1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat sehingga tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum didalam hidup berbangsa dan bernegara. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya yang dapat menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain. Untuk mencegah hal tersebut, makahukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga manusia tidak dapat berbuat sekehendak hatinya. 1 Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan ataupun mendekati kebenaran materiil. Kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, serta selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Demikian pula setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hukum acara
1
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan, 2013, hlm. 10-11.
1 Universitas Sumatera Utara
2
mengatur pula pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut.Apa saja yang telah diatur dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum di dalam kehidupan masyarakat, namun juga bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tiap individu, baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum. 2 Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mendasar yang kodratnya melekat pada diri manusia itu sendiri, hak tersebut bersifat universal dan permanen, oleh karena itu Hak Asasi Manusia harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, serta dikurangi ataupun dirampas oleh orang lain. Indonesia yang merupakan negara hukum menghendaki agar hukum itu ditegakkan, artinya ialah hukum itu harus dihormati dan ditaati oleh siapapun baik warga masyarakat maupun oleh pemerintah itu sendiri. Penegakkan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakkan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila Undang-Undang yang telah menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta dari tindakkan aparat penegak hukum tersebut tidak sesuai dengan dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, maka sudah otomatis penegak hukum tidak mencapai sasarannya. Aparat penegak hukum terkadang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertindak tidak berdasarkan prosedur sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang. Misalnya, dalam melakukan tindakan upaya paksa 2
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
3
kepada tersangka seperti melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, atau penggeledahan yang tidak berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal initerjadi karena tidak adanya profesionalisme diantara penegak hukum. Profesionalisme tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kasus yang dikerjakan serampangan. Hal ini bisa dilihat dan tersangka yang dipaksa mengakui sesuatu yang tidak mereka lakukan. Hukum bukan lagi sebagai alat mencari keadilan, melainkan sekedar mencari kesalahan, apabila tidak ditemukan benang merahnya untuk menghubungkan seseorang sebagai sasaran bidik untuk dijadikan tersangka, diobrak-abrik lagi disisi lain yang sebenarnya hubungannya dipaksa-paksakan. Maka tak mengherankan bahawa kemudian pengadilan sesat terjadi. 3 Sudah menjadi rahasia umum, hukum seringkali diperjual belikan. Inilah yang menyebabkan hukum bisa direkayasa. Aspek moral baik pada persoalan ketidakpekaan aparat penegak hukum terhadap rasa keadilan masyarakat. Kasuskasus yang akhir-akhir ini menunjukkan betapa keadilan masyarakat terkoyak.Bab III Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bahwa kepada hakhak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka KUHAP mempunyai perbedaan yang fundamental dengan HIR, terutama tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
3
Pamungkas. E.A, Peradilan Sesat Membongkar Kesatuan Hukum di Indonesia, Nevila, Yogyakarta, 2010, hlm.11
Universitas Sumatera Utara
4
Adapun mengenai perbedaan tersebut, terlihat dengan diaturnya hal-hal berikut : 4 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Hak-hak tersangka/terdakwa. Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan. Dasar hukum bagi penangkapan/penahanan dan pembatasan jangka waktu. Ganti kerugian dan rehabilitasi. Penggabungan perkara perdata dan pidana dalam hal ganti rugi Upaya hukum Koneksitas Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Dapat dimengerti bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi oleh karena HIR
diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa dengan tujuan untuk menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini pihak penjajah. Perkembangan dan kemajuan zaman yang semakin moderen serta didasari pada perkembangan era kemerdekaan Republik Indonesia, sistem yang dianut oleh HIR dirasakan telah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional. Seiring dengan tuntutan dan kebutuhan yang asasi dari setiap negara yang lebih maju, termasuk tuntutan pada dasar-dasar pemikiran pada beberapa lembaga hukum tertentu dalam hukum acara pidana yang dikaitkan dengan kebutuhan asasi dalam pergaulan masyarakat, yang senantiasa berkembang dan mencari permasalahan beserta pemecahannya atas dasar pokok pemikiran yang diciptakan oleh pembuat Undang-Undang bagi tata tertib yang sesuai dengan situasi dan kondisi di negara RI sebagai negara hukum. 5
4
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 8 5 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
5
Pada era KUHAP tersebut, telah dipikirkan bagaimana pokok pemikiran yang didasari pada pikiran tertentu itu dapat diterapkan dan dilaksanakan di negara kita, berdasarkan pada jangkauan keseluruhan sistem peradilan pidana, sehingga peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam KUHAP dapat mencapai sasaran dan tujuannya serta dapat mewujudkan suatu penyelesaian yang baik dan luhur bagi kepentingan masyarakat indonesia, sebagai salah satu usaha guna menciptakan tata tertib,keamanan, ketentraman dalam keseluruhan sistem peradilan pidana sebagai suatu rangkaian yang terpadu. 6 Oleh karena itu, apabila KUHAP dapat memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata penyelesaian perkara pidana secara normatif, maka didalam implementasinya secara faktual sangat diperlukan adanya suatu pedoman dalam pelaksanaannya. Dan apabila KUHAP secara tegas dan prinsipil, telah menentukan adanya pembagian fungsi, tugas dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum. Seperti Kepolisian RI, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, maka dalam pelaksanaannya diisyaratkan pula adanya keserasian hubungan serta kordianasi antara instansi penegak hukum. 7 Atas dasar itulah didalam pelaksanaanya diperlukan adanya konsepsi “integrated criminal justice system” yang memandang bahwa proses penyelesaian perkara pidana adalah satu rangkai kesatuan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara sampai pada penyelesaian di Lembaga Pemasyarakatan. 8
6
Ibid., hlm. 8-9 Ibid., hlm. 9 8 Ibid. 7
Universitas Sumatera Utara
6
Namun pada kenyataannya KUHAP lebih baik dari sistem HIR dalam memberikan
perlindungan
hak-hak
asasi
manusia
dalam
keseimbangan
kepentingan individu atau kepentingan masyarakatnya, pembaharuan ini dapat dilihat antara lain dengan dimuatnya ketentuan mengenai hak tersangka atau terdakwa dalam menuntut ganti kerugian, karena ditahan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Dengan demikian jelaslah bahwa latar belakang munculnya KUHAP adalah dilandasi oleh spirit untuk memberikan jaminan perlindungan HAM yang lebih baik dibandingkan dengan suatu acara pidana yang ada sebelumnya. Sehingga penegakkan hukum di Indonesia terlaksana denga jujur dan adil. Guna mengungkapkan kebenaran agar dapat menegakkan keadilan, para aparat hukum tidak dapat terlepas dari dukungan masyarakat yang memiliki kadar kesadaran
hukum yang mantap. Dalam GBHN 1993, dirumuskan sebagai
berikut: 9 “.................sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati secara serasi hak dan kewajibannya sebagai warga negara serta terbentuknya perilaku warga negara yang taat hukum”. Hakim menjatukan putusan berdasarkan hasil musyawarah Majelis Hakim, terdakwa akan diputus bebas jika kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, tetapi 9
Leden Marpaung, Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana,Manajemen PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
7
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jika Terdakwa dalam status tahanan, Hakim Ketua majelis memerintahkan agar terdakwa dibebaskan seketika itu juga. Dalam keadaan seperti inilah seseorang dapat menuntut haknya kepadaNegara. Perkara salah tangkap bukan cerita baru dalam dunia hukum di Indonesia, contohnya dalam kasus pembunuhan Asrori di Jombang yang sempat menghentakkan dunia hukum Indonesia. Dalam Perkara ini Maman Sugianto, Kemat, dan David dituduh melakukan pembunuhan terhadap seorang pria di kebun tebu Desa Barakan. Pria tersebut awalnya diduga bernama Asrori,Majelis Hakim PN Jombang menjatuhkan vonis terhadap Kemat dan David, masingmasing 17 tahun penjara dan 12 tahun penjara pada bulan Mei 2008, sementara terdakwa Maman Sugianto diputus bebas oleh Majelis Hakim pada tanggal 24 November 2008. Namun