BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang. Di wilayah Papua dan Papua Barat terdapat beberapa daerah yang dianggap sebagai daerah yang damai, sebab situasi sosial-politik dan keamanannya cenderung stabil dan kondisi perekonomiannya juga terjaga dengan baik. Daerah-daerah yang dimaksud antara lain, Kaimana, Bintuni, Raja Ampat dan Fakfak yang tersebar di sekitar wilayah “Kepala Burung” pulau Papua, yang sering dilambangkan seperti seekor Burung Kasuari raksasa yang sedang duduk1. Di daerah-daerah itu jarang terjadi konflik dan kekerasan, sebagaimana sering digambarkan dalam berbagai studi tentang Papua (LIPI, 2009, CSIS, 2011). Isu-isu sensitif seperti “Papua Merdeka” yang menimbulkan demonstrasi dan mobilisasi massa, tidak serta merta menimbulkan kekerasan di masyarakat. Fenomena yang terjadi justru sebaliknya, yakni situasi damai dan harmonis seperti yang dapat kita jumpai di wilayah Fakfak. Secara umum kondisi keamanan di Fakfak cukup stabil dan jarang terjadi konflik dan kekerasan. Hubungan antar masyarakat berlangsung dengan dengan baik dan harmonis, meskipun banyak kelompok etnis dan agama yang menetap di Fakfak. Fakfak menjadi salah satu contoh penting tentang potensi “Papua damai” di masa depan.2
1
Kajian Tim Universitas Papua dan UNDP-Papua Capacity Needs Assessment, tetang Kapasistas Pemerintah Daerah di Delapan Kabupaten terpilih di Papua, menunjukkan bahwa daerahdaerah yang kondisi keamanannya terjaga dengan baik, kondisi perekonomiannya cenderung tumbuh dengan baik dan stabil (Tim Unipa, 2005). 2 Para pemimpin agama di Papua pernah mendeklarasikan “Papua Tanah Damai” pada tanggal 5 Februari 2003. Menurut para pemimpin agama di Papua, damai dipahami sebagai
1
Beberapa catatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 hingga 2011, hanya terjadi 2 kali peristiwa kekerasan dengan skala yang cukup besar di Fakfak, baik dari segi jumlah korban jiwa dan masa yang terlibat, maupun dampak sosial politik yang ditimbulkan. “Pertama”, pada tahun 1999 ketika terjadi mobilisasi massa dan demonstrasi besar-besaran di Fakfak oleh kelompok yang mendukung gerakan kemerdekaan Papua (pro-M) dan mereka yang menyebut diri sebagai Barisan Merah Putih (BMP) dan mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peristiwa tersebut selain memicu ketegangan antara kelompok masyarakat juga memiliki implikasi sosial politik. Catatan Neles Tebay (2009:110), menunjukkan bahwa ada 45 orang yang ditahan aparat keamanan Fakfak dalam aksi bentrokan tersebut. “Kedua”, pada tahun 2003, ketika terjadi pertikaian antara masyarakat pendatang dari Seram-Maluku dan Masyarakat Ayamaru yang berasal dari wilayah Sorong. Dalam peristiwa tersebut beberapa orang menjadi korban dan memicu ketegangan sosial antara warga masyarakat (Wihel, 2011). Namun konflik dan demonstrasi yang dilaporkan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan pendekatan-pendekatan kultural sehingga tidak berkembang menjadi konflik sosial yang luas dan berkepanjangan. Secara tradisional masyarakat Fakfak menganut nilai-nilai lokal yang menghidupkan perdamaian dalam masyarakat. Kearifan lokal di Fakfak terbentuk dari proses akulturasi agama dan budaya yang telah berlangsung dalam waktu yang menguatnya nilai-nilai dasar, seperti hilangnya kekerasan, penghormatan pada perbedaan, tegaknya persatuan dan keadilan, serta terbentuknya harmoni dan solidaritas sosial di antara warga masyarakat (Tebay, 2009:40-41).
2
cukup lama. Salah satu yang terpenting adalah filosofi satu tungku tiga batu yang merekatkan berbagai kelompok sosial di Fakfak. Satu tungku tiga batu adalah penggambaran persaudaraan kultural tentang hubungan persaudaraan antara tiga agama besar di wilayah Fakfak; Islam, Kristen dan Katolik (Iribaram, 2011). Semangat satu tungku tiga batu dipraktikkan bukan hanya dalam konteks hubungan antar umat beragama, namun juga dalam membangun hubungan sosial antar masyarakat yang berbeda etnis dan budaya. Kearifan lokal tersebut juga mewarnai hubungan antar masyarakat asli Fakfak dan masyarakat pendatang. Bahkan secara luas diakomodasi kedalam sistem politik lokal, dimana konfigurasi kepemimpinan lokal seperti Bupati, Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah dijabat oleh tokoh politik dan birokrat yang berbeda agama. Pada tingkat tertentu, spirit satu tungku tiga batu telah menjadi nilai identitas kolektif yang membentuk masyarakat Fakfak sebagai masyarakat yang toleran dan saling menghormati. Selain faktor budaya, faktor sejarah juga memiliki pengaruh yang cukup penting dalam membentuk jati diri masyarakat Fakfak. Masyarakat di wilayah ini merupakan komunitas lokal di Papua yang paling awal berinteraksi dengan berbagai kelompok etnis dan kebudayaan di nusantara. Menurut catatan sejarah, sejak Abad ke 15, Jazirah Onin di Fakfak merupakan wilayah yang sudah sering dikunjungi oleh para pelaut dan pedagang dari berbagai negara dan bangsa. Kegiatan perdagangan semakin ramai dan intensif ketika Kerajaan Tidore dari Maluku Utara melakukan ekspansi di wilayah ini (Putuhena 2006, Musaad 2007). Hal ini mempertegas fakta bahwa persinggungan budaya yang terjalin lama, telah membentuk watak 3
keterbukaan (kosmopolit) di kalangan masyarakat Fakfak. Mereka sudah terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan orang lain dengan budaya yang berbeda-beda. Oleh sebab itu upaya untuk tetap menjaga harmoni dan perdamaian di Wilayah Fakfak, diyakini sebagai bagian dari kesadaran sejarah dan karakter budaya yang telah terbentuk sejak lama. Saat ini kota kecil Fakfak yang menjadi pusat kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan politik di bagian Selatan Papua Barat, merupakan kota yang dinilai toleran terhadap berbagai perbedaan. Wilayah ini seakan menjandi penanda wajah lain dari Papua yang jamak diketahui sebagai wilayah penuh konflik dan kekerasan. Masyarakat pendatang yang sering menjadi sasaran kekerasan di tempat lain di Papua, dapat menjalankan aktifitas dengan aman di Fakfak. Demikian halnya dengan masyarakat lokal (asli Papua) juga tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis yang mengintimidasi kelompok lain. Meskipun pada beberapa momentum terakhir, terjadi demonstrasi dari eksponen Pemuda Papua yang menuntut pengakuan terhadap hakhak orang Papua bahkan juga kemerdekaan Papua, namun aksi-aksi tersebut tidak menimbulkan kekerasan. Menurut Cristian Warta (2010), saat ini Fakfak yang dihuni 71.069 jiwa dan tiga agama besar serta 14 etnis dari berbagai daerah, merupakan wilayah yang telah dikenal secara luas sebagai daerah yang aman dan menjadi contoh yang terus menerus ditekankan tentang bagaimana sebagian wilayah di Papua dapat menciptakan perdamaian di tengah berbagai perbedaan. Suatu fakta yang selama ini belum banyak diketahui publik dan diungkap melalui studi akademis.
4
Sejauh ini studi tentang perdamaian di Papua masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak menarik dan “kurang seksi”, karena keluar dari opini dominan yang telah menempatkan Papua sebagai salah satu wilayah konflik yang paling panas di Indonesia. Para peneliti ilmu sosial dan dunia akademik seakan terjebak pada diskursus konflik yang cenderung hegemonic itu. Berbagai penelitian tentang Papua lebih banyak menyoroti dinamika konflik dan kekerasan, dibandingkan mempelajari secara mendalam kondisi yang spesifik dari masing-masing daerah di Papua. Isu Papua sering digeneralisasi secara berlebihan bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat yang sulit untuk diajak berdamai karena mereka menghendaki disintegrasi dan senang berkonflik, sebagamana ritual perang suku yang sering divisualisasi di media secara tidak kritis dan berimbang. Masyarakat Papua masih dilihat sebagai objek yang diam atau tidak punya prakarsa untuk menggagas perdamaian. Rentetan konflik politik, sosial dan ekonomi yang memanjang sejak integrasi Papua dengan Indonesia, dikonstruksi sebagai narasi dominan yang memperlihatkan kesulitan untuk membangun perdamaian Papua berdasarkan inisiatif lokal. Padahal masyarakat Papua pada dasarnya memiliki kekuatan dari dalam untuk mengelola konflik sosial dan kekerasan dengan cara-cara local, yang kemudian terbukti sukses mengendalikan konflik dan kekerasan sebagaimana yang terjadi di wilayah Fakfak. Situasi damai di Fakfak dan sekitarnya menunjukkan bahwa terdapat dinamika konflik dan integrasi yang terjadi secara berbeda pada setiap wilayah di Papua. Pada kasus Fakfak, integrasi sosial dapat berjalan dengan baik karena ada 5
berbagai faktor yang mendukungnya. Integrasi di bangun secara kultural di atas kesadaran dan inisiatif lokal, sehingga memiliki makna dan kekuatan dari dalam untuk merawat berbagai keragaman, baik agama, budaya, maupun perbedaan kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini berbeda dengan konsepsi integrasi sosial yang dipahami dan dipraktikkan selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru (19711998). Keragaman di dalam masyarakat selalu dipersepsikan sebagai sumber koflik yang mesti ditangani dengan cara-cara yang hegemonic. Pendekatan ini menganggap masyarakat yang beranekaragam, senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan konflik dan pertentangan terus menerus di antara unsur-unsurnya, dan setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Tertib sosial (social order) hanya bisa tercipta melalui tekanan kekuasaan, hukum yang tegas serta peran-peran keamanan dari aparatur negara. Integrasi sosial versi rezim Orde Baru adalah tersatukannya Indonesia baik secara kewilayahan, politik, ekonomi, social maupun budaya. Sebuah identitas nasional tunggal pun diberlakukan untuk mencapai integrasi itu, dan secara tidak langsung keragaman pun disederhanakan. Misalnya dalam bidang politik, dua partai politik, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya (Golkar), telah dianggap cukup untuk mewakili keberagaman aspirasi politik warga Negara. Sedangkan dalam bidang sosial keagaman juga terjadi penyederhanaan, ribuan kepercayaan lokal dikelompokkan menjadi penghayat kepercayaan atau dipaksa masuk dalam lima agama yang menjadi agama resmi Negara (Hasse J, 2012).
