BAB I PENDAHULUAN A. HUKUM PERDATA 1. Pengertian Hukum Perdata Para ahli banyak memberikan pengertian-pengertian maupun penggunaan istilah Hukum Perdata. Adapun pengertian-pengertian tersebut tergantung dari cara pandang masing-masing ahli, baik berdasarkan pengamatan maupun peraturan yang berlaku. Mereka mencoba memberikan defenisi, gambaran maupun batasan-batasan tentang makna dari Hukum Perdata itu sendiri. Sebelum berbicara lebih jauh tentang pengertian Hukum Perdata, ada baiknya kita tinjau terlebih dulu apa yang dimaksud dengan Hukum. Menurut Von Savigny, Hukum tersebut tidak dibuat, melainkan hidup, tumbuh di dalam dan bersama masyarakat. Berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Roscoe Pond yang menganggap hukum sebagai alat untuk merombak atau memperbaiki suatu masyarakat. Sedangkan menurut Pendapat Umum, yang dimaksud dengan Hukum adalah: Sekumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dalam masyarakat dengan manusia lainnya dan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh pejabat yang berwenang. Untuk lebih rincinya Hukum itu dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok : Hukum Publik; Hukum yang diciptakan pemerintah untuk melaksanakan kemauan Penguasa (untuk Kepentingan Umum) Hukum Private; Hukum yang mengatur pelaksanaan kepentingan individu
Mala Rahman
1
Jadi, secara garis besar yang dimaksud dengan Hukum Perdata (Hukum Private) itu adalah : Hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang atau Badan Hukum dalam suatu negara. Dari pengertian di atas dapat kita tarik beberapa poin penting, yaitu: Hubungan Hukum adalah hubungan-hubungan yang diatur oleh hukum dan memberi akibat hukum Subjek Hukum adalah Orang atau Badan Hukum Dalam Suatu Negara adalah antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Indonesia yang lainnya. Sedangkan menurut H.F.A. Volmar, Hukum Perdata adalah : Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya
memberikan
perlindungan
pada
kepentingan-kepentingan
perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama yang berhubungan dengan keluarga. Menurut Sudikno, yang dimaksud dengan hukum perdata adalah hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dalam lingkungan keluarga dan pergaulan masyarakat. Hukum perdata menentukan bahwa di dalam hubungan antara mereka, orang harus menundukkan diri kepada norma-norma apa saja yang harus mereka indahkan. Dalam hal ini hukum perdata memberikan wewenang-wewenang kepada satu pihak dan membebankan kewajiban-kewajiban kepada pihak yang lain, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan bantuan penguasa.
Mala Rahman
2
2. Pembagian-pembagian hukum. Hukum dapat dibedakan dengan beberapa kategori, dan yang paling lazim dilakukan adalah : Pembagian atas Jus Constitutum dan Jus Constituendum; Jus constitutum adalah hukum positif atau hukum yang sedang berlaku sekarang, sedangkan Jus Constituendum adalah hukum yang dipandang baik untuk waktu yang akan datang, dan hanya memberikan petunjuk bagi perubahan undangundang. Pembagian Hukum Publik dengan Hukum Private Pembagian ini sudah disebutkan sebelumnya, dimana Hukum Publik adalah lebih luas dari sekedar hukum pidana, karena termasuk juga Hukum Tata Negara, Hukum Tata Pemerintahan, dan Hukum Antar Bangsa-bangsa. Sedangkan hukum private benar-benar sebatas hukum untuk kepentingan perorangan ataupun badan hukum. Hukum Perdata dalam arti Luas dan dalam arti Sempit Hukum perdata dalam arti luas maksudnya bahan hukum sebagaimana yang tertera di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Kitab UndangUndang Hukum Dagang (W.v.K), serta sejumlah undang-undang tambahan, termasuk hukum kepailitan dan hukum acara. Sedangkan dalam arti sempit hanya yang terkandung di dalam BW saja. Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil Hukum Perdata Materiil ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban perdata itu sendiri, sedangkan Hukum Perdata Formil menentukan cara dan prosedur untuk mempertahankan Hukum Perdata Materiil. Hukum Perdata Formil ini sering diidentikkan dengan Hukum Acara Perdata.
