1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada era modern ini, ilmu pengetahuan dan tehnologi dianggap sebagai soko guru kemajuan hidup. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi masyarakat barat telah sampai kepada the post indrustrial society yaitu masyarakat yang secara matrial telah tiba pada taraf makmur, peralatan-peralatan terkendali secara otomatis dan mekanis.1 Tetapi disisi lain, kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi ternyata membawa ekses yang tak terelakan. Ini bias di lihat di berbagai kawasan di atas bumi ini bahwa alam dan kekayaan banyak termanipulasi lingkungan material di cekik oleh industrialisasi dan mekanisasi yang di rasakan dampaknya oleh segenap segi kehidupan. Ekses yang paling nyata adalah keamanan dan kehidupan manusia dan segenap mahluk bumi lainya terancam oleh persenjataan. Kekayaan perut bumi di kuras habis hingga tak dapat di perbaharui kembali, meminjam istilah Seyyed Hossein Nasr manusia sering memperlakuakn bumi sebagai pelacur dakm rangka pemuasan diri tanpa batas.2 Jurang antara kaya dan miskin di perlebar dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, pada akhirnya masyarakat modern seperti ini tanpa disadari integritas kemanusiaanya tereduksi karena mereka terperangkap dalam jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan tehnologi yang mengabaikan moral, sementara agama yang menanamkan keyakinan kepada manusia tentang adanya kekuatan transcendental secara perlahan semakin terkikis, mereka menganggap agama menjadi tidak relevan lagi dan tidak cocock di anut di masa modern. Sistem rasionalitas ilmu pengetahuan telah mengantarkan kehidupan manusia pada suasana moderisme, dengan kehidupan modern manusia berusaha 1
Ali Anwar, Hierarki Ilmu dan Pengaruhnya Terhadap Kebahagiaan Kajiaan atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Empirisme Journal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol.13 No. 1juli 2004 (Kediri; STAIN Kediri 2004) hlm 126. 2 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomok; Humanis Relegius Sebagai Paradigma Islam (Yogyakarta; Gama Media,2002) hlm 52-53.
2
menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalanpersoalan hidupnya, manusia di pandang sebagai mahluk yang bebas, independent dari tuhan dan alam bahkan masyarakatnya sendiri.3 Manusia barat sengaja membebaskan dirinya dari tatanan ilahiyah (theomorphisme) untuk selanjutnya membangun tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia (antropomorpisme), bahkan lebih gila lagi Nietzsche pernah mengatakan “God is death” intinya manusia ingin menjadi raja yang bebas dan menentukan nasibnya sendiri tanpa disibukan oleh persoalan yang bersifat spiritual-trasendental. Namun ironisnya justru manusia modern barat pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan hidupnya sendiri, proses modernisasi yang di jalankan ternyata
tidak
selalu
berhasil
memenui
janjinya
mengangkat
harakat
kemanusiaanya dan sekaligus memberi makna yang lebih mendalam bagi kehidupan4, mereka di hinggapi rasa dan ketidak bermaknaan hidup, ada sesuatu yang rancau dalam kehidupanya, mereka kehilangan visi keilahiaan dan mengalami kehampaan spiritual, mereka menderita keterasingan (aliansi), baik teraliansi dari dirinya, lingkungan social dan dari tuhannya. Mereka tidak mengetahui makna dan tujuan hidup, meminjam istilah cak Nur masyarakat modern menalami “kepanikan epistimologi”5. Konsep ilmu pengetahuan dan tehnologi modern telah mengalami desakralisasi pengetahuan yakni pengetahuan yang mereka agung-agungkan bias membawa kebahagiyaan ternyata malah berbalik arah justru membawa kepada kegilasahan, halini karena konsep pengetahuan telah terceraikan dengan aspek spiritual sebagai akibatnya manusia modern telah kehilangan sense of wonder yang mengakibatkan lenyapnya pengetahuan tentang kesucian.6
3
hlm 75.
4
Roger Garaudy, Promesses Del’Islam, terj H.M Rosyidi, (Jakarta; Bulan Bintang, 1985)
Arnold J Toybee, Surviving The Future, terj Nin Bakdi Sumanto, (Yogyakarta; Gajah Mada Univercity Press, 1988) hlm 60. 5 Nurcholis Majid, Islam Doktrin Peradaban ; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan dan Kemoderenenan, (Jakarta ;Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) hlm 58 6 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesuciaan, terj Suharsono dkk (Jakarta;Inisiasi Press,2004) hlm 2.
3
Lalu bagaimana dengan umat Islam dengan konsep keilmuanya? Konsep pengetahuan Islam yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu beroriantasi pada religuitas dan spritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitasnya dalam persaingan budaya global, para ilmuan muslim bersikap definisif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syari’ah (fiqh produk abad pertengahan) yang di anggap telah final. Mereka melupakan sumber kreatifitas yakni ijtihad bahkan mencanangkan ketertutupan. Sikap keilmuan muslim tersebut pada akhirnya menimbulkan pemisahan wahyu dan akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan cultural, bahkan menimbulkan stagnasi keilmuan di kalangan mereka, sedemikian sehingga dampak negative dari model keilmuan Islam sendiri tidak kalah membahayakan di banding konsep ilmu pengetahuan barat. Dengan demikian ilmu-ilmu non agama atau keduniawian (profan) khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta ( merupakan akar-akar pengembangan sains dan tehnologi) sejak awal perkembangan madrasah dan al- jami’ah sudah berada dalam posisi termarjinalkan, meski Islam pada dasarnya tidak membedakan nilai-nilai ilmu agama dan non agama, tetapi dalam prakteknya supremasi lebih di berikan kepada ilmu-ilmu agama, ini disebabkan sikap keagamaan dan kesalehan yang memandang ilmu agama sebagai “jalan tol menuju Tuhan”.7 Memang sebelum kehancuran aliran theology Mu’tazilah pada masa khalifah abasyiah al-Makmun (198-218) M mempelajari ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris bukan sesuatu yang tidak ada sama sekali dalam kurikulum madrasah, tetapi dengan pemakruhan untuk tidak menyatakan pengharaman penggunaan nalar, setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmuilmu umum yang di curigai itu di hapus dari kurikulum madrasah, mereka yang 7
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam ; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm ix.
4
cendrung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu terpaksa mempelajari secara sendiri-sendiri atau “bahkan di bawah tanah” karena mereka di pandang sebagai ilmu-ilmu subersif yang dapat dan akan menggugat kemapanan doktrin Sunni terutama dalam bidang kalam (theologi) dan fiqh.8 Kenapa legalisme fiqh atau syari’ah bisa begitu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan islam ? Pertama karena dengan pandangan ketinggian syariah. Kedua karena secara institusional lembaga-lembaga pendidikan Islam oleh mereka yang ahli dalam bidang bidang agama berhasil membagi struktur akademis yang cukup canggih dan elaboratif, karena itu dalam kelembagaan madrasah yang baik misalnya ada Masyakhat al- Qur’an ( professorship keguruan al-Qur’an) Masyakhat al Hadist, an-Nahwu dan sebagainya, sebaliknya tidak dikenal misalnya Masyakhat al-Kimiyah, at-Tib dan mereka cukup terpadu plus di dukung institusi lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri, sehingga siap menangkis kemunculan (di pandang sebagai tantangan) kaum ilmuan (sains) muslim yang tidak mempunyai dukungan institusional, Ketiga hampir seluruh madrasah atau al-Jami’ah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau penguasa politik muslim, motifasi kesalihan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam lapangan-lapangan ilmu-ilmu agama yang di pandang akan lebih mendatangkan pahala ketimbang ilmu-ilmu umum, yang mempunyai aura profan dan tak terkait begitu jelas dengan soal pahala.9 Jika dipandang semata-mata dari sudut keagamaan dalam pengertian terbatas supremasi dan dominasi ilmu-ilmu agama yang dewasa ini, termasuk ilmu-ilmu profan dalam batas tertentu, agaknya mengandung implikasi positif, supremasi itu membuat tranmisi syari’ah yang merupakan salah satu inti Islam dari generasi awal muslim kepada generasi berikutnya menjadi lebih terjamin, cuma sayangnya supremasi syari’ah ini tidak berlangsung dalam cara yang dinamis, seiring dengan semakin tingginya kecurigaan terhadap nalar, tranmisi
8 9
Ibid, hlm ix. Ibid, hlm x
5
ilmu-ilmu keagamaan tidak berlangsung secara kreatif dan imajinatif, ijtihad betapapun terbatasnya di cekik secara sempurna melalui pintu ijtihad itu sendiri. Akibatnya syari’ah yang di tranmisikan melalui madrasah itu tidak lebih dari upaya pengawetan, doktrin-doktrin yang sebagainya telah usang dan tidak berbunyi ketika di hadapkan kepada realitas sosial yang terus berubah, disini kemudian lembaga-lembaga pendidikan Islam diharapkan menjadi salah satu faktor dinamis dalam masyarakat Islam justru menjadi bastion kubu kemapanan yang dengan gigih membela kebekuan pemikiran dan keilmuan . Jika dilihat dalm perspektif yang lebih luas supremasi ilmu-ilmu agama menimbulkan dampak yang substansial, bukan hanya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam, tapi juga peradaban Islam secara keseluruhan, secara keilmuan
perkembangan
semacam
ini
menimbulkan
dikhotomisasi
dan
antagonisasi berbagai cabang ilmu. Padahal menurut S.H Nasr berbagai cabang ilmu atau bentuk pengetahuan di pandang dari perspektif Islam pada ahirnya adalah satu. Dalam Islam tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan ilmu profan, berbagai ilmu dalm perspektif intelektual yang di kembagkan dalam Islam memang mempunyai suatu herarki, tetapi herarki ini pada ahirnya bermuara pada pengetahuan tentang yang maha tinggi substansi dari segenap ilmu, inilah alasan mengapa para ilmuan muslim mengintregasiakn ilmu-ilmu yang di kembangkan peradaban-peradaban kedalam skema herarki ilmu pengetahuan menurut Islam.10 Jadi
tak
kala
bagian-bagian
besar
ilmu-ilmu
tersebut
terjadi
pendikhotomian atau pemakruhan terciptalah kepincangan –kepincangan yang pada giliranya mendorong terjadinya kemunduran peradaban secara keseluruhan, di barat sains unggul tapi rapuh dalam spiritual, dunia Islam unggul dalam spiritual tapi gagap dalam sains. M. Iqbal seorang penyair dan filosof muslim pernah menyindir sinis kepincangan dua problem tersebut, dalam sairnya ia berdialog dengan Jalaludin Rumi atas problem diatas, 10
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam,terj Mahyudin, (Bandung; Pustaka, 1986), hlm 42.
6
Mata yang memandang mencucurkan air mata darah; Pengetahuan modern telah menjadi perusak agama . Yang di jawab oleh Rumi, Kalau kau terapkan pengetahuan hanya pada jasadmu saja; Maka ia akan menjadi ular berbisa, tapi bila kau terapkan ia kehatimu, ia akan menjadi temanmu. Dalam konsep pengetahuan Islam Iqbal pernah bertanya sinis kepada Rumi, Pikiran-pikiranku yang luhur tinggi menyentuh langit, Tapi diatas bumi aku terhina, terhina dan sekarat Aku tak mampu mengurus urusan –urusan dunia ini Dan aku terus-menerus menghadapi batu-batu penghalangan di jalanku Mengapa orang-orang yang ahli agama tolol dalam masalah dunia. Dan ia memperoleh jawaban yang menghancurkan ; Siapa saja yang mengaku mampu berjalan di atas langit, Mengapa baginya susah berjalan diatas bumi?11 Karena itu perlu usaha –usaha untuk mempertemukan kelebihan di antara keduanya sehingga lahir konsep ilmu pengetahuan yang canggih tetapi tetap bersifat relegius dan bernafaskan tauhid. Diantara pemikiran muslim kontemporer yang menganggap fenomena di atas sebagai malapetaka yang mengancam kehidupan adalah Seyyed Hossein Nasr, ia adalah seorang ilmuan produk Iran tradisional dan barat modern, yang banyak memberi kritik atas krisis yang terjadi di barat dan merembes ketimur, sebagi ilmuan yang mendapat dua pengaruh tradisi wajar kalau Nasr berusaha untuk menjadikan Islam sebagai pusat semangat spiritual dan tempat menemukan nilai-nilai hakiki kemanusiaan. Nasr sebagai seorang pemikir muslim kontemporer terkemuka pada tingkat internasional, dewasa ini banyak memberikan perhatiaan pada masalahmasalah manusia modern, dan memberikan kritik yang cukup tajam. Melihat
11
Fazlu Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transfomasi Intelektual, terj .Ahsin Muhamad,(Bandung; Pustaka, 2000), hlm 67-68.
7
karya-karyanya, Nasr adalah pemikir yang memiliki karya yang sangat komplek dan multidimensi, dengan sejarah ilmu pengetahuan sebagai spesialisasinya.12 Berangkat dari kenyataan diatas , penulis berasumsi bahwa Nasr hendak menjadiakn Islam sebagai pemberi semangat spiritual kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi , dengan memahami agama dan ajaranyan dengan seksama dan menyeluruh sebagai suatu unitas, maka umat Islam akan mampu membangun peradaban keemasan baru sebagai mana yang pernah di capai umat Islam masa klasik, tentunya saluran yang paling pas adalah lewat pendidikan. Melihat corak dan posisi pemikiran Nasr diatas , penulisan beranggapan bahwa pemikiran Nasr menarik untuk di kaji, karena hal ini akan mempunyai arti dalam mengurangi ekses ilmu pengetahuan modern yang saat ini merembes di mana-mana. Pokok permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah bagaimana
konsep
pengetahuan
menurut
Nasr
dan
implikasinya
bagi
pengembangan pendidikan Islam.
B. PENEGASAN ISTILAH. Untuk menghindari bias pemahaman , maka perlu memberikan batasanbatasan istilah sebagai penegasan judul. Dalam bab ini akan di kemukakan mengenai pokok –pokok istilah sebagai berikut;
1. KONSEP. Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti buram; bagan; rencana; pengertian. Kata ini dalam bahasa Indonesia di tulis dengan “konsep” dengan arti ruang; rancangan; buram (surat). Adapun yang dimaksud dalam judul ini adalah konsep dengan makna rancangan13.
12
Azyumardi Azra, Memperkenalkan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, ( Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1993) hlm, 35. 13 Wj.S. Poerwodarminta, Kamus Bahasa Indonesia,( Jakarta; PN Balai Pustaka, 1985) hlm, 377.
8
2. ILMU PENGETAHUAN. Ilmu Pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui yang belum teruji kebenaranya yang biasanya disamakan dengan opini atau knowledge dalam bahasa inggrisnya14. 3. IMPLIKASI. Implikasi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat; apa yang termasuk atau tersimpul; sesuatu yang di sugestikan tetapi tidak di nyatakan . Dalam judul ini yang di maksud dengan implikasi adalah keterlibatan atau dengan kata lain pengaruh pengetahuan tersebut.15 4. PENDIDIKAN ISLAM. Dalam kamus bahasa Indonesia di sebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan kepribadiaan melalui upaya
pengajaran
dan
latihan.
Pendidikan
berarti
pula
sebagai
pengembangan potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dalam bahasa Inggris pendidikan berasal dari kata “education” kemudian istilah ini menjadi berkembang yang meliputi, a) Development in knowledge, skill, ability, or character by teaching, training, study or expereance. b) Knowlegde , skill, aballity, or character devoleped by teaching, training, study, or experience. c) Science and art that deal with the pringsiples, problem,ect,of teaching and learning.16 Sedangkan pendidikan Islam menekankan pada pemahaman terhadap Islam sebagai suatu kekuatan yang memberi hidup bagi suatu peradaban
raksasa
termasuk
di
dalamnya
pendidikan.17
Ahmadi
memberikan pengertiaan pendidikan menurut pandangan Islam yaitu 14
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung; Mizan, 2003) hlm, 2. Wj.S. Poerwodarminta, Op,Cit, hlm 520. 16 E.L Thorndhike, Clarence L. Barnthart, Advenceu Junior Dictionari, (New York; Doubleday and Company Inc, 1965) hlm 257. 17 Hasan Lagullung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta; PT. Al-Husna Zikra, 2000) hlm. 29 15
9
tindakan yang dilakukan secara sadar denagn tujuan memelihara dan mengembangkan firah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).18 5. SEYYED HOSSEIN NASR. Seyyed Hossein Nasr adalah Intelektual Islam lahir di Iran pada tanggal 7 April 1933, Dia adalah salah satu dari sekian intelektual muslim yang melanglang buana dalam pemikiran keislaman, dia menjadi salah satu professor di tiga benua dalam bidang keahliaan filsafat, sejarah sains Islam.19
C. RUMUSAN MASALAH. Berdasarkan latar belakang maka penelitian ini akan memfokuskan kajian pada konsep pengetahuaan S.H. Nasr dan implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam, untuk menjawab permasalahan ini perlu dirumuskan kelompok dalam sub-sub masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr ? 2. Bagaimanakah implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam?
D.TUJUAN PENELITIAN. 1. Tujuan penulisan skripsi. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Untuk
mengetahui
bagaimana
sebenarnya
konsep
Ilmu
pengetahuan S.H Nasr. b. Untuk menggali konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr dan sejauh mana implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam. 2. Manfaat penulisan skripsi. Nilai guna yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah; 18
16.
19
Ahmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta; Aditya Media, 1999) hlm,
Zainul Hasan, Islam Tradisional; Kajian atas pemikiran Nasr, (Pamekasan; Journal Studi Keislaman, Vol,V, No,I. STAIN Pamekasan, 2004) hlm, 341.
10
a. Sebagai usaha dalam mengembangkan sebuah tatanan model pengetahuan yang tanpa mengenal batas. b. Sebagai
upaya
mensinergikan
dan
mengenalkan
konsep
pengetahuan bagi pengembangan pendidikan islam.
E. KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sampai sejauh ini kajian tentang pemikiran Seyyed Hossein Nasr sudah cukup banyak, baik berupa penulisan dalam bentuk skripsi, buku dan
journal
kebanyakan penulisan itu berkisar tentang konsep Tasawuf, Filsafat, Pengetahuan dan Sains serta masalah Seni. Dalam penulisan bidang sains dan epistimologi (teori pengetahuan) yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini pernah di tulis oleh Fathurahman (4193081) dari Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Semarang dengan judul Epistimologi menurut Seyyed Hossein Nasr di dalam tulisan itu diterangkan bahwa telah terjadi pendikhotomian metode pencarian pengetahuan pasca renaisance yakni dengan mengesampingkan aspek metafisik dalam arti pengetahuan telah mengalami sekulerisasi. Hampir sama juga penelitian yang pernah dilakuakn oleh Ali Maksum NIP (150275405) IAIN Sunan Ampel yang mengambil tema Epistimologi Seyyed Hossein Nasr Dalam Filsafat Islam, disana penulis menerangkan tentang pengalihan landasan epistimologi dari Theosentris ke Antroposentris yang di lakukan pada zaman modern ini yang merembes ke dunia islam. Ali Anwar pernah menulis dalam Journal Empirisma Vol 13 NO 1 juli 2004 dengan judul Hierarki Ilmu dan Kebahagiyaan ( Studi atas pemikiran S.H Nasr) di sana di terangkan kepanikan mayarakat modern akibat kesalahan dalam mengambil epistimologi mereka mengalami kehampaan spiritual dan tidak bias mengahadapi hidup, mereka merasa terasing dengan Tuhan, lingkungan bahkan dirinya sendiri, dan dalam penulisan itu di jelaskan tentang akan pentingnya kembali ketradisi yakni agama. Melihat hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas ternyata belum ada yang secara khusus mengkaji tentang “ Konsep Pengetahuan
11
Seyyed Hossein Nasr Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Pendidikan Islam”, sedangkan yang membedakan pada penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas adalah di sini peneliti akan mengungkapkan pemikiran-pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang pengetahuan dan Implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam.
F. METODE PENELITIAN. 1. Jenis Penelitin Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mengadakan studi secara teliti literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. 20 2. Pendekatan Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan faktual historis. Sedang yang dimaksud dengan faktual historis yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan historisitas faktual mengenai tokoh.21 Pemakaian pendekatan dengan berusaha membuat interpretasi secara sistematis dan hipotesis.22 Pendekatan ini penulis gunakan dalam mengungkapkan historisitas Seyyed Hossein Nasr tentang konsep pengetahuan. 3. Sumber Data Adapun sumber-sumber yang penulis gunakan sebagai berikut: a. Sumber Primer, artinya Sumber primer dalam penelitian ini adalah bahan utama yang di jadikan refrensi yaitu pendapat Seyyed Hossein Nasr tentang konsep pengetahuan yang tertuang dalam karya Knowlegde and Secred yang diterjemahkan oleh Suharsono dengan judul Pengetahuaan dan Kesuciaan yang di terbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta 1997
20
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Andi Offset, 1989) hlm 9 Anton Bekker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 61 22 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jajarta: Raja Grifindo Persada, 1996), hlm. 134 21
12
yang kemudian di rilis ulang penerjemahan tersebut dengan judul Intelegensi dan Spritualitas Agama-agama oleh Suharsono dkk, diterbitkan oleh Inisiasi Press Jakarta 2004 serta karya-karya beliau lainya yang ada hubunganya dengan pengetahuan. b. Sumber Skunder, artinya Sumber sekunder yaitu sumber-sumber lain yang membahas pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang dapat di temukan dalm berbagai journal maupun majalah, seperti tulisan pada journal Studi Keislaman VOL V. NO.I. STAIN Pamekasan 2004 yang menulis tentang biografi dan pemikiranya tentang Islam Tradisional . c. Sumber Tertier, artinya Sumber tertier yaitu sumber penunjang dalam pembahasan skripsi ini, yaitu literature-literatur lain yang berkaitan dengan judul skripsi diatas. 4. Metode Pengumpulan Data. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah: Dokumentasi yang di pakai penulis untuk menemukan data-data tentang konsep Seyyed Hossein Nasr yang berhubungan dengan pengetahuan 5. Metode Analisis Data. Untuk menganalisis data penulis menggunakan metode: 1.Metode Historis Metode Historis yaitu metode merekonstruksi masa lampau secara obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasi serta mensitesiskan bukti-bukti untuk menegakan fakta.23 Penulis menggunakan metode ini untuk mengungkap dan menganalisis historisitas Seyyed Hossein Nasr beserta konsepnya tentang pengetahuan 2. Metode Interpretatif
23
Mohamad Nasir, Metodologi Penelitian, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1988) hlm 56.
13
Metode Interpretatif adalah menyelami buku dengan setepat mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang di sajikan24. Metode ini penulis gunakan untuk memahami dengan seksama pemikiranpemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. 3. Metode Analitik Kritis adalah mendiskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya di konfirmasikan dengan gagasan primer yang lain dalam upaya studi perbandingan, hubungan dan pengembangan model.25 Penulis
menggunakan
metode
ini
untuk
mendiskripsikan
membahas dan mengkritik gagasan-gagasan Seyyed Hossein Nasr tentang ilmu pengetahuan dengan memperbandingkan gagasan-gagasan beliau yang lain. G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI. Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalah fahamandalam tulisan ini di bagi tiga bagian. 1. Bagian muka . Pada bagian ini berupa sampul judul, persembahan, lembar nota pembimbing, pengantar, pengesahan,moto, kata pengantar, daftar isi. 2. Bagian isi. Pada bagian isi ini ada lima bab yang secara utuh dan berkaitan yaitu sebagai berikut: Bab I, Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah B. Penjelasan Istilah. C. Rumusan Masalah. D. Tujuan Penulisan. E Telaah Kepustakaan. F. Metodologi Penelitian. 24
Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta; Kanisius, 1990) hlm 63. 25 Anton Bakker dan Charis Zubair, Ibid, hlm 62.