6
Dalam pandangan rezim Orde Baru, identitas yang tunggal adalah jaminan stabilitas politik dan kekuasaan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung integrasi nasional. Dalam pentas sejarah Indonesia, pemahaman otoritarian seperti ini terbukti ikut bertanggung jawab pada suatu struktur damai yang negativ, yang dalam jangka panjang –di penghujung era Orde Baru- berhasil menggoyang sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia. Pendekatan integrasi berbasis identitas yang diseragamkan (tunggal), membantu melahirkan perasaan keterikatan dan bahkan ketertiban dan perdamaian. Tetapi jelas keterikatan ini tidak melahirkan toleransi pada perbedaan, kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan dan kerjasama yang melintasi batas-batas identitas primordial (Rita Pranawati (ed), 2011:14). Bahkan pada akhirnya meledak menjadi konflik antar kelompok sosial yang terjadi di berbagai tempat. Misalnya konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Sambas, Sampit dan beberapa daerah lainnya. Jacques Betrands (2004), menyebut fenomena ini sebagai bukti paradox Orde Baru, yaitu berusaha menerapkan integrasi social dalam kehidupan masyarakat, namun mengingkari fakta tentang keragaman yang justru ingin dibelanya. Model integrasi sosial yang
dipaksakan melalui berbagai instrument
kekuasaan, tentu menafikkan kemungkinan adanya nilai-nilai tertentu yang mampu mendorong masyarakat untuk mengelola perbedaan dengan cara-cara yang tepat, sehingga melahirkan integrasi dan harmoni sosial yang otentik dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, masyarakat di berbagai daerah berhasil membangun dan menciptakan harmoni sosial melalui mekanisme kultural yang dibangun di atas norma-norma, nilai-nilai dan
moralitas budaya yang mengikat mereka dalam 7
keseimbangan sosial. Sebut saja misalnya tradisi Bela Baja di Pantar Nusa Tenggara Timur yang menjadi pengikat persaudaraan antara umat Islam dan Kristen, atau tradisi
Pela Gandong di Maluku Tengah yang membantu proses penyelesaikan
konflik di Maluku. Demikian juga tradisi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak Papua Barat. Namun berbagai kearifan lokal tersebut masih dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak cukup kuat dan teruji untuk menyelesaikan konflik. Cara pandang seperti ini menyebabkan pemerintah cenderung mengabaikan cara-cara lokal dalam penyelesaian konflik. Selain itu, berbagai kearifan lokal tersebut akhirnya harus tergerus oleh modernisasi sistem politik dan sikap represif kekuasaan yang lebih suka menggunakan pemaksaan dalam menyelesaikan konflik. Padahal kecenderungan tentang adanya kemampuan lokal atau cara-cara “dari dalam” untuk memecahkan persoalan keragaman sangat dibutuhkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk. Kecenderungan ini menurut Irwan Abdullah (2008:6) memperlihatkan dua hal penting. “Pertama”, peneliti dan dunia akademik belum berhasil memetakan kemampuan masyarakat dalam mengantisipasi konflik yang dalam banyak catatan etnografis menunjukkan bahwa penduduk suku-suku di berbagai tempat dengan penuh kesadaran menumbuhkan sensifitas mereka dalam mengidentifikasi bahaya yang mengancam. “Kedua”, banyak yang belum mengetahui tentang cara-cara yang dikembangkan dalam menyelesaikan konflik di berbagai tempat, walaupun hal ini memperlihatkan kemandirian masyarakat (lokal) di dalam memecahkan konflik. Ketiadaan kesadaran semacam ini tentu menjauhkan publik dari usaha-usaha pemecahan konflik yang bersifat subtansial 8
dan mandiri. Kritik Irwan Abdullah, sangat relevan untuk mencermati berbagai upaya penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah konflik, termasuk di wilayah Papua selama beberapa tahun terakhir. Secara faktual pemerintah sering terjebak pada mekanisme kekuasaan (top down), sehingga cenderung menafikkan pola-pola kultural. Padahal konflik yang terjadi Papua memiliki dinamika yang sangat
kompleks
dan
panjang sehingga
membutuhkan penyelesaian
yang
komprehensif, baik secara politik kekuasaan (top down) maupun melalui mekanisme kebudayaan (botton up). Hal ini misalnya dapat diamati secara jelas dalam proses penanganan masalah-masalah di Papua yang berlangsung selama ini. Pemerintah cenderung mengedepankan proses politik dan kekuasaan. Padahal konflik Papua merupakan jenis konflik yang telah berkembang dengan dinamika yang sangat kompleks. Dalam sejumlah penelitian dan tulisan yang membahas tentang konflik Papua, seperti penelitian Tim LIPI (2009) menyebut empat penyebab konflik di Papua. “Pertama”, konflik di Papua berkaitan dengan sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua. Ada perbedaan tajam tentang konstruksi identitas Papua yang sepesifik dan diklaim telah hadir sebagai bangsa yang bebas sejak era kolonial Belanda. Sebagaimana pendapat Chauvel (2005) bahwa ke-Papuaan merupakan identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman pada masa kolonial dan dikonstruksi sebagai anti-thesis dari ke-Indonesiaan. Hal ini melahirkan “nasionalisme Papua” yang dibentuk oleh akumulasi kekecewaan sejarah, diksriminasi politik selama masa
9
intrgerasi dengan Indonesia, pembangunan ekonomi yang tidak adil hingga proses migrasi yang melahirkan perasaan marginalisasi di kalangan orang Papua. “Kedua”, konflik Papua direproduksi oleh kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang terjadi secara sitematis selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Rezim Orde Baru menggunakan kekuatan represif untuk membungkam para pengkritik negara, dan menangkap para aktor-aktor utama. Sedangkan kekuatan separatis bersenjata seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dihadapi dengan kekuatan militer yang menimbulkan korban jiwa dan kekerasan sosial yang luas. Kekerasan politik adalah pengalaman obyektif yang dialami orang Papua sebagai akibat dari strategi utama Pemerintah Pusat untuk memerangi OPM pada saat itu. Publikasi penelitian LIPI yang dipimpin Muridan S. Widjoyo (2005), mengidentifikasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua secara lebih detail dalam beberapa bentuk: (1) kekerasan terhadap individu, (2) kekerasan terhadap masyarakat pada suatu daerah, (3) kekerasan psikologis, (4) kegiatan bisnis yang berpeluang melanggar HAM, (5) kekerasan struktural yakni kebijakan Negara yang berpeluang melanggar HAM. Hingga saat ini aspirasi rakyat Papua agar kekerasan politik dan pelanggaran HAM selama masa kekausaan Orde Baru dibuka kembali untuk diadili, tampaknya belum membuahkan hasil karena negara masih sangan dominan. “Ketiga”, konflik Papua juga merupakan cermin yang terang dari kegagalan pembangunan di Papua, dimana terjadi disparitas pembangunan Papua dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pemberian Otonomi Khusus untuk Papua pada tahun 2001, yang diikuti dengan pemberian sejumlah kewenangan politik dan budaya 10
serta alokasi dana Otsus yang bernilai Triliunan Rupiah, sejauh ini belum menyelesaikan masalah. Bahkan secara kuantitatif
justru meningkatkan angka
kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebagaian besar wilayah Papua. Mayoritas orang Papua masih hidup dalam jerat kemiskinan yang ekstrim. Data BPS tahun 2011 menunjukkan fakta bahwa angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat adalah yang tertinggi di Indonesia atau mencapai 38,8 % untuk Papua dan 34,68% untuk Papua Barat. Sementara itu mayoritas penduduk Papua yang mendiami desa dan pedalaman adalah penduduk miskin, mereka terpinggirkan dari proses pembangunan3. Suatu kondisi yang sangat ironis karena mereka hidup di sebuah wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Sementara itu mereka menyaksikan masyarakat pendatang memiliki status sosial-ekonomi yang lebih baik dan menguasai sumber daya ekonomi sehingga menimbulkan kecemburuan orang Papua (Heru Nugroho, dkk., 2006:16-17). Konflik-konflik berskala lokal yang berkaitan pengusiran kelompok pendatang, perebutan tanah ulayat, pembakaran pasar dan lainnya, memperlihatkan upaya orang Papua untuk menunjukkan kekuasaan dan kepemilikan mereka terhadap sumber daya ekonomi di Papua. “Keempat”, konflik di Papua juga disebabkan oleh diksriminasi dan marjinalisasi yang dialami orang-orang Papua dalam kurun waktu yang cukup lama.