di tengah persidangan terdakwa Maman Sugianto, Verry Idham Henyansyah alias Ryan mengaku sebagai pembunuh Asrori, dan jenazahnya dikuburkan di belakang rumah orangtuanya Ryan di Desa Jatiwates Jombang.Kemat dan David mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Mahkamah Agung, dan Majelis Hakim mengabulkan permohonan PK tersebut. Muncul bukti-bukti baru berupa Pengakuan Ryan dan hasil tes DNA yang dilakukan Laboratorium Pusdokkes Polri yang menyebutkan korban pembunuhan di kebun tebu bukan Asrori sebagaimana dakwaan jaksa serta putusan Pengadilan Negeri (PN) Jombang. Hasil tes DNA itu membuktikan korban pembunuhan itu adalah Fauzin Suyino. Hal itu juga dikuatkan dengan hasil tes DNA yang
Universitas Sumatera Utara
8
dilakukan oleh petugas forensik Polda Jawa Timur yang sebelumnya telah mengangkat kerangka mayat Asrori dari belakang rumah orangtua Ryan. Sedang mayat di kebun tebu Desa Brakan sesuai hasil tes DNA adalah mayat Fauzin Suyanto, warga Kelurahan Ploso, Nganjuk. Dua pelakunya, Rudi Hartono alias Rangga dan Joni Kristanto pun sudah tertangkap dan kini telah ditahan di Mapolda Jatim. Berdasarkan bukti-bukti tersebut akhirnya Mahkamah Agung memulihkan hak, kedudukan, harkat, dan martabat kedua terpidana. Kemat dan David sebelumnya terpaksa mengakui perbuatan pembunuhan itu karena adanya tekanan saat menjalani pemeriksaan di Mapolsek Bandar Kedungmulyo. Kemat dan David telah menjalani hukuman selama satu tahun lebih sejak Oktober 2007.Kendati sudah mendapat kepastian hukum dan dinyatakan tidak bersalah dalam kasus ini dan menjadi korban salah tangkap, namun pihak keluarga tidak mengajukan tuntutan apapun kepada Negara. Kasus ini membuktikan bahwa di Indonesia masih banyak masyarakat awam yang belum mengetahui tentang adanya hak tersangka atau terdakwa dalam hal menuntut ganti kerugian pada perkara pidana, dan juga banyak masyarakat yang tidak tahu bagaimana proses atau prosedur bagi tersangka ataupun terdakwa yang telah diputus bebas dan ingin menuntut ganti kerugian,maka atas dasar tersebutlah penulis berinisiatif untuk meneliti lebih lanjut mengenai penerapan permohonan ganti kerugian atas putusan bebas dalam perkara pidana serta melakukan
analisis
terhadap
Penetapan
PN
Semarang
No.
15/Pid.GR/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/PID/2013/PT.SMG, dan Putusan MA No. 1262/K/PID/2012. Penulis menuangkannya dalam sebuah karya
Universitas Sumatera Utara
9
ilmiah dengan judul “PENERAPAN PERMOHONAN GANTI KERUGIAN ATAS PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA PIDANA”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaturan ganti kerugian menurut hukum acara pidana di Indonesia?
2.
Bagaimana penerapan permohonan ganti kerugian atas putusan bebas di dalam Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang
No.
49/PID/2013/PT.SMG,
dan
Putusan
MA
No.
1262/K/PID/2012.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian dan pembahasan suatu permasalahan sudah selayaknya memiliki tujuan dan manfaat sesuai dengan masalah yang dibahas. Maka yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui permohonan ganti kerugian menurut hukum acara pidana
2.
Untuk mengetahui penerapan permohonan ganti kerugian atas putusan bebas di dalam Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang
No.
49/PID/2013/PT.SMG,
dan
Putusan
MA
No.
1262/K/PID/2012
Universitas Sumatera Utara
10
Penulisan skripsi ini juga diharapakan dapat memberi manfaat secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan kajian maupun masukan terhadap pemahaman mengenai permohonan ganti kerugian atas putusan bebas serta pemahamannya didalam menganalisis Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang
No.
49/PID/2013/PT.SMG,
dan
Putusan
MA
No.
1262/K/PID/2012. 2.
Secara praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan refrensi demi perkembangan ilmu pengetahuan, serta informasi mengenai permohonan ganti kerugian atas putusan bebas serta pemahamannya didalam menganalisis Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/PID/2013/PT.SMG, dan Putusan MA No. 1262/K/PID/2012.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelitian di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka skripsi yang berjudul “Penerapan Permohonan Ganti Kerugian atas Putusan Bebas
dalam
Perkara
Pidana
(Penetapan
PN
Semarang
No.
15/Pid.GR/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/PID/2013/PT.SMG, dan Putusan MA No. 1262/K/PID/2012)” belum pernah diajukan. Oleh karena itu maka penelitian skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan.
