BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Karya sastra berusaha mengkongkretkan ide-ide, imaji, gagasan, konsep dan
sebagainya, dengan kata-kata agar tertangkap oleh pembaca (Noor, 2005:31). Salah satu karya sastra modern adalah cerita rekaan seperti novel dan cerpen. Novel adalah cerita rekaan yang panjang, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara terstruktur. Cerpen adalah cerita yang pendek, yang memusatkan diri pada satu situasi dan seketika, intinya adalah konflik (biasanya kurang dari 10.000 kata) (Noor, 2005:26—27). Cerita di dalam novel lebih variatif sedangkan cerpen lebih terpusat. Selain novel dan cerpen, ada jenis sastra modern lain seperti puisi dan drama. Di dalam drama, teks tidak dapat berdiri sendiri, biasanya ada pertunjukan yang membantu memberikan makna terhadap teks drama. Puisi memiliki keterbatasan dalam menyampaikan gambaran tempat, waktu dan suasana. Kalau seseorang membaca novel, ia akan menangkap hal-hal yang secara struktural berbeda dengan membaca puisi atau drama. Dalam membaca puisi orang jarang menangkap gambaran terjadinya peristiwa yang jalin-menjalin, juga tidak pernah menangkap gambaran tempat/ waktu/ suasana terjadinya peristiwa secara rinci (Noor, 2005:31). Salah satu sastrawan Indonesia yang menulis novel adalah Wisran Hadi. Sudah banyak novel yang diciptakan oleh Wisran Hadi. Novel yang diciptakan Wisran Hadi
1
2
memiliki warna daerah yang sangat kental. Novel tersebut banyak mengangkat cerita rakyat dan mitos dari Minangkabau. Wisran tidak begitu mahir dalam menulis karya fiksi. Oleh karena itu, dia lebih memilih untuk mengangkat fenomena sosial yang ada di sekeliling kehidupannya (Fatimah, 2008:278). Meskipun secara langsung tidak mampu melakukan perubahan, setidaknya Wisran sudah memberikan kontribusi sosio-kultural-emosional dalam dinamika dan peradaban bangsa. Wisran Hadi mampu menyentuh setiap persoalan hidup dan kehidupan dengan lebih jernih melalui kepekaan intuitif, kemudian diekspresikan melalui teks-teks sastra. Karya terakhir Wisran Hadi adalah novel Persiden. Novel ini menjadi unggulan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 2010. Selang setahun kemudian, tanggal 28 Juni 2011, Wisran Hadi meninggal dunia karena serangan jantung. Pada sayembara tersebut, tidak ada pemenang pertama karena juri menganggap tidak ada karya yang mengejutkan. Namun, novel Persiden dikategorikan pantas untuk menjadi pemenang. Ada unsur kebaruan dalam teknik penulisan. Darman Moenir, selaku sastrawan Indonesia sekaligus pemenang hadiah utama DKJ 1980 menulis sebuah artikel. Di dalam artikel tersebut terdapat pendapat bahwa selama 30 tahun terakhir, tidak ada novel bermutu dari Sumatera Barat, tetapi Novel Persiden mampu memberikan warna baru. Setting Persiden terpusat pada wilayah di sekitar Presiden Theater, Ulak Karang, Siteba, Balanti, Lapai, dan “kawasan” lain yang dekat dengan keseharian Wisran Hadi. Pengarang seolah ingin menekankan gambaran suasana di lingkungan sekitar pengarang. Cara menyampaikan penggambaran tersebut ditampilkan dengan sangat rinci dan menarik.