3
Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (P2K), tahun 2011. Data yang sama juga dapat diakses pada Data BPS Tahun 2011; Jumlah dan Presentasi Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut provinsi, 2011, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1+id_subyek=23¬ab=4 (diakses 5 Desember 2011)
11
Kebanyakan orang Papua sering memperoleh stigma-stigma yang negatif; merendahkan dan diskriminatif. Mereka di-sterotipe sebagai masyarakat yang bodoh, terbelakang, barbar dan sulit diajak berdialog. Kondisi ini menjadikan kebanyakan orang Papua dilihat sebagai others, yakni sebagai entitas yang berbeda dari kebanyakan suku bangsa di Indonesia (Nugroho, 2006). Sebagai bangsa Melanesia, orang Papua memiliki identitas kultural yang spesifik, yakni berambut kriting dan berkulit hitam legam. Hal ini mengakibatkan orang Papua melihat etnis lainnya yang mendatangi Papua sebagai kelompok luar (out group) yang mencoba menguasai Papua. Perasaan seperti ini sering melahirkan konflik dan ketegangan etnis antara orang Papua dan masyarakat pendatang. Pada beberapa waktu terakhir, eskalasi konflik di Papua juga merambat ke soal-soal keagamaan, sebagaimana tergambarkan dalam sejumlah hasil penelitian. Laporan International Crisis Group (ICG) tahun 2008, atau studi Cahyo Pamungkas (2008) dan hasil penelitian Idrus Alhamid (2014), menyebutkan
bahwa potensi
konflik yang disebabkan oleh sentimen keagamaan cenderung semakin meningkat di Papua. Munculnya beberapa kelompok keagamaaan baru baik dikalangan Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Gerakan Salafi, dan dikalangan Kristen seperti kelompok Pantekosta dan Gereja Charismatic telah memicu ketegangan baru dalam hubungan antar agama di Papua. Hal ini terlihat pada aksi-aksi penolakan pembangunan Masjid Raya di Manokwari, penolakan pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Jayapura. Orang Papua yang mayoritas beragama Kristen, menganggap para pendatang yang beragama Islam sedang berusaha 12
menaklukkan Papua dengan melakukan praktek Islamisasi. Dalam konteks ini Islamisasi sering dilihat sebagai perwujudan politik dari apa yang disebut “Proyek Indonesianisasi”,
sehingga
sering
mendapatkan
perlawanan.
Usaha
untuk
mewujudkan Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat sebagai Kota Injil, menunjukkan resistensi terhadap isu islamisasi yang semakin sensitif (Warta, 2010). Saat ini orang Papua semakin meningkatkan kekuatan politik kebudayaannya dengan memanfaatkan kewenangan Undang-undang Otsus Tahun 2001, yang membatasi jabatan-jabatan politik seperti Gubernur, Walikota dan Bupati sebagai hak prevelege orang asli Papua (Ginuni, 2008:5). Di sisi lain, gejala etnosentrisme ini melahirkan kecemasan bagi sebagian masyarakat pendatang karena dianggap dapat melahirkan sikap primordialisme sempit yang dapat memicu konflik sosial di tengah masyarakat Papua (Levaan, 2012). Hal ini tampak pada beberapa momentum Pilkada di Papua Barat, dimana sejumlah tokoh yang mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur, Wakil Walikota atau Wakil Bupati digugat identitas ke-Papuan-nya, meskipun ayah atau ibu mereka dan mereka sendiri merupakan generasi yang lahir dan dibesarkan di Papua. Bagi sebagian kalangan, konflik di Papua yang berlarut-larut juga merupakan alat komodifikasi politik dan bisnis yang melibatkan berbagai aktor, baik dari dalam maupun luar negari. Perhatian dunia internasional dan negara-negara yang memiliki investasi ekonomi di Papua, juga dicurigai sebagai niat baik untuk menyelesaikan konflik Papua. Karena dalam prakteknya perhatian sejumlah negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia justru berkaitan erat dengan praktek ekonomi 13
politik yang diterapkan untuk melanggengkan investasi dan penguasaan atas berbagai sumberdaya ekonomi yang melimpah di Papua (Lina Yulianti, Kompas, 23 Juni 2012). Penggambaran tentang perkembangan konflik Papua di atas menunjukkan bahwa konflik Papua secara faktual tampak bersifat vertikal, yakni antara Pemerintah Pusat dan masyarakat politik di Papua. Namun akibat metode penyelesaian yang koersif maka tumbuh akar-akar baru yang berlipat serentang waktu konflik itu sendiri. Otto Syamsuddin Ishak (2012:15), menganalogikan anatomi konflik Papua secara teoritis berkembang seperti Ubi Jalar Papua, ketika dahannya menyentuh tanah maka muncul akar-akar baru dengan umbi yang besar. Dari waktu ke waktu selalu muncul konflik baru sebagai hasil dari kegagalan kebijakan dalam menangani Papua. Proses penyelesaian konflik dengan pendekatan kekuasan yang cenderung koersif telah menjadikan masalah Papua seperti sulit untuk diselesaikan. Sejauh ini proses penanganan masalah Papua masih dikuasai oleh opini dominan yang telah menempatkan Papua sebagai wilayah konflik yang paling panas di Indonesia. Hampir setiap saat publik disuguhkan berbagai berita dan informasi tentang penembakan-penembakan misterius, penculikan, serangan terhadap orang luar, perang antar kelompok suku hingga dinamika politik lokal di Papua yang cenderung destruktif. Peran Media masa turut menjadikan Papua sebagai objek informasi negatif tentang konflik yang tidak pernah usai. Oleh sebab itu, pemerintah lebih suka menggunakan pola-pola kebijakan penanganan konflik yang bersifat top down, dimana Papua dilihat sebagai wilayah konflik yang berbahaya, sehingga harus 14
diintervensi dan ditolong melalui inisiatif dari luar. Logika ini menempatkan pemerintah sebagai penafsir tunggal konflik Papua, sehingga selalu berusaha mengendalikan konflik melalui politik kekuasaan. Maka konflik Papua pun dihadapi dengan penguatan peran militer di hampir berbagai lini kehidupan.4 Berbagai upaya penegakan hukum untuk menjamin keamanan dan ketertiban juga dilakukan secara tegas. Sejumlah tokoh masyarakat yang menuntut keadilan dan menyuarakan aspirasi Papua Merdeka, ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan makar. Pemerintah juga mendorong pelaksanaan Otonomi Khusus (UU Otsus, 2001) yang disertai sejumlah kewenangan politik budaya, serta ekonomi. Kebijakan ini mendorong aliran dana yang cukup besar ke Papua sebagai konsekwensi dari pembagian hasil-hasil eksplorasi sumber daya alam yang cukup besar di wilayah Papua. Namun tampaknya, kebijakan pemerintah masih belum mampu mengendalikan konflik secara komprehensif, sebab dinamika social dan politik masyarakat Papua masih sering diliputi konflik dan kekerasan. Dalam satu dasawarsa terakhir masih terjadi kekerasan politik, sosial dan ekonomi di hampir sebagian besar wilayah Papua seperti di Wamena, Jayapura, Manokwari, Sorong dan lainnya. Kegagalan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang saling terkait dengan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama di Papua yang telah berlangsung selama ini, semestinya mendorong kita untuk mengkaji berbagai alternatif lain dalam
4
Beberapa waktu yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudoyono menunjuk Bambang Dramono (seorang Jenderal senior yang pernah bertugas dalam konflik Aceh) untuk memimpin sebuah unit khusus penyelesaian masalah Papua. Dalam banyak kasus pemerintah pusat selalu memprioritas kekuatan militer dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di Papua.
15
menyelesaikan masalah Papua. Dalam dimensi tertentu kita dapat belajar dari pengalaman masyarakat Fakfak dan sekitarnya, dimana perdamaian dan hamonisasi melibatkan masyarakat dan nilai-nilai lokal yang mengikat mereka dalam keseimbangan, sehingga relasi sosial yang terbentuk adalah keberadaan (koeksistensi), kerjasama (kolaborasi) dan kerekatan (kohesi) yang membentuk integrasi sosial. Apa yang terjadi di Fakfak tentu sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, di tengah harapan untuk mengelola konflik yang terjadi di Papua dengan cara-cara yang lebih baik, demokratis dan bisa diterima oleh semua kekuatan sosial politik. Apalagi dalam perkembangan mutakhir telah muncul keinginan untuk menyelesaikan konflik Papua secara demokratis dan bermartabat melalui dialog yang damai antara Papua dan
Jakarta.
Berkaitan
dengan
proses
tersebut,
maka
studi-studi
yang
mempromosikan perdamaian dan inisiatif pembentukan integrasi di tingkat lokal, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Fakfak, memiliki makna penting dalam studi ilmu sosial di Indonesia dewasa ini. “Pertama”, karena hal ini akan memberi peluang untuk menemukan alternatif atas konsepsi lama tentang integrasi sosial yang cenderung dikuasai oleh tafsir Negara. Sebagaimana ditegaskan Heru Nugroho (2011:178) “...kita memerlukan perimbangan wacana public secara seimbang dengan cara ikut serta dan terlibat dalam diskursus tentang isu-isu SARA (keragaman), tanpa harus ada pemaksaan dari negara terhadap masyarakat sipil”. “Kedua”, meyakinkan bahwa kemajemukan selain berpeluang menciptakan konflik, dapat juga menjadi energy positif dalam mewujudkan proses pemberdayaan atau demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. “Ketiga”, kajian ini berpeluang 16
menemukan
factor-faktor
penunjang
perdamaian
yang
dapat
mendukung
pembangunan ideologi kebangsaan (national unity and integrity) di atas keanekaragaman struktur sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini bisa dicapai dengan menggali strategi dan metode integrasi sosial yang telah dikembangkan oleh masyarakat melalui kebijaksanaan lokalnya (lokal wisdom) di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di wilayah Papua.
