BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan “bahasa” adalah alat komunikasi verbal manusia yang berwujud ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia atau tulisan sebagai representasi ujaran itu (Wijana, 2011: 1). Dalam penelitian bahasa hal yang sangat penting adalah pengetahuan mengenai bahasa yang diteliti. Hal ini karena pengetahuan tersebut dipandang mampu memberikan pandangan mengenai komponen kebahasaan tertentu terhadap bahasa yang diteliti (Fernandez, 1996:1). Bahasa sebagai bagian dari budaya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV pasal 36 ayat 2 “...bahasa daerah di dalam hubungannya dengan kedudukan bahasa Indonesia adalah salah satu unsur Kebudayaan Nasional yang dilindungi negara”. Secara tidak langsung undang-undang menyatakan bahwa bahasa daerah wajib dilestarikan dan keberlangsungan bahasa daerah menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para linguis. Sayangnya, beberapa bahasa daerah di Indonesia sudah mulai mengalami kepunahan. Kepunahan bahasa bukan hanya terjadi karena penutur bahasa sedikit, tetapi juga karena penutur bahasa tersebut tidak atau kurang bersedia menggunakan bahasanya sendiri, tidak memiliki aksara, serta tidak memiliki sarana dengan dunia luar. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap bahasa-bahasa tersebut agar dilakukan pendokumentasian dan
1
keberadaannya dapat dipertahankan. Bahasa Lubu merupakan salah satu bahasa suku terasing di Sumatera tepatnya di desa Sipaga-paga dan Aek Banir, Mandailing Natal Sumatera Utara. Orang Lubu dikenal dengan orang Siladang. Suku Lubu sebelumnya dikenal dengan suku yang tertutup, tetapi belakangan mereka sudah mulai berbaur dengan suku disekitarnya. Suku ini berdampingan dengan suku Mandailing. Orang Mandailing menganggap mereka adalah suku terasing karena bahasa mereka yang berbeda dengan orang Mandailing, serta jarangnya orang Lubu keluar dari desa mereka sendiri. Menurut sejarahnya orang Lubu berasal dari Minangkabau. Di zaman dahulu, sebelum
adanya
pembagian
suku
dikalangan
orang
Minangkabau,
terjadi
perperangan-perperangan. Banyak diantara mereka yang melarikan diri ke daerah Mandailing dan menetap di dalam hutan sehingga mereka terisolasi dari lingkungan luar. Orang-orang yang melarikan diri ke hutan ini lah yang dikenal dengan suku Lubu (Syafrina dan Sinar, 2010:3). Selain bahasa Lubu, bahasa yang juga digunakan oleh suku terasing di Sumatera adalah bahasa Sakai. Menurut Moszkowski (1909: 707) orang Lubu dan orang Sakai berasal dari keturunan yang sama. Hal ini terlihat dari pola hidup yang berpindah-pindah dan gelar kepala suku yang dipanggil “pembatin”. Selain itu, kebudayaan diantara keduanya hampir sama.
2
Bahasa Sakai adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Sakai yang bertempat tinggal di Kecamatan Mandau dan sebagian kecil di Kecamatan Dumai Kabupaten Bengkalis Riau. Masyarakat suku Sakai hidup di hutan secara berpindah-pindah, sehingga mereka dikategorikan sebagai salah satu suku terasing yang terdapat di daerah Riau daratan. Bahasa Sakai bukan hanya digunakan sebagai alat komunikasi sesama etnik, namun juga digunakan untuk berkomunikasi dengan etnik lainnya. Berdasarkan sejarahnya, masyarakat Sakai berasal dari Pagaruyung, Batu Sangkar Sumatera Barat. Negeri Pagaruyung yang saat itu sudah padat penduduk, berusaha mencari daerah pemukiman baru untuk menampung penduduknya. Pada saat itu, yang dipilih adalah wilayah-wilayah disebelah timur Pagaruyung karena tampak masih kosong dan hanya dipenuhi rimba belantara. Daerah tersebut adalah daerah Mandau yang didiami masyarakat Sakai sekarang (Suparlan, 1995: 73). Bahasa Minangkabau adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Minangkabau. Di Indonesia penutur bahasa Minangkabau menduduki peringkat kelima dari sepuluh bahasa daerah tersebar, sedangkan di Sumatera bahasa Minangkabau menduduki peringkat kedua terbesar setelah bahasa Melayu (Nadra, 2006:3). Pemakaian bahasa Minangkabau bukan hanya terdapat di Propinsi Sumatera Barat, tetapi juga di daerah lainnya tempat perantauan Minangkabau. Bahasa Minangkabau juga dipakai di daerah Sumatera Utara, Aceh, Riau, Bengkulu, dan Negeri Sembilan.