Universitas Sumatera Utara
11
E. Tinjauan Pustaka 1.
Pengertian ganti kerugian Seperti diketahui bahwa “Ganti Kerugian dan Rehabilitasi” merupakan
suatu lembaga baru dan tidak dikenal sebelumnya dalam HIR 10. Pasal 1 butir 22 KUHAP menyebutkan: “bahwa ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang terapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal 1 butir 22 KUHAP tersebut jelas menyebutkan bahwa “kerugian” yang diganti hanyalah berupa imbalan sejumlah uang sebagai hak seseorang yang dapat dituntutnya akibat dari keadaan tertentu. Sebagaimana dimaklumi, dalam teknik pembuatan Undang-Undang maka bab tentang Ketentuan Umum semua pasal-pasal yang berisi batasan-batasan untuk mengembalikan atau menguji pengertian secara otentik. Pasal 99 KUHAP menyebutkan bahwa kerugian itu berarti, “biaya yang telah
dikeluarkan”.
Pengertian
ini
termasuk/meliputi
diantaranya
biaya
pengobatan atau biaya pemulihan cacat (dengan contoh konkret: membuat gigi palsu, pengecatan/pengetokan mobil) yang langsung diderita oleh saksi korban. Kerusakan-kerusakan lain atas derita orang lain yang karena keadaan memaksa atau karena kesalahan penyidik dapat pula diajukan permintaan ganti rugi digabungkan atas permintaan orang lain tersebut. Namun demikian kebenaraan materiil sesuatu kasus perkara haruslah diteliti dengan sungguh10
Djoko Prakoso., Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hlm.
96
Universitas Sumatera Utara
12
sungguh, sehingga seseorang yang seharusnya menjadi saksi koban tidak akan dijadikan tersangka hanya karna tersangka yang sebenarnya telah melarikan diri. Hal ini wajib ditegakkan pula oleh penuntut umum dalam tahap prapenuntutan. Pasal 101 KUHAP menyebutkan bahwa ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi ganti kerugian sepanjang dalam Undang-Undang ini tidak diaturlain. Maka dengan demikian yang akan diperiksa oleh Pengadilan Pidana hanyalah mengenai permintaan: 11 Ganti rugi menurut Pasal 77 (b)KUHAP jo.Pasal 95 ayat 2 KUHAP berbunyi, “Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Sedangkan Pasal 95 ayat 2 KUHAP berbunyi,“Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasrkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud didalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus sidang praperadilan sebagaiman dimaksud dalam pasal 77”. Ganti rugi menurut Pasal 81 akibat tidak sahnya penangkapan atau penahan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, Ganti rugi karena adanya benda yang disita yang termasuk alat pembuktian (Pasal 82 ayat (1) huruf b), Ganti rugi karena dikenakan tindakan lain, yaitu kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, Ganti rugi oleh saksi korban/orang lain dalam penggabungan
11
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
13
(Pasal 98 ayat (1)) melalui perantaraan atau dititipkan kepada penuntut umum seperti tercantum dalam alinea pertama Pasal 98 ayat (2) dan atau oleh orang lain yang tidak menjadi saksi, tetapi kerugiannya timbul langsung oleh tindak pidana itu atau oleh tindakan penyidik dalam melakukan upaya paksa, Ganti rugi dengan acara praperadilan (pasal 195 KUHAP), Ganti rugi karena telah terjadi selisih mengenai lamanya penahanan melebihi lamanya pidana perampasan kemerdekaan badan yang dijatuhkan, diperiksa dengan acara praperadilan (penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP), Ganti rugi yang berdarkan pasal 95 ayat (5) KUHAP diadili dengan mengikuti acara praperadilan atas hal-hal sebagaimana disebut dalam ayat (1) pasal tersebut.
2.
Putusan dan Bentuk-Bentuk Putusan menurut Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 11 KUHAP menjelaskan bahwa putusan Pengadilan adalah
pernyataan Hakim yang diucapkan didalam acara persidangan Pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Apabila Hakim memandang pemeriksaan persidangan sudah selesai, maka penuntut umum dipersilakan untuk membaca tuntutannya dan setelah itu giliran Terdakwa dan Penasihat Hukumnya membacakan pembelaannya yang dapat dijawab oleh Penuntut Umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir, hal ini berdasarkan pada Pasal 182 ayat (1) KUHAP. Tuntutan serta jawaban atas pembelaannya dilakukan secara tertulis dan setelah siap dibacakan tuntutan serta jawaban atas pembelaan tersebut harus
Universitas Sumatera Utara
14
segara diserahkan kepada Hakim Ketua sidang dan turunnya kepada pihak yang berkepentingan. 12 Jika cara tersebut sudah selesai maka Hakim Ketua menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan perkara tersebut ditutup. Putusan Pengadilan Negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari dimana Hakim Ketua menyatakan perkara tersebut telah ditutup, atau juga pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan pada Penuntut Umum, Terdakwa, atau Penasihat Hukumnya, dan penundaan penjatuhan putusan Hakim tersebut paling lama 14 hari. 13 Sesudah pemeriksaan perkara tersebut dinyatakan tutup, Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan, dan musyawarah itu dilakukan saat Terdakwa, Saksi, Penasihat Hukum, dan Penuntut Umum serta hadiran telah meninggalkan ruangan sidang, ataupun dapat dilakukan secara tertutup ditempat lain. Dan jika musyawarah itu tidak menghasilkan kemufakatan yang bulat maka dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: 14 a.