14
Bab II, KONSEP DASAR ILMU PENGETAHUAN A. Pengertian pengetahuan B. Pembagian Pengetahuan C. Dasar Ontologis Ilmu Pengetahuan D. Dasar Epistemologi Ilmu Pengetahuan E. Dasar Aksiologi Ilmu Pengetahuan F. Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Pendidikan Islam Bab III, KONSEP PENGETAHUAN SEYYED HOSSEIN NASR. A. Riwayat hidup Seyyed Hossein Nasr. B. Karya-karya Seyyed Hossein Nasr. C. Hakikat pengetahuan menurut Seyyed Hossein Nasr. D. Sumber pengetahuan menurut Seyyed Hossein Nasr. E. Jalan memperoleh pengetahuan. menurut Seyyed Hossein Nasr. F. Pendidikan Islam menurut Seyyed Hossein Nasr. Bab IV, ANALISIS DATA. Konsep pengetahuan Seyyed Hossein Nasr dan implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam. A. Tradisi dalam pendidikan Islam. B. Pendidikan Islam dan Modernitas C. Pendidikan Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Bab V, KESIMPULAN Berisis mengenahi kesimpulan dan saran-saran. 3. Bagian belakang. Pada bagian belakang berupa daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
15
BAB II KONSEP DASAR ILMU PENGETAHUAN A. DEFENISI PENGETAHUAN Pada
umumnya
pembahasan
tentang
epistemologi26
(teori
pengetahuan) di mulai dengan penjelasan tentang defenisi “ sains, pengetahuan, dan ilmu” yang kesemua itu memerlukan pengertian yang jelas karena ketiga istilah tersebut mempunyai konotasi yang sama yakni berkisar tentang pengetahuan sesuatu sebagaimana adanya. Namun seiring dengan perkembangan filsafat yakni tantang teori pengetahuan (epistimologi) ada sesuatu yang menarik yaitu adanya pembedaan antara teori pengetahuan Islam dengan barat, perbedaanya sangat fundamental dan perlu penjelasan yang sangat jeli agar tidak menimbulkan kekaburan dan kesalahfahaman, lebih-lebih era sekarang di mana wacana ilmiah di dominasi oleh barat dan kebanyakan sarjana muslim hanya mengenal teori dari barat dan jarang sekali yang serius mendalami teori-teori pengetahuan Islam. Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu, tanpa ada perbedaan. Seperti kata science, kata ilmu dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa saja,
tetapi sebagaimana yang telah di
definisikan oleh Ibn Hazm ( W. 1064 M ) ilmu difahami sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya, dan seperti science di bedakan dengan knowlegde, ilmu juga di bedakan oleh ilmuan muslim dengan opini. Akan tetapi di barat ilmu dalam pengetahuan ini telah di batasi hanya pada bidang fisik-empiris dan dalam teori pengetahuan Islam ilmu tidak hanya mengkaji
26
Epistemology or the theory of knowledge is the branch of philosophy which is concerned with the nature and scope of knowledge its presupposition and base and the general reliability of claim to knowledge. Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy, Vol. III (Colliermas Millan, London, 1972 ), Hal. 8-9. Harun Nasution mendefenisikan bahwa epistemology adalah teori pengetahuan yang membahas apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperolehnya. Lihat Harun Nasution Falsafah Agama, ( Bulan Bintang, Jakarta, 1973 ), hal. 7
16
pada kajian fisisk-empiris tapi juga nonfisik dan metafisik, penyetaraann ini dapat dilacak atas pernyataan Karier pengarang buku scientist of the mind bahwa pada masa-masa abad ke-19 sains di fahami sebagai any organized kowlegde atau sembarang pengetahuan yang terorganisasi termasuk teologi dengan pengertian seperti ini sebenarnya kata ilmu harus di fahami.27 Untuk membahas agak rinci tentang defenisi dari ilmu dan sains serta menentukan batasan-batasan apa yang di kajinya akan di bahas dahulu tentang sains kemudian ilmu adapun mengenai opini atau ra’yi tidak akan di bahas cukup di pahami sebagai pengetahuan umum yang belum teruji kebenaranya atau barang kali bisa di katakan dengan common sense. Menurut kamus Webster’s New World dictionary, kata sains berasal dari kata latin, scire berarti mengetahui, secara bahasa scince berarti keadaan atau fakta mengetahui dan sering di di ambil dalam arti pengetahuan (knowlegde) yang di kontraskan dengan intuisi atau kepercayaan.28 Namun kata ini kemudian mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga berarti “ pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian dan percobaan –percobaan yang di kaji, dengan demikian telah terjadi pergeseran makna sains dari pengetahuan menjadi pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi indrawi. Tren ini kemudian mengarah pada pembahasan lingkup sains hanya pada dunia fisik, hal ini dapat dirujuk dengan pengertian sains sebagai pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik. Sebagai pengetahuan yang sistematis sains barangkali tidak begitu unik karena semua ilmu seperti teologi dan metafisika, memang harus sistematis dan organized. Karakter sains baru muncul ketika pengetahuan yang sistematis tersebut harus muncul dengan; observasi dan yang di sebut dengan
27
Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam. (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 7 28 Webster New Word Dictionary Of The American Language. (Cleveland and New York: The Publishing Company, 1962), hlm. 1305
17
observasi disini adalah observasi indrawi apakah keadaanya dengan alat indra telanjang tanpa alat bantuan alat atau dengan alat dengan teleskop. Sarat observasi inilah yang membuat sains harus bersifat empiris yakni yang bisa dialami atau diamati secara indrawi, agar bisa bersifat empiris dan dapat diukur maka objek yang dikaji adalah berupa alam dan dunia fisik atau istilah August Comte positivistik, jadi sains haruslah positifistik, ini merupakan ciri atau karakter dasar sains dan mempunyai dampak myang sangat fundamental terhadap pandangan keagamaan seseorang yang bisa membawa kepada ateisme. Masih ada satu yang berkaitan denga karakteristik sains yaitu masalah matematika. Jika sains harus bersifat fisik dan positifistik bagaimana dengan kedudukan matematika, apakah matematika termasuk sains materinyasubjeknya empiris atau tidak ? tampaknya matematika adalah masuk dalam kategori sains, sehingga munculah istilah mathematical science dan tidak ada keraguan bahwa matematika selalu berkaitan denga atau di abstraksikan dari benda-benda fisik, walaupun pada dirinya tidak lagi bersifat fisik, namun justru di sinilah letak persaratanya, jika materi-subjek matematika pada dirinya bukan fisik, bagaimanakah matematika bisa di pandang sebagai sains hal ini bukan karena alat atau insterumen sains ternyata jawabanya tidak begitu jelas. Menurut Paul Davies mengatakan bahwa para matematikawan terpecah belah menjadi dua kelompok, ada yang menyatakan bahwa objek matematika mempunyai status ontologis yang jelas seperti kaum platonis, tetapi yang lain menolak status tersebut. Tapi matematika memang dimasukan atau dapat diklasifikasikan kedalam ilmu-ilmu pasti (exact science), sifat kepastian inilah dan bukan status ontologis objeknya yang barang kali menjadi pembenaran matematika dimasukan kedalam kategori sains.29
29
Paul Davies, Membaca Pikiran Tuhan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2001), hlm. 54
18
Sekarang beralih kemasalah pengertian atau pembahasan masalah ilmu, ilmu berasal dari kata ‘alima yang artinya mengetahui, jadi kata ilmu secara harfiah tidak berbeda dengan science yang berasal dari kata scire yang artinya juga mengetahui. Ilmu bisa di definisikan pengetahuan sebagaimana adanya, pengetian ini mengisaratkan bahwa ilmu tidak begitu saja sebagai pengetahuan biasa yang didasarkan pada opini atau kesan keliru dari indra tetapi ilmu merupakan pengetahuan yang telah teruji kebenaranya berdasarkan bukti-bukti yang yang kuat dan tidak hanya berdasarkan praduga atau asumsi dengan kreteria lain, ilmu sama dengan sains dalam hal sebagai pengetahuan yang sestimatis dan organis.30 Namun kajian ilmu berbeda dengan sains kalau sains hanya berkutat kemasalah empiris positifistik, ilmu melampauinya dengan tidak menjamah masalah empiris saja tapi juga nonempiris seperi matematika dan metafisika. Dari sini dapat disimpulkan bahwa awalnya ilmu dan sains mempunyai pengertian yang sama bahkan juga lingkup yang sama, namun kemudian sains membatasi dirinya pada dunia fisik sedangkan ilmu masih tetap meliputi tidak hanya fisik tetapi juga bidang matematika dan metafisika, adapun mengenai opini seperti yang telah disinggung adalah pengetahuan umum atau sembarang pengetahuan yang kebenaranya belum teruji melalui penelitian-penelitian seksama. Sering ada juga ungkapan bahwa ilmu tidak bertentangan dengan agama, makanya tidak perlu dipertentangkan denganya, namun al-Qur’an mensyinyalir adanya ilmu yang bermanfaat dan tidak, hal ini mengidenfikasi bahwa ilmu yang berkembang sesuai dengan ajaran-ajaran agama jelas tidak bertentangan, namun ilmu yang dikembangkan tanpa menghiraukan tuhan dan para pendukungnya menolak tuhan atas nama ilmu harus diwaspadai. Jadi tidak semua ilmu bersifat positif atau sportif terhadap agama bahkan ada ilmu yang mempunyai pringsip yang bertentangan dengan 30
Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 4
19
pringsip-pringsip agama dan ini harus di kritisi namun jika ilmu itu menjelaskan fenomena alam sebagai tanda kekuasaan tuhan jelas bahwa ilmu itu bukan hanya tidak bertentangan dengan agama melainkan harus dipandang mulia dan sakral. B. PEMBAGIAN PENGETAHUAN 1. Sains Sebagaiman telah diketahui bahwa sains adalah pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik jadi kebenarannya adalah berdasar pada suatu yang riil, imbas dari lingkup sains yang hanya pada bidang fisik empiris membuat pandangan dunianya bersifat sekuler materialistik dalam arti kosmologi yang sains kenalkan adalah yang jauh dari unsur-unsur spritual seperti Tuhan, malaikat dan ruh.31 Kosmologi sains adalah susunan kosmosfisik, manusia bahkan hanya di pandang semata-mata sebagai mahluk fisik, manusia telah kehilangan dimensi spritual bahkan bumi sendiri tidak mempunyai kedudukan istemewa di taklukan sedemikian hebatnya di ibaratkan sebagai pelacur di kuras tanpa memandang sebab akibatnya’ 2. Filsafat Jika sains mengandalkan indrawi sebagai pemasok pengetahuan, filsafat mengandalkan penalaran rasional, untuk kawasan yang di kaji filsafat adalah lebih luas dari sains kalau sains hanya berkutat pada masalah fisik, filsafat beroprasi pada level yang lebih tinggi dari sains yaitu metafisik. Para ilmuan muslim mengatakan bahwa sains berkutat pada dunia indrawi (al-mahsusat) sedangkan berkutat pada dunia akal (al-Ma’kulat), maka dari itu objek-objek filsafat berpusat pada ide-ide, pemikiran atau konsep-konsep sehingga proses penelitianya lebih banyak melibatkan penalaran rasional dari pada pengamatan atau observasi indrawi, makanya filsafat lebih luas lingkupnya dari sains dan tentunya akan berbeda dengan 31
Mulyadi Kartanegara, Op Cit,hlm. 9
20
sains, dunia misalnya menurut para filosuf bukan sebagi realitas akhir melainkan sebagai karya agung agen external yang telah sedemikian rapi dan serasi sehingga alam bisa berjalan dengan dengan sedimikian kompak dan serasi, agen external disini biasanya di sebut tuhan.32 Karena berbeda dengan sains maka berbeda pula para filosof dalam memandang manusia, para filosof tidak memandang manusia sebagai hanya mahluk fisik-kimia, tetapi di sebut sebagai mahluk makrokosmos, mahluk yang bermartabat, bermoral karena diyakini bahwa manusia merupakan agen yang punya kebebasan berkehendak atau memilih dalam bentuk tindakan volunter yang hakiki, manusia adalah mahluk yang memiliki jiwa yang independen dan bersifat spritual, sifat inilah yang nantinya akan di mintai pertanggungjawaban di hadapan tuhan setelah mati. 3. Agama Setelah memahami sains dan filsafat dan tahu wilayah kajianya serta keunggulanya dan kekurangan, kajian selanjutnya adalah agama. Berbeda dengan sains yang mengandalkan indra, filsafat mengandalkan rasio, agama bersandar pada wahyu, yang berarti bersandar pada otoritas penerima wahyu atau yang di wahyui yang disebut nabi atau rasul, maka dari itu pengetahuan agama disebut dengan naqli (tranmitted) bukan aqli (rasional), tujuan ilmu agama menurut Ibnu Khaldun33 bersifat praksis yaitu menjamin pelaksanaan kehendak syariat, sedangkan ilmu-ilmu rasional bersifat teoritis karena ingin mengetahui segala sesuatu sebagiman adanya.34 Karena berbeda dengan sains dan filsafat dalam sumber pengetahuan maka agamapun mempunyai pandangan tersendiri yang tidak sama dengan sains dan filsafat. Alam semesta misalnya menurut agama bukanlah realitas 32
Ibid, hlm. 12 Nama lengkapnya adalah Abdurrahman Abu Zaid Ibn Khaldun (732 H/ 1322 M-808 H / 1406 M) dikenal sebagai seorang filosof sejarah dan cendikiawan prilaku manusia, berasal dari Yaman dan menetap di Spanyol, ia sendiri lahir di Tunis tempat ia belajar agama dan filsafat dan ia tertarik dengan ajaran Nashirudin at Thusi. Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung,1986), hlm 40 34 Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 15 33
21
independen apalagi terakhir tetapi menurut agama alam semesta merupakan tanda-tanda (ayat) kebesaran dan keberadaan tuhan jadi mempelajari alam adalah sama dengan mempelajari jejak-jejak ilahi dan karena itu pengkajian akan dapat menambah keimanan kepada tuhan dan bukan penolakan terhadap keberadaan tuhan seperti yang telah dilakukan saintis besar barat sepaerti Darwin, Freud dan Laplace. Dalam kacamata agama tuhan merupakan dzat yang bertanggung jawab atas turunya hujan, menghidupkan bumi yang mati memancarkan air dari tanah semua itu di gambarkan tuhan sebagai hasil langsung kerja tuhan, namun kadang tuhan bekerja lewat perantara malaikat dengan berbagai tugasnya. Apapun hubungan langsung dan tidak langsung antara tuhan dengan alam yang jelas alam tidak akan bisa independen dari kebijaksanaan tuhan atau tidak akan pernah absen dari unsur-unsur ilahi atau spritual, jadi pandangan agama yang kaya ini berbeda dengan sekali dengan pandangan dunia saintis yang sepi dan sunyi bahkan mati karena telah di bersihkan dari unsur-unsur supernatural.35 Agama memandang manusia sangat istimewa seperti dalam filsafat, manusia menurut agama adalah wakil tuhan yang di turunkan di muka bumi, sebuah kedudukan yang sanat istimewa yang tidak pernah di berikan oleh aliran filsafat humanisme, bahkan manusia di beri hak wewenang untuk mengelola bumi asal sesuai dengan aturan ilahi. Agama juga memberikan atas berbagai soal yang tidak bisa di jawab oleh sains dan filsafat, misalnya masalah nasib, mati, keadaan alam qubur hanya agama yang mempunyai otoritas untuk menjawab masalah-masalah diatas.36 Jadi disini agama bisa memberi jawaban pengetahuan makna yang lebih tinggi dan melengkapi pandangan sains dan filsafat, karena agama
35 36
Ibid, hlm. 15 Ibid, hlm. 16
22
menjawab dengan dengan bahasa simbol dan mistis yang sangat memperkaya pandangan dunia, agama sebenarnya tidak perlu kuatir dan terdesak dengan pandangan sains dan filsafat karena keduanya mempunyai kontribusi masingmasing. C. DASAR ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN Koento Wibisono menjelaskan ontologi ilmu adalah meliputi apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being).37 Masalah utama dalam kajian ontologi ini adalah apa yang ada(what is being), dimana yang ada dan apa kebenaran itu. Sedemikian mendasar dan mendalamnya persoalan-persoaln ini sehingga manusia di hadapkan pada jawaban yang berbeda-beda, semua itu adalah pilihan yang mendasarkan keyakinan sehingga menimbulkan berbagai macam jawaban dan aliran. Persoaln pertama , what is being ? memberikan alternatif yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan mereka,(1) Monisme, yang ada hanya satu, dan yang satu itu serba spirit atau idea maka akan melahirkan aliran spritualisme atau idealisme, tetapi jika yang satu itu serba materi akan melahirkan materialisme.(2)Dualisme, yang ada itu serba dua, misalnya jiwa dan raga maka terlahirlah aliran eksistensialisme, dan (3) Pluralisme, menurut aliran ini yang ada itu terdiri dari banyak unsur dan serba plural, (4) Yang ada adalah sesuatu yang tidak dapat di ketahui, maka lahirlah aliran agnotisme.38 Persoalan yang kedua “ where is being ?” . jawaban dari pertanyaan ini adalah (1) yang bersemayam dalam dunia ide, yang bersifat abstrak tetap dan abadi (2)yang ada bermulim di dunia ide, bersifat konkrit dan dan individual sehingga kebenaran yang diperolehnya terbatas dan berubah-ubah.
37
Kunto Wibisono, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenahi Kelahiran dan Perkembanganya Sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu, makalah kuliah filsafat ilmu progam pascasarjana IAIN sunan kalijaga, 1996, p.6. 38 Ibid
23
Persoaln ketiga adalah what is truth?. Jika yang dimaksud kebenaran itu kekal dan abadi, maka tidak ada jawaban kecuali kemutlakan dan kekuasaan Tuhan, tetapi jika yang di maksud adalah kebenaran yang berubahubah, maka persoaln yang muncul adalah bagaimana perubahan itu dan apa yang menentukan perubahan itu. Dasar ontologi yang bermula dari pertanyaan what is being? Pada prosesnya memunculkan klasifikasi ontologik kedalam tiga bagian yaitu: (1)ontologi bersahaja, segala sesuatu dipandang sebagai keadaan sewajarnya dan apa adanya, (2) ontologi kuantitatif dan kualitatif, kuantitatif karena mempertanyakan tunggal atau jamak sedangkan kualitatif
berangkat dari
pertanyaan apakah yang merupakan jenis pertanyaan itu, dan (3) ontologi monistik, kenyataan itu tunggal adanya, keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka39 pada giliranya nanti ontologi ini akan melahirkan mekanisme, idealisme dan materialisme. Dasar-dasar ontologis ini berlaku untuk semua jenis ilmu pengetahuan terutama tentang eksistensi bangun dan berkembangnya agar selaras dengan makna dan hakekat serta fungsi manusia diciptakan. D. HIERARKI PENGETAHUAN Dalam teori pengetahuan suatu ilmu tidak akan bisa mencapai status ilmiah yang sah kecuali status ontologisnya jelas diakui, oleh karena itu status ontologis akan sangat berpengaruh sebagai basis klasifikasi ilmu,para filosof muslim sangat peduli dengan masalah ini diantaranya al-Kindi, al-Farabi, ibn Sina, al-Gazali, Qutbudin al-Syirazi dan Mullashadra.40 Menurut S.H Nasr apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka menjelaskan hierarki ilmu dan mengharmoniskan wahyu dan akal atau antara agama dan ilmu, sebagaimana telah dijelaskan bahwa antara epiestimologi
39
Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargo, (Yogyakarta: Tiara Wacana , 1992) hal. 191-192. 40 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanis-Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 130-131
24
Islam dan barat sangat berbeda, jika barat hanya berbijak pada hal yang beraura mahsusat yakni objek-objek indrawi tapi para filosof muslim mengakui ststus ontologi mahsusut dan ma’qulat. Dari kerangkam berfikir seperti itu epiestemologi Islam telah berhasil menyusun klasifikasi ilmu yang komprehensif dan disusun secara hierarkis yaitu metafisisyang menmpati posisi tertinggi disusul oleh matematika dan terahir ilmu-ilmu fisik atau fisika. Dari trikotomo seprti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia Islam seperti ontologi, teologi, kosmologi, anggelologi dan eskatologi yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu metafisik. Geometri,aljabbar, aritmatika, musik dan trigonometri yang termasuk didalamnya kategori ilmuilmu matematika. Dan fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik.41 E. DASAR EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Epistemologi
berkaitan
dengan
beberapa
masalah
diantaranya:
bagiamana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kreterianya ? cara atau teknik sarana apa yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?.42
41
Mulyadi Kartanegara Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 43 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 33 42
25
I. SUMBER PENGETAHUAN Epistemologi meliputi sumber sarana dan tatacara menggunakan sarana untuk mencapai pengetahuan (ilmiah), adapun sumber-sumber pengetahuan adalah indra, akal dan hati 1. INDERA Sebagai sumber atau ada yang mengatakan alat, pengetahuan, indra tentu amat penting. Begitu pentingnya indra sehingga oleh aliran filsafat seperti
empirisme
indra
dipandang
sebagai
satu-satunya
sumber
pengetahuan, melalui indralah kita mengenal dunia sekeliling kita, melalui mata kita bisa melihat bentuk keberadaan, sifat-sifat atau karakteristik benda-benda yang ada di dunia. Telingan denganya kita bisa mengenal dimensi lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa di cerap oleh mata yaitu suara, demikian juga lewat indra perasa kita bisa merasakan rasa masam, asin, manis, pahit, dan lain-lain yang tentunya tidak dapat dilihat dan di dengar mata dan telingan. Tak kalah pentingnya adalah adanya indra pencium yang dapat mencerap aspek lain dari objek-objek fisik yang tidak bisa dilihat, didengar atau dirasa yaitu” bau” yang bisa membedakan antara harum dan dingin, lunak, halus serta kasar. Mengenai fungsi indra sebagai sumber pengetahuan dapat diantaranya sebagai alat adaptasi dengan lingkungan dan sebagai alat pertahanan hidup (survival) contoh mata sangat berguna untuk mengamati bahaya yang mungkin akan mengancam nyawa seperti tertabrak kendaraan bermotor, terbakar oleh api atau terjerembak kedalam parit dan dengan itu kita bisa mengambil tindakan seperlunya untuk menyelamatkan diri, telingan juga sangat berfungsi untuk menghindari bahaya serupa misalnya mendengar klakson mobil ketika mata karena sesuatu hal tidak bisa melihatnya, indra perasa untuk menghindari dari memakan benda-benda yang sudah busuk atau beracun, dengan demikian bahwa indra tidak hanya sebagai sumber
26
pengetahuan tetapi juga diperlukan untuk menghindari dari bahaya atau dengan kata lain pancra indra merupakan instrumen untuk kelangsungan hidup.43 Setelah tahu seluk beluk indra fungsi dan keistemewaanya mungkin perlu juga mengkritisinya, pertanyaanya adalah apakah indra telah cukup memasok kebutuhan sebagi pengetahuan tentang sesuatu apa adanya? Apakah misalnya penglihatan kita telah mampu memberi pengetahuan tentang sebuah benda, katakanlah langit, bulan atau bintang? Sepintas kita akan menjawab “ ya” misalnya kita bisa mengatakan bahwa langit itu biru, bulan itu bulat pipih seperti piring atau bintang kecil, namun apakah penglihatan kita melaporkan benda-benda itu sendiri sebagimana adanya atau hanya kesan yang tercerap oleh mata kita belaka? Apakah kesan indrawi kita sama dengan kenyataan, ternyata kita tahu bahwa kesan indra itu tidak sesuai dengan benda itu sebagaimana adanya. Indra penglihatan misalnya akan menduga bahwa bintang dilangit yang berkelip-kelip padahal menurut penyelidikan ilmiah bisa saja bintang yang berkelip adalah cahaya yang terpancar dari bintang jutaan tahuan yang lalu karena bintang yang berjarak jauh memang membutuhkan jutaan tahun untuk merambat sampai kemata, jadi jelas bahwa bahwa kesan yang di tangkap jauh berbeda dengan keadan sebenarnya. Begitupun indra pendengaran suara gunung berapi yang meletus, didengar pada pukul 10.06 misalnya belum tentu terjadi pada saat mendengarnya, sebab gelombang suara membutuhkan waktu bebrapa saat untuk mencapai ketelingan mungkin hanya beberapa detik atau 1-4 menit, selain itu tidak semua gelombang suara dapat didengar karena telingan hanya mampu mendengar gelombang suara yang berfrekkuensi tertentu saja, bukan gelombang suara yang jauh di luar batas frekuensi tertentu saja.