3
Bahasa Minangkabau memiliki fungsi sebagai alat komunikasi sehari-hari dan sebagai media sastra. Sebagai alat komunikasi bahasa Minangkabau dituturkan oleh masyarakat Minangkabau. Sebagai media sastra bahasa Minangkabau diungkapkan dalam pantun, nyanyian, dan pepatah. Selain dituturkan secara lisan, bahasa Minangkabau juga digunakan dalam naskah-naskah lama yang berkaitan dengan masyarakat Minangkabau sendiri. Menurut Adelaar (dalam Nadra, 2006: 4) bahasa Minangkabau bertalian dengan isolek-isolek melayik yang lain karena sama-sama diturunkan langsung dari bahasa induk yang sama yaitu bahasa Melayik Purba (PM). Status bahasa Minangkabau sejajar dengan bahasa Banjar Hulu, Serawai, Jakarta, Iban, dan Melayu Baku. Maka, dapat dijelaskan bahwa bahasa Minangkabau bukan dialek dari bahasa Melayu. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulan bahwa suku Lubu, Sakai, dan Minangkabau memiliki kekerabatan secara historis. Bahasa sebagai bagian dari budaya juga menunjukkan jika ketiganya memiliki hubungan yang erat. Hal ini terlihat kemiripan secara fonologi dan leksikal seperti yang terlihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Daftar sebagian kosa kata Lubu, Sakai, dan Minangkabau No
Glos
Lubu
Sakai
Minangkabau
1
di dalam
da dalam
di dalap
di dalam
2
busuk
bosↄɁ
bosouɁ
busuaɁ
3
duduk
dodↄɁ
dudouɁ
duduaɁ
4
4
hujan
hujan
ujat
ujan
5
istri
andaomah
bini
bini
6
baik
baɛɁ
baeiɁ
baiaɁ
7
hutan
hutan
utat
utan
8
di situ
da adu
di satu
di sinan
9
malu (pe-)
pamalu
pemalu
pamalu
10
balik
balɛɁ
baleiɁ
baliaɁ
Dari data tersebut secara sepintas tampak bahwa ketiganya memiliki kemiripan baik secara fonologis, leksikal, maupun morfologis. Data no.2 dan no.3 pada glos ‘busuk’ dan ‘duduk’ memperlihatkan adanya korespondensi bunyi ↄ: ou: ua pada bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau. Selain itu, data no.6 dan no.10 juga menunjukkan hal yang sama. Adanya korespondensi bunyi ɛ: ei: ia pada bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau. Hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam bahasa Lubu monoftong berkorespondensi dengan diftong dalam bahasa Sakai dan Minangkabau. Korespondensi antara Lubu, Sakai, dan Minangkabau juga menunjukkan adanya keteraturan pada konsonan akhir nasal dan konsonan akhir hambat. Pada bahasa Lubu dan Minangkabau, nasal bilabial bersuara berkorespondensi dengan hambat bilabial tak bersuara. Hal ini ditunjukkan oleh data no.1 pada glos ‘dalam’ dimana bahasa Lubu
dan
Minangkabau
[dalam]
sedangkan
bahasa
Sakai
[dalap]
yang
memperlihatkan korespondensi [m] dan [p]. Selain itu, nasal apikoalveolar
5