Putusandengan cara voting yaitu dengan mengambil suara terbanyak dari ketiga orang majelis hakim tersebut.
b.
Jika
voting tersebut tidak berhasil maka putusan akan diperoleh dari
pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa. Pelaksanaan pengambilan keputusan didasarkan kepada surat dakwaan dan segala hal yang terbukti didalam persidangan diPengadilan. Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila diucapkan disidang
12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Hlm 282. Ibid., hlm. 282-283 14 Ibid. 13
Universitas Sumatera Utara
15
terbuka untuk umum. Penjatuhan putusan Hakim dinyatakan dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal KUHAP dan undang-undang lain menentukan hal lain. Pengucualian didalam KUHAP ialah dalam acara pemeriksaan cepat, dimana putusan dapat dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa dan juga terdakwa dapat menunjuk orang lain untuk mewakilinya disidang Pengadilan. Pengeculian di dalam Undang-Undang contohnya ialah didalam Undang-Undang Pidana Khusus yang dikenal pula dengan peradilan in absentia pada orang yang tidak dikenal, tetapi terbatas pada penjatuhan pidana perampasan barang-barang yang telah disita yaitu pada delik ekonomi (Pasal 16 UUPTPE). Begitu pula pada delik korupsi yaitu dapat dijatuhkannya pidana tanpa hadirnya terdakwa (Pasal 23 UUPTPK). Hal yang sama juga berlaku dalam delik subversi (Pasal 11 ayat (1) UUPKS). 15 Begitu pula dengan halnya orang telah meninggal dunia menurut Pasal 16 UUTPE dan Pasal 23 ayat (5) UUPTPK, atas tuntutan Penuntut Umum dengan putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pidana perampasan barang barang yang telah disita, hal ini berbeda dengan ketentuan umum yang berada didalam KUHP, dengan kematian terdakwa maka perkaranya menjadi selesai. 16 Setelah putusan pemidanaan diucapkan maka Hakim Ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa apa yang menjadi haknya, yaitu: 17 a.
Hak untuk segera menerima atau segera menolak putusan perkara tersebut;
15
Ibid. Ibid., hlm. 284 17 H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2005, 16
hlm. 140
Universitas Sumatera Utara
16
b.
Hak untuk dapat memahami isi putusan tersebut sebelum Terdakwa menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tegang waktu tujuh hari sesudah putusan itu dijatuhkan atau setelah putusan itu diberitahukan kepada Terdakwa yang tidak hadir;
c.
Hak untuk meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentuka oleh undang-undang untuk dapa mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d.
Hak banding dalam tegang waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan atau diberitahukan kepada Terdakwa yang tidak hadir didalam persidangan tersebut;
e.
Hak untuk mencabut pernyataan sebagaimana yang dimaksud pada butir a (menolak putusan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, maka permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) KUHAP). Pasal 197 ayat (1) diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan
Hakim, dan jika kententuan formalitas tersebut tidak dipenuhi maka putusan tersebut akan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah: a.
Kepala
putusan
tersebut
harus
berbunyi:
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; b.
Terlampirnya identitas terdakwa yaitu nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, agama, dan pekerjaan;
Universitas Sumatera Utara
17
c.
Dakwaan, sebagaimana yang terdapat disurat dakwaan;
d.
Penentuan kesalahan terdakwa harus berdasarkan pertimbangan dari fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang disusun secara ringkas dan diperoleh pada saat pemeriksaan didalam persidangan;
e.
Tuntutan pidana, sebagaimana yang tedapat didalam surat tuntutan;
f.
Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan dan dasar hukum dari putusan yang disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;
g.
Hari dan tanggal diadakannya musyawarah oleh majelis hakim, namun jika pada perkara yang diperiksa menggunakan hakim tunggal, hal ini dapat dikecualikan;
h.
Pernyataan kesalahan terdakwa telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik dan disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.
Menentukan kepada siapa biaya perkara akan dibebankan dan harus menyebutkan jumlah yang pasti dan juga mengenai ketentuan barang bukti;
j.