3
Kehadiran Persiden diharapkan mampu membangkitkan semangat penulis dari Sumatera Barat. Setelah kemenangan Chairul Harun dengan novel Warisan pada tahun 1979 dan Ular Keempat karya Gustf Sakai pada tahun 2003, hampir tidak ada novel-novel berkualitas —setidaknya dengan standar DKJ, lahir dari Sumatera Barat. Wisran Hadi sudah menerbitkan novel Tamu, Orang-orang Blanti, Negeri Perempuan, Dari Tanah Tepi, Imam, tetapi menurut Darman Moenir, novel Persiden dua tingkat lebih baik dari pada Tamu. Novel Tamu sudah banyak diteliti oleh para kritikus sastra, novel Persiden yang diduga lebih baik daripada novel Tamu juga harus mendapatkan perhatian dari para peneliti sastra. Menurut Sapardi Djoko Damono, novel Persiden diciptakan sebagai upaya untuk mengkomunikasikan masalah yang khas tentang sebuah kaum Minangkabau. Wisran menawarkan sejumlah kisah tentang Rumah Bagonjong untuk diselesaikan. Namun, Wisran tidak berniat untuk memberikan kesimpulan bagi masalah yang telah diciptakannya. Wisran membawa pembaca ke sebuah mal yang bernama President, oleh orang setempat dilisankan Persiden. Tempat tersebut diciptakan Wisran sebagai arena kejengkelan terhadap situasi dan kondisi yang terjadi (Persiden, 2013:ix—x). Selain President, pusat pertokoan dimanfaatkan untuk melancarkan kritik terhadap situasi sosial secara luas, sedangkan untuk permasalahan yang lebih sempit pengarang mengungkapkan peran dan fungsi rumah bagonjong. Selain itu, Wisran juga menggambarkan sebuah kantor megah di sebelah mal, sebuah bangunan ini juga disebut juga Rumah Bagonjong. Ada satu nama untuk dua tempat yang berbeda, rumah bagonjong sebagai sebuah rumah milik keluarga besar dan Rumah Bagonjong
4
sebagai kantor megah yang berada di sebelah mal. Rumah bagonjong terjepit di antara mal dan kantor pemerintahan. Di dalam novel Persiden, Wisran tidak memilih surau sebagai arena masalah Minang, dia memilih rumah sederhana yang disebut Rumah Bagonjong. Pengarang sangat menekankan penggambaran tempat dan suasana di dalam novel Persiden. Pengarang tidak mementingkan peristiwa yang terjadi, ada banyak permasalahan yang diungkapkan oleh pengarang. Permasalahan tersebut tidak memiliki penyelesaian. Pengarang sengaja menggantungkan semua persoalan. Hal ini juga menyinggung permasalahan sosial yang tidak pernah menemukan jalan keluar. Penggambaran sebuah tempat dan suasana digunakan untuk menyampaikan kritik sosial. Banyaknya penggambaran tersebut menempatkan unsur latar menjadi dominan di dalam novel Persiden. Latar tidak bisa berdiri sendiri, ada plot dan tokoh yang tergolong ke dalam fakta cerita. Di dalam novel Persiden, pengarang tidak begitu menonjolkan plot dan tokoh. Pengarang lebih memusatkan karya kepada penggambaran latar. Dengan demikian, penulis merasa perlu melakukan analisis latar di dalam novel Persiden. Sebagian besar penelitian tentang latar yang menggunakan teori Robert Stanton membagi latar menjadi tiga sampai empat bagian, yaitu latar tempat, waktu, sosial, dan atmosfer. Namun, sebenarnya latar menurut Stanton adalah lingkungan peristiwa, latar belakang yang terlihat, waktu dalam sehari atau setahun, iklim atau cuaca, periode sejarah dan orang-orang yang melatarbelakangi (Stanton, 1965:18).
5
Latar memiliki fungsi untuk menggambarkan karakter dan tema sebuah karya. Selain itu, latar juga mampu memunculkan tone dan mood emosional yang ada pada karakter, tone dan mood emosional disebut dengan atmosfer. Dari kutipan teori di atas, penulis bermaksud untuk melakukan analisis menggunakan teori mengenai unsur dan fungsi latar. Unsur latar tidak dapat berdiri sendiri, di dalam pembahasan penulis juga akan membahas hubungan latar dengan tema dan karakter tokoh. Teori yang digunakan adalah teori yang benar-benar dikemukakan oleh Robert Stanton dalam buku “An Introduction to Fiction”. Dengan merujuk buku asli karangan Robert Stanton, penulis berharap penelitian dapat dilakukan dengan maksimal Belum banyak penelitian yang fokus membahas bagian latar. Sebagian besar penelitian membahas struktur faktual menurut Stanton secara keseluruhan. Banyak unsur yang tidak dibahas secara rinci. Terlalu banyak unsur yang dibahas dalam sebuah penelitian sehingga pembahasan menjadi terlalu luas. Penelitian ini memiliki fokus terhadap unsur dan fungsi latar sehingga analisis diharapkan dapat dilakukan dengan rinci dan maksimal.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini
dibuat agar masyarakat mampu memahami unsur dan fungsi latar yang terdapat dalam novel Persiden. Pemahaman ini bisa didapatkan dari analisis yang dilakukan oleh peneliti tentang beberapa masalah berikut. a. Bagaimana unsur latar novel Persiden karya Wisran Hadi?