berkorespondensi dengan hambat apikoalveolar. Hal ini ditunjukkan oleh data no.7 pada glos ‘hutan’ dimana bahasa Lubu [hutan], Minangkabau [utan], dan Sakai [atat]. Dalam hal ini terjadi korespondensi nasal apikoalveolar [n] dengan hambat apikoalveolar [t]. Secara leksikal dan makna terdapat kosa kata yang persis sama antara bahasa Sakai dan Minangkabau yaitu kata ‘istri’ bini sementara dalam bahasa Lubu ‘istri’ andaomah. Secara morfologis imbuhan pe- dalam bahasa Lubu dan Minangkabau sama-sama terealisasi menjadi imbuhan pa-, sedangkan dalam bahasa Sakai terealisasi menjadi pe-. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis merasa perlu melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kekerabatan antara bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau baik secara sinkronis maupun diakronis dengan menggunakan metode leksikostatistik dan rekonstruksi bahasa. Sejauh mana tingkat kekeratan ketiga bahasa tersebut, meskipun secara historis ketiganya memiliki hubungan kekerabatan dan secara geografis ketiga daerah ini terletak di Pulau Sumatera.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a.
Bagaimanakah persamaan dan perbedaan sistem fonologis, leksikal, dan sebagian morfologis secara sinkronis bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau?
6
b.
Bagaimanakah silsilah kekerabatan bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau berdasarkan perhitungan leksikostatistik?
c.
Bagaimanakah relasi kekerabatan antara bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau secara kualitatif berdasarkan refleksi fonem PM pada bahasa Sakai, Lubu, dan Minangkabau dengan teknik rekonstruksi kajian LHK?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. a.
Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan sistem fonologis, leksikal, dan sebagian morfologis secara sinkronis bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau.
b.
Mendeskripsikan silsilah kekerabatan bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau berdasarkan perhitungan leksikostatistik.
c.
Mendeskripsikan
relasi
kekerabatan
antara
bahasa
Lubu,
Sakai,
dan
Minangkabau secara kualitatif berdasarkan refleksi fonem PM pada bahasa Sakai, Lubu, dan Minangkabau dengan teknik rekonstruksi kajian LHK.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada aspek fonologis, leksikon, dan sebagain sebagian morfologis karena ketiga aspek tersebut merupakan dasar dari penelitian linguistik historis komparatif. Data penelitian dibatasi pada daftar kosa kata
7
dasar Swadesh yang telah direvisi Blush dan kosa kata budaya dasar yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada tahun 1997. Penambahan kosa kata budaya dasar dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih lengkap sehingga ditemukan gambaran yang lebih tepat tentang bentuk fonologis, leksikon, dan sebagaian morfologis bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan secara praktis. Manfaat secara teoritis yang diharapkan adalah menambah pengetahuan tentang ciri-ciri kebahasaan dan pemahaman tentang kajian linguistik historis komparatif yang terdapat di daerah Sumatera khususnya bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau. Manfaat praktis yang diharapkan adalah sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya, membantu menjelaskan hubungan kebudayaan antara masyarakat Lubu, Sakai, dan Minangkabau, serta sebagai masukan terhadap upaya pembinaan dan pelestarian bahasa yang hampir punah.