43
Mulyadi Kartanegara, Op, Cit, hlm. 19
27
Dua contoh diatas telah cukup memberi kita pengetahuan (informasi) tentang benda-benda indrawi ternyata tidak memadai untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, namun juga kecakapan-kecakapan lain dari mental yang di sebut panca indra batin atau biasa disebut indra bersama (alHiss al-Mustarak). Indra ini menyebabkan sebuah objek indrawi muncul sebagi sebuah kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi parsial yang biasa disumbangkan oleh tiap indra lahir.44 Kedua “khayal” atau daya imajinasi retentif, indra ini adalah daya yang bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata atau suara yang didengar oleh telingan. Daya ini sangat penting karena kita bisa mengingat wajah seorang yang cantik nan anggun atau anggota keluarga kita dan jika tanpa daya tersebut tak bisa di bayangkan akibatnya kita akan seperti orang yang kehilangan ingatan.45 Indra batin yang ketiga disebut daya “estiminasi” (wahm) indra ini adalah untuk menilai apakah benda itu berbahaya atau bermanfaat untuk di jahui dan didekati, jadi wahm adalah daya unyuk menyimpulkan sesuatu benda yang mengharapkan untuk bertindak apakah menjahui atau mendekati.46 Indra batin yang keempat disebut imajinasi ( Mutakhaliyah atau compositif imaginatif faculty) sebenarnya hampir sama dengan indra bersama cuma imajinasi dapat menggabungkan sesuatu benda menurut selera yang kita kehendaki misalnya kita menggabungkan bentuk manusia dengan burung dalam sebuah bentuk yang unik bisa disebut dengan buroq.47 Indra batin yang kelima disebut memori (al-Hafizhah) indra ini berguna untuk melastarikan bentuk-bentuk imajiner yang meliputi fisik dan
44
Ibid, hlm. 21 Ibid, hlm. 22 46 Ibid, hlm. 34 47 Ibid, hlm. 23 45
28
bentuk nonfisik atau abstrak48, dari berbagi corak keistemewaan serta kekurangan dari indra ini adalah ternyata ia tidak memadai untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, oleh karena itu dibutuhkan bantuan alat atau sumber lain untuk mengetahui tentang sesuatu sebagaimana adanya, Al- Gazali49 dalam kitabnya “Miskah al-Anwar” memandang akal lebih patut di sebut cahaya dari pada indra dengan kata lain akal lebih patut di sebut sebagi sumber ilmu dari pada indra misalnya misalnya dengan indra kita bisa melihat separuh dari bulan yang terlihat dalam hal ini akalah yang dapat meyempurnakan bentuk bulan sebagai bola dan dengan akal pula kita bisa tahu bahwa pensil dalm gelas yang penuh dengan air itu lurus sekalipun tampak. 2. AKAL Akal secara bahasa mempunyai arti terikat atau mengikat yakni mengikat manusia dengan Awalnya50, oleh para filosuf muslim akal di bagi menjadi 2 akal praksis dan akal teoritis, dalam hal ini akal teoritis adalah berhubungan dengan pengetahuan sedangkan akal praksis berhubungan dengan etika, disini akan di bahas keistimewaan atau kelebihan serta kekurangan akal sebagai pemasok alat pengetahuan. Manusia di bedakan dengan hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh hewan apapun yaitu akal, akal bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra (baik lahir-maupun batin) yaitu bertanya secara kritis, akal misalnya dapat bertanya tentang dimana sebuah benda berada, kapan peristiwa terjadi, apa penyebabnya, dan siapa 48
Ibid, hlm. 23 Abu Hamid Muhammad al-Gazali (450 H/ 1058 M-505 H/ 1111 M) nama latinya al Gazel bukanlah seorang saintis dan filosof dalam arti biasa, tapi meninggalkan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan intelektual Islam, hingga tak cukuplah ketika bicara soal sains tanpa menyinggung peranya. Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung,1986), hlm. 34 50 Seyyed Hossein Nasr Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, (Jakarta: Inisani Press, 2004), hlm.11 49
29
pelakunya ? akal telah menjadi sumber luar biasa yang melebihi dari indera, itu tak lain karena akal memiliki perangkat atau konstruksi mental atau yang disebut oleh Immanuel Kant sebagai kategori-kategori seperti ruang, waktu, substansi, kualitas, relasi dan kuantitas. Kecakapan yang paling istimewa dimiliki akal adalah kemampuan untuk menangkap “ quiditas atau esensi” dari suatu yang diamati atau di pahami, ketika berbicara tentang esensi meja akal sudah tidak lagi berbicara tentang meja yang berbentuk bundar, segitiga, segiempat, akan tetapi ia berbicara tentang hakekat atau quiditas yang meliputi semua meja partikular atau tertentu, hal inilah yang disebut bentuk ( Form) atau Surrah oleh Ariestoteles, dengan kemampuan akal menangkap esensi ( Mahiyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia bisa menyimpan jutaan makna atau pemahaman tentang berbagai objek ilmu yang bersifat abstrak sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas didalam pikiran manusia. Setelah tahu tentang kelebihan yang dimiliki akal akan lebih baiknya juga tahu kekurangan atau kelemahan akal sebagai sumber pengetahuan. Rumi pernah berkata “ akal boleh menguasai seribu satu cabang ilmu, tetapi tentang hidupnya sendiri ia tidak tahu apa-apa”. Akal memang sangat berguna sebagai sumber ilmu tapi hanya sebagai kecakapan intelektual atau kecerdasan intelegensi. Akal sering tidak berdaya jika dihadapkan pada sisi emosional manusia, ketika dihadapkan pada persoalan cinta, misalnya akal tidak bisa berkata apa-apa pikiran kita akan buntu dan lidah menjadi kelu, dengan kata lain akal tidak mengerrti tentang pengalaman esensial yaitu pengalaman yang kita rasakan bukan di konsepsikan.51 Akal dengan kebiasaannya meruang-ruang ( sepatilize) apapun yang menjadi objeknya cenderung memahami secara general atau homogen sehingga tidak tahu tentang keunikan sesuatu moment atau runag, akal tidak
51
Mulyadi Kartanegara, Op Cit, hlm. 27
30
akan mengerti mengapa bagi seseorang ada tempat yang sakral dan yang profan52. Akal seperti yang dikatakan Rumi dan Bergson, tidak mampu memahami objek penelitian secara langsung karena akal dengan menggunakan kata-kata atau simbol akan berputar-putar seperti objek tersebut, ia tidak akan langsung dapat menyentuhnya, pengenalan akal pada sebauh benda hanyalah bersifat simbolis yakni melalaui kata-kata, tetapi kata-kata saja tidak akan cukup memberi pengetahuan sejati tentang objek yang dikajinya.53 3.HATI Untuk menutupi kekurangan akal manusia dilengkapi oleh tuhan dengan intuisi atau hati ( Qalb) sehingga akan lengkaplah seluruh perangkap ilmu bagi manusia. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Hati yang terlatih akan dapat memahami perasaan seseorang hanya misalnya dengan mendenmgar suara atau memandang matanya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran hati bisa menerobos kealam ketidaksadaran atau alam ghaib dalam bahasa agama, sehingga bisa mengalami pemgalaman non inderawi, bahkan bisa berkomunikasi dengan mahluk-mahluk ghaib seperti malaikat, jin bahkan tuhan sendiri seperti yag dialami oleh para nabi. Ibarat radar hati manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan begitu terang betapapun redupnya sinar itu dari sudut pandang akal.
52
Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas; Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 13 53 Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 27
31
Dengan hatilah manusia bisa merasakan pengalaman-pengalaman eksistensial tanpa ada generelasi atau kecendrungan meruang-ruang, dan dapat mengenal objek secara lebih akrab dan langsung. Pengetahuan hati adalah pengetahuan eksistensial atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, ia juga disebut pengetahuan presence54 karena objeknya di pandang hadir dalam diri atau jiwa seseorang dan ini tidak mungkin bisa di pahami oleh akal, akal hanya mungkin mengerti cinta lewat mulut atau teori-teori tapi hati memahaminya langsung bukan lewat teori tapi hati mendalaminya sendiri sehingga ia tahu karena ia telah merasakan bukan tahu lewat omongan. II. METODE ILMIAH Kalau sementara klasifikasi ilmu berkaitan dengan pertanyaan apa yang dapat dikaji atau dapat diketahui, metode ilmu berkaitan dengan pertanyaan bagaima dapat mengetahui sebuah objek pengetahuan, pertanyaan bagaimana untuk mengetahui objek-objek ilmu tentu sangat penting bagi setiap teori pengetahauan karena dengan begitu kita bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur apa yang dapat di ambil oleh seorang ilmuan untuk sampai pada pengetahuan tentang sebuah objek sebagiman adanya. Seperti apa yang pernah di lontarkan Ziaudin Sardar sementara para ilmuwan barat menggunakn hanya pada satu macam metode ilmiah yaitu observasi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya yaitu 1) metode observasi sebagaimana yang telah digunakan oleh teori barat atau biasa di sebut dengan Bayani 55atau Tajribi,56 2) metode logis atau demontratif yang disebut dengan 54
Mehdi Ha’iri Yazdi Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 17 Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks secara langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal. Kebahasaanya yang di gali lewat infrensi (istidlal) secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikanya tanpa perlu pemikiran secara langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu ditafsir meskipun demikian akal atau rasio tidak bebas menentukan makna dan maksudnya tetapi tetap harus bersandar pada teks. Bayani berasal dari kata Arab yang berarti penjelasan eskplanasi, al-Jabbiri mengatakan berdasarkan beberapa makna yang 55
32
Burhani,57 3) metode intuitif atau yang biasa disebut dengan Irfani
58
yang
masing-masing bersumber pada indra,akal dan hati. 1.Metode observasi Metode observasi adalah metode eksperimen yang berkaitan dengan pengamatan indrawi yang tentunya sanat cocok atau sesuai dengan objekobjek fisik, al kindi misalnya di kenal bukan hanya sebagai seorang filosof melainkan ilmuan yang menggunakan metode observasi di laboratium kimia dan fisikanya.59 2. Metode demontratif Metode demontratif atau burhani pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang di gunakan untuk menguji kebenaran dan kekliruan dari sebuah penyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.60
di berikan kamus lisan al arab suatu kamus karya ibn Mansur dan di anggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengetahuan lain tentang kata ini memberikan arti sebagai al Fashl wa Intishal (memisah dan terpisah) dan ad Dhuhur wa al Idhar (jelas dan menjelaskan )makna al fashl wa al Idhar dalam kaitanya dengan metodologi sedang wa Dhuhur berkaitan dengan visi (ra’y) dari metode bayani. A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177 56 Tajribi adalah metode yang mengkaji objak-objak fisik yang tentunya Indra adalah alat dan sekaligus sumber utamanya utamanya, lihat Mulyadi Op Cit, hlm. 52 57 al-Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas untuk menetapkan kebenaran proposisi yang satu dengan yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik, menurut al Jabbiri pringsip-pringsip burhani pertamakali di kenalkan oleh Ariestoteles yang di kenal dengan metode analitik ( tahlili) suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi hamliyah( kategori) atau proposisi sartiyah dengan mengambil 10 kategori sebagai objek kaitan yaitu kualitas, ruang, waktu dan seterusnya. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles di gunakan istilah Logika dan ketika masuk khasanah pemikiran Islam berganti nama dengan Burhani. A. Khudori Soleh Op Cit, hlm. 220 58 Irfani berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘Arafa semakna dengan Ma’rifat berarti pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (ekperiens) sedang ilmu menunjuk pada pada pengatahuan yang di peroleh lewat tranformasi ( Naql) atau rasional (Aql) karena secara termenilogi Irfan bias diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang di peroleh lewat penyinaran oleh ruhani ( Riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta. Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), hlm.47-48 . Hal ini merupakan kebalikan dari metode Bayani,karena sasaran bidik Irfani adalah aspek esoteris syariat, apa yang ada di balik teks.A. Khudori Soleh, Op Cit, hlm. 194 59 Mulyadi Kartanegara Op Cit, hlm. 53 60 Ibid, hlm. 56
33
Menurut para filosof metode burhani di gunakan dalm penelitian ilmiah dan filosofis sekalipun di ketahui bahwa kadang-kadang mereka juga menggunakan metode dealikta yang biasanya di gunakan oleh para teologi perbedaan antar keduanya terletak pada dasar premis mereka, premis demonstratisf didasarkan pada pengetahuan ilmiah sementara premis-premis dealikta opini 3.Metode intuitif Kalau metode bayani berkaitan dengan indrawi, metode burhani berkaitan dengan akal maka intuitif sesuai dengan namanya berkaitan dengan intuisiatau hati (qalb). Metode pendekatan intuitif biasanya juga disebut metode dzauqi ada juga yang menyebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang bisa dialami langsung oleh pelakunya, modus ilmu seperti ini biasanya disebut ilmu hudhuri (knowlegde by presense).61 Dalam dunia Islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan sangat inspirasional seperti Fushus al Hikam dan al Futuhat al Makiyah karangan ibn Arabi, Manthiq atThoir karangan Faridudin Atthar, al Matsnawi al Ma’nawi karya Jalaludin ar Rumi.
F. DASAR AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN Sampailah kita pada dasar ilmu pengetahuan yang ketiga yaitu aksiologi yang menanyakan tetang kegunaan ilmu itu sendiri, aksiologi meliputi nilai-nilai yang ebrsifat normatif dalam pemberian makna tehadap kebenaran atau kenyataan sebagaiman di jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajah berbagai wilayah baik sosial, simbolok ataupun fisik materiil, lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukan oleh aksiologi sebagi suatu Conditio sine quanon yang wajib di patuhi dalam kegiatan penelitian maupun dalam penerapan ilmu. 61
Ibid, hlm. 60
34
Telah terjadi perdebatan panjang tentang apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak sebagianberpendapat bahwa ilmu pengetahuan sendiri merupakan tujuan Pokok bagi yang menekuninya dan mereka ungkapkan dengan semboyang “science for science” sebagaimana mereka ungkapkan “ art for art” . Sebagian lagi cendrung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah upaya bagi para peneliti menjadiakan alat atau jalan untuk menambah kesenagna dalam kehidupanya yang terbatas di muka bumi sedangkan sebagian cendrung menjadikan sebagi alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia. Adapun al-Qur’an menjadiaknya sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan lebih umum dari sekedar ilmu pengetahuan itu sendiri.62 Pada dasarnya ilmu itu harus di gunakan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia – Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem yang di kembangkan manusia untuk mengetahui keadaanya dan lingkunganya atau menyesuaikan
lingkunganya
dengan
dirinya
dalam
rangka
strategi
kehidupanya-63 dalam ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, kelestarian lingkungan dan keseimbangan alam. Kenyataanya bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh membiarkan diri terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan atau dengan ungkapan yang agak singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas, namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak, terkait dengan pembicaraan ini Van Melsen berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan tidak
62
Ali Abdul Adzim, Epistemologi dan aksiologi Ilmu Perspektif al-Qur’an, (Bandung: CV. Rosda, 1989), hal. 268 63 T. Jacob, Manusia Ilmu dan Tehnologi; Pergumpulan Abadi dalam Perang dan Damai, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 1988), hal. 7
35
pernah bebas nilai sebab ia sendiri mengejawantahkan suatu nilai etis , bertambah relevansi etisnya karena semakin erat kaitanya dengan praktis.64 G. KEDUDUKAN PENGETAHUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM Membicarkan pengetahuan tidak akan lepas dengan yang namanya pendidikan, karena antara pengetahuan dan pendidikan mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengarui. Islam adalah agama yang mewarisi berbagai macam tradisi mulai dari budaya, seni dan berbagai macam ilmu dan Islam telah berhasil mengembangkan dengan cirinya sendiri, maka peradaban Islam klasik di hiasi oleh para ilmuan dan filosof yang sangat berpengaruh. Salah satu hal yang di anggap paten sekarang untuk melestarikan dan mengembangkan khasanah keilmuan Islam adalah pendidikan, pendidikan juga dianggap sebagai hal terpenting dalam pengembangan Islam itu sendiri, alasan lain adalah karena pendidikan dianggap mampu menyelesaikan problem sosial secara simultan dan bersifat permanen, artinya bahwa pendidikan dapat memberikan kontribusi kepada umat terhadap laju kehidupan sosial secara mapan. Pemaknaan kemapanan kontribusi tersebut dilihat dari proses transformasi pengetahuan keilmuan, ilmu di trasnformasikan oleh seorang ahli kepada peserta didik. Ilmu yang dimaksudkan adalah salah satu hasil dari usaha manusia untuk dirinya sendiri. Kalau melihat sepanjang sejarah pendidikan Islam di Madrasah atau al-Jami’ah diabdikan untuk pentransferan pengetahuan baik ilmu agama dengan penekanan lebih khusus, di bandingkan pengetahuan umum hal ini nantinya merupakan akar dari munculnya istilah antara ilmu yang di wajibka dan ada ilmu yang di makruhkan.
64
A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens.(Jakarta; Gramedia , 1992) hal. 93
36
Persoalan dikhotomik ini memang membawa dampak yang sangat luar biasa hal ini kalau di lacak dari akar persoalan adalah berhubungan erat dengan hierarki pengetahuan, jika ada salah satu dari herarki pengetahuan yang hilang maka yang terjadi adalah kepincangan atau dikhotomi. Kesan sekarang yang menggema dalam pendidikan Islam adalah pendidikan
yang
hanya
mengutamakan
ilmu-ilmu
agama
serta
mengesampingkan ilmu-ilmu umum karena mereka menganggap bahwa dengan mempelajari ilmu agama maka jalan menuju sorga terbuka lebar. Di samping itu setelah sebagian dunia Islam memerdekakan dirinya dari penjajahan juga berimbas yang sangat krusial, hal ini bisa di tinjau dari berbagai negara Islam, mereka telah merdeka dari negara belanda misalnya memiliki sistem pendidikan modern ala belanda65 seperti Indonesia hasilnya sekarang terjadi dualisme sistem pendidikan yang satu lebih menekankan umum yang satu lebih menekankan agama. Padahal sebagaimana yang telah di katakan S.H Nasr bahwa berbagai cabang pengetahuan di pandang dari perspektif Islam pada ahirnya adalah satu di dalam Islam tidak di kenal pemisahan esensial antara ilmu agama dan ilmu umum. Berbagai ilmu dari perspektif intelektual yang di kembangkan dalam Islam memang mempunyai hierarki, tetapi hierarki ini pada akhirnya bermuara pada pengetahuan pada yang tunggal yaitu subtansi dari segenap ilmu, inilah alasan kenapa para ilmuan muslim berusaha menitregasikan ilmu-ilmu yang di kembangkan peradaban-peradaban lain kedalam skema hierarki ilmu pengetahuan menurut Islam makanyan tak ayal jika peradaban klasik Islam di hiasi para filosof dan ilmuwan agung mereka bukan hanya pandai dalam ilmu agama dan juga dalam ilmu umum.
65
hlm.124
Moh. Sofyan, Pendidikan Berparadigma Profetik, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004),
37
Jadi sudah seharusnya sekarang mengahiri tentang pelarangan atas kajian suatu ilmu dengan alasan bahwa ilmu itu tidak bisa menghasilakn pahala, lebih-lebih didunia pendidikan Islam, kalau melihat perkembangan sekarang banyak lembaga pendidikan Islam yang sudah berlapang dada guna mengajarkan ilmu-ilmu yang dulunya di anggap makruh bahkan haram.