1.2. Rumusan Masalah Penggambaran tentang integrasi sosial dan perdamaian pada sebagian masyarakat Papua, khususnya yang terjadi pada masyarakat Fakfak menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan kepentingan politik, keanekaragaman budaya, etnis dan agama, namun kondisi tersebut tidak serta merta menimbulkan konflik dan kekerasan di tengah masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, sebab fenomena perdamaian dan harmonisasi kehidupan sosial yang berlangsung di Fakfak dan sekitarnya dapat disebut sebagai sebuah anomali sosial, di tengah berbagai pertentangan politik, ekonomi, etnis, agama dan budaya yang sering terjadi di Papua. Perkembangan di Fakfak tentu positif dan memberikan sumbangan berharga pada menguatnya integrasi sosial masyarakat Papua. Mengingat saat ini konflik politik di Papua semakin menjauhkan wilayah tersebut dari nasionalisme Indonesia. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana integrasi sosial dalam masyarakat Papua khususnya dinamika yang terjadi pada masyarakat di wilayah Fakfak dan facktor-faktor determinan apa yang menjadi penentu di
17
dalamnya. Untuk memetakan lebih rinci permasalahan tersebut maka pertanyaan penelitian (research question) yang diajukan dalam disertasi ini adalah sebagai berikut: 1. Mengapa masyarakat Fakfak secara spesifik memiliki nilai-nilai dasar dalam integrasi sosial? Faktor-faktor apa saja yang melahirkan nilai dan norma tersebut? 2. Bagaimana pelembagaan nilai (institusionalization value) dan proses kontestasi dalam integrasi sosial masyarakat Fakfak, dan sejauhmana kontribusinya dalam penguatan perdamaian? 3. Apa
saja
tantangan
yang
dihadapi
masyarakaat
Fakfak
dalam
mempertahankan integrasi sosial masyarakatnya di tengah perubahan sosial yang terus terjadi di Papua?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka ada tiga hal yang menjadi tujuan dalam penelitian disertasi ini. “Pertama”, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi factor-faktor determinan yang berperan dalam mengintegrasikan sebuah masyarakat. Faktor-faktor determinanan yang dimaksud di sini bisa agama, budaya (tradisi) ataupun sistem politik yang bekerja secara alamiah untuk memperkuat perdamaian. “Kedua”, penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisis proses penguatan (pelembagaan) nilai-nilai integrasi sosial dalam masyarakat Fakfak dan menjelaskan dampaknya terhadap
18
pembentukan masyarakat yang damai untuk memperkuat integrasi nasional di wilayah Papua. Hal ini secara praksis diharapkan akan memberikan masukan bagi proses penyelesaian berbagai permasalahan sosial yang terjadi di Papua. “Ketiga”, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Fakfak dalam mempertahankan integrasi sosial yang telah terjalin baik di antara mereka. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat ganda baik secara teoritis maupun praksis dalam pembangunan masyarakat yang damai dan harmonis di Indonesia. “Pertama”, secara teoritis penelitian ini akan memberi kontribusi penting dalam hal memeriksa dan mengkonsepsikan kembali teori-teori sosial tentang
integrasi sosial yang cenderung hegemonik, serta relevansinya
terhadap penguatan perdamaian dan harmoni sosial di masyarakat. Sebab konflikkonflik sosial bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang terjadi pasca reformasi perlu mendapatkan penjelasan teortis yang tepat sesuai dengan konteks perubahan sosial yang sedang beralngsung. “Kedua”, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan mafaat praksis yakni sebagai masukan informasi kepada para pengambil kebijakan untuk mencari solusi terbaik mengatasi berbagai konflik sosial, ekonomi dan politik yang sering terjadi di Papua. Konflik di Papua sudah saatnya dikelola dengan pendekatan-pendekatan yang demokratis, partisipatif dan memberdayakan, sehingga masyarakat diharapkan terlibat secara aktif dalam setiap usaha untuk menciptakan perdamaian di Papua. Demikian pula pada aras nasional, studi ini akan memberikan masukan kepada pemerintah untuk mengelola 19
keragaman dengan bijaksana dan tidak perlu ragu mengadopsi berbagai kearifan lokal sebagai bagian dari kebijakan pengendalian konflik sehingga memberi sumbangasih pada menguatanya integrasi nasional di seluruh Indonesia.
1.4. Studi Pustaka. Studi tentang integrasi sosial di Indonesia bukan merupakan topik atau tema yang baru. Studi tentang hal ini telah berlangsung lama, namun menjadi penting dan mengemuka setelah muncul konflik sosial bernuansa SARA yang melanda Indonesia sejak gerakan reformasi tahun 1998. Gerakan reformasi seakan membuka “Kotak Pandora”, sehingga berbagai potensi konflik yang selama ini dapat diredam melalui kekuatan represif Orde Baru, akhirnya muncul ke permukaan dalam bentuk konflik dan kekerasan yang terjadi di hampir semua tempat.
1.4.1. Studi Tentang Integrasi Sosial Sejauh ini terdapat sejumlah studi yang mencoba menjelaskan tentang fenomena konflik dan kekerasan dari
berbagai persepektif, terutama perspektif
sosiologi. Pendekatan sosiologi (konflik) biasanya menempatkan masyarakat dalam suasana yang selalu antagonistic, sehingga konflik dan disintegrasi sosial dipandang sebagai sesuatu yang akan selalu hadir (omni present) dan tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu diperlukan intervensi sosial untuk dapat menciptakan stabilitas sosial dan perdamaian. Pendekatan ini tentu menafikkan adanya kenyataan bahwa masyarakat juga memiliki mekanisme sosial dan modal sosial untuk selalu menciptakan integrasi sosial secara mandiri. Hal ini sejalan dengan paradigma baru integrasi sosial yang 20
didasari alam pikiran demokratis, dimana integrasi sosial dipahami sebagai suatu penerimaan sukarela terhadap setiap individu maupun kelompok untuk berperan aktif dalam kehidupan masyarakat tanpa membedakan etnisitas, agama, budaya dan juga jenis kelamin. Belum banyak yang mencoba mencermati dinamika masyarakat dewasa ini dengan menggunakan konsep baru tentang harmoni dan integrasi yang lebih demokratis. Sebagai gambaran dapat disebut beberapa studi di antaranya. Misalnya studi paling awal yang dilakukan oleh Nazaruddin Syamsudin (1989), tentang integrasi politik di Indonesia. Nazaruddin melakukan studi yang serius tentang factorfaktor yang mempengaruhi integrasi nasional di Indonesia. Menurut Nazaruddin, konsep integrasi nasional pada dasarnya mencakup dua persoalan mendasar. “Pertama”, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan dan kepentingan Negara. “Kedua”, bagaimana meningkatkan consensus normatif yang mengatur tingkalaku positif masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya. Studi Nazaruddin banyak mengulas tentang gerakan-gerakan politik yang mengancam integrasi nasional yang terutama di bahas adalah PRRI, Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka yang kesemuanya didasari oleh kesetiaan terhadap kelompok primordial. Penelitian Erni Budiwanti 1996, tentang Minoritas Islam dalam perspektif integrasi nasional di Desa Pengayam Bali Utara. Menurut temuan Erni, sebetulnya setiap masyarakat biasanya memiliki mekanisme sosial untuk mendorong integrasi sosial pada masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan komunitas 21
Muslim di Desa Pengayam yang mampu menyesuaikan diri dengan budaya Hindu Bali yang mayoritas. Mereka mampu menerima tradisi dan budaya Bali sebagaimana tercermin dalam nama-pertama maupun dalam jabatan-jabatan cultural di tingkat desa. Komunitas minoritas muslim Bali juga dapat menunjukkan penghormatan yang tinggi pada tradisi, kepercayaan dan berbagai taboo yang ada dalam kepercayaan masyarakat. Mereka, misalnya, turut memelihara suasana hening selama upacara Nyepi dan bergembira bersama dalam hari bersamaan seperti Galungan. Sementara itu beberapa penelitian terakhir yang berhubungan dengan integrasi sosial, misalnya yang dilakukan oleh Liber Siagian, Hedi Sri Ahimsa dan Syafiq Efendi di Kota Medan tentang integrasi sosial antar etnik dalam konteks ketahanan nasional pada tahun 2004. Berdasarkan penelitiannya, Liber dan kawan-kawannya berkesimpulan bahwa integrasi sosial yang terjadi dikota Medan merupakan hasil dari semangat toleransi yang terbangun dari komunikasi yang baik antar etnis-etnis yang berbeda di Kota Medan. Kajian yang sama juga pernah juga dilakukan oleh kelompok peneliti yang tergabung dalam Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2011. CSRC mempublikasikan hasil kajian yang berjudul Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial yang menegaskan bahwa sebetulnya masih banyak praktik-praktik terbaik (best practices) dalam masyarakat Indonesia yang berhasil melindungi kekebasan beragama dan berkeyakinan yang mendorong terciptanya integrasi sosial yang lebih baik. Seperti tradisi Bela Baja di Pantar, Nusa Tenggara Timur yang mampu membentengi masyarakat dari provokasi 22