1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau sudah pernah dilakukan oleh para pakar sebelumnya. Namun, kajian yang langsung melibatkan ketiga bahasa yang ada di Sumatera ini belum pernah dilakukan. Adapun
8
penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau seperti yang terkait dengan objek penelitian ini adalah sebagai berikut. Penelitian Tarigan (2006) yang berjudul “Refleksi Proto Melayu pada Bahasa Sakai dan Lubu Dua Suku Terasing di Sumatera: Tinjauan Fonologis, Leksikal, dan Sebagain Morfologis”. Penelitian ini hanya dilakukan secara kualitatif yang langsung menjelaskan refleksi proto melayu terhadap bahasa Sakai dan Lubu. Data penelitian bahasa Sakai diambil dari kamus Sakai-Indonesia yang disusun oleh A.Gani yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1985). Sedangkan data bahasa Lubu sendiri diambil dari penelitian lapangan di desa Sipapaga. Kosa kata yang digunakan 200 kosa kata dasar Swadesh. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa jumlah fonem bahasa Sakai lebih banyak dari bahasa Lubu. Fonem diftong bahasa Sakai ada empat, sedangkan bahasa Lubu hanya ada dua. Fonem vokal dan konsonan baik dalam bahasa Sakai maupun Lubu memiliki jumlah yang sama. Dari segi leksikal, terjadinya penambahan bunyi pada awal kata (protesis) pada kata ‘bopo’ dan ‘haso’ dari PM*apa dan *asap pada bahasa Lubu, sedangkan bahasa Sakai tidak ada penambahan bunyi di awal kata (protesis). Dari kajian morfologi tampak bahwa dalam bahasa Lubu konfiks PM*bAr + Dasar + an > masi + Dasar + an dengan makna ‘saling’, namun dalam bahasa Sakai tidak ditemukan. Selain itu, pada bahasa Sakai dan Lubu ditemukan inovasi fonologis secara bersama berupa merger PM*t dan *k pada posisi akhir kata berubah menjadi glotal /Ɂ/ pada bahasa Sakai dan Lubu, PM*h dan *s pada posisi akhir kata menjadi
9
/h/ pada bahasa Sakai dan Lubu. PM*k mengalami inovasi bersama berupa split pada bahasa Sakai dan Lubu. Penggalan konsonan -r pada afiks {ber-} dan {ter-} pada bahasa Sakai dan Lubu merupakan inovasi bersama yang ditemukan pada kedua bahasa. Masrukhi (2002) dengan judul “Refleksi Fonologis Protobahasa Austronesia (PAN) pada bahasa Lubu (BL)”. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa bahasa Lubu termasuk dalam rumpun PAN yang sehari-hari masih digunakan oleh orang Lubu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada 20 konsonan dalam bahasa Lubu. Bahasa Lubu juga mengalami retensi dan inovasi. Retensi yang terjadi sebanyak 16 konsonan yaitu /*b/, /*c/, /*d/, /*g/, /*h/, /*j/, /*k/, /*l/, /*m/, /*n/, /*ñ/ /*Ɂ/, /*p/, /*s/, /*t/, dan /*y/. Fonem yang mengalami inovasi adalah *b > w, *r > w, *d > Ɂ, *k > Ɂ, *p > Ɂ, *t > Ɂ, *s > h, dan *c > s. Pemertahanan dan perubahan fonem konsonan PAN dalam bahasa Lubu tersebut bersifat primer. Syafrina dan Sinar (2010) meneliti tentang fonologi bahasa Lubu dengan judul penelitian “Prosodi Bahasa Siladang Sumatera Utara”. Dalam penelitian ini dijelaskan bahasa Lubu sekarang ini lebih dikenal dengan bahasa Siladang dan sudah banyak dipengaruhi oleh bahasa Batak/Angkola Mandailing serta banyak mengalami interferensi terutama dibidang kosa kata. Penelitian ini difokuskan pada aspek tuturan bahasa Lubu yang berkaitan dengan ciri gender penutur bahasa tersebut. Prosodi berfungsi sebagai pembatas dalam tuturan yang meliputi durasi dan frekuensi tuturan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nada awal, tengah, dan akhir pada perempuan