38
BAB III PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG ILMU PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Riwayat Hidup dan Karya-karyanya Seyyed Hossein Nasr dilahirkan di Teheran, Iran dan mendapatkan pendidikan dasarnya di kota kelahirannya sendiri, pendidikan tingginya ditempuh di Amerika di Massachusetts Institut of Technology (MIT), disana berhasil mendapatkan diploma B.S. (Bachelor of Science) dan M.A. (Master of Arts) dalam bidang fisika. Prestasi yang disandangnya belum memuaskan dirinya. Lalu Seyyed Hossein Nasr melanjutkan Universitas Harvard menekuni History of Science and Philosophy, di Perguruan tinggi ini Nasr berhasil memperoleh gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) pada tahun 1958.66 Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang diantara muslim yang mempunyai keahlian dalam bidang kajian Islam yang menembus hambatanhambatan ilmiah untuk menggali Islam sebagai pengkajian secara obyektif dan jujur.67 Sejak tahun 1958, Nasr mengajar di Universitas Teheran, dimana Nasr mendapat gelar Professor dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat. Tahun 1962 beliau menjadi dosen tamu di Harvard University dan tinggal disana sampai tahun1965. Tahun 1994 – 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada American University of Beirut. Nasr juga memberikan ceramah dan kuliah di beberapa negara antara lain : Amerika, Eropa, Timur Tengah, Pakistan, India, Jepang dan Australia, Nasr mengarang lebih dari dua belas buku dan sejumlah artikel. Hasil karyanya telah
66
Komaruddin Hidayat, “Upaya Pembebasan Manusia Sufistik Terhadap Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr”, Konsep Manusia Menurut Islam, Peny. Lawam Raharjo, Grafiti Pers, Jakarta, 1987, hlm. 183 67 Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Leppenas, Jakarta. 1983, hlm. 183
39
diterjemahkan kedalam lebih dari sepuluh bahasa asing. Ceramah-ceramahnya berkisar pada pemikiran Islam dan problem manusia modern.68 Reputasinya sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan
dan
filsafat
menunjukkan
kedalaman
dan
ketajaman
pemikirannya. Nasr juga ilmuwan muslim yang melanjutkan kritik sedemikian hebatnya, kepada dunia Barat dan peradaban modern pada umumnya, dengan menggunakan pedang intelektualnya. Sebagai ilmuwan yang sekarang hidup dalam status “setengah pengasingan” karena dahulu bersedia bekerja sama dengan Shah Reeza Pahlevi di Teheran dalam mendirikan dan kemudian memimpin sebuah institut pengkajian filsafat dan menerima gelas kebangsawanan dari sang raja diraja itu, reputasi Nasr tidak menurun hanya saja Nasr meninggalkan Iran dan menetap di salah sebuah universitas di Amerika Serikat. Selama ilmuwan tidak
menjual
pengetahuan
yang
dimilikinya
untuk
melenyapkan,
mengaburkan atau menutupi kebenaran, selama itu pula integritas ilmunya tidak terganggu sama sekali.69 Kedudukannya sebagai pemimpin Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Amerika University of Beirut, menunjukkan reputasinya dalam pemikiran Islam dalam karya-karyanya yang cemerlang. Nasr yakin bahwa tugas dalam Aga Khan Chair yang dipimpinnya adalah memperkenalkan Islam dalam khasanah kehidupan intelektualnya secara “setia” dalam bahasa yang kontemporer tanpa menyimpang dari sudut tradisional, juga untuk mengadakan dialog dengan agama lain di luar Islam, terutama Kristen yang berdiri berdampingan dengan Islam di Libanon, serta untuk mengadakan studi tentang aliran-aliran Islam yang bersama-sama mewakili di Negeri ini. Ada dua metode yang mendukun pengembangan Nasr, pertama metode komperatif yaitu sutau metode yang diperlukan untuk melakukan studi perbandingan yang berarti antar tradisi-tradisi religius dan metafisis timur dan barat, kedua metode historis yaitu melangkah ke lembaran sejarah kemudain 68
Kata Pengantar Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta. Up right, hlm. x 69 Ibid,. hlm. ix
40
membandingkan sumber-sumber dari berbagai filsafat sain yang diadopsi oleh filsafat Islam dari filsafat Yunani kemudian melangkah kedepan untuk membandingkan filsafat Islam di tranfisi dari filsafat barat. Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan bahwa pemikiran dan kebudayan Islam tersebut masih hidup dengan kuatnya. Nasr juga menyarankan semua itu dipandang dengan menjauhkan dari sikap rasional dan sekuler faham Helenistis, dengan pengunduran diri dari ujian dan gejolak sejarah, timbul kesadaran yang lebih dalam akan pangilannya sendiri sebagai umat religius Timur dekat.70 Seyyed Hossein Nasr sebagain tokoh pemikir Islam dengan bahasa kontemporer tanpa meninggalkan sisi tradisional itu sendiri, berusaha menghadapi dan memberikan jawaban terhadap pandangan orientalis yang banyak berpijak pada pemikiran modern seperti materialisme, scientisisme dan sebagainya. Karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa Eropa yang meniliti Islam dari sudut pandangnya sendiri, pandangan tradisional sedang karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh dunia Islam, meskipun yang biak biasanya didasarkan pada argumentasi-argumentasi yang ditujukan kepada intelegensi muslim tradisional yang kesulitan dam keraguan sekelompok masayarakat yang telah dimodernisir. Argumentasi dan otoritas agama yang tradisional adalah sepenuhnya memiliki validitas dan bahasa mereka adalah apa yang seharusnya digunakan. Lebih tepat, keadaan luar biasa pada saat itu telah membawa situasi yang mana bahasa-bahasa dan jalur argumentasi harus diubah untuk menjadikannya menarik dan dimengerti.71 Demikianlah perjalan hidup Seyyed Hossein Nasr yang mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi tegaknya agama Islam di muka bumi ini. Karya-karya Seyyed Hossein Nasr, antara lain : 1. Buku terdiri atas : a. Islam and The Plinght of Modern Man (Islam dan Nestapa Manusia Modern) 70
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Penerbit Pustaka, Bandung, 1986, hlm. v-vi 71 Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit. hlm. xi
41
Buku ini berisi tentang masalah-masalah penting yang dihadapi oleh manusia modern. Buku ini juga membahas cara-cara penerapan ajaran warisan intelektual dan spiritual Islam. Selain juga alternatif besar ajaran Islam tersebut untuk mencari jalan keluar dari kedudukan manusia modern melalui penerapan ajaran Islam. b. Ideals and Realities od Islam (Islam Dalam Cita dan Fakta) Buku menggambarkan sebagai aspek yang esensial dalam Islam sebagai kekuatan yang tetep hidup dan ditujukan kepada orangorang yang terbiasa dengan dialektika pemikiran modern. Buku ini juga menjawab berbagai serangan terhadap Islam yang dilakukan beberapa ahli Barat yang berkisar pada keimanan. c. Science and Civilation in Islam (Sains dan Peradaban di Dalam Islam) Buku ini bertujuan untuk menyadarkan manusia muslim mengenai apa yang harus dibenahi dalam menyerap Ilmu Pengetahuan barat yang didominasi dunia sekarang ini karena ilmu pengetahuan modern mengalami krisis. Salah satu sumbernya adalah anggapan yang netralitas ilmu dari konteknya yakni hikmat dan wahyu. Berpijak dari hikmat dan wahyu, maka bumi ini menjelaskan kembali peran ilmu pengetahuan dan peradaban Islam menetralisir pendapat tersebut. d. Living Sufism (Tasawuf Dulu dan Sekarang) Buku ini berisi beberapa persoalan masa kini yang dihadapi dunia modern pad aumumnya dan dunia Islam khususnya yaitu persoalan yang penyelesaiannya tergantung pada pemahaman dan pemakaian prinsip-prinsip tasawuf secara keseluruhannya. Buku ini diharapkan dapat menjadi kuci untuk membuka sejumlah pintu meuju gudang perbendaharaan tasawuf sejak dulu hingga sekarang. e. Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan Kesucian) Buku ini bermaksud untuk menggambarkan kekuatan yang berbahaya yang dimiliki manusia, yaitu bahwa kemampuan rasional dapat menajadi kekuatan setan jika dipisahkan dari intelek wahyu yang memberikan kualitas pengetahuan dan kandungan sucinya. Manusia
42
sebagai makhluk yang diberkati dengan intelegensi penuh yang berpusat pada Yang Absolut, manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Menjadi manusia mengetahui pada akhirnya berarti mengetahui dan juga melebihi diri sendiri. Mengetahui pada akhirnya berarti mengetahui Substansi Tertinggi (sumber dari segala sesuatu). f. A Young Muslim’s Guide to The Modern World (Menjelajah Dunia Modern) Buku ini memberikan bimbingan kepada kaum muda muslim dalam menjelajahi dunia modern, agar mampu memahami lebih dalam lagi tentang peradaban Barat dan pemikiran modern yang telah mempengaruhi dunia Islam selama kurang dua abad belakangan ini. Diharapkan pula agar kaum muslim menjadi akrab dengan agama dan akar-akar budaya sendiri, sehingga makna pandangan moral dan intelektual yang diperlukan untuk bertahan dan berperan dalam dunia modern tanpa kehilangan keimannya. Bahkan lebih jauh dari itu menekankan sebagai keyakinan dan pandangan hidup. Selain karya karya yang telah disebutkan diatas ada beberapa buku atau karya-karya lain seperti : Islam Tradisi, Intelektual Islam, Three Muslim Sages, Islamic of Art and Spirituality. 2. Makalah, terdiri atas : Islam in the Islamic worls and today, Dedance, Deficition and Renaissance in The Context of Contemporary, Philosophia Perennis and Study of Religion, dan Dunia Barat dan Tantangan-tantangan terhadap Islam. B. Hakikat Pengetahuan Berbicara masalah pengetahuan, tidak lepas dengan adanya istilah tradisi. Pengetahuan dan tradisi keduanya sangat erat hubungannya, karena pengetahuan berada dalam setiap jantung tradisi, dan tradisi berasal dari agama. Tradisi sebagaimana yang dipergunakan oleh para tradisionalis, menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti yang disampaikan kepada manusia
43
melalui wahyu maupun pengungkapan pengembangan peran sakral itu dalam sejarah kemanusiaan tertentu, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal dengan Sumber maupun rantai-antai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan relaitas transender. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan peradabannya, bisa pula di sebut as-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada mode-mode sakral, bisa juga diartikan as-silsilah yaitu mata rantai yang mengkaitkan setiiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran dunia tradisional kepada sumber (Tuhan).72 Istilah tradisi dalam penggunaan secar teknis, dalam karya ini atau yang lain, berarti kesejatian-kesejatian, atau prinsip-prinsip dari Yang Asal Ilahi (The Divine Origin) yang diwahyukan atau dibeberkan kepada manusia dan keseluruhan wilayah kosmos alam, melalalui berbagai figur yang lain, beserta percabangan dan aplikasinya dalam berbagai wilayah realitas yang mencakup hukum dan struktur sosial, seni, simbolisme serta berbagai cabang ilmu pengetahuan Suprim sekaligus cara-cara mendapatkannya.73 Tradisi dalam pengertian yang lebih universal, dapat dianggap memasukkan prinsip-prinsip yang mengikat manusia ke surga atau ke langit yang disebut juga agama. Tradisi di lihat dalam maknanya yang essensial atau hakikat adalah prnsip-prinsip yang ditampakkan surga (yang diwahyukan itu sendiri) yang berfungsi mengikat manusia kepada permulaanya (dengan yang Asal).74 Tradisi dalam pengertian yang konkrit dapat dianggap sebagai aplikasi prinsip-prinsip tersebut, tradisi mengimplikasikan adanya kesejatiankesejatian yang berkarakter supra individual yang berakar pada hakikat Realitas. Tradisi bukanlan mitologi kekanak-kanakan dan usang, tetapi sebuah ilmu yang benar-benar nyata. Tradisi sebagaimana juga agama terdiri dari dua 72
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. hlm.3 73 Ahmad Harun Permata, (ed), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1996, hlm. 147 74 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 77
44
unsur utama yaiti kesejatian dan kehadiran tradisi berasal dari sumber yang sekaligus menjadi tempat kembalinya segala sesuatu, ibarat nafas Yang Maha Pengasih yang mana tradisi para sufi merupakan inti akar dan hakikat eksistensi. Kata tradisi secara etimologi berkenaan dengan transmisi pengetahuan, praktek-praktek, teknik-teknik, hukum-hukum, bentuk-bentuk dan lain-lain, baik secara lisan maupun tulisan. Tradisi seperti kehadiran yang hidup yang menimbulkan cap namun tidak sesuatu yang terkena capnya. Sesuatu yang ditransisikan dapat berupa kata-kata yang ditulis di atas perkamen, bisa juga berupa kesejatian yang diturunkan ke dalam hati manusia, dengan pentranmisian yang dapat berlangsung yang dapat berlangsung selembut tarikan nafas dan secepat kedipan mata.75 Pemaknaan tradisi lebih diarahkan kepada hikmah perennial dibanding yang lain, yakni terdapat dalam jantung semua agama. Hikmah abadi ini merupakan elemen utama penyusun tradisi, dan shopia perennis (hikmah abadi) berkaitan dengan konsep Tradisi Promodial, yaitu eksistensi manusia. Bentuk-bentuk pewahyuan tersebut alah perwujudan Tradisi primodial dalam dimensi manusiawi, yaitu dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang menjadi tujuan pewahyuan tersebut.76 Seyyed Hossein Nasr sependapat dengan Steuco mengatakan bahwa Hikmah Abadi berasal dari Yang Asal Ilahi, yaitu pengetahuan sakral yang diberikan oleh Tuhan kepada Adam, namun semakin banyaknya jumlah manusia, pengtahuan menjadi kabur dan akhirnya tidak lebih dari mimpi atau dongeng.77 Berpijak dari keterangan di atas bahwa pengetahuan senantiasa memiliki hubungan dengan Realitas promodial yang merupakan kesucian dan Sumber dari segala yang suci melalui aliran sungai waktu yang menurun, pengetahuan tentang Realitas yang merupakan Substansi Tertinggi, oleh
75
Ahmad Harum Permata, (ed.) Op. cit, hlm. 146 Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Op. Cit, hlm. 78 77 Ibid, hlm. 80 76
45
karena itu pada hakikatnya pengetahuan itu suci atau disebut juga scientia sacara. Sebelum membahas tentang apa maksud Nasr tentang scientia sacra akan di bahas tentang proses desakralisasi Ilmu Pengetahuan yang ia bahas dalam bab awalnya di buku Knowlegde and Sacred. C. DESAKRALISASI ILMU PENGETAHUAN Mencermati perkembangan
ilmu pengetahuan memang sangat
menarik karena denganya kita bisa tahu dan lebih mengerti keagungan dan keanggunan ciptaan Tuhan, semisal fenomena alam semesta, seperti planet, tata surya, galaksi dan bintang-bintang. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak diantara ilmuan besar dan berpengaruh seperti Laplace, Darwin dan Freud dengan pengetahuan yang mereka yang mendalam tentang fenomena alam justru menolak keberadaan Tuhan. Astronom Prancis, Piere Simon De Laplace mengatakan “I Mistrust anything but the direct result of observation and calculation (aku mencurigai atau tidak percaya apapun kecuali hasil observasi dan kalkulasi, dari pernyataan tersebut diperjelas lagi saat dia di tanya oleh sang Napoleon Bonaparte, mengapakah tuan tidak menuliskan nama Tuhan di dalam buku anda? Dengan datar sang fisikawan menjawab “ I don’t need that kind of hypothesis” tampaknya jawaban Laplace itu kemudian menjadi jawaban standar kritik bagi kaum agamawan terhadap sainsyang dituduh ateistik. Darwin seorang ahli biologi yang tenar dengan bukunya “ The Origin Of Species” dalam aotobiografinyadia menulis “ dahulu orang boleh percaya kepada Tuhan setelah menyaksiskn adanya keserasian alam, tetapi kini telah ditemukan hukum seleksi alamiah, karena itu tidak perlu lagi mengatakan bahwa engsel kerang yang indah mesti ciptaan agen external, seperti halnya engsel pintu mesti ciptaan si tukang, jadi kira-kira dia ingin mengatakan bahwa kerang harus mengubah dan menciptakan engselnya sendiri yang kukuh kalum ia mau bertahan hidup, pernyataan ini sama saja ungkapan salah satu bentuk penyingkiran tentang kekuatan-kekuatan Transendental.
46
Begitu juga dengan Sigmun Freud seorang psikolog dan filosof Austria ini menyebut agama sebagai ilusi, agama dimunculkan manusia pada tahap primitif atas dasar ketidak berdayaan dalam menghadapi alam, sebagai upaya untuk memperkuat posisinya terhadap alam manusia primitif meminta perlindungan kepada dzat yang kuasa dengan cara memproyeksikan kelemahan dan keterbatasn, dari sinilah muncul ide-ide tentang yang maha kuasa, maha adil yang kemudian di himpun dalam sebuah “ Persona” dan inilah yang mereka sebut dengan Tuhan, jadi jelas Tuhan adalah ilusi maka dari itu ia berkata”Dari pada menyembah Tuhan yang kita ciptakan sendiri, lebih baik hadapi hidup ini dengan berani dan rasional. Adalah Emile Durkheim seorang soiolog Prancis abad ke-19 dan awal ke-20 dan seorang pemikir sekuler yang ingin megembangkan sebuah sistem ilmu dan pendidikan yang cocok dengan pandangan sekuler, seperti yang lainya Durkheim juga tidak percaya sebagai pencipta alam semesta. Ia mengatakan ilmu pengetahuan telh mengajarkan kepadanya bahwa yang ada ini adalah yang positif. Dari ketiga contoh di atas bahwa dengan penemuan-penemuan ilmiah yang mereka lakukan justru malah menolak hadirnya Tuhan bukan justru memperkuat keyakinan keyakinan-keyakinan tentang kebijaksanaan Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi terhadap tokoh-tokoh atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai nabi-nabi ilmu pengetahuan modern sehingga mereka menjadi ateis? Jawabnya adalah bahwa kerangka kerja Ilmiah yang mereka gunakan telah mengalami sekuilerisasi atau desakralisasi.78 Selanjutnya teori ilmu pengetahuan barat tidak merumuskan visinya mengenahi kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan tapi mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradis-tradisi rasional dan sekuler bangsa Yunani dan Roma, dan spekulasi-spekulasi metafisis. Para pemikir yang menganut faham evolusi kehidupan dan penjelasan psikonalitik tentang 78
Sekulerisasi ini nantinya mengarah kepada 2 point yaitu sekulerisasi pikiran dan lembaga, Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta, Paramadina: 1998), hlm. 273
47
kodrat manusia. Hasilnya adalah sekulerisasi pengetahuan atau meminjam istilah S.H Nasr Desakralisasi Pengetahuan. Dalam ceramahnya di Gifford lecture tahun 1981 Nasr menulusuri sejarah desakralisasi pengetahuan yang berlangsung berangsur-angsur di barat, menurutnya ketika pemikiran Ibn Sina dan Ibn Rusd memasuki dunia Eropa dan memberi inspirasi dan dorongan karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sepotong-sepotong, sehingga kehilangan kandungan spritualnya. Di timur Ibn Sina merupakan tokoh spritual dan kerohaniaan yang besar filsafatnya menjadi dasar teori ilumnis dari Shihabuddin al-Suhrawardi akan tetapi dibarat yang di ambil dari Ibn Sina adalah teori nominalnya, demikian pula di barat Ibn Rusd menjadi lebih rasionalistik dari pada timur.79 Kecendrungan-kecendrungan rasionalistik yang sudah mulai tumbuh di barat memperoleh kekuatan baru pasca abad pertengahan, ilmu-ilmu fisikakimia bersama-sama disiplin biologi dan psikologi yang beriman kepada eksprementasi dan matematisasi pengetahuan membunyikan lonceng kematian bagi pandangan yang kudus tentang pengetahuan. Spinoza (1632-1677 M) umpamanya membuat keseluruhan sistem pemikiran menjadi ilmu ukur yang segala sesuatunya dapat dideduksikan dari beberapa aksioma akibatnya apabila seseorang filosof bicara tentang intuisi maka yang dimaksud adalah bukan intuisi yang sesungguhnya melainkan bentuk akal yang lebih tinggi. Filsafat atau kajian ilmiah telah terjadi apa yang disebut Nasr dengan philosophical doubt, keraguan terhadap validitas dan otoritas filsafat, filsafat mulai dicurigai dan sedikit demi sedikit di tinggalkan dan diganti oleh kaum ockhamis dengan apa yang di sebut “teologi nominalis”. Sekularisasi terjadi misalnya terhadap kosmologi tradisional dengan melenyapkan malaikatmalaikat dari alam semesta sehingga alam menjadi sekuler dan meratakan jalan bagi revolusi kopernican, karena menurut Nasr revolusi seperti itu hanya
79
Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono, (Jakarta, Inisiasi Press: 2004), hlm. 37
48
bisa terjadi pada kosmos yang telah kehilangan makna simbolis dan spiritual sehingga dijadikan sebagai obyek fisika biasa.80 Titik puncak dari sekulerisasi adalah dengan mencampakkan manusia dari pusat segala sesuatu, astronomi baru tidak memberikan kepada manusia dimensi transenden, manusia telah kehilangan sifat theomorfisnya akhirnya manusia renaisan menjadi sepenuhnya manusia, bukan separuh manusia separuh malaikat mel;ainkan yang kini terikat sepenuhnya pada bumi, manusia hanya menjadi khalifah saja bukan khalifatullah sehingga apa yang dikatakan Nasr bahwa manusia Eropa telah kehilangan surga era keimanan.81 Manusia modern telah menderita teraliensi dan anomi yang gawat, ada kekacauan dan tidak keseimbangan roh, manusia telah menjadi korban sizofreni spiritual yang tidak bisa disembuhkan kecuali apabila manusia kembali kepada sumber segala sumber dan wawasan tentang yang kudus dihidupkan kembali. Hilangnya fisi keilahian masyarakat modern82 karena telah tumpul penglihatan intelektusnya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan, istilah intelektus mempunyai konotasi kapasitas mata hati, satu-satunya elemen yang ada pada diri manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.83 Karena intelektusnya disfungsional maka sesungguhnya pengetahuan apapun yang diraih manusia modern tidak lebih dari pengetahuan yang terpecah-pecah (fragmented knowledge) sehingga wawasan pengetahuan tidak lagi membawa kearifan terhadap alam semesta. Untuk mengembalikannya agar intelektusnya fungsional maka tiada jalan lain harus melalui pengetahuan pusat (centre) atau axim karena pengetahuan kini sekaligus mengandung pengetahuan tentang yang ada di 80
Seyyed Hossein Nasr, Man and Natur; The Spritual Crisis Of Modern Man, ( London, Mandala Book, 1976), hlm. 63 81 Ibid, hlm. 63 82 Modern dalam term Nasr tidak sama dengan kontemporer maupun mengikuti zaman, Modern adalah sesuatu yang terpisah dari trasenden, Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi; di kancah dunia modern, terj. Lukman Hakim, ( Bandung, Pustaka; 1994), hlm. 98 83 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahfud, (Bandung, Pustaka; 1983), hlm. 15
49
pinggir-pinggir dan di ruji-ruji yang menghubungkannya. Pengetahuan sempurna hanya ada bila ia mendapat bantuan ilmu Tuhan. Ada dua istilah yang digunakan Nasr untuk membedah manusia modern yakni axim (centre) atau rim (periphery) dalam orientasi hidup tandasnya, manusia modern telah berada di rim (periphery) atau pinggir existansinya dan bergerak menjauh dari pusat baik yang menyangkut dirinya maupun dalam lingkungan kosmisnya. Mereka telah cukup dengan perangkat ilmu dan tekhnologi sebagai hasil gerakan renaisan abad ke-16, sementara pemikiran dan faham keagamaan yang bersumber pada ajaran wahyu kian ditinggalkan. Menurut Nasr alam jangan dijadikan sebagai terminal terakhir orientasi kehidupan (sebagaimana yang dilakukan manusia modern) dan hendaknya segala ilmu serta usaha manusia yang telah dibangunnya berupa “kepingnkepingan” itu diikatkan pada centre (titik pusat) agar keberadaan manusia tidak terpelanting kewilayah rim, upaya ini bisa dilakukan bila mnusia mempunyai kesadaran religius dan ketajaman visi intelektusnya, suatu ketajaman intuitif yang mengatasi ketajaman rasio. Sayang, demikian Nasr, porsi intelektus ini tidak mendapat tempat wajar dalam pengembangan kajian ilmiah Barat kontemporer terutama sejak berkembangnya
aliran
cartesian-dualism.
Sejak
rasionalisme
yang
tersistemasikan ini berkembang, manusia lalu dilihat hanya memiliki tiga dimensi: psikis, fisik dan rasio sementara dimensi spiritualnya tercampakkan. Padahal konsepsi filsafat atau kajian ilmiah pada mulanya merupakan “ilmu yang suci” (scientia sacra) atau pengetahuan keilahian (divine knowledge) bukannya filsafat atau kajian ilmiah yang profan seperti berkembang di Barat, menurut Nasr filsafat Barat semestinya berintikan “kecintaan kepada kebajikan” (the love of wisdom) beralih pada “kebencian pada kebajikan” (the hate of wisdom).84 Dengan demikian menurut Nasr kalau masyarakat modern kalau ingin mengakhiri ketersesatannya yang mereka timbulkan sendiri, lantaran semakin 84
Ibid, hlm. 47
50
dilupakannya dimensi-dimensi keilahian, maka mau tidak mau pandangan serta sikap hidup keagamaan harus dihidupkan kembali, ungkapnya “hajat untuk menangkap kembali pandangan tentang pusat (centre) bagi manusia modern menjadi lebih mendesak”. Akibat konsep sekularisme, manusia modern telah teraliensi baik dalam dirinya, lingkungan dan Tuhannya, manusia modern sengaja membebaskan
dirinya
dari
tatanan
ilahiyah
(theomorphisme)
untuk
selanjutnya membangun tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia (antrophormophisme), intinya manusia modern ingin menjadi raja yang bebas dan menentukan nasibnya sendiri tanpa disibukkan oleh persoalan yang bersifat spiritual-transendental. Menyadari kondisi masyarakat modern yang demikian pada abad XX terutama sejak beberapa dekade terakhir ini muncul suatu gerakan yang mencoba menggugat dan mengkritik teori-teori modernisme. Mereka sadar bahwa kehidupan modern tidak hanya ditandai dengan kehidupan yang semakin materialistik dan dedoinistik, mereka mencoba untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut dengan kembali pada hikmah spiritual yang dalam agama otentik memikirkan kembali hubungan antara yang suci (sacred) dan yang profan, merajut kembali antara-meminjam istilah Fritjof Schon-scientia sacra (pengetahuan suci) atau philosophia perenialis (filsafat keabadian) dengan scienti profan (pengetahuan
rendah) atau philosophia materialis
(filsafat material). Sementara dikalangan modernis Islam, gerakan pembaharuan dan pemikiran dalam Islam sejak fase 60-an hingga dua dasa warsa terakhir ini telah mencoba bersikap kritis terhadap ide-ide modernisasi sebelumnya dengan memunculkan gerakan kelompok paradikma dan epistemologi bermacam-macam misalnya: 1). Fundamentalis atau juga disebut neo revivalis Islam yang menghendaki agar semua persoalan dikembalikan kepada acuan alQur’an dan al-Sunnah dan kehidupan para sahabat dalam pengertian tekstual. 2). Neo modernis yang berusaha mencari relevansi Islam bagi dunia modern, ia kritis terhadap sejarahnya sendiri sekaligus terhadap idiom kemodernan. 3).