yang ingin memecah belah umat Islam dan Kristen di sana. Atau praktik Pecalang di Bali yang berfungsi mengjaga ruma-rumah ibadah pada saat hari-hari besar agama lain. Kajian ini secara sepesifik ingin mempromosikan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia. 1.3.1. Studi Integrasi Sosial dalam Konteks Papua Dalam konteks lokal di Papua, ada beberapa studi dan hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Penggambaran paling awal tentang masyarakat Papua yang identik dengan ras Melanesia dikemukakan oleh para Antropolog, seperti; Kondjaraninggrat, Sutarga, dan Ajamiseba (1994). Dalam Seri Etnografi
Indonesia
5,
“Irian
Jaya
Membangun
Masyarakat
Majemuk,”
Koendjaraninggrat dan Sutarga (1994:110-116) menulis tentang kebinekaan ras penduduk Papua, sedangkan Ajamiseba menulis tentang kebinekaan
bahasa di
Papua. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kebinekaan ciri-ciri ras penduduk Irian Jaya sangat jelas terlihat pada ciri-ciri ras fenotip mereka seperti warna dan bentuk rambut. Sementara itu, Ajamiseba (dalam Koencaraningrat, 1994:119-122) mengatakan adanya 234 bahasa orang Papua dimana sebagian (19,5%) termasuk rumpun bahasa Melanesia. Berdasarkan data tersebut maka Koencaraningrat, Sutarga, Ajamiseba berpendapat bahwa masyarakat Papua bersifat majemuk berdasarkan ciri-ciri fisik dan bahasa. Studi berikutnya yang dilakukan oleh tim peneliti Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) di Wamena, sebagaimana telah dipublikasikan pada tahun 2006, dengan Judul Partisipasi, Kohesi Sosial, dan Resolusi Konflik; 23
Pengalaman dari Wamena Papua. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa kondisi masyarakat dengan kohesi sosial yang rendah sebagaimana yang terjadi di Wamena merupakan hasil kontenstasi berbagai factor yang kompleks dan saling terkait; seperti lumpuhnya kepemimpinan tradisional, kesenjangan ekonomi serta diskriminasi sosial dan politik. Artinya rendahnya kohesi sosial di Papua, bukan merupakan suatu hal yang “given”, tetapi merupakan by product dari persoalanpersoalan di tingkat nasional dan lokal. Dengan kata lain, kebijakan nasional yang dituangkan dalam program-program pembangunan, yang dirumuskan di tingkat pusat sangat berpengaruh terhadap kondisi integrasi maupun disintegrasi masyarakat di Papua. Penelitian tentang faktor-faktor penyebab konflik di Papua dapat dilihat pada hasil penelitian Tim LIPI (2008) yang dipublikasikan dengan judul Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. Penelitian tersebut menjelaskan secara komprehensif bahwa konflik di Papua mencakup empat isu strategis yang saling terkait sebagai berikut: sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya pembangunan di Papua; dan inkonsistensi dalam implementasi Otsus serta marjinalisasi orang Papua. Tim LIPI menawarkan Rekognisi dan pemberdayaan orang asli Papua, merubah paradigma pembangunan yang lebih melayani dan menghormati orang Papua, mebangun dialog yang partisipatoris hingga membuat rekonsiliasi yang mengungkap secara jelas kebenaran dan pertanggungjawaban hokum berbagai pelanggaran HAM di Papaua. 24
Disertasi
Bernarda
Materay (2012)
yang diterbitkan dengan
judul
Nasionalisme Ganda Orang Papua, juga mengungkapkan sejarah konflik Papua yang berakar pada kontestasi pengaruh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah republik Indonesia. Pengaruh tersebut malahirkan nasionalisme ganda di kalangan orang-orang Papua. Persemaian nasionalisme Papua oleh pemerintah kolonial melalui partai politik dan kampanye cultural yang menegaskan edintitas ras melanesia yang berkulit hitam legam dan berambut keriting. Sedangkan kampanye nasionalisme Indonesia menurut Bernard, tidak sistematis dan sangat terbatas tanpa klaim kultural yang jelas. Inilah yang menjelaskan mengapa kelompok nasionalis Papua cenderung militan dan dapat bertahan dalam tekanan kekuasaan pemerintah Indonesia. Tesis Cahyo Pamungkas (2008) tentang Papua Islam dan Otonomi Khusus menjelaskan tentang usaha orang-orang Papua Islam yang minoritas untuk menegosiakaan identitas keagamaan mereka di tengah masyarakat Papua yang mayorotas beragama Kristen. Usaha terus ditunjukkan dengan merumuskan jati dirinya secara fleksibel, yaitu memadukan antara ke-Islaman dan ke-Papuan, mengkontestasikan identitas budayanya dengan Muslim pendatang dan Kristen Papua dalam arena politik identitas. Studi ini menunjukkan bahwa identitas budaya seperti etnik dan agama, tidak hanya berfungsi sebagai penanda objektif, tetapi juga kekuasaan simbolik. Identitas tersebut dikonstruksi, dikontestasikan dan digunakan sebagai instrumen politik. Implikasinya, konstruksi identitas diperlukan untuk melegitimasi relasi dominasi dalam ranah kekuasaan objektif.
25
1.3.2. Studi Spesifik tentang Fakfak Selama ini kajian-kajian tentang Fakfak belum banyak dilakukan, terdapat dua kemungkinan yang menyebabkan kondisi tersebut. “Pertama”, studi-studi tentang Papua lebih fokus pada isu konflik dan wacana-wacana besar yang menjadi perbincangan di pusat-pusat kekuasaan di Jayapura atau Manokwari, sehingga kurang memberi tempat pada daerah-daerah “pinggiran” seperti Fakfak. “Kedua”, hal ini membuat banyak peneliti sangat minim pengetahuan dan kurang mengenal berbagai suku bangsa di Papua dengan dinamika sosial dan keunikan budayanya yang berbedabeda. Akan tetapi penelusuran literatur yang dilakukan dalam penelitian ini menemukan publikasi yang telah dihasilkan oleh dua orang peneliti asli Fakfak sebagai bagian dari tesis dalam studi pascasarjana. “Pertama”, studi yang dilakukan J.F. Onim (2006) tentang sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di tanah Papua yang mengambil lokasi di wilayah Fakfak. Peneltian Onim memberikan banyak informasi penting tentang bagaiamana interaksi kedua agama tersebut sejak awal kedatangannya di Papua. Bahwa perjumpaan Islam dan Kristen telah melahirkan sebuah hubungan keagamaan yang unik, karena dari situ justru muncul toleransi antara umat beragama di Fakfak. Namun Onim tidak menjelaskan bagaimana masyarakat Fakfak mempertahankan dan melembagakan nilai-nilai tersebut dalam praktik kehidupan mereka. “Kedua”, studi antropologis yang dilakukan oleh Suparto Iribaram (2011), yang berjudul Satu Tungku Tiga Batu (Kerjasama Tiga Agama dalam Kehidupan Beragama di Fakfak), memiliki relevansi yang cukup penting dengan penelitian ini. 26
Iribaram menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mendukung kerukunan beragama di Fakfak adalah filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Tradisi ini merupakan pengejawantahan dari hubungan yang harmonis antara tiga agama; Islam, Kristen dan Katolik di Wilayah Fakfak. Studi Iribaram merupakan salah satu pintu masuk untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana kebijaksanaan lokal (local wisdom) tersebut melembaga dan berperan dalam memperkuat integrasi sosial di Kabupaten Fakfak Papua Barat. Bila kita memperhatikan paparan berbagai studi dan penelitian tersebut, maka paling tidak terdapat dua hal yang belum memperoleh perhatian secara memadai. “Pertama”, studi tentang integrasi sosial masih mengedepankan model integrasi politik yang menjadikan hubungan antara negara dan masyarakat sebagai objek kajian. Integrasi sosial model ini (versi Orde Baru) berkembang menjadi politik penundukan yang memaksa individu dan kelompok kecil melebur dalam kelompok arus besar. Dalam hal ini keragaman dalam masyarakat belum dilihat sebagai modal sosial dan kultural yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang demokratis di Indonesia. “Kedua”, Berbagai penelitian tentang Papua yang ada selama ini, masih didominasi oleh wacana dominan tentang konflik. Papua masih dilihat sebagai wilayah penuh konflik sehingga perlu ditangani secara sistematis melalui kebijakan politik semata.
Padahal berbagai narasi kegagalan kebijakan
tentang Papua, seharusnya mendorong kita untuk mengkaji lebih mendalam tentang alternatif lain untuk mengelola potensi konflik di Papua dengan mengedepankan spirit sosio-kultural yang selama ini telah berkembang di Papua. Oleh sebab itu untuk 27
mengisi ruang kosong tersebut maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian tentang integrasi sosial pada masyarakat Papua dengan menetapkan fokus pada dinamika perdamaian yang terjadi pad masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat.
1.5.