10
lebih tinggi dari laki-laki. Meskipun nada awal, tengah, akhir laki-laki lebih dari perempuan, namun perbedaan nada tidak signifikan. Begitu juga dengan analisis nada terendah, pada laki-laki nada terendah lebih rendah dibanding pada perempuan. Baikoni (2008) melakukan analisis terhadap bahasa Sakai dan bahasa Minangkabau berdasarkan data yang ada dalam kamus secara sekilas. Penelitian dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua bahasa memiliki hubungan yang cukup erat. Hal ini diperlihatkan dengan adanya temuan perubahan bahasa Minangkabau menjadi bahasa Sakai. Perubahan itu antara lain vokal /a/ dalam bahasa Minangkabau berubah menjadi vokal /o/ dalam bahasa Sakai. Selain itu, temuan ini juga didukung dengan bukti sejarah yang mana orang Sakai dinyatakan berasal dari Pagaruyung, daerah Minangkabau. Kalipke (2010) meneliti tentang fonologi, leksikal, dan morfologi bahasa Sakai. Penelitian ini lebih menekankan pada pengarsipan kosa kata dalam bahasa Sakai. Penelitian ini dipublikasi dalam bentuk kamus dengan judul “WÖrterbuch Sakai-Indonesia-Deutsch”. Secara fonologi bahasa Sakai terdiri dari 5 vokal, 2 semi vokal, dan 19 konsonan. Secara garis besar bahasa Sakai memiliki 6 diftong yang sering muncul pada kosa kata bahasa Sakai. Secara morfologi bahasa Sakai terdiri atas prefiks, infiks, dan sufiks. Prefiks berupa {ber-}, {me-}, {meng-}, {pe-}, {peng-}, dan {ter-}. Sedangkan sufiks terdiri atas {-an}, {-i}, dan {-nya}. Sofyan (2009) yang meneliti tentang bahasa Sakai dengan judul “Sejarah Perkembangan Bahasa Sakai” menyatakan bahwa berdasarkan rekonstruksi yang
11
dilakukan terhadap kata-kata kognat antara bahasa Sakai dengan Proto Melayik ditemukan bahwa bahasa Sakai mengalami perkembangan. Perkembangan yang terjadi adalah unsur fonologis PM mengalami retensi dan inovasi baik secara primer maupun sekunder. Retensi fonem vokal berupa *a, *i, *u, diftong yaitu *aw dan *ay, sedangkan konsonan yaitu *p, *b, *t, *d, *c, *k, *g, *j, *h, *m, *n, *ŋ, *ñ, *s, *l, *w, dan *y. Inovasi primer yang terjadi pada vokal adalah substitusi, split, dan merger. Substitusi berupa *a > ↄ, *ǝ > a, *ǝ > ↄ, dan *i > e. Split berupa *u > i dan ui, *i > i, e dan a. Merger yang terjadi berupa *ǝ, *i > e. Inovasi primer yang terjadi pada konsonan antara lain *h > ø, *r > ø, *s > ø. Unsur fonologi PM yang mengalami inovasi sekunder dalam bahasa Sakai antara lain *aw, *d, *n, *ŋ, *l, *r, dan *w. Nadra (2006) yang meneliti dialek bahasa Minangkabau. Hasil penelitiannya yang berjudul “Rekonstruksi Bahasa Minangkabau” memperlihatkan bahwa berdasarkan fonologis bahasa Minangkabau terdiri atas 16 dialek. Berdasarkan unsur morfologis bahasa Minangkabau terdiri atas 39 dialek, sedangkan berdasarkan leksikal bahasa Minangkabau terdiri atas 7 dialek. Unsur fonologis dan morfologis mendukung pengelompokan dialek berdasarkan unsur leksikal. Namun, jika ketiga hal tersebut dipertimbangkan lebih jauh, maka setiap daerah titik pengamatan dapat menjadi dialek sendiri-sendiri. Hasil yang didapatkan bukan pengelompokan melainkan hanya keanekaragaman. Padahal salah satu tujuan penelitian geografik dialek adalah untuk menentukan pengelompokan dialek. Oleh karena itu, untuk selanjutnya pengelompokan dialek bahasa Minangkabau berdasarkan unsur leksikal.