6
b. Bagaimana fungsi latar dalam novel Persiden karya Wisran Hadi?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, pertama yaitu tujuan teoretis. Tujuan ini
adalah menerapkan teori Robert Stanton dalam mendeskripsikan latar pada novel Persiden. Tujuan analisis struktural adalah membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:136). Dalam hal ini, pembahasan memiliki fokus terhadap unsur dan fungsi latar. Langkah analisis adalah mendeskripsikan unsur dan fungsi latar kemudian mendeskripsikan fungsi latar tersebut. Tujuan kedua penelitian ini adalah mewujudkan tujuan praktis. Tujuan tersebut adalah membantu pembaca dalam memahami karya sastra sebagai perwujudan dan penjelmaan ketegangan seluruh konvensi yang secara bersama-sama memiliki fungsi dalam mencari sistem pada sebuah karya sastra (Teeuw, 1984:116). Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat dalam memahami karya sastra, khususnya novel.
1.4
Tinjauan Pustaka Karya-karya Wisran Hadi mendapatkan banyak perhatian dan tanggapan dari
berbagai pihak. Darman Moenir menulis artikel tentang Wisran Hadi di Koran Harian Haluan pada tanggal 30 Juni 2011. Artikel ini menyampaikan informasi
7
bahwa Wisran Hadi adalah seorang pekerja keras, produktif, kreatif, dan kuat memegang prinsip. Sifat yang dimiliki Wisran Hadi mempengaruhi kualitas karya yang diciptakannya. Karya-karya yang dihasilkan Wisran Hadi adalah karya yang fenomenal, unik, mendatangkan kebaruan, dan kontroversial. Salah satu karya Wisran yang sering diteliti adalah novel Tamu. Pada tahun 2000, Yuli Indriasari menyelesaikan skrispi dengan judul “Tema dan Penokohan Novel Tamu karya Wisran Hadi: Analisis Strukturalisme”. Penelitian ini membahas hubungan tema dan penokohan di dalam novel Tamu menggunakan teori Strukturalisme Robert Stanton. Penelitian ini membagi pembahasan tema menjadi dua, yaitu tema minor dan mayor. Tema Minor dalam penelitian ini adalah masalah tanah pusaka, masalah surau batu, masalah kemisikinan dan kebodohan. Penokohan dibahas bersama dengan fakta cerita seperti tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Selain fakta cerita, ada pembahasan mengenai sarana sastra yang dibagi menjadi sudut pandang dan judul. Pembahasan mengenai latar dalam penelitian ini membagi latar menjadi latar tempat, waktu, dan sosial. Pada tahun 2001, Kusmarwanti, mahasiswi UGM menyelesaikan skripsi dengan judul “Warna Lokal Minangkabau dalam Novel Tamu karya Wisran Hadi: Analisis Strukturalisme Semiotik”. Penelitian ini membahas tiga hal, kondisi sosial masyarakat Minangkabau, warna lokal Minangkabau dalam fakta cerita, dan warna lokal Minangkabau dalam masalah dan tema. Warna lokal dalam fakta cerita membahas warna lokal Minangkabau dalam latar, penokohan dan alur.
8
Pada tahun 2008, Siti Fatimah, seorang staf pengajar Fakultas Sastra, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta menulis sebuah jurnal. Diterbitkan oleh Jurnal Humaniora Vol 20 No 3, artikel ini berjudul “Mencermati perubahan sosial Masyarakat Minangkabau melalui novel Tamu karya Wisran Hadi”. Pembahasan di dalam artikel ini membahas tentang latar di dalam novel Tamu. Pemerintahan Orde Baru tahun 1990-an merupakan latar dari novel Tamu. Ketegangan-ketegangan yang dimunculkan oleh Wisran dalam Tamu menunjukkan adanya goncangan dalam tantanan sosial dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Suasana yang terlukis itu tidak lepas dari sesuatu yang terjadi dalam kenyataan masyarakat Minangkabau yang sedang mengalami pergeseran nilai sehingga timbul kegoncangan dalam masyarakat. Tamu adalah gagasan dan perasaan Wisran yang mewakili kelompok sosial tempat Wisran hidup. Dengan begitu, terdapat kesejajaran novel Tamu
dengan
keadaan
yang
sesungguhnya
dalam
kehidupan
masyarakat
Minangkabau. Selain novel Tamu, novel-novel Wisran Hadi juga mendapat perhatian dari kaum feminis. Pada tahun 2009, novel Orang-orang Blanti diteliti oleh Neneng Amalia dengan judul “Citra Perempuan Minangkabau dalam novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi”. Penelitian ini membahas tiga hal, yaitu perempuan Minangkabau dalam perspektif adat, posisi perempuan Minangkabau dalam novel OOB, dan citra perempuan Minangkabau dalam novel OOB. Pembahasan mengenai citra perempuan dibagi menjadi tiga, yaitu citra perempuan modern, citra perempuan tradisional dan citra perempuan dalam relasi sosial kemasyarakatan.