Kajian Konsep dan Teori Reformasi politik 1998 membawa berbagai perubahan politik yang cukup
mendasar bagi kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk memberikan otonomi dan kewenangan yang lebih luas kepada daerah, dalam banyak hal telah membuka ruang bagi tumbuhnya kesadaran-kesadaran identitas; etnisitas, agama dan budaya. Di tingkat lokal, menguatnya politik identitas yang disertai kekecewaan sosial politik, sering melahirkan ketegangan, konflik sosial, disintegrasi dan disharmoni yang meluas di tengah masyarakat. Segera tampak bahwa bangunan politik perdamaian yang dibangun rezim Orde Baru ternyata memiliki kelemahan dan menyimpan berbagai potensi destruktif yang muncul bersamaan dengan melemahnya negara. Beberapa jawaban kuncinya adalah, “pertama”, karena politik integrasi dan harmoni yang dibangun oleh rezim Orde Baru cenderung mengedepankan asas persamaan dan penyeragaman. Sebab itu slogan yang muncul adalah persatuan dan kesatuan dengan menampilkan simbol-simbol tunggal yang didominasi oleh tafsir negara. “Kedua”, untuk membungkam perbedaan maka digunakan pendekatannnya represif dari unsur-unsur keamanan, demikian juga sentralisasi terhadap semua proses
28
sosial, politik dan ekonomi. Daerah-daerah hanya menjadi perpanjangan tangan negara yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat dalam sebuah hubungan yang bersifat komando. Maka begitu keran kebebasan dibuka terkuaklah semua kelemahan sistemik tersebut, dan bersamaan dengan itu muncul konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Namun demikian, beberapa daerah berhasil mengelola
keragamannya
dengan
cara-cara
yang
tepat
sehingga
berhasil
mempertahankan perdamaian di tengah keragaman masyarakatnya. Dalam studi ini konsep damai atau perdamaian dipakai untuk menjelaskan satu situasi dimana kekerasan dapat dicegah dalam relasi sosial masyarakat. Kekerasan merupakan bentuk yang paling nyata dari rusaknya perdamaian dalam masyarakat, sebagai akibat dari ketidakmampuan mengelola perbedaan. Namun lebih fundamental lagi perdamaian pada dasarnya bukan saja terkait dengan absentnya kekerasan, tetapi lebih dari itu perdamaian berkaitan dengan meningkatnya kualitas kehidupan karena keadilan dan kesejahteraan sosial berhasil diwujudkan. Itulah sebabnya dalam studi perdamaian, misalnya yang dilakukan Jhon Galtung (2011), perdamaian dibedakan menjadi dua katogeri. Pertama adalah perdamaian negatif, yaitu pengendalian terhadap konflik dan kekerasan, dan kedua, perdamaian positif dimana terdapat kebebasan dan keadilan yang dirasakan wrga masyarakat tanpa memandang suku, agama, budaya atau kelas sosial. Selain konsep perdamaian juga digunakan konsep harmoni yang dimaknai sebagai sebuah konsep sosial yang menjelaskan situasi dimana berbagai suku, agama dan budaya dapat mengekspresikan identitas sosialnya tanpa ada dominasi atau 29
intimidasi dari kelompok lain. Masyarakat harmonis yang dimaksudkan di sini adalah sebuah kondisi masyarakat yang meskipun berbeda-beda (suku, agama, bahasa dan golongan), tetapi dapat bekerjasama dan saling berinteraksi dalam sebuah kehidupan sosial yang saling menjaga. Dalam masyarakat yang harmonis masing-masing individu memiliki kesadaran yang tinggi tentang keragaman dan berusaha untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama daripada mempermasalahkan perbedaaanperbedaan. Konsep harmoni yang akan dikonseptualisasi dalam tulisan ini adalah sebuah situasi yang terbentuk secara partisipatif, sebab masyarakat terlibat didalamnya dengan penuh kesadaran. Hal ini untuk membedakan konsep harmoni hegomonik yang terhadi selama kekuasaan Orde Baru5. Studi ini dilakukan untuk memahami dan menjelaskan fenomena perdamaian pada sebuah masyarakat lokal di Papua, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat dalam konteks integrasi sosial. saat ini wilayah Fakfak dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat yang aman, damai dan harmonis di tengah situasi sosial dan politik di Papua yang penuh konflik dan kekerasan. Masyarakat Fakfak ternyata memiliki semacam strategi pertahanan diri sehingga mampu mengelola berbagai perbedaan dan potensi konflik di wilayahnya. Menurut penulis, fenomena Fakfak tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tetapi banyak faktor yang saling terkait dan memberikan kontribusi pada perdamaian, seperti nilai5
Dalam studi ini konsep harmoni tetap dipakai, namun dibedakan secara tegas dengan konsepsi harmoni yang dipersepsikan rezim Orde Baru. Harmoni sosial dalam pendekatan rezim Orde Baru adalah sebuah proyek politik yang dibangun untuk menjamin keberlangsungan pembangunan dan eksistensi kekuasaan. Harmoni sosial dibentuk dan dirawat lewat tangan-tangan kekuasaan yang menetralisir semua perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik. Negara menjadi dominan dan penafsir utama apa yang disebut harmoni sosial.
30
nilai kearifan lokal, agama, sejarah, ekonomi dan politik. Penting pula untuk menjelaskan adalah bagaimana faktor-faktor integratif tersebut melembaga dan membentuk praktik-praktik sosial. Oleh sebab itu untuk menganalisis dan menjelaskan fenomena Fakfak tidak bisa dengan satu pendekatan teoritik tertentu saja, tetapi harus melibatkan sejumlah teori dan konsep yang saling terkait untuk membangun sebuah landasan teoritis yang kuat. Secara umum teori utama yang dipilih sebagai grand theory dalam memahami fenomena yang menjadi locus penelitian ini adalah teori integrasi sosial (sosial integration). Namun untuk menjelaskan fenomena integrasi sosial yang terjadi di Papua, maka grand theory tersebut akan diperkuat oleh beberapa teori dan konsep lain yang memiliki relevansi dalam studi ilmu sosial tentang masyarakat, seperti teori tentang konflik dan teori tentang konstruksi reproduksi sosial. Berikut ini akan dijelaskan konsep-konsep kunci dari teori tersebut sehingga membentuk sebuah kerangka teoritik yang diperlukan untuk menjelaskan fenomena integrasi sosial yang terjadi pada masyarakat Fakfak Papua Barat. 1.5.1. Konsepsi Integrasi Sosial Integrasi (integration) merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris yang mempertahankan makna kata aslinya integrat dalam bahasa Latin, berarti menyatukan berbagai komponen dalam satu entitas (Nazarudin, 1989). Istilah integrasi sosial pertama kali digunakan sebagai konsep ilmiah oleh Emile Durkheim, sosiolog Perancis yang disebut-sebut memulai tradisi fungsionalisme dalam sosiologi. Menurut Masumura (1977), Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan 31
fenomena lebih tingginya tingkat bunuh diri di lingkungan masyarakat Protestan dibandingkan masyarakat Katolik. Durkheim menyimpulkan bahwa tingkat integrasi sosial berperan dalam menjelaskan perbedaan ini. Masyakat Protestan lebih tinggi tingkat bunuh dirinya karena tingkat integrasi sosial mereka rendah, sementara masyarakat Katolik tingkat integrasi sosial mereka normal. Durkheim tidak memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang apa yang dimaksudnya dengan integrasi sosial, tetapi para pengulas pemikirannya menyimpulkan bahwa integrasi sosial yang dimaksud Durkheim adalah kondisi dimana masyarakat bisa mengaitkan dirinya dengan anggota kelompok masyarakat lain. Secara sosiologis teori integrasi sosial merupakan bagian dari paradigma fungsionalisme yang diperkenalkan Talcot Parson (1927-1979). Paradigma ini mengandaikan bahwa masyarakat berada dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka dalam keseimbangan (equilibrium). Masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unit sosial yang merupakan sebuah kesatuan. Hal ini tercermin dari dua pengertian dasar integrasi sosial yaitu, “pertama”, pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, dan “kedua”, menyatukan unsur-unsur tertentu dalam suatu masyarakat sehingga tercipta sebuah tertib sosial (social order) (Ritzer, 2009:258). Dari sini bisa dilihat bahwa konsep integrasi sosial merupakan sebuah proses horizontal yang berlangsung dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Proses ini ingin mengintegrasikan antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan– perbedaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor teritorial/kultur, agama, kepentingan, 32
kelas sosial dan sebagainya, dengan mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan oleh factor-faktor tersebut. Integrasi sosial lazim dikonsepsikan sebagai suatu proses ketika kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik. Kelompok-kelompok sosial tersebut bisa terwujud atas dasar agama dan kepercayaan, suku, ras dan kelas. Selama ini integrasi sosial merupakan sebuah konsep yang cukup dilematis, dan banyak mendapat kritik. Konsep integrasi sosial sering dipengaruhi oleh wacana kekuasaan tentang penyatuan dalam sebuah kesatuan identitas. Suatu tafsir sosial yang menonjolkan adanya penundukan terhadap kekuatan-kekuatan minoritas untuk tunduk dan menyatu di bawah kuasa identitas yang mayoritas. Maka sebagai kelanjutan dari cara pandang yang demikian itu, dikedapankan konsep asimilasi, dimana identitas dan kebudayaan yang minoritas lebih diharapkan menyatu dengan identitas budaya yang mayoritas. Dalam studinya tentang Integrasi nasional, Nazaruddin Syamsudin (1989) menyebutkan bahwa integrasi sosial adalah bagian dari konsep integrasi nasional yang pada dasarnya mencakup dua persoalan mendasar. Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan dan kepentingan
bersama
yakni
berbangsa
dan
bernegara.