12
Balai bahasa juga pernah melakukan penelitian tentang bahasa Minangkabau yang diketuai oleh Ayub (1993). Hasil penelitian dituangkan dalam bentuk “Tata Bahasa Minang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan inventarisasi dan pembinaan terhadap bahasa Minangkabau. Dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat empat macam dialek Minangkabau yaitu dialek Tanah Datar, Agam, Limo Puluah Kota, dan Pesisir. Secara fonoligis bahasa Minangkabau memiliki 5 vokal dan 19 konsonan. Kata dasar dalam bahasa Minangkabau terdiri atas satu suku kata, dua suku kata, tiga suku kata, dan empat suku kata. Secara morfologis bahasa Minangkabau memiliki prefiks {ba-}, {ma(N)-}, {ta-}, {pa(N)-}, dan {ka-}. Sufiks ada dua yaitu {-an} dan {-i}. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kekerabatan antara bahasa Sakai, Lubu, dan Minangkabau belum pernah diteliti. Maka dari itu penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hubungan kekerabatan ketiga bahasa tersebut.
1.7 Kajian Teori Menurut Sudaryanto (1993: xxi) salah satu dari tujuh kesemestaan budaya adalah bahasa. Selain itu, bahasa juga merupakan satu-satunya wahana kebudayaan itu sendiri. Bahasa layak mendapat perhatian serius demi mempermudah pemahaman tentang berbagai aspek budaya. Setiap budaya memiliki ciri pembeda dengan yang lain, termasuk bahasa yang digunakan. Budaya tertentu menggunakan bahasa sebagai
13
alat komunikasi dikalangan mereka yang menjadikan mereka berbeda dengan yang lain. Bahasa sebagai bagian dari masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial penuturnya. Perubahan faktor-faktor sosial yang terjadi dilingkungan penutur sangat berperan dalam memunculkan perubahan-perubahan bahasa (Poedjosoedarmo, --: 37). Dalam linguistik ilmu yang mengkaji tentang perkembangan bahasa dari satu masa ke masa yang lain, mengamati bagaimana cara bahasa mengalami perubahan, serta mengkaji sebab-sebab perubahan bahasa adalah linguistik historis komparatif (Fernandez, 1994: 1). Menurut Robinson (dalam Fernandez, 1994: 1) linguistik historis komparatif memiliki peranan penting dalam memberikan sumbangan berharga bagi pemahaman tentang hakikat kerja bahasa dan perkembangan atau perubahan bahasa-bahasa di dunia. Linguistik komparatif memberikan penjelasan mengenai hakikat perubahan bahasa, baik yang wujudnya penentuan fakta maupun tingkat kekerabatan antar rumpun bahasa sekerabat. Linguistik historis komparatif membandingkan antara yang satu terhadap bahasa yang lain dengan mempertimbangkan faktor waktu, baik secara sinkronis maupun diakronis. Secara sinkronis yaitu penelitian yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi dalam satu masa yang terbatas dan tidak melibatkan histori. Sedangkan penelitian diakronis adalah penelitian yang berkaitan dengan bahasa-bahasa yang berkerabat dan lebih dari satu kurun waktu tertentu (Kridalaksana, 2001: 42).
14
Linguistik historis komparatif juga mengkaji perubahan perkembangan bahasa dari protobahasa kepada bahasa yang ada sekarang. Hal yang paling mendasar dan penting dalam perubahan bahasa terletak pada tataran fonologi dan morfologi (Kooij, 1994: 263 ; Crowley, 1998:11). Walaupun bahasa yang ada senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu, bahasa yang ada sekarang akan merefleksikan bentuk-bentuk yang terdapat pada protobahasanya (Crowley, 1987: 15). Artinya, bahasa yang diturunkan dari bahasa protobahasanya
akan
merefleksikan
bentuk-bentuk
yang
terdapat
dalam
protobahasanya. Kita akan dapat menjelaskan perubahan atau sejarah perkembangan suatu bahasa dengan cara membandingkan atau melakukan rekonstruksi terhadap protobahasanya. Dalam penelitian historis komparatif secara diakronis dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pada kuantitatif dilakukan dengan cara leksikostatistik dengan tujuan mengetahui tingkat kedekatan kekerabatan bahasa (Dyen dalam Fernandez, 1996: 19). Leksikostatistik merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh tingkat kekerabatan antarbahasa dengan cara membandingkan kosa katanya dan membedakan tingkat kemiripannya (Suyata, 1997: 16) Tujuan penggunaan leksikostatistik adalah sebagai berikut. a.