Mala Rahman
3
Hukum (objective recht) dan Hak (subjective recht) Yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan aturan-aturan hukum, sedangkan hak adalah wewenang-wewenang yang timbul dari aturan-aturan hukum tersebut. Hukum Pemaksa dan Hukum Pelengkap Hukum pemaksa adalah peraturan-peraturan yang pelanggarannya tidak dapat dilakukan dengan bebas oleh orang-orang yang berkenaan dengannya, sedangkan pada hukum pelengkap, orang yang terkait didalamnya dapat menentukan untuk mematuhi atau tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. B. SEJARAH BERLAKUNYA BW DI INDONESIA Di Negeri Belanda, BW berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1838 berdasarkan Dekrit Raja Belanda tanggal 10 April 1838, yang dimuat di dalam Staatblad. No. 12-1838. Pada tanggal 3 Desember 1847, dikeluarkanlah Pengumuman oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda bahwa BW tersebut mulai berlaku di Hindia Belanda sejak tanggal 1 Mei 1848. Pemberlakuan BW di Hindia Belanda berdasarkan asas Concordansi yang tercantum dalam Pasal 131 IS. Asas concordansi tersebut menyatakan bahwa bagi setiap orang Eropah yang berada di Hindia Belanda diberlakukan hukum perdata yang berlaku di Negeri Belanda. Maka dengan sendirinya berlakulah BW di Hindia Belanda bagi setiap orang Eropah. Selain BW, asas concordansi ini juga menetapkan berlakunya W.v.K di Hindia Belanda. Berdasarkan S. 1848 No. 23, BW hanya berlaku terhadap : i. Orang-orang Eropah, yang meliputi : Orang Belanda Orang yang berasal dari Eropah Orang Jepang Orang Amerika, Kanada, Afrika Selatan, Australia. ii. Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropah yaitu orang-orang yang memeluk agama Kristen.
Mala Rahman
4
iii. Orang-orang Bumiputera turunan Eropah. Namun demikian, pada tanggal 15 September 1916 Raja mengeluarkan Dekrit yang tercantum dalam S. 1917 No. 12 jo 528 yang menyatakan bahwa sejak tanggal 1 Oktober 1917 bagi warga Bumiputera dan Timur Asing dapat menundukkan dirinya secara sukarela kepada BW dan W.v.K, baik sepenuhnya maupun sebagian. Penundukan diri bagi Bumiputera dan Timur Asing ini diatur dalam : Pasal 131 IS Pasal 11 AB Pasal 75 (3) RR lama (2 September 1854/S.1855 No.2) Pasal 75 (4) RR baru (31 Desember 1906/S.1907 No. 204) yang selanjutnya dirubah menjadi Pasal 131 IS ayat 4, berdasarkan S. 1919 No. 621. berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920. Lembaga penundukan diri yang diperuntukkan bagi orang-orang Bumiputera dan Timur Asing dapat dibagi menjadi 2, yaitu : Penundukan diri secara sukarela Secara keseluruhan pada hukum perdata Eropah Secara sebagian terhadap hukum perdata Eropah Penundukan diri secara diam-diam atau anggapan Misalnya menandatangani wesel atau cek. C. PERUBAHAN-PERUBAHAN DALAM BW Sejak diberlakukan di Indonesia, Bw telah mengalami perubahan-perubahan penting, diantaranya : Undang-undang Kanak-Kanak (kinderwetten) yang terbentuk tahun 1901 telah diubah pada tahun 1909, 1921, 1927 dan 1929. Undang-undang tentang Perjanjian Kerja 1907 memasukkan sebuah judul baru dalam Buku III (title VII A)
Mala Rahman
5
Dalam tahun 1923 Hukum waris diubah secara prinsipil dengan memberikan hak mewaris pada suami atau istri yang masih hidup pada waktu salah satu dari mereka meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat. Pada tahun 1936 diselesaikannya undang-undang yang mengatur tentang perjanjian sewa-beli (huurkoopovereenkomst) Pada tahun 1951 terbentuk suatu pengaturan yang membuat penyelesaian menurut undang-undang tentang pemidahan eigendom dari suatu gedung dalam apartemen. Tahun 1954, Prof. Mr.E.M. Meijers menyelesaikan 4 buku dari 9 buku perdata yang ada, dan diumumkan secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda. D. SISTIMATIKA BW (BURGERLIJK WETBOEK) BW dibuat pada tahun 1838, dan pada tahun 1848 mulai berlaku di Hindia Belanda berdasarkan asas Concordansi. Hingga tahun 1942, disaat Jepang menjajah di Indonesia, BW dianggap masih tetap berlaku hingga sekarang, dimana sebagian ketentuan BW masih berlaku di Indonesia. Berikut ada beberapa sistematika BW yang sepatutnya kita ketahui : Sistematika menurut BW (KUH Perdata) BUKU I
HUKUM PERORANGAN (BADAN PRIBADI) XVIII BAB
BUKU II
HUKUM BENDA
BUKU III
HUKUM PERIKATAN/PERUTANGAN
BUKU IV