Kedua,
bagaimana
meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku positif masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya. Pandangan Nazaruddin, sejatinya mewakili banyak ilmuwan politik pada zamannya yang memandang negara sebagai satu-satunya entitas sosial politik yang harus dirawat eksistensinya, meskipun dalam 33
proses tersebut secara tidak terelakkan mengabaikan keragaman dan perbedaan yang telah menjadi fakta sosial di Indonesia. Paradigma semacam ini yang kemudian mendorong lahirnya kebijakan politik asimilasi (pembauran) nasional. Pembauran harus dilakukan untuk menghilangkan sentimen-sentimen primordialisme. Pendeknya politik asismilasi adalah jembatan untuk meretas perbedaan dan antagonisme di dalam masyarakat. Melalui kebijakan ini diharapkan sentimen dan semangat kolektif atau segala atribut politik identitas yang tidak bersebadan dengan negara diluruhkan. Setiap warga negara pada saat yang sama adalah sebuah warga bangsa, dimana sentimen kebangsaan tidak boleh berada di luar jangkar politik negara. Itulah pijakan paling mendasar bagi eksistensi negara yang dalam kata-kata Ernest Gellner (John Hall (ed.), 1998), merupakan prinsip ideologi yang utama, suatu prinsip ideologi yang mau tidak mau pasti akan berlangsung melalui proses homogenisasi kultural. Sejak reformasi 1998 yang ditandai dengan demokrasi dan demokratisasi yang mendorong wacana keterbukaan, maka banyak ilmuan mengkritik konsep integrasi sebagai bagian dari wacana kekuasaan yang cenderung hegemonik itu. Secara sarkarstis konsep integrasi sosial dianggap sebagai konsep ilmu sosial yang telah kehilangan konteksnya, di tengah tuntutan demokrasi dan penghormatan terhadap perbedaan. Maka setiap studi yang mempromosikan integrasi sosial dianggap sebagai aktifitas teoritis yang membosankan dan tidak menarik, sebab cenderung mengesahkan adanya status quo. Padahal menurut penulis, yang diperlukan oleh ilmuan sosial adalah melepaskan sebuah konsep keilmuan dari tafsir 34
kekuasaan yang selama ini menghegemoninya. Sebagaimana ditegaskan oleh sosiolog Heru Nugroho (2011:178), para ilmuan sosial dewasa ini memerlukan perimbangan wacana publik secara seimbang dengan cara ikut serta dan terlibat dalam diskursus tentang keragaman, tanpa harus ada pemaksaan dari negara terhadap masyarakat sipil. Pada dasarnya studi ini merupakan upaya untuk melakukan kritik terhadap konsepsi integrasi sosial rezim Orde Baru yang masih kuat dengan paradigma fungsionalisme Parsonian tentang keseimbangan sosial (social equilibrium) yang menyederhanakan masyarakat berdasarkan fungsi-fungsi yang bekerja secara statis. Studi ini mencoba mendudukan kembali konsep integrasi sosial dalam alam pikiran demokratis, yang melihat perbedaan sebagai realitas politik dalam masyarakat sebagai sesuatu yang given, dan oleh sebab itu mesti dikelola dengan cara-cara yang demokratis
pula.
Pandangan
demokratis
terhadap
konsep
integrasi
sosial
meniscayakan bahwa perbedaan tidak boleh dibunuh tetapi dibiarkan saling berinteraksi, meskipun dalam proses tersebut terjadi dinamika yang kontestatif. Dengan begitu keseimbangan sosial yang tercipta bukanlah sebuah konsep yang statis karena dikendalikan oleh sebuah sistem yang dominan dan hegemonik, namum merupakan sebuah keseimbangan yang dinamis yang menghubungkan unsur-unsur dalam masyarakat. Melalui dinamisasi yang terjadi maka tercipta nilai-nilai bersama yang menjadi dasar bagi proses integrasi sosial yang genuin dalam masyarakat. Berkaitan dengan cara pandang tersebut, maka studi ini akan memanfaatkan konsepkonsep sosial dari beberapa ilmuan yang mengusulkan nilai-nilai baru yang demokratis sebagai dasar bagi integrasi sosial. 35
1.4.1.1 Sumber Nilai Integrasi Sosial; Moral Contract, Kearifan Lokal dan Agama Salah satu ilmuan sosial yang membicarakan integrasi sosial dengan pendekatan yang baru adalah Biku Parekh. Dalam bukunya A New Politics of Identity, Parekh menjelaskan bahwa proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat hanya dapat tercipta bila terdapat kesepakatan dari sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial (2008:8487). Parekh menyebut nilai-nilai fundamental itu dengan istilah a moral contract (kontrak moral). Kontrak moral adalah ketaataan terhadap nilai-nilai yang menjadi platform bersama dalam masyarakat, sehingga membentuk semacam kepemilikaan bersama atas nilai-nilai tersebut. Ia menjadi titik temu perbedaan yang harus ditaati dalam sebuah masyarakat untuk menjamin tegaknya perdamaian. Parekh (2008:87) menulis, “..... how immigrant (society) can be assimilated or integrated, we should ask how they can become equal citizens and be bound to the rest by the ties of common belonging. Common belonging refers to abroadly shared feeling among the citizens that they form part of the same community, belong together, share common interests, are bound to each other by common systems of right and obligation, depend on each other for their well-being, and wish to live together on peace for the foreseeable future”. Nilai-nilai moral yang menjadi norma bersama bisa berasal dari nilai-nilai agama atau budaya yang telah berkembang dalam sebuah masyarakat dalam waktu yang lama. Nilai-nilai tersebut bisa merupakan hasil negosiasi dalam sebuah realasi sosial yang saling mempengaruhi.
36
Meskipun pandangan Parekh sejalan dengan pandangan para penganut fungsionalisme yang mempercayai bahwa struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental (Ritzer, 1992). Namun bagi Parekh, proses pembentukan nilai tidak boleh direpresi oleh sebuah kekuatan dominan. Pembentukan nilai bersama haruslah merupakan sebuah proses yang dinamis dalam masyarakat yang multikultur, sehingga terbentuk nilai-nilai secara alami yang melahirkan rasa memiliki (belonging) dalam masyarakat. Seperti konsepsi tentang nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi dasar bagi hubungan sosial di tingkat lokal. Kearifan lokal adalah suatu sintesis budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang dinamis dan berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi terhadap budaya dan ajaran-ajaran agama yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat (Ahmad, 2006: 102). Dalam pengertian yang lain, Syamsul Maarif (2013) memberikan devinisi yang singkat tentang kearifan lokal sebagai berikut: A systematic means consisting of a set of values and practices that a community uses to reach its communal ideals, i.e. cohesiveness and solidarity. Jadi kearifan lokal bisa menjadi alat kohesifitas dan solidaritas dalam sebuah masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan ideal mereka. Kearifan lokal dapat berupa institusi, simbol-simbol, ritual adat, kata-kata bijak, dan pepatah yang memiliki makna tertentu. Di sejumlah daerah, sebagian kearifan lokal ada yang masih dalam
37
bentuk aslinya, ada juga yang merupakan reka cipta kearifan lokal baru (institutional development), dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu, yang terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial-politik dalam masyarakat (Amri Marzali, 2005). Pengembangan institusi ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal secara partisipatif, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur-unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Konsensus berdasarkan nilai-nilai lokal merupakan sumber moralitas bersama yang diyakini sebagai salah satu faktor yang memungkinkan masyarakat berada dalam keseimbangan. Sementara itu agama juga menjadi sumber nilai yang sangat penting dalam integrasi sosial, karena menurut Emile Durkheim (2008), hakikat agama secara fungsional merupakan sumber pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan dan ritus. Melalui simbol-simbol yang sifatnya suci, agama mengikat orang-orang yang terpecah kedalam berbagai kelompok masyarakat untuk terikat dalam satu kesamaan identitas. Bahkan dalam The Elementary Forms of Religious Life (2001), Durkheim mengatakan “pada dasarnya ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama”. Agama sebagai sumber nilai dalam masyarakat juga disebutkan sosiolog seperti Max Weber (1958) yang mengakui bahwa nilai-nilai etik Protestanisme tentang keselamatan telah menjadi pendorong tumbuhnya kapitalisme di Eropa Barat. Demikian juga Robert N. Bellah (1967:3-4), ketika mengidentifikasi elemen-elemen 38
umum oriantasi keagamaan yang dimiliki mayoritas terbesar orang Amerika. Bellah menunjukkan bagaimana dimensi keagamaan menjadi dasar bagi kearifan teologi dan sosial, yang selanjutnya dijadikan dasar keagamaaan publik (civic religion). Apa yang bisa dicatat dari studi Bellah adalah bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal bisa membentuk struktur kehidupan masyarakat yang akan menjadi perspektif baru bagi bentuk konseptualisasi teologi dengan kerangka dan konteks kultur lokal. Dalam kultur masyarakat Indonesia yang religius dan multi agama, peluang untuk mengembangkan nilai-nilai agama yang postif untuk membangun masyarakat yang integratif dimungkinkan dengan mengidentifikasi nilai-nilai keagamaaan yang bisa menyumbang pada kerjasama, kerukunan dan perdamaian. Meskipun dalam satu dasawarsa terakhir kita menyaksikan wajah agama yang menyeramkan karena dibalut amarah umatnya yang cenderung membangun militansi dan radikalime atas nama agama. 1.4.1.2 Relasi dalam Proses Integrasi sosial; Civic Association Secara sosiologis masyarakat bisa terintegrasi bila mereka menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation), sehingga selalu terhubungkan dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka. Setiap kemungkinan konflik yang terjadi di antara kesatuan sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial. Dalam hal ini agama bisa menjadi alat afiliasi sosial yang kuat, kesamaan agama memungkinkan individu-individu yang berbeda etnis, bahasa dan budaya bisa saling menerima dan bekerjasama. Di daerah 39
