki mereka, dan membuat perubahan yang diperlukan (Sherri, 2003). Adapun studi empiris terdahulu yang dilakukan oleh Titaheluw (2011) yang berjudul Pengaruh Penerapan Sistem Whistleblowing Terhadap Pencegahan Fraud
pada studi kasus yang ditelitinya yaitu PT Telkom Tbk. Hasil
penelitiannya adalah bahwa sistem whistleblowing berpengaruh secara signifikan terhadap pencegahan fraud tetapi bukan satu-satunya cara yang dapat digunakan dalam mencegah terjadinya fraud, terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat mencegah terjadinya fraud. Dengan demikian, berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian yang kemudian hasilnya akan dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : “PENGARUH PENERAPAN WHISTLEBLOWING SYSTEM TERHADAP PENCEGAHAN KECURANGAN” (Studi Survey pada PT Coca-Cola Amatil Indonesia SO Bandung)
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
peneliti mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana
pengaruh
pencegahan kecurangan?
penerapan
whistleblowing
system
terhadap
9
2. Berapa besar pengaruh penerapan whistleblowing system terhadap pencegahan kecurangan?
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1
Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah dilakukan untuk memperoleh data dan
informasi yang memadai, sebagai bahan analisis yang berguna untuk mengetehui pengaruh penerapan whistleblowing system terhadap pencegahan kecurangan dalam rangka penyusunan skripsi yang merupakan syarat dalam menempuh ujian sidang Sarjana pada Program Studi S1 Akuntansi Universitas Widyatama Bandung.
1.3.2
Tujuan Penelitian Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah
yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaiaman pengaruh penerapan whistleblowing system terhadap pencegahan kecurangan. 2. Untuk mengatahui berapa besar pengaruh penerapan whistleblowing system terhadap pencegahan kecurangan. 1.4
Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian yang dilakukan penulis ini diharapkan dapat
memberikan kegunaan bagi : 1. Penulis
10
Syarat pencapaian dalam menempuh ujian Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi, juga menambah wawasan penulis dalam bidang yang diteliti, melatih berpikir kritis, logis, dan mampu menyerap informasi, khususnya mengenai penerapan whistleblowing system dalam mencegah kecurangan. 2. Pihak Perusahaan Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan perusahaan untuk meminimalisir kecurangan (fraud) yang akan terjadi dan sedang terjadi sehingga dapat meningkatkan pengendalian intern dan Good Corporate Governance (GCG) yang baik melalui whistleblowing system yang diterapkan. 3. Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk penelitian yang lebih luas dan juga dapat memberikan pengetahuan tambahan terutama yang
menyangkut
penelitian
mengenai
pengaruh
penerapan
whistleblowing system dalam mencegah kecurangan, dan juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi penelitian yang sejenis pada pihakpihak yang membutuhkan informasi mengenai topik penelitian.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan skripsi ini, penelitian dilakukan di PT. Coca-cola Amatil Indonesia yang berlokasi di Jl. Terusan Pasir Koja No. 334 Bandung. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai selesai.