Dapat menentukan hubungan kekerabatan bahasa secara garis besar dengan cepat atau sekilas.
b.
Merupakan alat pengelompokkan bahasa secara kuantitatif.
15
Beberapa asumsi dasar leksikostatistik adalah sebagai berikut (Keraf, 1996:123-124 ; Parera, 1991: 107). a.
Sejumlah kata-kata atau bahasa sulit sekali untuk diganti. Kata-kata ini merupakan kosa kata dasar Morris Swadesh sebanyak 200 kosa kata. Kosa kata ini merupakan unsur mati hidupnya suatu bahasa. Jadi, kosa kata ini bersifat umum dan nonkultural.
b.
Daya tahan kosa kata tersebut relatif lama dan akan bertahan selama 1000 tahun. Sejumlah kosa kata dasar dari sebuah bahasa sesudah 1000 tahun akan bertahan dengan persentase tertentu.
c.
Laju kehilangan setiap kosa kata dasar pada setiap bahasa adalah sama. Langkah pelaksanaan leksikostatistik yaitu:
a.
Pengumpulan data.
b.
Penentuan kognat atau tidak.
c.
Perhitungan persentase kekerabatan. Rumus persentase leksikostatistik adalah
jumlah kata kerabat x100% jumlah kosa kata yang dibandingkan d.
Penentuan hubungan kekerabatan Hasil persentase yang didapatkan dari perhitungan ini berupa persentase jarak
unsur-unsur kebahasaan diantara daerah-daerah pengamatan. Persentase unsur-unsur kebahasaan digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan dengan kriteria yang diajukan oleh Dyen yaitu sebagai berikut.
16
1. Perbedaan dialek dalam satu bahasa dengan persentase 81-100% 2. Perbedaan bahasa dalam satu keluarga bahasa dengan persentase 36-81% 3. Perbedaan keluarga bahasa dalam satu rumpun dengan persentase 12-36% 4. Hubungan mikrofilum dengan persentase 4-12% 5. Hubungan mesofilum dengan persentase 1-4% 6. Hubungan makrofilum dengan persentase kurang dari 0-1% Pada tahap kualitatif dilakukan dengan teknik rekonstruksi dengan tujuan melihat perubahan atau perkembangan yang terjadi pada suatu bahasa. Unsur bahasa yang direkonstruksi untuk mengetahui perkembangan bahasa adalah perangkat kognat. Hasil dari rekonstruksi perangkat kognat tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan kaidah-kaidah perubahan yang terjadi pada sebuah bahasa, baik perubahan yang bersifat primer (perubahan yang teratur) maupun perubahan yang bersifat sekunder (perubahan yang tidak teratur). Agar sejarah perkembangan sebuah bahasa dapat diketahui secara jelas, maka harus diuraikan tidak hanya unsur inovasi (unsur yang mengalami perubahan) tetapi juga harus diuraikan unsur retensi (unsur yang dipertahankan) yang terdapat dalam bahasa tersebut. Berdasarkan fakta-fakta retensi dan inovasi bersama yang ditemukan, maka dapat dibuktikan tingkat kekerabatan antarbahasa (Dyen dan Byon dalam Mbete, 2002: 6).
17
Menurut Mahsun (2012: 29-31) korespondensi suatu kaidah dapat dibagi menjadi tiga tingkat yaitu: a.