51
kiri Islam atau yang disebut sosialisme Islam atau marxisme Islam yang berkecenderungan
ke
arah
humanistik
dan
rasionalistik,
liberalistik,
berkepentingan membela masyarakat tertindas dan menampilkan Islam sebagai kekuatan revolusioner-politik. Namun dari berbagai tindakan yang mereka lakukan (dengan konsep Barat) guna keluar dari pemikiran modern Barat tak jarang pula mereka malah terkontiminasi atau terpengaruh pemikiran itu sendiri dalam derajat yang berbeda. Menurut Nasr jalanm keluar dari masalah di atas tidak harus mengambil konsep-konsep Barat, imbuhnya konsep Barat bertentangan dengan Islam karena watak sekuleristik dan modernistik maka itu Nasr menganjurkan agar mereka mengambil atau kembali ke tradisionalisme Islam, dari sini dapat dimengerti mengapa Nasr mengecam modernis-modernis Islam semisal al-Afghani, Abduh, Ahmad Khan, Amir Ali, dan Muhammad Iqbal, kelompok ini menurut Nasr pionir-pionir Barat dalam menyebarkan sekulerisme serta kecenderungan apolegotik lainnyaterhadap Islam, Amir Ali misalnya ia merasa malu dengan konsep Islam tentang wanita, semata-mata karena tidak cocok dengan konsep Barat, demikian juga dengan Iqbal yang cenderung dipengaruhi oleh filsafat Barat dan tidak berakar pada tradisi pemikiran Islam, ironisnya para pemikir pakistan sekarang bertaklid pada Iqbal, ujar Nasr. Akibatnya kebekuan pemikiran semacam ini pemikir muslim tidak eksis dalam peta intelektual dunia dan tidak mempunyai bobot menjawab tantangan modernisme Barat.85 Tradisionalisme tak lain adalah gerakan yang ingin mengembalikan bibit yang asal atau pringsip-pringsip yang asal yang hilang dari pemikiran modern, tradisionalisme mengingatkan bahwa tidak akan menerima suatu pola pikir yang tidak mempunyai parfum yang sakral dan yang mengganti tatanan ilahi dengan inspirasi murni manusia, karena didalam Islam manusia berfikir dan bertindak dalam fungsi homosapien dan homofabernya sebagai abdullah dan tidak sebagai mahluk yang telah memberontak atau melawan Tuhan. 85
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, Op, Cit, hlm. 211
52
Inti di dalam Tradisionalisme adalah bahwa segala macam pemikiran dan aktivitas intelektual selalu bernuansa sakral dampaknya terlahirlah sejenis peradaban, senu, filsafat atau keseluruhan cara berfikir yang sepenuhnya theosentris yang berdiri menetang antromophorphisme yang menjadi ciri khas modernisme.86 Jadi dapat difahami kehadiran yang sakral dalam berbagai aktivitas intelektual ahirnya membawa ke scientia sacra yaitu pengetahuan suci yang berada didalam jantung setiap wahyu, ia hadir sebagai pengetahuan segera yang bersifat langsung, dapat dirasakan dan dialami ruhaniyahnya, tradisi Islam menyebutnya sebagai pengetahuan yang hadir “Ilmu Hudluri”87 Manusia dimungkinkan memiliki pengetahuan ini dan berhubungan dengan aspek-aspek realitas, karena pada kenyataan ahir pengetahuan adalah pengetahuan tentang realitas absolut dan kecerdasan memiliki karunia ajaib ini memungkinkan mengetahui bagian-bagian wujud. Pada pusat sains-sains alam begitu juga antropologi, psikologi dan estetika ada scientia sacra yang berisi pringsip-pringsip yang Realitas dan sains-sain ini hanya ada dalam tradisi Islam, maka untuk menjawab tantangan modernisme tak ada jalan lain kecuali kembali kepemikiran tradisional Islam, menurut Nasr adalah sangat mungkin pada saat ini untuk mengembangkan ilmu-ilmu pasti dalam program studi Islam karena Islam mempunyai dan memiliki warisan banyak dalam bidang tersebut. D. SCIENTIA SACRA Seyyed
Hossein
Nasr
yang
mengutip
pendapatnya
A.K.Coomaraswamy mengatakan bahwa Hikmah perrenial (hikmah abadi) yang identik dengan tradisi yang berada di jantung semua agama adalah pengetahuan yang selalu dan akan ada yang berdifat universal. Agama dalam arti, diantara orang-orang yang berbeda ruang dan waktu maupun yang berkaitan dengan prinsip-prinsip universal. Filsafat Perennial mempunyai pusat yang di dalamnya terdapat metafisika murni yang diartikan sebagai 86 87
Ibid, hlm. 185 Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spritualitas, Op, Cit, hlm. 135
53
pengetahuan tentang Realitas Tertinggi, sebagai pengetahuan menganai Yang Kudus (Scientia Sacra), jadi sifatnya Ilahiah. Metafisika adalah pengetahuan yang mensucikan dan mencerahkan, yang merupakan ghosis (ma’rifat). Metafisika merupakan pengetahuan yang terletak di jantung agama, yang mencerahi makna ritus-ritus, doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan, dan juga memberi kunci untuk menembus alam agama lain.88 Pengetahuan suci (Scientia Sacra) adalah pengetahuan yang berada dalam jantung yang berada dalam jantung setiap waktu Pengetahuan Suci bukanlah buah dari spekulasi kecerdasan manusiawi atau penalaran atau bisa dikatakan pengetahuan suci bukan kontruk mental yang akan berubah dengan berubahnya gaya budaya suatau jaman, atau dengan munculnya penemupenemuan baru dari pengetahuan dunia material. Pengetahuan ini berisi pengalaman seperti dilahirkan dari sumber pengatahuan yakni intelek. Berpijak dari sudut lain, dimana Diri yang berada pad apusat setiap diri sumber pengetahuan suci diturunkan pada manusia yangmerupakan pusat kecerdasan manusia sendiri yang pada akhirnya pengetahuan tentang substansi itu sendiri.89 Metafisika atau pengetahuan suci adalah pengetahuan atau ilmu tentang Yang Real atau lebih khusus pengetahuan denganarti dimana manusia dapat membedakan anatara yang Real dengan ilusi, dan cara mengetahui sesuatu secara esensial yang berarti mengethaui secara paripurna tentang Realitas. Pengetahuan tentang Prinsip yang sekaligus realitas Absolut dan tidak terbatas adalah pusat metafisika. Metafisika memperhatikan tidak hanya Prinsip dalam diri sendiri dan dalam manifestasinya. Pada pusat ilmu pengetahuan tradisional tentang kosmos (alam) ada scientia sacra yang berisi prinsip-prinsip yang merupakan pengetahuan suci.90 Pengetahuan suci menekankan pada kesadaran yang merupakan pusat gnosis dan tidak hanya
88
Seyyed Hossein Nasr, “Filsafat Perennial : Perspektif Alternatif Untuk Studi Agama”, Ulumu Qur’an, Terj. Saeful Muzani, No. 3. Vol III, 1992 hlm. 87 89 Seyyed Hossein Nasr. Pengetahuan dan Kesucian, Op. cit, hlm. 152-153 90 Ibid. hlm. 155
54
pengetahuan insani tetapi pengetahuan Tuhan tentang DiriNya. Kesucian disini adalah Yang Prinsip. Pengetahuan pada hakikatnya adalah suci maka disebut pengetahuan suci, akrena pengetahuan, kebahagiaan wujud bersatu dalam Realitas. Pengetahuan senentiasa memiliki hubungan dengan Realitas Primodial dan Prinsipal yang merupakan Sumber dari sega yang suci. Elaitas merefleksikan atau
memanifestasikan
pada
makrokosmos
maupun
mikrokosmos,
pengetahuan kemudian terpisah dari wujud dan kebahagiaan. Pengetahuan tidak lain adalah mengetahui Realitas Tertinggi, dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Al Hadid ayat 3 sebagai berikut :
... ﻦ ُﻃ ِ ﻈﺎ ِه ُﺮ وَا ْﻟﺒَﺎ ﺧ ُﺮ وَاﻟ ﱠ ِﻻ َ ﻻوﱠل ُ َو ْا َ ُه َﻮ ْا Artinya : “Dialah Yang Awal dan yang Akhir Yang Dzhahir dan yang Bathin..”91 Kata “Yang Awal” berarti, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, “Yang Akhir” adalah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah. “Yang Dzhahir” adalah yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya atau Yang Maha Tinggi, tidak di atas-Nya suatu apapun, “Yang Bhatin” adalah yang tidak sesuatupun yang menghalangiNya dan Dia lebih dekat kepada makhlukNya daripada makhluk itu sendiri kepada DiriNya. Secara kosmologi Islam, kosmos (alam) sebagai sebuah buku berisi kebijaksanaan Ilahi dan fenomena sebagai tanda-tanda Allah.92 Allah Yang Awal dan Yang Akhir, bahwa kosmos berasal dariNya dan kembali kepadaNya. Allah bersifat Zhahir, yang melingkupi segalanya, sedangkan Yang Batin, di sini Allah sebagai pusat. Kosmos yang memuat pengetahuan suci semata-mata untuk memhami Yang Asal. Metafisika tradisional atau pengetahuan suci tidaklah hanya penjelasan teoritik tentang pengetahuan realitas. Tujuannya membimbing manusia, dan 91
Al-Qur’an, Surat Al-Hadiid ayat 3, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir AlQur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989, hlm. 900 92 Seyyed Hossein Nasr, Menjelajahi Dunia Modern, Terj. Hasti Tarekat, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 189
55
mengijinkannya mencapai kesucian. Pengertian lain juga menyebutkan bahwa pengetahuan suci berisi bibit dan buah dalam hati dan pikiran manusia, bibit yang jika dipelihara atau dibina melalui latihan-latihan spiritual dan kebajikan akan menjadi tanaman yang akhirnya berbunagn dan berbuah lebat.93 Pengetahuan yang pada hakikatnya adalah suci kini pada gilirannya lebih bersifat eksternal dalam arti telah lepas dari Sumbernya, sehingga hilang predikatnya sebagai pengetahuan yang hadir (al-ilm al huduri), untuk mendapatkan kesejatian dan kebenaran pengetahuan yang suci maka kembali pad atradisi yang bisa mengantarkan ke Sumbernya. Tradisi dalam hal ini mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat Ilahi dan darinya tumbuh batang dan cabangcabang sepanjang jaman. Jantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang, karena bersumber daei wahyu, memungkinakn pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran Yang Kudus, yang langsung, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsipnya yang langsung terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.94 E. Sumber Pengetahuan Berbicara mengenai sumber pengetahuan Seyyed Hossein Nasr menganggap bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia bukan pengetahuan melalui pencapaian (al-ilm al-husuli) tetapi lebih menekankan bahwa pengetahuan itu adalah pemberian (al-ilm al-huduri), maka sebagaisumber pengetahuan bukan hanya melalui rasio murni tetapi juga melalui wahyu dan intelek serta intuisi. Scientia sacra tidak lain adalah pengetahuan suci yang berada dalam jantung setiap wahyu. Masalah pertama yang hadir itu sendiri adalah, bagaimanakah pengetahuan seperti itu dimungkinkan? Jawaban tentang hal ini adalah dua sumber yaitu wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang
93
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Op. Cit, hlm. 178 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. hlm.3 94
56
menyelimuti iluminasi hati dan pikiran manusia yang hadir di dalamnya pengetahuan yang bersifat langsung yang dapat dirasakan dan dialami.95 Sumber wahyu dalam Islam adalah malaikat Jibril atau Intelek Universal. Intelek (al-aql al-kulli menurut bahasa, hadis) dan kata aql (akal) sendiri secara etimologis menandakan baik nal yang mengikat atau membatasi Yang Mutlak menurut petunjuk penciptaan maupun yang mengikat manusia kepada kebenaran, Tuhan sendiri.96 Kata Al-Aql di dalam bahasa Arab. Selain berarti pikiran dan intelek, juga digunakan untuk menerangkan sesuatau yang mengikat manusia dengan Tuhan. Salah satu arti akar kata aql adalah ikatan. Tuhan menyebutkan di dalam Al-Qur’an, manusia yang ingkar itu sebagai orang yang tidak bisa berfikir “la ya’qilun” manusia yang tidak bisa menggunakan akal dengan baik. Sangat ditekankan di dalam Al-Qur’an bahwa runtuhnya iman tidak disamakan dengan timbulnya kehendak yang buruk, melainkan dengan tidak adanya penggunaan akal secara baik.97 Keterangan tersebut menjelaskan bahwa akallah sebenarnya yang memelihara manusia di jalan yang lurus (Surat Al-Mustaqim) dan mencegahnya dari kesehatan. Sebaagian dunia (terutama dunia barat), istilah “intelek” dianggap sinonim dengan istilah “akal” atau “nalar” dan “intuisi” yaitu indra “biologis” keenam yang mampu menangkap kejadian-kejadian dimasa mendatang, oleh karena itu sukarlah dipahami makna “intelek” dan “intuisi”, sebagai dua fakultas atau indra yang mendasari ilmu, dalam konteks pemikiran Islam. Istilah al-aql manusia menjadi manusia dan memiliki sebagian dari ilmu, al‘ilm yang akhirnya hanya akan menjadi milik Allah semata.98 Aql adalah baik intelektus atau nous dan rasio atau pikiran. ‘Aql adalah bagaikan matahari menyinari batin manusia dan pancaran matahari ini
95
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Op. Cit, hlm. 152 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985, hlm. 58 97 Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta, Op. Cit, hlm. 6 98 Dr. Seyyed Hossein Nasr, Dr. Ebrahim M.A. El-khuoly , Dr. Lois Lamya Al-Faruqi, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, hlm. 54 96
57
pada dataran jiwa yang kita sebut pikiran. Seseorang dapat bergerak dari pancaran itu ke arah sumbernya menunjukkan bahwa aql tidak tergelapkan oleh nafsu, menunjukkan ‘aql adalah intelek yang segar, berimbang dan selaras yang didalam perisitilahan Islam disebut al-aql al-salim. Sebaliknya jika aql diperkabur oleh nafsu, maka ’aql akan menjadi tirai yang menutupi manusia dai Tuhan dan membawanya tersesat. Bilamana demikian, maka wahyu tidak diperlukan lagi. Wahyu adalah perwujudan makrokosmik dari intelek Universal. Kalimat Allah, yang memberikan suatau kerangka kerja bagi perwujudan mikrokosmik intelek di dalam diri manusia dari nafsunafsunya sendiri dan menjadikan intelek mungkin untuk tetap sehat atau salim.99 Fungsi intelek hanya terlibat pada cahaya kemampuannya dalam membentangkan kebenaran-kebenaran wahyu. Wahyu atau risalah dijadikan alat untuk mencapai kebenaran dan wahyupun menerangi intelek serta memungkinkannya untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Perkawinan antara wahyu dan intelek ini sesungguhnya telah memungkinkan untuk berperan serta dalam kebenaran melalui fi’il (tindakan) atau langkah yang lazim disebut intuisi dan tidak terpisahkan dari iman yang memingkinkan tersiptanya ilmu kebenaran ini.100 Intelek yang sesungguhnya disebut juga wahyu khusus (partikular) atau wahyu sebagian (parsial) atau wahyu al-juz’i, sedangkan wahyu obyektif yang menyebabkan berdirinya suatau agama baru disebut wahyu semesta (Universal) atau al-wahyu al-kulli. Hanya melalui wahyu yang obyektif dan universal inilah seganap kemampuan intelek dapat diaktualisasikan atau diwujudkan. Hanya dengan berserah diri kepada wahyu obyektif inilah wahyu subyektif pada diri manusia dapat berbentuk intelek itu dapat benar menjadi mampu diri, tidak saja mampu menelaah atau menganalisa tetapi juga mampu membuat sintesis dan unifikasi.101 99
Seyyed Hossein Nasr, Tasawauf Dulu dan Sekarang, Op. Cit., hlm. 59 Seyyed Hossein Nasr, Dr. Ebrahim M.A., El-Khouly, Dr. Lois Lamya A-Faruqi, Op. Cit, hlm. 66 101 Ibid., hlm. 56 100
58
Intelek adalah Ilahi itu sendiri, dan hanya manusia yang sampai pada tarafnya, manusia berpartisipasi di dalamnya. Intelek adalah substansi dan juga fungsi, intelek adalah cahaya dan juga visi. Intelek bukanlah pikiran dan bukan pula nalar yang merupakan refleksi intelek terhadap wilayah manusiawi, tetapi intelek adalah akar dan pusat kesadaran dari apa yang secara tradisional disebut jiwa. Intelek juga merupakan sumber, baik pengetahuan maupun wujud, kesadaran subyektif yang mengetahui dan tatanan obyektif yang diketahui. Intelek juga sumber wahyu yang menciptakan hubungan antara manusia dan kosmos 9alam) dan sumber Realitas (Tuhan) metakosmis.102 Intelek adalah pusat cahaya yang merupakan wakil yang menurun pda dunia. Intelek adalah firman, dengannya semua tercipta, manusia dan agama. Intelek adalah pengetahuan Tuhan tentang dirinya sendiri dan pertama dalam makhluk-Nya.103 Intelek menurun dan memancar melalui kehidupan manusia yang berupa kecerdasan intelek kdang-kadang dihalangi dosa-dosa nafsu dan serangkaian kejatuhan yang telah memisahkan manusia dari sumbernya sehingga yang menyebabkan kesadaran dan kecerdasan manusia terpuruk. Pengetahuan suci menerangkan kecerdasan dalam hubungannya, tidak hanya dengan sumber wahyu dalam pengertian eksternal, tetapi juga dengan sumber wahyu batin yang merupakan pusat manusia, khusunya hati. Kedudukan kecerdasan adalah hati dan bukan kepada, sebagaimana ditegaskan oleh semua ajaran tradisional. Hati juga merupakan pusat mikrokosmos manusia, oelh karena itu, kehendak alam, dimana keberadaan manusia digambarkan. Kecerdasan dan keyakinan berada di dalam hati, dimana keyakinan sendiri menjadi penuh dengan cahaya gnosis Keyakinan (iman) maupun kecerdasan (‘aql) di dalam Al-Qur’an secara eksplisit diidentikan dengan hati (al-qalb). Kecerdasan ini mampu mencapai pengetahuan tentang kesucian, sudah disucikan dan berakar dalam pusat keberadaan manusia yang mana kecerdasan, tidak dipisahkan dari keyakinan atau cinta, karena dalam 102 103
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Op. Cit, hlm. 170 Ibid, hlm. 171
59
hati, pengetahuan kenyataanya selalu bersesuaian dengan cinta. Hanya ketika tereksternalisasi, pengetahuan berhubngan dengan pikiran dan aktualisasi otak, sedangkan cinta yang substansial biasanya disebut jiwa. Berbicara tentang intelek ada kaitannya dengan kosmos, karena disamping sumber wahyu juga penghubung manusia dengan kosmos (alam), dimana kosmos sumber pengetahuan. Hubungan seorang gnosis bersifat intelektif (kompletatif) yang tidak abstrak, tidak analitis. Alam bagaikan selembar buku penuh lambang-lambang yang harus dibaca menurut maknanya. Al-Qur’an adalah persamaan teks tersebut dalan kata-kata manusia, kalimat-kalimatnya disebut ayat (tanda-tanda), persis seperti fenomena alam. Alam dan Qur’an kedua-duanya menegaskan kehadiran dan pemujaan Tuhan.104 Allah berfirman dalam surat al-Fushilat ayat 53 :
ﻖ ﺤﱡ َ ﻦ َﻟ ُﻬ ْﻢ َاﻧﱠ ُﻪ ا ْﻟ َ ﺣﺘﱠﻰ َﻳ َﱠﺘ َﺒ ﱠﻴ َ ﺴ ِﻬ ْﻢ ِ ﻲ َا ْﻧ ُﻔ ْ ق َو ِﻓ ِ ﻻﻓَﺎ َ ﺳ ُﻨ ِﺮ ْﻳ ِﻬ ْﻢ اﻳ ِﺘﻨَﺎ ﻓِﻰ ْا َ ﺷ ِﻬ ْﻴ ٌﺪ َ ﺊ ٍ ﺷ ْﻴ َ ﻋﻠَﻰ ُآﻞﱢ َ ﻚ َا ﱠﻧ ٌﻪ َ َا َوَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻜ ِﻔ ِﺒ َﺮ ﱢﺑ Artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”105 Ahli-ahlli hukum beranggapan, alam hanya ada dalam pikiran manusia sebagai panggung yang dibutuhkan bagi tindakan manusia, bagi seorang gnostik atau sufi ayat Qur’an tersebut juga lambang. Jika tradisi penafsiranpenafsiran simbolis ayat-ayat kitab suci tidak ada lagi dan karenanya masih akan tahu kewajibannya, tapi “teks kosmos” itu tak akan dapat dipahami. Fenomena alam akan hilang hubungannya dengan tingkat relaitas yang lebih tinggi, jika hilang hubungan antar mereka, semua itu akan menjadi fakta.