9
Pada tahun 2013, Siti Fatimah. Mahasiswi UGM menyelesaikan skripsi dengan judul “Novel Negeri Perempuan karya Wisran Hadi”. Penelitian ini membahas posisi dan citra perempuan Minangkabau di dalam novel Negeri Perempuan. Posisi perempuan diuraikan menjadi posisi dan peran perempuan dalam adat, keluarga, masyarakat, dan era modern. Pembahasan selanjutnya mengenai citra perempuan secara domestik dan publik. Peran perempuan secara domestik adalah sebagai istri dan ibu, sedangkan peran secara publik adalah perempuan yang modern, peduli dan berjuang untuk kepentingan wanita lainnya. Sapardi Djoko Damono, selaku juri dari Sayembara DKJ 2010 juga menulis komentar tentang karya Wisran Hadi, khususnya novel Persiden. Dalam penyampaiannya, novel Persiden bergerak ke segala arah, membahas banyak persoalan sehingga memberikan kesan bahwa novel ini adalah ensiklopedia Minang yang mudah untuk dipahami. Persiden menegaskan bahwa masyarakat Minang baru muncul keberadaannya saat ada masalah yang menyangkut tatanan adat. Permasalahan tersebut tidak pernah menemukan penyelesaian. Kenyataan seperti itulah yang menyebabkan terbentuknya nada mencemooh dalam banyak tulisan yang dihasilkan oleh sastrawan yang lahir dari Ranah Minang, tanpa terkecuali Wisran Hadi. Dalam Persiden, berbagai cara ditempuh Wisran untuk menekankan kritik sosial. Wisran ingin menyampaikan kritik tersebut lewat penggambaran sebuah tempat dan suasana. Novel ini merupakan tanggapan Wisran terhadap sejumlah
10
masalah besar yang selama ini muncul di dalam masyarakat yang telah membesarkannya.
1.5
Landasan Teori Setiap karya sastra mengandung unsur-unsur intrinsik, yaitu unsur-unsur yang
membangun karya sastra dari dalam. Misalnya dalam cerita rekaan berupa tema, amanat, alur (plot), tokoh, latar (setting), dan pusat pencitraan (point of view) (Noor, 2005: 29). Stanton mengelompokkan latar bersamaan dengan tokoh dan plot ke dalam fakta cerita, misalnya karakter tokoh bisa digambarkan melalui latar. Keadaan sebuah rumah yang berantakan mampu menggambarkan karakter pemilik rumah yang acuh tak acuh. Keterkaitan tiga unsur ini harus mampu berterima dengan logika berpikir manusia. Diharapkan pengarang tidak melakukan penyimpangan fakta cerita dengan logika berpikir manusia. Lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita atau semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung disebut dengan latar (Stanton, 1965:18). Lingkungan peristiwa adalah kutipan yang menggambarkan lingkungan tempat terjadinya peristiwa. Selain lingkungan peristiwa, menurut Stanton latar juga berupa latar belakang yang terlihat, yaitu tempat-tempat yang dapat dijumpai di dalam dunia nyata seperti rumah, masjid dan sebagainya. Lingkungan peristiwa berbeda dengan latar belakang yang terlihat, pada lingkungan peristiwa ada penggambaran sebuah tempat beserta peristiwa yang sedang terjadi tapi
11
pada latar belakang yang terlihat teks hanya menggambarkan sebuah tempat tanpa sebuah peristiwa yang sedang terjadi. Stanton juga membagi latar menjadi waktu dalam sehari atau setahun, yaitu gambaran waktu terjadinya sebuah peristiwa. Pengarang menggambarkan waktu seperti keadaan pagi hari saat matahari terbit, siang hari saat bayang-bayang terinjak kaki, malam hari saat matahari mulai terbenam dan sebagainya. Latar berupa iklim atau cuaca adalah penggambaran untuk situasi iklim atau cuaca. Selanjutnya adalah latar berupa periode sejarah, latar ini menggambarkan situasi bersejarah yang terjadi di dalam sebuah karya. Latar selanjutnya adalah orang-orang yang melatarbelakangi jalan cerita. Latar ini menggambarkan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Di novel Persiden, pengarang tidak menyebutkan secara langsung bahwa novel ini memiliki latar di Sumatera Barat. Namun terdapat kutipan menggunakan bahasa daerah/peribahasa dari Minangkabau, terdapat penyebutan nama tokoh seperti Uni dan Mamak yang merupakan sebutan untuk kakak dan om menurut adat Minangkabau. Dari unsur sosial tersebut dapat diketahui latar dari novel Persiden. Latar mampu menjadi pendukung jalan cerita lewat penggambaran tema dan karakter tokoh. Tema secara umum dapat digambarkan sebagai pembentuk kesatuan cerita dan memberi makna terhadap setiap peristiwa. Latar juga memiliki fungsi seperti memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter atau tema dan memiliki kemampuan untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang
12
karakter (Stanton, 1965:19). Karakter bisa berubah melalui suasana yang terjadi di dalam sebuah karya. Tokoh yang lahir dan hidup di desa memiliki karakter yang rendah hati, tapi saat pindah hidup ke kota, tokoh tersebut menjadi lebih angkuh dan tidak peduli satu sama lain. Suasana di desa dan di kota mampu membangun karakter tokoh. Latar memiliki hubungan dengan karakter, tema dan alur (plot). Latar mampu memberikan kesan yang nyata, latar mampu mengangkat suasana disekitar lingkungan sebuah cerita dan menggambarkan perwatakan di dalam sebuah karya. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh mampu mencerminkan tempat tokoh tersebut berasal. Atau sebaliknya, tempat tokoh hidup dan tinggal mampu membangun karakter tokoh tersebut. Masyarakat yang tinggal di pedesaan biasanya memiliki sifat yang lebih sederhana daripada masyarakat yang tinggal diperkotaan. Dari uraian teori diatas, penelitian ini akan pengelompokan pembahasan terhadap enam unsur latar. Setiap unsur latar akan dibahas satu persatu secara rinci, begitu juga dengan fungsi yang dimiliki oleh penggambaran latar tersebut.
1.6
Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek
tertentu, karenanya, harus sesuai dengan kodrat objek itu sebagaimana yang dinyatakan oleh teori (Faruk, 2012:55). Teori yang digunakan adalah teori Robert Stanton, khususnya pembahasan mengenai latar. Robert Stanton membagi latar menjadi beberapa bagian dan fungsi. Untuk mengelompokan unsur dan fungsi latar,
13
penulis harus mengklasifikasikan data terlebih dahulu. Kemudian mengelompokkan ke dalam masing-masing unsur dan fungsi latar. Setelah menempatkan unsur dan fungsi, penelitian dilanjutkan dengan melakukan analisis. Hasil analisis akan menghasilkan pengetahuan yang objektif, yang bisa dilanjutkan untuk kemajuan dalam ilmu sastra. Penelitian ini termasuk dalam bidang humaniora yang berobjek pada karya itu sendiri (Moleong, 2005:4). Tahapan-tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menentukan novel yang dijadikan bahan penelitian yaitu novel Persiden
2.
Melakukan studi pustaka untuk mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang mendukung objek penelitian
3.
Menganalisis novel Persiden dengan pendekatan struktural model Stanton
4.
Menarik kesimpulan hasil analisis.
Empat tahap tersebut dilakukan dengan cara berurutan. Pemilihan novel Persiden menjadi objek penelitian karena penulis menemukan masalah berupa unsur latar yang sangat dominan. Untuk mengkaji unsur latar, penulis memerlukan buku yang membahas tentang latar. Dalam hal ini, penulis menggunakan teori Robert Stanton. Setelah melakukan studi pustaka, penulis melakukan analisis terhadap novel Persiden menggunakan pendekatan struktural model Stanton. Analisis mengenai unsur dan fungsi latar di dalam novel Persiden. Setelah melakukan analisis, penulis memberikan kesimpulan penelitian.
14
1.7
Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini disajikan dalam empat bab, yaitu: Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab kedua penelitian ini berisi pembahasan mengenai unsur latar novel Persiden karya Wisran Hadi menggunakan teori Robert Stanton. Unsur tersebut terdiri atas lingkungan peristiwa, latar belakang yang terlihat, waktu dalam sehari atau setahun,
iklim
atau
cuaca,
periode
sejarah dan orang-orang
yang
melatarbelakangi jalannya cerita. Bab ketiga berisi pembahasan mengenai fungsi latar pada novel Persiden karya Wisran Hadi. Latar yang ada pada bab kedua dibahas kembali pada bab ketiga. Pembahasan yang dilakukan mengenai fungsi yang dimiliki oleh unsur latar tersebut. Fungsi latar adalah untuk menggambarkan tema, karakter dan suasana di dalam dan diluar para tokoh. Bab keempat kesimpulan.