HUKUM BUKTI DAN DALUARSA
XXI BAB XVIII BAB VII BAB
Sistematika menurut Ilmu Pengetahuan BAB I
HUKUM PERORANGAN
BAB II
HUKUM KELUARGA
BAB III
HUKUM HARTA KEKAYAAN
BAB IV
HUKUM WARIS
Menurut sistem ini, istilah Buku tidak sesuai karena terasa rancu di dalam “Buku” terdapat “Buku” lagi, sehingga diganti dengan istilah “Bab”. Pada Bab I, Hukum Perorangan dikurangi dengan Hukum Keluarga, dimana Hukum Keluarga diatur dalam Bab II. Jadi Bab I dan II BW menurut Ilmu Mala Rahman
6
Pengetahuan merupakan pecahan dari Buku I BW yang ada pada masa Hindia Belanda. Sedangkan pada Bab III dan IV merupakan pecahan Buku II yang terdiri dari Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Waris. Bagian Bukti dan Daluarsa dikeluarkan dari BW karena dianggap sebagai hukum formil, sedangkan BW merupakan hukum materiil. Sistematika Jerman BUKU I
BAGIAN UMUM
BUKU II
HUKUM PERIKATAN
BUKU III
HUKUM KEBENDAAN
BUKU IV
HUKUM KEKAYAAN
BUKU V
HUKUM WARIS
Sistematik Swiss BUKU I
HUKUM PRIBADI
BUKU II
HUKUM HARTA KEKAYAAN
BUKU III
HUKUM WARIS
BUKU IV
HUKUM KEBENDAAN
Sistematika Perancis BUKU I
HUKUM PERORANGAN (INSTITUSIONES)
BUKU II
HUKUM BENDA (PANDEXTA)
BUKU III
HIPOTEK (CODEX)
BUKU IV
HUKUM WARIS (NOVELES)
Pendapat Universal BUKU I
HUKUM ORANG
BUKU II
HUKUM KELUARGA
BUKU III
HUKUM BENDA
BUKU IV
HUKUM PERIKATAN
BUKU V
HUKUM WARISAN
Mala Rahman
7
E. PENDAPAT SARJANA TENTANG KEDUDUKAN BW 1. Dr. Sahardjo, S.H. Menurut Dr. Sahardjo, BW tidak lagi berlaku sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok peraturan hukum kebiasaan yang telah tertulis. Alasannya : BW merupakan kodifikasi yang bersifat diskriminatif, hal ini didasarkan pada Pasal 131 dan 163 IS BW tidak sesuai dengan UUD’45 karena UU ini membagi 2 kewarganegaraan, yaitu WNI dan WNA Berdasarkan UU kewarganegaraan yang telah dibuat oleh pemerintah (UU No. 14/1958) hanya membedakan 2 golongan warga negara, sehingga pasal 163 IS tidak dapat diterapkan. Dengan tidak berlaku lagi pasal 163 IS hilanglah kedudukan BW sebagai UU. Dari alasan-alasan di atas dapat disimpulkan bahwa BW hanya dianggap sebagai pedoman untuk diperhatikan oleh para pelaksana hukum tapi bukan berlaku sebagai undang-undang. 2. Prof. Mahadi Menurut Mahadi, BW sebagai hukum yang tertulis, dalam arti hanya mengenai isinya saja, bukan sebagai kitab undang-undang (mengikat WNI). Alasannya : Pembentukan BW didasarkan pada pasal 163 IS yang isinya nyata-nyata bertentangan dengan UUD’45, maka BW tidak berlaku sebagai kodifikasi. Peraturan lain (Hukum Adat) tetap berlaku bukan sebagai bagian dari kodifikasi, melainkan dipandang terlepas dari kodifikasi.
Mala Rahman
8
Diserahkan pada Doktrin dan Jurisprudensi untuk memilih peraturan mana yang dapat diterapkan dan mana yang tidak dapat diterapkan dan bertentangan dengan undang-undang. Sifat BW sebagai kodifikasi sudah hilang tetapi karena belum dicabut secara formil, berdasarkan Aturan Peralihan masih tetap berlaku sebagai kitab undangundang. 3. Dr. Matilde Semampow Matilde tidak setuju terhadap kedua pendapat di atas, karena kalau kedua pendapat itu diterapkan, akan menjerumuskan pelaksanaan hukum ke arah timbulnya suatu keadaan ketidakpastian hukum. BW tetap berlaku sebagai undang-undang dalam arti harus dipatuhi, dilaksanakan oleh penegak hukum dan masyarakat, dan untuk menghapusnya tetap diperlukan pencabutan secara formil. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa berlakunya BW bukan lagi secara formil, tetapi secara materiil, artinya berlaku tapi tidak mengikat masyarakat. Dalam berlakunya pun harus disesuaikan dan tidak boleh bertentangan dengan rasa keadilan di dalam masyarakat maupun UUD’45. F. SUMBER HUKUM PERDATA Bila ingin mempelajari lebih lanjut mengenai hukum perdata, tentunya penting bagi kita mengetahui sumber-sumber hukum perdata itu sendiri. Sumber pertama yang paling penting adalah K.U.H.Perdata. Karena KUH Perdata masih bersifat umum, maka diperlukan interpretasi untuk melihat suatu ketentuan, untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan maupun putusan peradilan. Dalam hal putusan peradilan, haruslah berdasarkan putusan yang dibuat oleh Hoge Raad. Selain itu juga bersumber kepada hukum dagang dan hukum perjanjian, serta kebiasaan-kebiasaan setempat dan aturanaturan tambahan lainnya.
Mala Rahman
9