104
Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban di Dalam Islam, Op. Cit, hlm. 4 Surat Fushshilat ayat 53, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989, hlm. 781 105
60
Semangat Islam menekankan kesatupaduan alam, yang menjadi tujuan sains kosmologi (pengetahuan alam).106 Tujuan pengetahuan suci adalah pengetahuan tentang kesucian itu sendiri, yaitu Relitas yang teletak
dibelakang manifestasi kosmos, yang
sucinya terdapat dalam lembar-lembar yang terpancar dari buku alam semesta, dalam hal ini kosmos (alam) adalah sebuah buku yang berisi wahyu Primordial yang paling bermakna dan masusia adalah kepribadian yang esensial yang direfleksikan pda cermin kosmik. Pengetahuan suci harus memasukkan suatu pengetahuan tentang kosmos tidak suatu pengetahuan empirik.107 Melihat kosmos dengan intelek adalah melihat kosmos bukan sebagai kenyataan-kenyataan yang dieksternalisasikan namun sebagai kenyataan dimana tersermin aspek-aspek sifat Ilahi seperti teofani (manifestasi) dari Realitas yang tinggal di pusat kepribadian manusia itu sendiri. Melihat kosmos sebagai teofani adalah melihat cerminan kedirian dalam kosmos.108 Islam memandang korespondensi antara manusia, kosmos (alam), dan kitab suci adalah sentral dari agama secara luas. Kitab suci Isalam adalah AlQur’an yang tertulis dan tersusun sebagaimana Al-Qur’an kosmos. Kosmos memanifestasikan dirinya sendiri sebagai teofani dan fenimena alam ditransformasikan ke dalam ayat yang disebut Al-Qur’an. Aspek teofani dari alam perawan (asli) membantu manusia menemukan akan keadaan batinnya sendiri. Alam adalah dirinya sendiri, sebuah perwahyuan Ilahiah dengan mentafsirkan sendiri. Manusia yang diberkahi pengetahuan suci, sehingga dpat membaca pesan gnosis yang tertulis dengan cara yang paling halus pada jurang-jurang dari gunung-gunung yag tinggi, daun dan pepohonan, wajahwajah binatang dan bintang-bintang dilangit. Jadi kosmos identik dengan wahyu karena merupakan manifestasi sifat-sifat Tuhan sebagai sumber pengetahuan yang tidak lain memahami Realitas Tertinggi sebagai sumber segala sesuatu. 106
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Loc. Cit. Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Op.Cit, hlm. 220 108 Ibid, hlm. 222 107
61
F. Jalan Memperoleh Pengetahuan Pengetahuan
dalam pandangan
Seyyed
Hossein
Nasr
adalah
pengetahuan yang esensial yaitu pengetahuan yang didasarkan identitas diantara yang mengetahui dan diketahui, dan berdasarkan bahwa yang diketahui itu hilang di dalam api pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan esensisl atau gnosis yang berada di jantung wahyu yang termanifestasi baik di dalam kosmos (alam) maupun pada diri manusia. Berbeda dengan pengetahuan menurut anggapan empirisme dan rasionalisme yang sifatnya terkotak-kotak, dimana sarana untuk memperoleh dengan menggunakan indra dan akal semata. Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan tidak langsung. Karena berada di pinggiran pusat eksistensi. Pengetahuan pada hakikatnya terletak (lokus) pada kecerdasan Ilahi menurun pada manusia lewat pancaran intelek. Tujuan akhir manusia adalah memperoleh lebih bersifat kompletatif, yang dasar-dasarnya lebih konkrit, sedangkan penalaran dasarnya abstrak. Manusia terdiri dari jasmani dan intelek, intelek inilah berada di atas dan dipusat eksistensi manusia. Sessensi manusia atau hal yang esensial didalam sifat manusia, hanya dapat dipahami oleh “mata hati”. Intelek tersebut disamping berada di pusat eksistensi manusia juga mencakup atau meliputi setiap level (tingkat) eksistensinya. Begitu mata hati tertutup, kesanggupan intelek akan mengalami kemandegan maka manusia tidak mungkin mencapai pengetahuan yang essensial tentang manusia. Refleksi intelek (akal fikiran atau akal budi) di dalam jiwa dan pikiran, yang disebut akal (nalar, rasio, reason) tidak dapat mencapai essensi dari manusia maupun dari hal-hal lainnnya, betapapun intelek itu mengadakan eksperimen dan observasi atau betapapun intelek melakuakn fungsi-fungsi yan tepat untuk memcahkan dan menganalisa, yaitu fungsi yang rasio yang tepat untuk memecah dan menganalisa, yaitu fungsi rasio yang tepat dan sewajarnya. Intelek hanya mempeoleh pengetahuan yang tidak penting, yaitu pengetahuan mengenai aksiden, efek-efek, dan tingkah laku eksternal namun tidak dapat memperoleh pengetahuan mengenai ossensi. Begitu juga, jika akal tidak memperoleh
62
penerangan atau bimbingan intelek, maka akal hanya dapat mengakui eksistensi dari noumene-noumena dari realitas esensi.109 Penjelasan tadi memberikan pemahaman bahwa intelek alat untuk memperoleh pengetahuan yang pada suatu ketika merupakan sumber wahyu dan timbul secara mikrokosmik di dalam diri manusia. Pikiran,pancaran intelek pada tingkat kejiwaan kemudian bisa menjadi baik sebagai alat mencapai kebenaran Ilahi yang terdapat di dalam wahyu kebenaran yang super rasional namun bukan irrasional, maupun sebagai tirai yang menutupi kebenaran-kebenaran ini dari penglihatan manusia. Keadaan yang terakhir ini pikiran menjadi upaya yang mendorong manusia melawan tuhan dan agam yang diwahyukan-Nya.110 Sarana mencapai wahyu, malaikat jibril, juga adalah roh kudus yang menerangi intelek dan memungkinkannya memiliki indera intuisi. Intelek dalam cahaya wahyu berfungsi bukan hanya sebagai intuisi intelektual yang apabila
dikawinkan
dengan
iman,
memungkinkan
manusia
untuk
menembusmakna agama dan, lebih khusus lagi, makna kalamIlahi yang terkandung di dalam Al Qur’an. Manusia mesti menguji kecerdasannya untuk memahami wahyu Ilahi. Memahami wahyu Ilahi intelek terlebih dahulu terlebih dahulu mesti diterangi oleh cahaya iman dan disentuh oleh rahmat yang terpancar dari wahyu Ilahi.111 Pengetahuan dalam hal ini gnosis maka alat untuk mencapai pengetahuan tersbut adalah intelek, akal (nalar) adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada dunia manusia. Hubungan antara intelek dan akal tidak pernah putus. Intelek tetap mejadi dasar, dan latihan akal sekiranya sehat dan normal dengan sendirinya akan sampai kepada intelek. Ahli metafisika muslim cenderung mengatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan membimbing manusia ke-Esaan Ilahi. Walau kenyataan spiritual itu tidak
109
Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Terj. Anas Mahfud, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 15 110 Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Loc. Cit 111 Seyyed Hossein Nasr, Ebrahim M.A. El-khuoly, Dr. Lois Lamya Al-Faruqi, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Op. Cit, hlm. 57
63
hanya rasional, tidak hanya irrasional. Akal, lebih dipandang dari aspek akhirnya dari pada aspek langsungnya dapat membawa orang ke gerbang dunia yang dapat dipahami, ilmu rasional dengan cara yang sama dapat diintegrasikan ke dalam gnosis, meskipun bersipat diskursip (terpisah-pisah) dan parsial sedangkan gnosis bersifat menyeluruh dan intuitif. Begitu eratnya hubungan essensial antara akal intelek antara ilmu rasional dengan gnosis inilah makna pencarian penjelasan kausal dalam islam jarang sekali diupayakan dan tidak pernah berhasil memuaskan ada diluar iman. Sciencia (ilmu manusia) dianggap sah dan mulia hanya selama ilmu manusia tunduk kepada sapientia (kearifan).112 Sayyed Hossein Nasr sependapat dengan Ibnu sina (tokoh mazhab masy-sya’i) mengatakan setiap manusia memiliki kecerdasan dalam suatu bentuk tersembunyi, kecerdasan ini disebut kecerdasan potensial atau material (bi al Quwwah). Bersamaan dengan berkembangnya pengetahuan manusia, bentuk-bentuk yang pertama kali terlihat dipindahkan dari atas ke dalam roh dan manusia mencapai derajat intelek aktual (bi al Fi’il) dan akhirnya setelah proses ini selesai, kecerdasan perolehan (mustafad). Akhirnya di atas semua tingkatan dan kedudukan ini terdapat intelek aktif (al-aql al fial)yang bersifat Ilahiah dan menerangi akal melalui tindakan pengetahuan.113 Intelek sebenarnya bersifat metefisis, tidak hanya bersifat filosofis,yang pancarannya pada akal manusia yang berupa nalar. Setiap tindakan kognisi melibatkan ilumunasi (pancaran) akal oleh intelek aktif yang memberi akal suatu bentuk pengetahuan tentang obyek yang ditanyakan. Manakala kekuasaan dan universalitas ini telah berkembang, intelek mendapatkan fungsi dan kekuatankekuatan yang lebih dikenal nama intuisi dari pada yang berkaitan dengan tindakan penalaran. Alat tunggal untuk memperoleh pengetahuan metafisis ini adalah intuisi intelektual yang dipakai untuk menterjemahkan ta’aqul tidak hanya sebagai suatu penalaran. Intuisi intelektual adalah suatu kekuatan yang
112 113
hlm. 50
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Op. Cit, hlm 7 Seyyed Hossein Nasr, Ebrahim M.A. El-Khuoly, Dr. Lois Lamya Al-Faruqi, Op. Cit,
64
menerangi serta mengubah batas-batas penalaran dan batas-batas keberadaan setiap manusia. Kecerdasan adalah karunia Ilahiyang menembus yang melalui selubung maya (alam) dan mengetahui realitas seperti itu. Kecerdasan adalah pancaran cahaya yang menembus melalui beberapa selubung alam ari yang awal dan berhubungan dengan pinggiran kehidupan, dimana kejatuhan manusia hidup. Walaupun kesadaran manusia itu terpuruk karena jauh intelek. Kecerdasan yang memancar di dalam dirinya menunjukan suatu keajaiban intelek, yang sekaligus supernatural dan natural. Secara nyata bahwa kecerdasan manusia yang berhubungan dengan aspek-aspek yang real, tetapi semua itu misterius, sepanjang manusia terputus dari cahaya intuisi intelektual atau inteleksi. Lewat cahaya intelek, baik kekuatan subyektif maupun obyektif, kecerdasan secara sempurna dapat dipahami.114 Pengetahuan suci tidak dapat dicapai tanpa inteleksi dan pemafaatan yang tepat intelegensi dalam manusia. Penalaran yang terputus dari pacaran batin tidak hanya menanggalkan ajaran-ajaran pengetahuan suci tetapi juga hanya menawarkan argumen-argumen rasionalistik, inteleksi tidak dapat mencapai kebenaran sebagai akibat pemikiran atau nalar profani (nalar murni), tetapi melalui suatu arah intuisi. Apabila intelek bergerak terlalu jauh dengan sumber primordial (Yang Esa) yang menyebabkan intelek tidak dapat mempergunakan fungsinya maka adanya wahyu untukmengaktualisasikan intelek dalam diri manusia melakukan serangkaian ibadah menyesiakan kunci yang mana manusia membuka pinti ruang batin keberadaannya.115 Makna terlengkap dari intelek dan fungsinya yang universal harus dicari dalam mari’fat atau gnosis, yang terdapat pada hati ajaran wahyu Islam dimana terdapat adanya kecerdasan dan pengetahuan. Hati merupakan alat pengetahuan yang benar dan apabila hati sakit maka akan timbul kebodohan dan kealpaan, oleh karena itu risalah wahyu lebih ditunjukkan kepada hati
114 115
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Op.Cit, hlm. 170 Ibid, hlm. 172
65
dari pada akal, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 57 berikut ini :
ﺷﻔَﺎ ٌء ﱢﻟﻤَﺎ ِ ﻦ رﱠﺑﱢ ُﻜ ْﻢ َو ْ ﻈ ٌﺔ ﱢﻣ َﻋ ِ س َﻗ ْﺪﺟَﺎ ًء َﺗ ُﻜ ْﻢ ﱠﻣ ْﻮ ُ َﻳَﺎ ﱡﻳﻬَﺎاﻟﻨﱠﺎ ﻦ َ ﺣ َﻤ ٌﺔ ﱢﻟ ْﻠ ُﻤ ْﺆ ِﻣ ِﻨ ْﻴ ْ ﺼ ُﺪ ْو ِر َو ُهﺪًى ﱠﻮ َر ﻓِﻲ اﻟ ﱡ Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.116 Demikian pula pengetahuan yang dicapai oleh hatilah yang diperhitungkan di hadapan Ilahi. Ayat suci surat al-Baqarah 225 berikut ini menyatakan :
ﺧ ُﺬ ُآ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ِ ﻦ ﱡﻳﺆَا ْ ﻲ َا ْﻳﻤَﺎ ِﻧ ُﻜ ْﻢ َوَﻟ ِﻜ ْ ﺧ ُﺬ ُآ ُﻢ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﺑِﺎﻟﱠﻠ ْﻐ ِﻮ ِﻓ ِ ﻻ ُﻳﺆَا َ ﺣِﻠ ْﻴ ٌﻢ َ ﻏ ُﻔ ْﻮ ٌر َ وَاﻟﱠﻠ ُﻪ
ﺖ ُﻗُﻠ ْﻮ ُﺑ ُﻜ ْﻢ ْ ﺴ َﺒ َ َآ
Artinya : “Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.117 Halim yang berarti penyantun adalah tidak segera menyiksa orang yang berbuat dosa. Pengetahuan hati (batin) dianggap penting untuk keselamatan karena orang yang tidak mau mengenal hati dan jantung kehidupannya berarti menyia-nyiakan kesempatan untuk masuk surga. Pengetahuan hati adalah pengetahuan yang mendasar yang dikenal sebagai iman, oleh karena itu harus dihargai karena hati dapat menguasai pengetahuan. Hati pada hakikatnya 116
Al-Qur’an, Surat Yunus ayat 57, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir AlQur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989, hlm. 315 117 Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 225, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989, hlm. 54
66
berarti tempat kedudukan pengetahuan atau alat untuk mencapai pengetahuan. Mata hati (intelek) sebagaimana ketiga yang mampu mencapai pengetahuan yang lain dari yang dicapai oleh kedua mata lahir dan tidak bersifat langsung seperti penglihatan lahir.118 Pengetahuan yang dapat dilihat oleh hati ini merupakan pengetahuan dasar yang diperoleh alat yang terlihat oleh hati atau pusat keberadaan manusia, bukan akal yang hanya mengetahui secara tidak langsung dan hanya merupakan pantulan dari hati. Hati mampu memiliki pengetahuan intelektual yang mengatasi dualisme dan dikotomi antara pikiran dan perasaan, atau antara akal dan hati seperti yang biasa dipahami, jadi pengetahuan manusia suatu pengetahuan yang sekaligus bersifat intelektual dan intuitif. Secara rasional manusia hanya mengetahui api dari konser api yang diabstraksi oleh indera-indera atau analisis akal yang disebut pikiran atau nalar, akan tetapi masih ada satu pengetahuan yang dapat dicapai setiap orang tetapi hanya sedikit yang mampu. Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang langsung tanpa melalui konsep atau gagasan perantara yang disebut pengetahuan pemberian (huduri). Pengetahuan yang sifatnya antropomorfisme (pengkulturan pada manusia yang segala-galanya dalam berpikir) seperti empirisme, rasionalisme, maupun rasionalisme-empirik, krtiganya absah pada tingkat masing-masing, tapi semua bercerai-berai dari prinsip-prinsip yang abadi. Pengetahuan metafisikalah yang mempunyai prinsip-prinsip abadi, karena akal sendiri tidak mungkin berbuat lain kecuali menanyakan fakta bahwa dirinya merupakan refleksi kecerdasan Illahi. Wahyu adalah sumber pertama pengetahuan, tidak hanya sebagai sarana untuk mempelajari hukum moralitas yang ditautkan dengan kehidupan aktif, tetapi juga adanya kemungkinan bagi manusia untuk memurnikan darinya hingga mata hati (ain al-gaib), yang bertempat di pusat wujudnya, terbuka dan memungkinkannya memperoleh visi langsung atas realitas-realitas supernatural. Akal mempunyai kekuatan untuk mengetahui, tetapi akal senantiasa terikat pada dan mengambil saripatinya dari wahyu 118
Seyyed Hossein Nasr, Ebrahim El-Khuoly, Lois Lamya Al-Faruqi, Op. Cit, hlm. 64
67
disatu pihak dan intuisi intelektual di pihak lain.119 Suatu pengetahuan tanpa bantuan intelek maka akan menghasilkan jalan buntu yang sesungguhnya dialami oleh dunia modern saat ini, pengetahuan yang sifatnya terpecah-pecah. Riset Ilmiah dalam hal ini dapat dibenarkan apabila dapat mengalahkan rasionalisme totalitarian yang menjadi sifat ilmu pengetahuan modern. Walaupun kenyataan ini tidak diakui oleh kebanyakan ahli ilmu pengetahuan, mempunyai wajah yang menghadap ke arah kuar. Jadi dengan perkataan ilmiah berubah menjadi al-ilm yang dalam pengertian tradisionalnya sebagai pengetahuan yang bersumber dari tata prinsipil dan menuju kepada tata prinsipil pula.120 Secara ringkas disimpulkan bahwa pengetahuan batin memiliki sifat langsung dari pengetahuan inderawi yang berhubungan dengan dunia tidak kasat mata atau dunia rohani. Berpijak dari pengetahuan pemberian atau pengetahuan batin ini bentuk pengetahuan pada akhirnya menyamakan antara subyek dan obyek pengetahuan yang paling kongkrit dari semua realitas tersebut Yang Maha Agung, segala sesuatunya dianggap relatif abstrak. Mengetahui dalam artian terakhir berarti mengetahui Allah melalui pengetahuan inteleksi maupun intuisi dalam makna tertinggi dari kedua istilah itu. G. Pendidikan Dalam Pandangan Nasr Sains dan pendidikan adalah masalah yang mencakup bentang ruang intelektual dan waktu kesejarahan yang demikian luas, karena keduanya merupakan manifestasi otentik Islam dan aspek utama peradaban Islam. Pendidikan maupun sains yang berkembang di dalam peradaban Islam, dari manapun asal-usul mereka peradaban Islam bisa hidup menelan dan menelaah serta mencerna bermacam-macam jenis pengetahuan dari banyak sumber yang berlainan yang sekedar dari Cina sampai ke Iskandaria dan Athena dan semua masih bertahan dalam Organisme ini dicerna dan dirumbuhkan di dalam tubuh Islam yang hidup. 119 120
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi. Op. Cit, hlm. 102 Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Op. Cit, hlm. 18
68
Apapun asal-usul material bagi pendidikan maupun sains islam berhubungan secara erat dengan prinsip-prinsip wahyu Islam dan semangat Qur’an, menurut perspektif tradisi Islam, Al-Qur’an mengandung akar-akar semua pengetahuan tetapi tentu saja tidak detail, Al-Qur’an adalah Al-Qur’an yang disamping bacaan menurut beberapa musafir juga berarti kumpulan yakni gudang yang didalamnya terkumpul semua permata kearifan. Buku suci ini juga dinamakan Al-Furqan “Penilaian sebab ia adalah instrumen terhandal pengetahuan dengan mana kebenaran dibedakan dari kepalsuan, ia adalah Ummul Kitab “ibu semua buku” karena semua pengetahuan otentik yang terkandung didalamnya termuat, bukan saja bimbingan moral tapi juga bimbingan kependidikan, hidayah atau bimbingan yang mendidik seluruh wujud manusia dalam pengertian yang paling mendalam dan juga paling lengkap, maka tak heran Al-Qur’an merupakan alpha dan omega dari pendidikan dan sains Islam sekaligus menjadi sumber dan sasaran mereka, inspirasi dan pemandu mereka.121 Sehingga apa yang menjadi landasan bagi pendidikan dan sains tersebut dapat memola pikiran dan jiwa sang Muslim, didalam Islam, pengetahuan selalu disatukan dengan yang sakral dan baik sistem pendidikan maupun sains-sains yang dimungkinkan olehnya menafaskan semesta kehadiran sakral. Apapun yang diketahui, mempunyai karakter religius yang mendalam, bukan saja karena objek setiap jenis pengetahuan itu dicipta oleh Tuhan, tetapi sebagian besar lantaran intelegensi dengan mana manusia mengetahui adalah karunia Illahi, fakultas yang secara adikodrati (Supernatural) alamiah yang dimiliki mikrokosmat manusia, bahkan kategori-kategori logika adalah refleksi kecerdasan Illahi pada tataran pikiran manusia.122 Berhubungan dengan kebenaran dan karenanya kemurnian, pendidikan Islam mesti berkepedulian dengan seluruh wujud manusia laki-laki dan perempuan yang diupayakan untuk dididik, tujuannya bukan hanya pelatihan 121 122
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi. Op. Cit, hlm. 124 Ibid, hlm. 125
69
pikiran melainkan juga pelatihan seluruh wujud sang person. Itulah sebabnya mengapa pendidikan Islam mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran atau penyampaian (ta’lim), tetapi juga pelatihan seluruh diri siswa (tarbiyah). Guru bukan sekedar seorang mualim “penyampai pengetahuan” tapi juga seorang murabbi123 “pelatih jiwa dan kepribadian”, sejauh tertentu memang benar bahwa terma mu’alim sendiri pada waktu itu mulai memperoleh makna etika yang didalam dunia modern hampir sepenuhnya semakin terpisah dari persoalan pengajaran dan penyampaian pengetahuan, terutama pada pendidikan tinggi.124 Sistem pendidikan Islam tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran dari pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi seutuhnya, ia tidak pernah memandang alih pengetahuan dan pemerolehan yang absah tanpa dibarengi pemerolehan kualitas-kualitas moral dan spiritual. Menurut Nasr pendidikan Islam meliputi seluruh kehidupan Muslim, hal ini tampak dalam fase-fase dan periode-periode dalam keseluruhan organik. Pertama-tama, dalam periode primer pendidikan keluarga masa awal baik bapak maupun ibu memerankan peran guru didalam persoalan-persoalan keagamaan dan juga persoalan yang berhubungan dengan agama, kebudayaan dan adat-istiadat.125 Periode pertama adalah waktu dimana anak sedang tumbuh yang biasanya juga dimasukkan ke pra taman kanak-kanak kemudian dilanjutkan ke salah satu sekolahan agama, yang kurang lebih sejajar dengan sekolah dasar dan sekolah tingkat pertama, kemudian ke madrasah yang dapat disetarakan dengan sekolah menengah tingkat atas dan akademia serta akhirnya al-jami’ah atau tempat pendidikan formal tertinggi. Di banyak kawasan dunia Islam, madrasah menyatu dengan al-jami’ah dan setara dengan pendidikan tinggi menengah dan juga akademia,
123
Ibid, hlm. 125 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 4 125 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi. Op. Cit, hlm.126 124
70
universitas, selain itu hampir sepanjang waktu madrasah-madrasah dibangun secara seksama dalam tata letak yang indah. Sampai sekarang ini di sebagian besar kota Islam, sesudah masjid adalah madrasah yang secara geografikal mempunyai hubungan yang erat, oleh karena dalam Islam pengetahuan tidak bisa atau tidak pernah dipisahkan dari yang sakral dan Islam melihat didalam yang sakral terutama aspek nominalnya, suasana keindahan Illahi, maka pendidikan Islam selalu ditanamkan dalam atmosfer yang indah. Diberikan secara seksama dalam derajat yang tinggi untuk menciptakan suasana atmosfer dalam mana kualitas sakral pengetahuan dan sifat religius seluruh cita-cita kependidikan dalam konteks tradisional didukung dan tidak bisa disangkal.126 Adapun mengenai kegiatan utama untuk sekolah agama yang awal tidak saja memperkenalkan anak didik dengan dasar keagamaan bagi kehidupannya, masyarakat dan peradaban tetapi juga berfungsi sebagai pengantar ke arah penguasaan bahasa. Kendatipun suasana berbeda bagi anak-anak Arab dan non Arab, tidak syak lagi bahwa dalam kedua kasus tersebut pengajaran dimuati dengan makna religius dan proses membaca dan menulis dilihat sebagai aktivitas religius, perkataan “pena” (al-qalam) sendiri melambangkan pelaksanaan menulis dengan bantuan si anak menuliskan kata-kata pertamanya, juga melambangkan instrumen wahyu dimana Tuhan bersumpah didalam AlQur’an.127 Sedangkan kegiatan utama di madrasah-madrasah adalah pengajaran sains-sains keagamaan (naqli) dan sains-sains intelektual (aqli), untuk contoh sains naqli adalah terutama pengajaran al-syariah, ushul al-fiqh, fiqh dan lain sebagainya kajian ini didasarkan pada studi yang seksama atas Qur’an beserta tafsir ta’wil dan hadis. Beserta sejarah Islam yang bertautan dengan Al-Qur’an dan hadis yang pada gilirannya memastikan terhadap penguasaan bahasa Arab
126 127
Ibid, hlm. 127 Ibid, hlm. 126
71
dan kesusasteraan yang mengarah ke kajian tentang teologi dalam aliran-aliran yang majemuk. Sedangkan sains-sains aqli diantaranya diajarkan ilmu logika, matematika, fisika, dam filsafat yang menurut pemikir-pemikir Muslim dapat dicapai dengan akal dan tidak disampaikan dalam cara yang sama seperti sains religius, linguistik dan historikal. Didalam kegiatan-kegiatan madrasah harus dilengkapi dan ditunjang dengan dua jenis badan yang lain yaitu institusi-institusi keilmuan (laborat) dan perkumpulan-perkumpulan pribadi.128 Islam membangun lembaga-lembaga ilmiah (riset) seperti rumah sakit dan observatirium untuk pendidikan dan penelitian yang didalamnya pendidikan kader profesional dilaksanakan secara ekstensif.129 Mengenai perkumpulan-perkumpulan pribadi, yang ada dewasa ini dirujuk sebagai pengajaran atau pelajaran luar, mereka hadir sebagai sarana untuk mengajarkan disiplin-disiplin yang tidak begitu umum kepada kelompok-kelompok mahasiswa pilihan baik untuk menghindari kecaman resmi pihak ulama yang boleh jadi berkeberatan terhadap mata kajian yang sedang diajarkan maupun untuk menciptakan suatu lingkungan yang lebih akrab bagi penyampaian beberapa sains-sains aqli.130 Institusi lain yang berdampak besar terhadap pendidikan Islam adalah pusat kerajinan seni dan pusat sufi yang disebut zawiyah di dunia Arab dan khanaqah didalam bahasa Persia, India, dan Turki, institusi ini adalah tempat bagi penyampaian pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan Illahi (al-ma’rifah atau irfan) atau apa yang barangkali disebut scientia sacra, karena sufisme berkepedulian dengan pendidikan sebagai tarbiyah pada tingkat yang paling tinggi.131
128
Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Op. Cit, hlm. 47 Ibid, hlm. 57 130 Ibid, hlm. 61 131 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi. Op. Cit, hlm. 130 129
72
BAB IV IMPLIKASINYA KONSEP ILMU PENGETAHUAN SEYYED HOSSEIN NASR BAGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM Setelah penulis memaparkan beberapa hal tentang pengetahuan dan pendidikan dari sudut pandang pemikiran Nasr sebagaimana dalam bab III, maka dalam bagian analisis ini penulis akan menganalisis: Pertama,
Tradisi pendidikan Islam
kedua Pendidikan Islam dan
Modernitas ketiga Pendidikan Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan. A. TRADISI PENDIDIKAN ISLAM Krisis dunia Islam kontemporer telah mengarahkan perhatian banyak cendikiawan muslim kepada persoalan pendidikan dan memancing pemeriksaan ulang atas sistem pendidikan Islam yang telah terlupakan selama seratus tahun yang lalu di sebagian besar negeri-negeri Islam. Menurut Nasr bahwa pringsip-pringsip yang mendasari pendidikan Islam pada giliranya mustahil untuk dipahami tanpa apresiasi atas pandangan para filosof
berkenaan dengan aspek pendidikan mulai dari tujuan hingga
kandungannya dan dari kurikulum hingga metode-metodenya.132 Karena pandangan para ilmuan dan para filosof tentang pendidikan adalah sangat esensial dewasa ini sehingga memungkinkan penegakan ulang sebuah sistem pendidikan yang Islami sekaligus bercorak intelektual, menurut Nasr kalu ada saja sitem pendidikan yang mampu menghasilkan seorang al-Biruni atau seorang Ibn Sina pastilah ia – paling tidak – menerapkan secara serius pandanganpandangan yang mereka pegangi tentang pendidikan, selama ratusan tahun Islam telah menghasilkan menghasilkan muslim-muslim yang patuh sekaligus pemikirpemikir yang handal di berbagai disiplin intelektual. Muslim-muslim masa kini yang berupaya mewujudkan kembali sistem pendidikan Islam yang otentik tidak bisa tidak musti memperhitungkan pandangan-pandangan para filosof-ilmuan
132
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, Op, Cit, hlm.150
73