Jika terdapat surat autentik palsu maka dalam hal tersebut hakim harus memberikan keterangan dimana letak kepalsuan surat tersebut;
k.
Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan ataupun terdakwa dibebaskan;
l.
Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera.
Universitas Sumatera Utara
18
Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir atau vonnis. Putusan akhir tersebut merupakan pendapat tentang apa yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Hukum Acara Pidana mampunyai macam-macam bentuk putusan, yaitu:
1.
Putusan Bebas Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan dipersidangan baik berupa keterangan Saksi, keterangan Ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan Terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan, berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. 18Ataupun putusan bebas tersebut dapat juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian yang demikian sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menganut pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif yaitu keterbukaan kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus sekaligus didukung oleh keyakinan hakim. 19
18
Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 172 19 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
19
2.
Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi, jika Pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merujuk suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum(onslag van recht vervolging) . Perbedaan antara putusan bebas dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum antara lain: 20 a)
Ditinjau dari segi Pembuktian Pada putusan bebas, terdakwa yang diputus bebas dikarenakan tidak
terpenuhinya asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum, perbuatan yang didakwakan cukup terbukti secara sah, namun perbuatan tersebut tidak diatur didalam ruang hukum asuransi, hukum dagang, ataupun hukum adat.
b) Ditinjau dari segi Penuntutan Pada Putusan bebas, perbuatan yang dilakukan dan didakwakan kepada terdakwa benar-benar perbuatan tindak pidana yang harus dituntut dan diperiksa disidang “pengadilan pidana”. Cuma dari segi penilaian pembuktian, pembuktian yang ada tidak cukup mendukung keterbukaan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu kesalahan terdakwa tidak terbukti.
20
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
20
Pada putusan lepas dari segala tuntutan, pada hakekatnya apa yang didakwakan kepadanya bukan merupakan perbuatan tindak pidana. Barangkali hanya berupa quasi tidak pidana, seolah-olah penyidik dan penuntut umum melihatnya sebagai perbuatan tindak pidana.
3.
Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan
meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.
F. Metode Penelitian 1.
Jenis penelitian. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatanjuridis normative yaitu
penelitian dilakukan dengan cara lebih dahulu meneliti bahan-bahan perpustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat secara obyektif melalui
ketentuan-ketentuan
perundang-undangan
yang berlaku.
Penelititian ini bersifat deskriptif yaitu mengambarkan dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan yang bertujuan untuk mendeskriptifkan secara konkret tentang kajian yuridis penerapan permohonan ganti kerugian atas putusan bebas dalam perkara pidana. 2.
Sumber data
Universitas Sumatera Utara
21
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan judul skripsi antara lain Kitab Undang-undang Acara Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian serta jurnal-jurna hukum. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 3.
Metode pengumpulan data Pengumpulan data yang diperlukan oleh penulis berkaitan dengan
penyelesaian skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiahyang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan dari kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan yang berlaku, Putusan Pengadilan, buku-buku, dan jurnal hukum, maupun bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
22
4.
Analisis data Data akan dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari berbagai
literatur-literatur buku. Karena sifat penelitian adalah deskriptif maka semua data yang dikumpulkan dan diseleksi serta dianalisis, sedangkan data yang diperoleh dari putusan pengadilan akan dianalisis sesuai dengan data yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya terhadap permasalahan yang ingin dijawab.
G. Sistematika Penelitian Sistematika penelitian menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skripsi ini. hal ini juga bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut: BAB I
:PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permsalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: PERMOHONAN GANTI KERUGIAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA Dalam
bab
ini
diuraikan
bagaimana
pengaturan
tentang
permohonan ganti kerugian dalam hukum acara pidana di indonesia
Universitas Sumatera Utara
23
BAB III
:PENERAPAN PERMOHONAN GANTI KERUGIAN ATAS PUTUSAN
BEBAS
DITINJAU
DARI
PENETAPAN
PN
SEMARANG NO. 15/PID.GR/2012/PN.SMG, PUTUSAN PT SEMARANG NO. 49/PID/2013/PT.SMG & PUTUSAN MA NO. 1262K/PID/2012 Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana pengaturan penerapan permohonan atas putusan bebas didalam Penetapan PN Semarang No. 15/Pid.Gr/2012/PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49/Pid/2013/PT.SMG & Putusan MA No. 1262K/Pid/2012. BAB IV
:KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran setiap permasalahan
Universitas Sumatera Utara