Korespondensi sangat sempurna. Kondisi ini terjadi jika perubahan bunyi itu berlaku untuk semua contoh yang disyaratkan secara linguistik dan daerah sebaran geografis yang sama.
b.
Korespondensi sempurna. Kondisi ini terjadi jika perubahan itu berlaku pada semua contoh yang disyaratkan secara linguistik, namun beberapa contoh memperlihatkan daerah sebaran geografisnya tidak sama.
c.
Korespondensi kurang sempurna. Kondisi ini terjadi jika perubahan itu tidak terjadi pada semua bentuk yang disyaratkan secara linguistik, namun sekurang-kurangnya terdapat pada dua contoh yang memiliki sebaran geografis yang sama. Beberapa faktor yang melatarbelakangi kemajuan rekonstruksi fonologi dan
leksikon yaitu: a.
Segmen-segmen bunyi ataupun fonem setiap bahasa pada umumnya terbatas jumlahnya jika dibandingkan dengan tataran morfologi dan sintaksis.
b.
Lebih mudah menemukan evidensi dalam jumlah yang memadai dibandingkan dengan tataran-tataran yang lain.
c.
Perubahan bunyi merupakan perubahan bahasa yang lebih lama dan terus menerus diteliti sehingga pemahaman tentang hakikat perubahannya jauh lebih memadai.
18
d.
Kendati ada pengecualian perubahan bunyi bersifat teratur.
1.8 Hipotesis Kerja Hipotesis
penelitian
merupakan
dugaan
sementara
atas
jawaban
dari
permasalahan yang akan diteliti (Kesuma, 2007:40). Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka, dan kajian teori yang telah diuraikan, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Perhitungan leksikostatistik menunjukkan hubungan kekerabatan ketiga bahasa. Dari hasil persentase diketahui bahwa bahasa Sakai dan Minang memiliki hubungan kekerabatan yang paling erat yaitu sebesar 82%. Dilanjutkan dengan kekerabatan antara bahasa Lubu dan Minangkabau sebesar 69,31%. Hubungan paling jauh diantara ketiganya adalah bahasa Lubu dan Sakai yaitu dengan persentase sebesar 65,61%.
2.
Bahasa Lubu, Sakai, dan Minangkabau memiliki persamaan dan perbedaan dilihat dari aspek fonologi, leksikal, dan sebagian morfologis. Persamaan dari ketiga aspek tersebut diasumsikan lebih banyak ditemukan antara bahasa Sakai dan Minangkabau, dibandingkan antara Lubu dan Sakai atau antara Lubu dan Minangkabau.
3.
Adanya retensi dan inovasi secara fonologis dan leksikal yang menunjukkan ketiga bahasa dari induk yang sama.
19
1.9 Sistematika Penelitian Penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut. 1.
Bab I bagian pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kajian teori, hipotesis, dan sistematika penyajian.
2.
Bab II mendeskripsikan metodelogi penelitian yang mencakup metode penyediaan data, metode analisis data, dan penyajian hasil analisis data.
3.
Bab III mendeskripsikan daerah penelitian yang berisi kilasan sejarah, situasi geografis, situasi sosial budaya, dan situasi kebahasaan. Daerah penelitian yang akan dideskripsikan adalah desa Aek Banir tempat tinggal suku Lubu, daerah Mandau tempat tinggal suku Sakai, dan daerah Kamang Mudiak tempat tinggal suku Minangkabau.
4.
Bab IV merupakan kajian sinkronis yang memuat deskripsi sistem fonologis, leksikal, dan sebagian morfologis bahasa Lubu , Sakai , dan Minangkabau.
5.
Bab V merupakan kajian diakronis berisi deskripsi hasil perhitungan leksikostatistik secara kuantitatif, evidensi kekerabatan bahasa Minangkabau dan Sakai, dan rekonstruksi PM terhadap Prabahasa Minangkabau-Sakai dan bahasa Lubu.
6.
Bab VI berupa kesimpulan dan saran.
20