seperti ituberurusan dengan kandungan, tujuan, metode-metode dan makna pendidikan Karenya musti dinyatakan sejak awal bahwa filsafat Islam seperti yang berkembang selama ratusan tahun adalah berkarakter Islami dan merupakan bagian integral dari tradisi intelektual Islam, namun di tahun belakangan signifikansi filsafat Islam di lupakan dan bahkan karakter Islaminya di sangkal oleh sebagian besar fundamentalis yang atas nama sebuah Islam yang di intrepretasikan secara rasionalistik, secara lahiriyah menentang hal-hal yang berbau barat, sementara pada saat yang sama memberi peluang gagasan-gagasan yang berbau modernisme untuk mengisi kekosongan yang tercipta dalam pikiran dan jiwa mereka sebagai akibat dari penolakan mereka atas tradisi intelektual Islam.133 Dalam perbincangan masa kini tentang pendidikan Islam terlampau sedikit perhatian di berikan kepada pandangan-pandangan para filosof dan orang suci Islam yang selama ratusan tahuna memikirkan dan merenungkan makna pendidikan dalam sinaran persoalan fundamental semisal siapa itu manusia, bagaimana wataknya, dari mana ia berasal dan kemana ia akan pergi ?, mereka menyodorkan sebuah filsafat pendidikan yang sementara setia pada sifat manusia dalam sinaran watak dan entelectinya, berfungsi sebagai latar belakang bagi di banginya bukan saja filsafat Islam tetapi juga Sains Islam. Pandangan filosof-filosof muslim tentang pendidikan menyerupai cabangcabang yang penting dari pohon tradisi intelektual Islam yang akar-akarnya tertanam dalam ajaran al- Qur’an dan Hadist. Tak ada kepedulian serius dengan pendidikan Islam dewasa ini yang mampu untuk tetap melewatkan warisan melenial ini, tidak pula setiap perbincangan tentang pendidikan Islam Islam dapat dianggap lengkap tanpa mempertimbangkan dalam jangkauann, universalitas serta signifikansi praktikal yang luar biasa dari konsep-konsep pandangan para filosof Islam tentang pendidikan. Maka dari itu untuk membaca bagaimana tawaran Nasr tentang pendidikan Islam tradisional, perlu di ketahui dari pengertian pendidikan Islam sejarah teori 133
Ibid, hlm. 150
74
dan prakteknya agar bisa mencerna secaraseksama perbedaan dengan pendidikan modern barat, yang sekarang mulai di kritik banyak kalangan. Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang, dalam pengertiaan yang seluas-luasnya pendidika Islam berkembang seiring dengan kemunculan Ilam itu sendiri, dalm kontek masyarakat Arab, dimana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan – untuk tidak menyebutnya sistem- merupakan transfomasi besar, sebab masyarakt arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidkan formal. Pendidikan – kata ini juga di lekatkan kepada Islam –telah didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan yang bayak di pengarui oleh pandangan dunia masing-masing. Namun pada dasarnya semua pandangan yang berbeda itu bertemu pada semacam kesimpulan awal baha pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenui tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efesien. Pendidikan lebih dari sekedar penganjaran; yakni tranfer ilmu belaka, bukan trenfer nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala macam aspek yang di cakupnya, dengan demikian pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan “ tukang-tukang” atau para spesialis yang terkurung dalam spesialisasinya yang sempit karena itu perhatian dan minat lebih bersifat teknis.134 Jika sistem pendidikan barat sekarang ini sering di sebut-sebut mengalami krisis akut, itu tak lain karena proses yang terjadi dalam pendidkan menjadi suatu komiditi belaka dengan berbagai implikasinya terhadap kehidupan sosial kemasyrakatan. Perbedaan pendidikan dengan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping tranfer ilmu dan keahlian. Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan nasional Indonesia mengatakan bahwa pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi
134
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium baru, ( Jakarta Logos wacana Ilmu, 1999), hlm.3
75
pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek)dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakat.135 Muhammad Nasir mengatakan ideologi didikan Islam “menyatakn “ yang dinamakan pendidikan ialah suatu pimpinamn jasmanidan rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.136 Lalu bagaimana dengan pendidikan Islam, pengetian pendidikan secara umum yang kemudian di hubungkan dengan Islam menimbulkan pengertian baru yang secara implisitmenjelaskan karakteristik-karateristik yang dimilikinya, pengetrian pendidkan Islam dengan seluruh totalitasnya dalam kontek Islam inheren dalam konotasi istilah Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib yang harus di pahami secara bersama-sama. M. Yusuf Qardawi memberikan penjelasan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hati, rohani dan jasmani, ahlak dan ketrampilan. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalamkeadaan damai maupun perang dan menyiapkan untuk menjadi masyarakat de\ngan segala kebaikan dan kejahatanya, manis dan pahitnya.137 Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang di selaraskan dengan funsi manusia untuk beramal di dunia dan memetiknya di akhirat. Ahmad D. Marimba bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuranukuran Islam, dari pengetian terdahulu terlihat penekanan pendidikan Islam pada “bimbingan “ bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritas pihak pelaksana pendidikan yaitu guru.138
135
Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan; Kenang-kenangan Promosi Doktor Honoriscausa, (Yogyakarta; 1967), hlm. 42 136 Moh. Nasir, Kapita selekta, (Bandung, s’Gravenhage; 1954), hlm. 87 137 Yusuf al-Qardawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al- Bana, terj. Bustami, dkk, (Jakarta, Bulan Bintang;1980), hlm. 157 138 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, alMa’arif;1980), hlm.23
76
Dengan membimbing ajaran Islam maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya disini guru lebih bersifat sebagi fasilitator atau petunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik, jadi guru bukanlah segal-galanya, yang cenderung menganggap anak didik buakn apa-apa selain manusia yang kosong yang perlu diisi. Jika dikaji jauh dibalik semua pendidikan Islam terkandung pandanganpandangan dasar Islam berkenaan dengan manusia dan signifikansinya ilmu pengetahuan. Manusia menurut Islam adalah mahluk Allah yang paling mulia dan unik, ia terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang masing-masing mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri. Manusia juga mempunyai organ-organ kognitif semacam hati mdan intelekserta kemampuan-kemampuan lainya. Dengan segala perangakat yang dimilikinya manusi bisa menjadi mahluk yang sempurna sehinnga dijadikan Penciptanya sebagai Khalifatullah, namun disisi lain manusia juga bisa menjadi mahluk yang paling hina serta paling rendah jika segala jiwa raganya diperbudak hawa nawa nafsu. Manusia dengan segala potensinya yang dimiliki bisa mengetahui mana yang jalan yang baik dan mana jalan buruk, dan ia bebas untuk memilih ingin ikut yang mana karena manusia di beri kebebasan untuk memilih dan ini adalah pemberian yang luar biasa dari tuhan untuk hambanya selain itu manusia juga di arahkan di beri pengetahuan untuk memilih mana jaln yang terbaik baginya dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Islam di turunkan di muka bumi ini adalah merupakan bentuk arahan bagi manusia agar ia bisa menentukan jalan yang terbaik baginya, Islam merupakan sumber pengetahuan dan petunjuk yang akan membimbing manusia di dalam kehidupanya tanpa mengabaikan potensi kemanusian itu sendiri. Pendidikan merupakan aspek yang terpenting dalam ajaran Islam karena tujuan pendidikan tak akan lepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk mencetak pribadi-pribadi hamba Allah yang bertaqwa dan mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Dalam kontek sosial maka pribadi yang bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’alamin, baik dalam sekala kecil maupun dalm
77
sekala besar tujuan hidup manusia dalam Islam inilah ini yang disebut sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.139 Selain tujuan diatas yang secara umum ada juga tujuan khusus bagi pendidikan yaitu lebih praksis sifatnya sehingga konsep pendidikan Islam tidak sekedar idealisme ajaran-ajaran Islam dalam pendidikan sehingga dapat dirumuskan harapan yang ingin di capai di dalam tahap tertentu dalam proses pendidikan sekaligus dapat pula di nilai hasil-hasil yang telah dapat di capai. Tujuan khusus itu adalah berupa bimbingan terhadap peserta didik dalam hal pikiran perasaan, kemauan, intuisi, ketrampilan atau dengan istilah lain kognitif, afektif dan psikomotorik, dari tahap-tahap tersebut kemudian dapat di capai tujuan-tujuan yang agak terperinci lengkap dengan materi, metode dan sistem evaluasi, inilah yang di sebut dengan kurikukum yang selanjutnya di perinci kedalam silabus dari berbagai bimbingan yang akan diberikan140. Dasar pendidikan Islam secara pringsipil diletakakn pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat, kebudayaan. Dasar utama bagi pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam adalah al- Qur’an dan sunnah. Al-qur’an misalanya memberikan pringsip yang sangat penting terhadap pendidikan yaitu penghormatan bagi akal manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia serta memlihara kebutuhan sosial.141 Kemudian dasar pendidikan Islam lainya adalah nilai-nilai sosial kemasyrakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan sunah, pringsip mendatangkan kemanfatan dan menjauhkan kemadlaratan bagi manusia, warisan pemikiran Isalm juga merupakan dasar penting dalam pendidikan Islamkarena pada dasarnya pemikiran mereka merupakan refleksi terhadap ajaranajaran Islam. Dasar-dasar pendidikan Islam itulah kemudian di kembangkan suatu sistem pendidikan Islam yang mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan sitem pendidika lain, karakteristik pendidikan Islam adalah sebagi berikut:
139
Azyumardi Azra, Op,Cit, hlm. 8 Ibid, hlm. 9 141 Ibid, hlm. 9 140
78
1. Pendidikan
Islam berupaya
pada
pencarian
ilmu
pengetahuan,
penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah. Setiap penganut Islam diwajibkan mencari Ilmu pengetahuan untuk di pahami secara mendalam yang di kembangkan dalam kerangka ibadah guna kemaslahatan umat. 2. Pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian setiap pencari ilmu di pandang sebagai mahlik Tuhan yang perlu di hormati dan di santuni agar potensi yang dimiliki dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. 3. Pengamalan pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada tuhan dan masyarakat, pengetahuan bukan hanya untuk di ketahui dan di kembangkan melainkan sekaligus dim praktekan dalam kehidupan nyata, dengan demikian dapat konsistensi antara apa yang di ketahui dengan pengamalanya dalam kehidupan sehari-hari.142 Setelah mengenal lebih jauh tentang pendidikan Islam dan kemudian ajaran modernisme yang telah mengalami kegagalan dalam mengusung tema pendidikan akhirnya sebagaimana dikatakan oleh haruslah kembali dengan tradisi Islam, karena modernisme telah gagal dalam mencapai tujuaan hidup manusia yang tak lain adalah tunuan pendidikan itu sendiri. Kekacauan yang mewarnai pendidikan modern di kebanyakan negara Islam dalam banyak hal di sebabkan oleh hilangnya heirarkhi terhadap pengetahuan. Bukan hanya dalam keimanan dan pengamalan keagamaan, suatu heirarkhi
yang
saling
berkesinambungan
antar
berbagai
disiplin
ilmu
memungkinkan terjadinya realisasi ke Esaan dalam kemajmuan, juga dalam dunia pengetahuan, karena itu menurut Nasr pemahaman terhadap klasifikasi ilmu merupakan kunci pemahaman terhadap dimensi utama intelektual Islam. Masalah inipun merupakan salah satu kunci sistem pendidikan Islam untuk mencegah para penentu kebijakan pendidikan terperosok kepada peniruaan model-model barat, yang menjadi krisis epistemologi pengetahuan.
142
Ibid, hlm. 10
79
Maka dari itu di perlukan sebuah sistem atau penegakan ulang sistem pendidikan yang Islami sekaligus bercorak intelektual, kalu ada sistem pendidikan yang mampu menghasilkan seorang al-Biruni atau seorang Ibn Sina, pastilah ia paling tidak menerpakan secara serius pandangan-pandangan yang mereka pegang tentang pendidikan. Muslim-muslim masa kini yang berupaya untuk mewujudkan kembali sistem pendidikan Islam yang otentik tidak bisa tidak musti memperhitungkan pandangan-pandanganpara
filosof-ilmuan
yang
berurusan
dengan
kandungan,tujuan, metode,dan makna pendidikan.143 Untuk memahaminya adalah mustahil tanpa apresiasi para filosof berkenaandengan aspek pendidikan, tetapi ditahun-tahun belakng ini signifikansi pandangan atas filsafat Islam dilupakan bahkan karakter Islaminya mulai di gugat dan bahkan di sangkal oleh sebagian “fundamentalis” yang atas nama sebuah Islam yang dim itrepretasikan secara rasionalis, secara lahiriyah menolak hal-hal yang berbau barat tetapi pada saat yang sama memberikan gagasan-gagasan barat untuk mengisi kekosongan yang tercipta dalam pikiran jiwa mereka sebagai akibat dari penolakan merka atas tradisi intelaktual Islam. Untuk memahami sistem tradisi pendidikan Islam haruslah memperhatikan filsafat pendidikan yang mendasari sistem itu, juga perlu mengkaji kurikulum yang ditetapkan atau diterapkan pada madrasah-madrasah Tradisional. Yang menjadi ciri khas sistem pendidkan Islam Tradisional maupun sains-sains yang diajrakannya adalah selalu menafaskan semesta kehadiran yang sakral, apaun yang di ketahui selalu mempunyai karakteristik relegius yang mendalam. Karena berhubungan dengan yang sakral maka kemurnian pendidikan Islam musti berkepedulian dengan wujud seluruh manusia yang di upayakan untuk didik, tujuan pendidikan Tradisional bukan hanya pelatihan pikiran tetapi juga pelatihan seluruh wujud sang person,
itulah mengapa pendidikan Ilam
mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran atau peyampaiaan ilmu ( Ta’lim) tetapi juga pelatihan pelatihan seluruh diri murid ( Tarbiyah), gurupun bukan hanya sekedar Mu’allim, penyampai pengetahuan tetapi juga seorang Murrabi 143
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi, Op, Cit, hlm.151
80
pelatih jiwa dan kepribadian, sejauh tertentu memang benar bahwa terma Mu’allim sendiri mulai memperoleh makna Murabbi juga dengan kata lain ia mulai terisi dengan konotasi-konotasi yang didalam dunia modern hampir sepenuhnya terpisah dari peyampaiaan pengetahuan.144 Sistem tradisi pendidikan Islam tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran dengan pelatihan jiwa secara keseluruhan, ia tidak pernah memandang alih pengetahuan dan pemerolehanya yang absah tanpa di barengi pemerolehan tanpa kualitas-kulitas moral dan spritual, kurikulum pendidikan tradisional diisi dengan pengajaran sains-sains aqli dan naqli yang mengacu pada kajian – kajian pemikiran muslim tradisional.145 Lihat lampiran I. Biasanya dalam pendidikan tradisional untuk melengkapi dan membantu dalam proses belajar mengajar di bangun 2 jenis lembaga atau institusi-institusi lainya yaitu institusi keilmuan dan perkumpulan-perkumpulan pribadi, Islam membangun lembaga-lembaga ilmiah seperti rumah sakit dan observarium untuk menunjang pendidikan dan penelitian yang didalamnya pendidikan kader profesional dilaksanakan secara ektensif yang agaknya sekarang minim dimiliki lembaga pendidikan Islam.146 Sedangkan
perkumpulan-perkumpulan
pribadi
di
hadirkan
dalam
pendidikan tradisional adalah sebagi sarana untuk mengajrkan disiplin-disiplin yang tidak begitu umum kepada kelompok-kelompok pelajar pilihan, baik untuk menghindari kecaman dari pihak ulama yang boleh jadi keberatan terhadap kajian yang sedang diajarkan maupun untuk menciptakan suatu lingkungan yang lebih akrab bagi penyampaian bebrapa sains aqli, bentuk proses pengajaran seperti ini sangat luar biasa dalam pengajaran filsafat Islam dan musti di pertimbangkan dalam setiap kajian sistem pendidikan tradisional.147 Dewasa ini juga muncul gagasan tentang ingin mewujudkan satu sistem pendidikan tunggal yang ingin mengganti sistem tradisional dan modern yang
144
Ibid, hlm. 125 Ibid, hlm. 169 146 Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Dunia Islam, terj. Mahyudin (Bandung, Pustaka; 1986), hlm. 71 147 Ibid, hlm. 51 145
81
mendominasi pentas pendidikan di daratan zaman sekarang dan berupaya mengislamkan berbagai mata sains yang berkisar dari humaniora hingga ilmuilmu sosial dan bahkan ilmu-ilmu kealaman.148 Persoaln utama adalah apakah sementara hanya satiu dimensi tradisi intelektual dan spritual Islam mungkinkah upaya seperti itu ? apakah mungkin membatasi diri hanya pada sains –sains hukum dan makna leterel ayat-ayat alQur’an. Dari berbagi corak pendidikan Nasr adalah banyak mengacu kepada tradisi masa lalu dan ini memang corak pemikira yang didasrkan pada pemikiran tradisional Islam dan ini mungkin bisa di jadikan jawaban atas krisi konseptual pendidikan Islam yang merembes kekrisis kelembagaan pendidikan. Pendikotomian kajian ilmu didunia pendidkkan Islam merupakan masalah yang kian pelik mengingat lagi dengan merembesnya sistem modernisme maka mau tidaknya harus diakhiri, didalam konsep tradisi tidak di kenal istialh pembedaan kajian ilmu profan dan sakral, semua ilmu yang di hasilakn dalm intelektual Islam adalah bercirikan sakral, jadi sudah seharusnya sekarang pengajaran pendidikan Islam tidak hanya membatasi pada ilmu-ilmu tertentu tapi mulailah diisi dengan berbagai kajian keilmuan sebagaimana yang telah di hasilkan para ilmuan tradisi Islam. Pendidikan Islam juga seharusnya membuka lembaga-lembaga seperti observasi sebagai praktek dari teori yang di ajarkan dilembaga madrasah, mengingat para ilmuan muslim dahulu banyak melakukan penelitian di laboratiriumya untuk menliti yang di peroleh dari pengajaran di madrasah, juga perlu digalakan kelompok-studi yang biasanya digunakan untuk diskusi masalah filsafat untuk menggali khazanah muslim yang telah hilang karena dengan cara seperti itu mereka akan memahami filsafat yang pada saat ini hampir tergusur dengan dunia filsafat barat.
148
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi Op, Cit, hlm.322
82
B. PENDIDIKAN ISLAM DAN MODERNITAS Gagasan program modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-akar yang dalam dengan gagasan modernime pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain modernisme pendidikan Islam tidak bisa di pisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program modernisasi Islam. Kerangka dasar yang berada di balik modernisme Islam secara keseluruhan adalah bahwa “modernisasi “ pemikiran dan kelembagan Islam merupakan prasarat bagi kebangkitan kaum muslimdi masa modern, karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam – termasuk pendidikan – haruslah di modernisasi, sederhananya adalah di perbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”mempertaruhkan pemikiran kelembagaan Islam Tradisional hanya akan memperpanjang nestapa ketidak berdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan kemanjuan dunia modern.149 Untuk melihat secara jelas tentang pendidikan modern bisa melihat dari kemunculan modernisasi pendidikan Islam
yang merembes keseluruh dunia
muslim khususnya Indonesia. Gagasan modernisme Islam yang menentukan momentumnya sejak awal abad 20 pada lapangan pendidikan modern yang di adopsi dari sisitem pendidika kolonial penjajah. Pada awal perkembangan adopsi modernisasi pendidikan Islam setidaktidaknya terdapat dua kecendrungan pokok dalam eksprementasi organisasiorganisasi Islam, pertama adalah adopsi sisitem dan lembaga pendidikan modern secara hampir menyeluruh, titik tolak modernisme pendidikan Islam disini adalah sisitem, bukan lembaga dan sisitem pendidikan Islam Tradisional. Sejak awal perkembangan modrnisme, sebenarnya sebagian besar lembaga (walaupun tidak sepenuhnya ) tercerap oleh kekuatan modernisme dan pendidikan modern mengikuti lembaga paling penting untuk pengembangan sistem nilai dunia modern lebih jauh, untuk penyebaransekulerisasi dan untuk pandangan dunia agama.150
149
Ibid, hlm. 31 Seyyed Hossein Nasr Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, (Bandung, Mizan;1993), hlm. 214 150
83
Melalui lembaga-lembaga pendidikan bukan (sekulerisasi) hanya sains tetapi juga gagasan-gagasan tentang penimbunan kekayaan, tujuan-tujuan ekonomi lebih jauh dan penciptaan mobilitas sosial yang lebih besar dalam masyarakt di sebarkan, terutama di Amerika dan baru belakangan di Eropa. Proses sekulerisasi dalam pendidkkan modern barat memakan wakru bebrapa abad dan masih jauh dari sempurna, semakin banyak lembaga pendidikan yang awalnya didirikan oleh Gereja telah disekulerisasikan, lembaga-lembaga baru yang yang diciptakan oleh negara dengan memisahkan pemiliharaan pemisahan terhadap lembaga agama dan lembaga yang di bentuk pemerintah atau badan sekuler lainya.151 Dinegara seperti Prancis dan Amerika Serikat pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan sekuler ini dalam lembaga-lembaga yang di sponsori oleh negarar dan di jaga ketat, pemerintah berusaha meyakinkan bahwa sekolah yang dibiayai oleh dana masyarakat tidak mempunyai warna relegius. Dengan demikian, pendidikan modern menyebabkan sekulernya melalui universalisasi pendidikan pada era modern yaitu pembentukan sekolah-sekolah dasar dan menegah yang diisi dengan penyebaran ideologi dan filsafat-filsafat nasional seperti sekulerisme karena hampir seluruh gagagsan sekuler yang penting telah menggoyahkan fondasi agama di dunia modern seperti evoluisme, gagasan tentang kemajuan, doktrin sosialisme, psikonalisis mempunyai cikal bakal dan di sebarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan modern ketengah masyarakat.152 Modernisme dan modernisasi pendidikan Islam dilihat dalam perspektif perkembangan kebudayaan dan kelembagaan pendidikan tradisional Islam sulit untuk surviv tanpa modernisasi.dan sebagaimana dikemukakan di atas, modernisme dan modernisasi kelembagaan pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak awala abad ini dan nampaknya akan terus berlangsung pula dimasa-masa mendatang, tetapi modernisme sistem dan kelembagaan pendidikan Islam berlangsung bukan tanpa kritik yang berkembang di tengah masyarakat muslim
151 152
Ibid, hlm. 215 Ibid, hlm. 217
84
khususnya dikalangan pemikir pendidikan Islam dan pengelolaan itu sendiri kelihatanya semakin vokal.153 Salah satu pokok yang hingga kini masih menduduki tempat wacana pemikir Islam pada umumnya adalah hubungan antara Islam dan modernisme, modernitas dan modernisasi itu sendiri, memang pada tingkat doktrin hampir seluruh pemikir pendidikan Islam modern sepakat bahwa tidak ada pertentangan anatar Islam dan modernitas, persoalanya adalah jika Islam compatible dengan modernitas, sejauh manakah modern dan modernitas dapat di toleransi? Semua ini sebernya adalah masalah klasik yang belum terselesaikan dalam magenda pemikiran Islam sejak mulai awal abad ini hingga masa-masa kontemporer. Persoaln ini melambung dan berkembang ketika ada pandangan atas kegagalan modernitas dan modernisasi barat yang sebagianya telah terlanjur di adopsi kaum muslim, termasuk kedalam lapangan pendidikan dalm memenui janji-janjinya untuk mensejahterakan kehidupan manusia baik lahir atau batinmelalui kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Kegagalan modernismedan modernisasi barat dengan segala ramifikasinya di kalngan kaum muslimin sering dikaitkan dengan kekeliruan epistemologi ilmu pengetahuan dengan epestimologi ilmu pada abad pertengahan yang bersifat “ Theosentris” sebaliknya epetimologi ilmu modern dan kontemporer lebih bersifat “antroposentris”. Jika di kalangan barat paradigma epistimologi “antroposentris” hampir seluruhnya mengusur paradigma “theosntris” sebaliknya para pemikir Islam terjadi tarik menarik yang cukup intens dim kalmngan pendukung masing-masing paradigma ini. Pemikir modernisme seperti Muhammad Abduh, Seyyid Amir Ali dan seterusnya mengembangkan epistemologi ilmu yang kurang lebuh bersifat “ antroposentrisme” sebaliknya pemikir Neo-Tradisionali seperi Seyyed Hossein Nasr selalu mengkritik keras epistemologi barat dan pemikir modernitas muslim yang bersifat antroposentris lantas menganjurkan epistemologi ilmu yang bersifat “teosentris”.repleksi yang cukup jelas juga dari tarik tambang ini adalah upaya-
153
Azyumardi azra, Op, Cit, hlm. 39
85
upaya untuk keluar dari epistemologi ini adalah adanya kemunculan gagasan Islamisasi pengetahuan yang hingga kini masih dalam perdebatan.154 Setidaknya mulai abad 18 ketika didunia Islam mulai muncul bebrapa orang modernis yang ingin merumuskan kembali Is;lam melelui pendekatan rasionalis filosofis gunamenemukan kembali akar-akar kejayaan padamasalampau yakni dengan usaha mencari hubungan barat dan Islam. Tetapi karena usaha mereka tidak cukup steril dari serangan-serangan internal bahkan di antara mereka memperoleh tuduhan sebagi agen barat sekuler yang anti Islam, maka boleh dibilang sampai sekarang usaha para modernis belum cukup berhasil. Karena teologi eklusif yang semula digugat dan di ganti dengan teologi modernisme yang sejatinya ingin membebaskan mnausi dari dogmatika nilai agama yang mmemasun kemerdekaan dan kreatifitas manusia dalam merespon dunianya, kini bergeser menjadi sebuah sebuah paradigma
yang hanya
mengagung-agyngkan dimensi akal dan menafikan adanya realitas transendental dan dengan serta merta Tuhan dimatikan. Agama dan ajaran moralitas lainya dipandang telah cukup gagal dalam membangun kesadarn manusia, karena itu agama di tempatkan hanya pada level subordinat dari sistem kesadaran. Dalam suasana demikian agama benar-benar tidak memperoleh tempat sentral dalam sistem sosial polotik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan. Dan teologi modernisme adalah justru melakukan desakralisasi atau sekulerisasi peran agama. Dengan demikian terjadilah imperialisme epestimologi sekaligus kultural dan politik, yang hanya satu peradaban satu kebudayaan dan satu sejarah yakni di tentukan oleh superioritas rasionalisme dan progresifme barat dan pasti bercirikan Eropa sentris, selanjutnya bisa di tebak paradigma epetimologi antroposentris menggusur teosentris.155 Dengan
demikian
jelas
bahwa
pendidikan
Islam
yang
sudah
termodernisasi lama-kelamaan di tengarai kehilangan identitas jatidirinya dalam ruh-ruh mendasarnya . 154 155
102
Ibid, hlm. 40 Moh. Sofyan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Yogyakarta, IRCiSoD; 2004), hlm.
86
C. PENDIDIKAN
ISLAM
DAN
PENGEMBANGAN
ILMU
PENGETAHUAN Teori-teori ilmiah barat modern, sebagimana yang telah di bahas khususnya yang berimplikasi pada relegius merupakan tantangan filosofis tersendiri bagi kaum muslim, lebih-lebih dewasa ini kebanyakan didominasi oleh teori-teori ilmiah modern oleh karena itu perlu sekali di usahakan semaksimal mungkin sebagai wujud moral kita sebagi kaum akademis untuk menjawab tantangan filosofis ilmiah tersebut dengan baik dan mumpuni. Sayangnya ketika mau mencoba tantangan ilmiah filosofis ini kita di hadapkan pada kendala yang besar yakni ketiadaan perangakat rasional untuk melakukannya, ini adalah salah satu gejala akibat telah matinya tradisi intelektual (rasional dan filosofis) di dunia Islam. Indonesia negara terbesar penduduk muslimnya dan tidak di izinkanya ateisme tidak di temukan sebuah karyapun yang besar yang secara filosofis mengkritik ideologi-ideologi barat yang sekuler, alih-alih malah mampu menjawab persoalan tersebut tetapi para pemikir tersebut malah terpengaruh ideologi-ideologi barat. Adapun cara atau upaya untuk menghadapinya adalah dengan menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam yang telah pernah di bangun dan di kembangkan oleh sarjana-sarjana muslim tempo dulu yang sekarang masih terlestarikan dalam karya agung mereka, akan tetapi mungkinkah itu semua dapat terleksana mengingat tradisi intelektual telah lama mati? Jawabanya tentu saja mungkin, walaupun tradisi intelektual Islam khususnya sunni telah lama mati tapi tak perlu khawatir, di syiah yang merupakan kelompok minoritas diantara sunni, tradisi tersebut terus hidup. Sejak awal hingga hari ini yang di kembangkan oleh sederet filosof dan ilmuan syiah hasilnya sangat menajubkan sebab dizaman modern ini jarang di temukan bahkan sulit menemukan seorang filosof di kalangan sunni, di syiah abad yang baru berlalu saja (abad 20) telah melahirkan puluhan filosof-dalam arti yang sebenarnya- baik yang sudah meninggal seperti Thabathabai, Murtadla Muthahari maupun yang masih hidup seperti
87
Jalal al-Din Asythiyani dan Mehdi Ha’iri Yazdi yang sudah secara sangat efektif merespon tantangan filosof ideologi barat. Dengan demikian kita tahu bahwa tradisi intelektual tidak sepenuhnya telah mati, tetapi telah tersimpan rapi dalam karya-karya ilmiah filosof agung syiah, jika di sepakati untuk menghidupakn kembali tradisi intelektual Islam tersebut ada beberapa langkah dalam pengembangan ilmu pengetahuan , 1) Menghapus larangan terhadap kajian-kajian rasional seperti ilmu kalam (theologi), tasawuf dan falsafat, hal ini penting sebagaiman di sinyalir oleh Nasr bahwa ada beberapa lembaga pendidikan dan negara yang sampai hari ini masih melarang kajian seperti ini yang di anggapnya bid’ah dan terlarang dan tidak Islami, 2) Mengingat khasanah terbesar dari intelektual ini masih terpusat di syiah- tentu tanpa menutup mata pada pusatpusat kajian rasional tertentudi dunia sunni seperti Mesir dan Lebanonmaka harus berlapang dada untuk membuka diri terhadap khazanah intelaktual syiah, - tentunya tidak harus menjadi syiah- untuk keperluan pendalaman dan pengkajian.156 Adapun langkah–langkah kongkritnya dalam dunia pendidikan perlu digalakanya seperti, a) Mengadakan pengkajian awal yang intensif, berdasrkan literatur yang tersedia untuk mengenal dengan lebih baik karyakarya utama para pemikir muslim dari zaman ke zaman. b) Mengadakan perlawatan ilmiah kepusat-pusat kajian tradisional maupun modern, ini penting untuk mengetahui metode apa yang di gunakan dan di kembangkan secara turun temurun. c) Menghimpun sebanyak mungkin karya-karya klasik yang penting untuk di kaji secara seksama dan intensif sehingga memiliki pengetahuan yang mendalam. d) Seminasi (penyebaran) pokok-pokok di atas lebih efektif dengan cara membentuk pusat-pusat kajian filsafat dan ilmu pengetahuan yang di harapkan akan mampu menyelenggarakan berbagai
156
Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Panorama Filsafat Islam, (Bandung, Mizan; 2003), hlm.104
88
kegiatan ilmiah seperti seminar, penerjemahan karya-karya klasik dan kontemporer.157 Jika poin-poin di atas bisa terleksana insyaAllah memberikan pijakan yang kukuh dalam mengembangkan tradisi intelektual yang tangguh guna menjawab dari tantangan modern barat.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Islam paradigma Ilmu Pendidikan, ( Yogyakarta, Aditya Media, 1999) Al Qur’an Dan Terjemahnya, Departemen Agama, ( Jakarta: Listakwarta: 2003) Anwar, Ali, Hierarki Ilmu dan Pengaruhnya Terhadap Kebahagiaan Kajiaan atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, Empirisme Journal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol.13 No. 1juli 2004 (Kediri; STAIN Kediri 2004) Azra, Azyumardi, Memperkenalkan Pemikiran Seyyed Hossein Nasr, ( Jakarta, Paramadina:1993) , Pendidikan Islam “ tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru” ( Jakarta, Logos, 1999) Bekker, Anton Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat ( Yogyakarta; Kanisius ,1990) Garaudy , Roger, Promesses Del’Islam, terj H.M Rosyidi, (Jakarta; Bulan Bintang, 1985) Hasan, Zainul, Islam Tradisional; Kajian atas pemikiran Nasr, (Pamekasan; Journal Studi Keislaman, Vol,V, No,I. STAIN Pamekasan, 2004) Hadi,Sutrisno Metodologi Research ( Yogyakarta; Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 1987)
157
Ibid, hlm. 105
89
Kartanegara, Mulyadi, Menyibak tirai Kejahilan” Pengantar Epistimologi Islam” ( Bandung, Mizan : 2003 ) Langgulung, Hasan, Asas-asas pendidikan Islam, ( Jakarta, Alhusna dzikra: 2000) Majid, Nurchholis, Islam, Doktrin dan peradaban, Sebuah Telaah kritis tentang maslah Keimanan dan Kemodernan, ( Jakarta, Paramadina: 1992) Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik, ( Yogyakarta, Gama Media, 2002) Muhadjir, Noeng, Metodelogi Penelitian kualitatif ( Yogyakarta; Rake Sarasin, 2000) Mulkhan, Abdul Munir,
Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi pesantren
Religiusitas IPTEK, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1998) Muthohar, Achmad, Paradigma Sains baru Islam, ( Semarang, LPM Edukasi Fak Tarbiyah Vol. XXXI: 2005) Nasr, Seyyed Hossein Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Bandung, Pustaka: 1983) _____________,. The Hart Of Islam, Pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, terj. Nurasiah Faqih, Sultan Harahap (Bandung; Mizan, 2003) , Islamis Science and Illustrated study ( The world of Islam Festival publishing Company Limited: 1976) ,Islamic life and thought ( London, George Allen and Unwin: 1981) , The Meaning and Role of Philosophy In Islam “ dalam studi islamika Vol. 37, Paris, 1973, , Islam Realitas dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasim Wahid, ( Yogyakarta, Pustaka : 2001) , Pengetahuan dan Kesucian , terj. Suharsono,( Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1996) , Sains dan Peradaban dalam Islam, terj. Mahyudin, ( Bandung, Pustaka: 1986)
90
, Islam Tradisi di kancah Dunia Modern, terj. Lukman Hakim ( Bandung, Pustaka, 1994)1 , Kata pengantar dalam Osman Bakar “ Hierarki Ilmu”( Bandung, Mizan: 1997) , Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat ( Bandung, Mizan : 1995) Poerwodarminta, Wj.S. Kamus Bahasa Indonesia,( Jakarta; PN Balai Pustaka, 1985) Santillana, Giorgio De, “ Preface” Dalam Seyyed Hossein Nasr, science and civilization in Islam” ( Cambridge, Mas:Harvard University Press: 1968) Sodarto, Metode Penelitian Filsafat ( Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996) Surisumantri, Jujun S Tradisi Baru Penilitian Agama Islam (Jakarta; Rosjalit dengan Penerbit Nuansa,Tth) Thorndike, E.L, Clarence L. Bartnthat Advencau Junior Dictionary( New York, DoubleDay and Company, inc, 1965) Toybee, Arnold J, Surviving The Future, terj Nin Bakdi Sumanto, (Yogyakarta; Gajah Mada Univercity Press, 1988)
91
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP A. SIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumya dapat kami tarik kesimpulan sebagai berikut: 1- Ilmu Pengetahuan menurut konsep Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan yang esensial yitu pengetahuan yang didasarkan identitas di antara yang mengetahui dan di ketahui, maka dari itu Nasr berpendapat bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia bukanlah melalui pencapaian saja (al-ilm al-hussuli) tetapi lebih menekankan bahwa pengetahuan adalah pemberian (al-ilm alhudluri) maka sebagai sumbernya pengetahuan bukan hanya melalui rasio murni tetapi juga melalui wahyu dan intelek serta intuisi, tetapi oleh harmonisasi antar akal dengan wahyu, rasio dengan hati yang ahirnya berupa pengetahuan intelektus, matahati yang sanggup menagkap bayang-bayang Tuhan lewat isarat alam, sehingga bisa membawa membawa kepada kebahagiyaan manyatu dengan alam dan Tuhanya. Pengetahuan itu tak lain adalah pengetahuan yang suci (scietia sacra) yaitu pengetahuan yang selalu menekankan pada kesadaran yang merupakan gnosisi dan tidak hanya pengetahuan insani tetapi pengetahuan Tuhan tentang DiriNya 2- Berangkat dari konsep Nasr tentang ilmu pengetahuan maka dalam pengembangkan ilmu pengetahaun dan pendidikan Islam ada beberapa langkah yang harus di tempuh: a). Bahwa dalam tradisi pendidikan Islam pendidikan selalu di tanamkan bukan hanya penyampaian ilmu semata tetapi juga selalu diikuti dengan pembimbingan jiwa, jadi murid yang diajarkan ilmu bukan menjadi sekuleris tetapi akan bertambah
92
semakin tebal imanya karenanya di dalam tradisi pendidikan Islam selalu bernafaskan nuansa kehadiran yang sakral. b) mengingat sekarang bahwa modernisme bukan hanya saja merambah kepersoalan kehidupan sehari-hari tetapi juga merembet ke persoalan sains dan
pendidikan yang ahirya
membawa kemasalah sekulerisasi sains dan pendidikan hal memerlukan jawaban secara filosofis tersendiri yang tak lain adalah kembali kepandangan tradisi filosof muslim yang telah berhasil memecahkan berbagai akar persoalan sains dan pendidikan serta mengembangkan pemikiranya yakni dengan 1) Menghapus larangan terhadap kajian-kajian rasional seperti ilmu kalam (theologi), tasawuf dan falsafat, hal ini penting sebagaiman di sinyalir oleh Nasr bahwa ada beberapa lembaga pendidikan dan negara yang sampai hari ini masih melarang kajian seperti ini yang di anggapnya bid’ah dan terlarang dan tidak Islami, 2) Mengingat khasanah terbesar dari intelektual ini masih terpusat di syiah- tentu tanpa menutup mata pada pusatpusat kajian rasional tertentudi dunia sunni seperti Mesir dan Lebanon- maka harus berlapang dada untuk membuka diri terhadap khazanah intelaktual syiah, - tentunya tidak harus menjadi syiah- untuk keperluan pendalaman dan pengkajian. Adapun langkah–langkah kongkritnya dalam dunia pendidikan perlu digalakanya seperti, a) Mengadakan pengkajian awal yang intensif, berdasrkan literatur yang tersedia untuk mengenal dengan lebih baik karya-karya utama para pemikir muslim dari zaman ke zaman. b) Mengadakan perlawatan ilmiah kepusatpusat kajian tradisional maupun modern, ini penting untuk mengetahui metode apa yang di gunakan dan di kembangkan secara turun temurun. c) Menghimpun sebanyak mungkin karyakarya klasik yang penting untuk di kaji secara seksama dan intensif sehingga memiliki pengetahuan yang mendalam. d)
93
Seminasi (penyebaran) pokok-pokok di atas lebih efektif dengan cara membentuk pusat-pusat kajian filsafat dan ilmu pengetahuan yang di harapkan akan mampu menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, penerjemahan karya-karya klasik dan kontemporer Jika poin-poin di atas bisa terleksana insyaAllah memberikan pijakan yang kukuh dalam mengembangkan tradisi intelektual yang tangguh guna menjawab dari tantangan modern barat. B. PENUTUP Alhamdulillah segala puji bagi Allah S.W.T yang telah memberikan nikmat, kekuatan, semangat, motivasi serta pemikiran kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep Pengetahuan
Seyyed
Hossein
Nasr
dan
Implikasinya
Bagi
Pengembangan Pendidikan Islam” Penulis menyadari meskipun dalam penulisan ini telah berusaha semaksimal mungkin, namun dalam penulisan skripsi ini tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Hal itu semata-mata merupakan keterbatasan ilmu dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik yang konstriktif dari berbagai pihak demi perbaikan yang akan datang untuk mencapai kesempurnaan. Akhirnya penulis hanya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Wallahu a'lam bi al Shawab
94
PERSEMBAHAN Dengan setulus hati, karya tulis ini penulis persembahkan kepada: Islam
yang
penulis
yakini
kebenarannya hingga hari pembalasan tiba, serta bagi Negara dan bangsa Indonesia
di
mana
penulis
lahir,
tinggal, hidup dan mengabdi. Abah
(Abu
Manshur,Alm.)
Ummi(Nur
Hidayah)
ampunilah
serta
Yaa,
kasih
serta Allah
sayangilah
mereka sebagaimana mereka mendidik serta
meyayangiku
sebagai
seorang
bocah. Temen-temenku (PRIMOUS) pria mousqo atau pria mushala.
95
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiratNya, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Dengan rampungnya penelitian ini dengan tema penelitian “ Konsep Pendidikan Multikultural dan Implementasinya dalam Pendidikan Islam”, tak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih yang tak terhingga khususnya yang terhormat: 1. Rektor IAIN Walisongo Semarang Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A. 2. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Drs.H. Mustaqim, M.Pd 3. Bapak Mahfud junaidi, M.Ag selaku dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna membimbing tersusunnya skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Tarbiyah yang telah banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya khususnya kepada penulis selama mengikuti kuliah. 5. Seluruh
keluarga
memperjuangkan
yang
segalanya
telah
memberi
kepada
penulis
semangat demi
dan
suksesnya
penulisan skripsi dan kesuksesan dalam menyelesaikan perkluliah. 6. Komunitas Remaja Masjid dan Mahasiswa yang rela serta ihklas menjadi Marbot Masjid se-Semarang Barat.
7. Serta semua sahabat-sahabat
KKN Desa Kleteran Kecamatan
Grabag Magelang, PPL SMP Hassanuddin 04 Cangkiran yang telah
96
membantu dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis yakin tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak tersebut, skripsi ini sukar terwujud. Akhirnya penulis hanya bisa berharap dan mohon kepada Allah SWT, semoga jerih payah dan bantuannya mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah SWT. Peneliti menyadari, meskipun penulisan skirpsi ini telah diusahakan semaksimal mungkin, namun saya yakin masih banyak kelemahan dan kekurangannya, karena keterbatasan ilmu yang saya miliki. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak akan peneliti terima dengan tangan terbuka demi perbaikan lebih lanjut.
Semarang, 22 juli 2006 Penulis
97
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
i
HALAM NOTA PEMBIMBING
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
HALAMAN MOTTO
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
HALAMAN KATA PENGANTAR
vi
HALAMAN DAFTAR ISI
vii
HALAMAN LAMPIRAN
viii
HALAMAN ABSTRAKSI
ix
BAB I
:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Penjelasan Kunci 4 C. Rumusan Permasalahan 7 D. Tujuan dan Signifikansi Penulisan Skripsi 7 E. Telaah Kepustakaan 8 F. Metodologi Penelitian 10 G. Sistematika Penelitian 14
98
BAB II
:
KONSEP DASAR ILMU PENGETAHUAN. 16 A. Pengertian Pengetahuan. 18 B. Pembagian Pengetahuan.
20
C. Dasar Ontologi Pengetahuan D. Dasar Epistemologi Pengetahuan
21
E. Dasar Aksiologi Pengetahuan.
23
F. Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan Islam 24 29 BAB III
:
PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR TENTANG ILMU PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN.
40
1. Riwayat Hidup dan Karya-karya
40
2. Hakiakat Pengetahuan
41
3. Desakralisasi Pengetahuan
42
4. Scientia Sakra
48
5. Sumber Pengetahuan
52
6. Jalan memperoleh Pengetahuan 7. Pendidikan dalam Pandangan Nasr 55 BAB IV ANALISIS 62
:
54
99
A. Tradisi dalam Pendidikan Islam 62 B. Pendidikan Islam dan Modernitas C. Pendidikan Islam dan Pengembangan Ilmu Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
BAB V
:
SIMPULAN DAN PENUTUP 83 I. Simpulan 85 II. Penutup 86
DAFTAR PUSTAKA Lampiran-Lampiran
74
100
A. Abstraksi Kamil Azizi ( NIM : 3101009). Konsep Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya bagi Pengembangan Pendidikan Islam (Kajian Pemikiran Seyyed Hossein Nasr). Skripsi. Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006. Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:1)Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr.2)Untuk menggali konsep Ilmu pengetahuan S.H Nasr dan sejauh mana implikasinya bagi pengembangan pendidikan Islam. Nilai guna yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah;1) Sebagai usaha dalam mengembangkan sebuah tatanan model pengetahuan yang tanpa mengenal batas.2) Sebagai upaya mensinergikan dan mengenalkan konsep pengetahuan bagi pengembangan pendidikan islam. Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mengadakan studi secara teliti literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan faktual historis. Sedang yang dimaksud dengan faktual historis yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan historisitas faktual mengenai tokoh. Pemakaian pendekatan dengan berusaha membuat interpretasi secara sistematis dan hipotesis. Pendekatan ini penulis gunakan dalam mengungkapkan historisitas Seyyed Hossein Nasr tentang konsep pengetahuan. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah: Dokumentasi yang di pakai penulis untuk menemukan data-data tentang konsep Seyyed Hossein Nasr yang berhubungan dengan pengetahuan Untuk menganalisis data penulis menggunakan metode: Metode Historis yaitu metode merekonstruksi masa lampau secara obyektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasi serta mensitesiskan bukti-bukti untuk menegakan fakta. Penulis menggunakan metode ini untuk mengungkap dan menganalisis historisitas Seyyed Hossein Nasr beserta konsepnya tentang pengetahuan
101
Metode Interpretatif adalah menyelami buku dengan setepat mungkin mampu mengungkapkan arti dan makna uraian yang di sajikan. Metode ini penulis gunakan untuk memahami dengan seksama pemikiran-pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. . Metode Analitik Kritis adalah mendiskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya di konfirmasikan dengan gagasan primer yang lain dalam upaya studi perbandingan, hubungan dan pengembangan model. Penulis menggunakan metode ini untuk mendiskripsikan membahas dan mengkritik gagasan-gagasan Seyyed Hossein Nasr tentang ilmu pengetahuan dengan memperbandingkan gagasan-gagasan beliau yang lain. Hasil penelitian menunjukan A. Ilmu Pengetahuan menurut konsep Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan yang esensial yitu pengetahuan yang didasarkan identitas di antara yang mengetahui dan di ketahui, maka dari itu Nasr berpendapat bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia bukanlah melalui pencapaian saja (al-ilm al-hussuli) tetapi lebih menekankan bahwa pengetahuan adalah pemberian (alilm al-hudluri) maka sebagai sumbernya pengetahuan bukan hanya melalui rasio murni tetapi juga melalui wahyu dan intelek serta intuisi, tetapi oleh harmonisasi antar akal dengan wahyu, rasio dengan hati yang ahirnya berupa pengetahuan intelektus, matahati yang sanggup menagkap bayang-bayang Tuhan lewat isarat alam, sehingga bisa membawa membawa kepada kebahagiyaan manyatu dengan alam dan Tuhanya. Pengetahuan itu tak lain adalah pengetahuan yang suci (scietia sacra) yaitu pengetahuan yang selalu menekankan pada kesadaran yang merupakan gnosisi dan tidak hanya pengetahuan insani tetapi pengetahuan Tuhan tentang DiriNya B.
Berangkat dari konsep Nasr tentang ilmu pengetahuan maka dalam pengembangkan ilmu pengetahaun dan pendidikan Islam ada beberapa langkah yang harus di tempuh:
102
1). Bahwa dalam tradisi pendidikan Islam pendidikan selalu di tanamkan bukan hanya penyampaian ilmu semata tetapi juga selalu diikuti dengan pembimbingan jiwa, jadi murid yang diajarkan ilmu bukan menjadi sekuleris tetapi akan bertambah semakin tebal imanya karenanya di dalam tradisi pendidikan Islam selalu bernafaskan nuansa kehadiran yang sakral. 2) mengingat sekarang bahwa modernisme bukan hanya saja merambah kepersoalan kehidupan sehari-hari tetapi juga merembet ke persoalan sains dan
pendidikan yang ahirya membawa kemasalah sekulerisasi sains dan
pendidikan hal memerlukan jawaban secara filosofis tersendiri yang tak lain adalah kembali kepandangan tradisi
filosof muslim yang telah berhasil
memecahkan berbagai akar persoalan sains dan
pendidikan serta
mengembangkan pemikiranya yakni dengan a) Menghapus larangan terhadap kajian-kajian rasional seperti ilmu kalam (theologi), tasawuf dan falsafat, hal ini penting sebagaiman di sinyalir oleh Nasr bahwa ada beberapa lembaga pendidikan dan negara yang sampai hari ini masih melarang kajian seperti ini yang di anggapnya bid’ah dan terlarang dan tidak Islami, b) Mengingat khasanah terbesar dari intelektual ini masih terpusat di syiah- tentu tanpa menutup mata pada pusat-pusat kajian rasional tertentudi dunia sunni seperti Mesir dan Lebanon- maka harus berlapang dada untuk membuka diri terhadap khazanah intelaktual syiah, - tentunya tidak harus menjadi syiah-
untuk
keperluan pendalaman dan pengkajian. Adapun langkah–langkah kongkritnya dalam dunia pendidikan perlu digalakanya seperti, a) Mengadakan pengkajian awal yang intensif, berdasrkan literatur yang tersedia untuk mengenal dengan lebih baik karya-karya utama para pemikir muslim dari zaman ke zaman. b) Mengadakan perlawatan ilmiah kepusatpusat kajian tradisional maupun modern, ini penting untuk mengetahui metode apa yang di gunakan dan di kembangkan secara turun temurun. c) Menghimpun sebanyak mungkin karya-karya klasik yang penting untuk di kaji secara seksama dan intensif sehingga memiliki pengetahuan yang mendalam. d) Seminasi (penyebaran) pokok-pokok di atas lebih efektif dengan cara membentuk pusatpusat kajian filsafat dan ilmu pengetahuan yang di harapkan akan mampu
103
menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, penerjemahan karyakarya klasik dan kontemporer Jika poin-poin di atas bisa terleksana insyaAllah memberikan pijakan yang kukuh dalam mengembangkan tradisi intelektual yang tangguh guna menjawab dari tantangan modern barat