transmigrasi seperti di Bomberay Kab. Fakfak, masyarakat yang berasal dari Jawa, meyakini bahwa mereka bisa diterima oleh masyarakat pribumi yang tinggal di sekitar lokasi transmigrasi karena adanya kesamaan agama. Solidaritas atas nama agama Islam menyelamatkan mereka pada saat terjadi ketegangan sosial yang luas di Papua pada tahun 2000-2002. Akan tetapi agama sebagai alat afiliasi sosial memiliki kelemahan, karena membangun integrasi dalam masyarakat yang memiliki kesamaan identitas agama, cenderung mengkesampingkan kelompok lain yang berbeda agama. Oleh sebab itu, dalam masyarakat yang memiliki integrasi sosial yang kuat, kesatuankesatuan sosial dalam masyarakat harus tersedia dalam jumlah yang banyak dan beragam. Masyarakat juga memerlukan kesatuan sosial yang lain yang melintasi sekat-sekat agama. Masyarakat memerlukan sebuah struktur social yang mengikat seperti diidentifikasi Petter Blau (1984) sebagai social circle affiliation, karena perbedaanperbedaan etnis, agama bahkan kelas social dapat dicairkan oleh sistem social yang mengikat tersebut. Penelitian Asutosh Varsney (2003) tentang konflik social antar Hindu dan Muslim di India, menjelaskan mengapa sebagian kota di India begitu rentan dengan konflik komunal sementara yang lainnya bisa mempertahankan kerukunan antar kelompok. Ada satu faktor yang dimiliki oleh hampir semua kota yang damai itu, yang disebut Varsney sebagai civic association, yaitu pola relasi lintas etnik, baik yang terorganisasi (organized civic network) atau yang muncul dalam kehiduapan sehari-hari (everyday civic network). Varsney sebagaimana dikutip
40
Iqbal Ahnaf (2013) menjelaskan kedua bentuk civic association tersebut sebagai berikut: The former (everyday civic network) include a variety of assocional forms of engagement between different etnics groups, as realized through bussiness association., profesional organization, reading clubs, film clubs, nongovernmental organization, trade unions, and political parties. By contrast, everydays form of engagement includ simple routine interaction of neighbourhood lifes, such us families from different etnic groups sharing meals together or visiting each other, participating in joint festival, and permitting their children to play together. If robust, both form of engagement promote etnic peace. Of the two, however, assocional forms are sturdier than everyday forms us bulwarks against etnic violence. Vigorous associatonal or organizational life can act as a serious constraint against the polarizing strategies of political elites intent on manipulating ethnic conflict for thei owen political purposes (Varsney, 2003) Masyarakat di kota-kota tersebut terlibat dalam organisasi-organisasi yang anggotanya beragam (lintas kelompok). Selain itu, tersedia ruang public yang bebas untuk manfasilitasi keterikatan antar kelompok warga yang memiliki latar belakang agama, identitas dan kelompok social yang berbeda. Tidak hanya itu ada kesadaran di tingkat massa maupun pemuka masyarakat untuk berpaling pada dialog. Di sini dialog terjadi karena adanya kepercayaan (trust), pengakuan (recognition) dan kesetaraan (equality) antar warga masyarakat. Modal utama lahirnya integrasi sosial dalam masyarakat adalah adanya kepercayaan (Trust). Jika ada kepercayaan maka kelompok yang berbeda dalam masyarakat tidak akan terlibat dalam aksi kekerasan kepada yang lain. Kepercayaan juga akan membuat masyarakat yang berbeda akan bersedia untuk mendirikan organisasi-organisasi yang anggotanya beragam dan mau bekerjasama dengan mereka. Saling percaya juga akan menimbulkan iklim dialog terlebih dahulu dalam 41
menyelesaikan perselisihan karena yakin kelompok yang lain juga berfikir hal yang sama. Penelitian Varsney jelas menunjukkan bahwa trust adalah modal utama bagi penduduk kota-kota yang rukun untuk mempertahankan kerukunan dan perdamaian di tempat mereka (Pranawati, 2011:11). Integrasi sosial juga membutuhkan nilai lainnya yakni pengakuan (recognition) terhadap absahnya perbedaan dan hak bagi perbedaan itu untuk hidup dalam masyarakat. Dengan adanya pengakuan seperti itu, maka lahir sikap yang toleran terhadap perbedaan.
1.5.2. Teori Konflik dan Konsensus Meskipun studi ini secara faktual adalah studi perdamaian, tetapi penulis menganggap perlu untuk menggunakan konsep tertentu dari teori konflik untuk menganalisis masyarakat yang semakin dinamis. Konflik dalam masyarakat yang dinamis adalah bagian yang tak terpisahkan dari fenomena social, atau dalam bahasa Ralf Dahrendrof (Ritzer, 2009) konflik adalah fenomena social yang selalu hadir (inherent omni presence) dalam setiap masyarakat manusia. Perbedaan pandangan dan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat merupakan fenomena sosial yang alamiah dan tidak terhindarkan. Konflik dipercaya sebagai konsekwensi dari adanya perbedaan yang sudah merupakan hukum alam (sunnatullah) yang berlaku pada semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Hakekat perbedaan watak dan kecenderungan manusia itulah yang sering mengakibatkan terjadinya konflik. Para teoritisi Marxian menganggap konflik dibutuhkan -bahkan perlu diciptakan- agar terjadi proses dialektika untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
42
Pandangan tersebut mengandaikan bahwa konflik adalah fenomena yang selalu hadir, sekalipun dalam sebuah masyarakat yang sangat harmonis. Di sini terdapat dua kemungkinan, “pertama”, pada masyarakat yang harmonis konflik tidak menimbulkan kekerasan dan hanya muncul dalam bentuk pertentangan, kontestasi dan kompetisi. Atau seperti yang dibayangkan Pierre Bourdieu (1991) konflik hanya terjadi dalam bentuk symbolic, dimana terjadi perebutan wacana, dominasi dan hegemoni. “Kedua”, sejatinya ditemukan potensi konflik namun suatu kelompok masyarakat memiliki kemampuan untuk mengelola situasi konfliktual tersebut dengan baik, sehingga tidak menimbulkan ekses kekerasan. Hal ini sejalan dengan padangan Giddens (2002:116) yang menyebutkan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah manifestasi dari suatu konflik yang tidak terlembaga (un-institutionalized conflict). Sementara keadaan sebaliknya, yaitu konflik yang terlembaga dengan baik (institutionalized conflict), akan dapat diselesaikan dengan cara-cara damai dan demokratis. Dengan demikian studi terhadap terhadap konflik tidak mesti berpusat pada manifestasi kekerasan, namun juga mencermati proses-proses relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat yang sering diwarnai kontestasi dan negosiasi untuk menemukan keseimbangan. Seperti
yang didevinisikan dalam International
Dictionary, “Clash, competition, or mutual interference or incompatible, force or qualities (as idea, interest, will)”. (Bahwa konflik memiliki cakupan yang cukup luas meliputi pertentangan atau bentrokan, persaingan atau gangguan oleh kelompok secara fisik atau benturan antara kekuatan-kekuatan yang sulit didamaikan atau 43
pertentangan-pertentangan dalam tataran kualitas seperti ide-ide, kepentingankepentingan
atau
kehendak-kehendak).6
Pengertian
ini
menghendaki
agar
pembahasan teoritik tentang konflik harus dianalisis dari berbagai paradigma (sudut pandang). Para sosiolog biasanya memahami konflik dalam paradigma fakta. Yaitu sebuah pemahaman yang mempercayai bahwa manusia pada prinsipnya tunduk dan mengikuti fakta sosialnya. Pandangan seperti ini menyoroti bahwa wewenang dan posisi dalam fakta sosial merupakan sumber pertentangan sosial, karenanya merupakan sentral dari teori konflik (Robert A. Levine dan Donalt T. Campbell, 1972:17). Perbedaan posisi itu pada gilirannya dapat memicu timbulnya konflik dalam masyarakat. Ide-ide pokok dari teori konflik, menurut Ritzer (2009) dapat dirinci menjadi tiga hal, yaitu “pertama”, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh adanya pertentangan terus menerus di antara unsur-unsurnya. “Kedua”, Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. “Ketiga”, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa 7. Jadi sekali lagi harus ditegasan bahwa konflik tidak selalu hadir dalam bentuk-bentuk
6
lihat, International Dictionary, Meriam – Webster Inc. Publisher, 1993 Perspektif sosiologis ini berbeda dengan perspektif strukturalis yang bersandar pada tiga pemikiran pokok. Pertama, masyarakat berada dalam kondisi statis atau bergerak dalam kondisi keseimbangan. Kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Ketiga, anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum (Ritzer, 1992: 72) 7
44
kekerasan, karena ia bisa hadir dalam bentuk-bentuk pertentangan yang bersifat simbolik. Tampaknya
teori
konflik
merupakan
resistensi
atas
konservatisme
fungsionalisme struktural yang dianggap sulit untuk menjelaskan proses perubahan sosial yang dinamis dalam sebuah masyarakat. Namun seperti yang diungkap Dahrenrof (Ritzer, 2009:282) teori konflik memiliki sisi yang lain yaitu konsensus. Konflik hanya dapat dikelola dengan memperkuat konsensus dalam sebuah masyarakat. Teori konsensus digunakan untuk menelaah negosiasi dan relasi yang terjadi dalam masyarakat yang menghadirkan nilai-nilai yang mendorong mereka pada struktur sosial yang damai (Maswadi Rauf, 2000:15). Dengan kata lain konflik yang hebat sekalipun memiliki peluang untuk dapat dipadamkan atau didamaikan dengan mengkombinasikan dua pola sekaligus. “Pertama”, membangun konsensus yang mempertemukan “kepentingan-kepentingan” kelompok yang bertikai tersebut kedalam sebuah tatanan kekuasaan yang bisa mengurangi perbedaan. “Kedua”, dibutuhkan usaha yang serius untuk mendorong penguatan kembali nilai-nilai kebersamaan yang disebut Parekh (2008:87) sebagai “contract moral” antar kelompok dan individu dalam sebuah masyarakat majemuk. Berbagai studi tentang konflik dan kekerasan di Indonesia menunjukkan bahwa penanganan konflik (resolusi konflik) di daerah-daerah yang dilanda konflik horisontal (seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi tengah, Maluku dan Maluku Utara) memperlihatkan kecenderungann yang masih berpola elitis dengan keterlibatan aktor atau kelompok dominan tertentu saja dengan men45
exlude publik (tidak melibatkan masyarakat), yang justru paling menderita akibat konflik. Hal yang sama dapat dilihat pada pola penanganan konflik di Papua yang cenderung didominasi kekuatan negara yang hegemonik. Negara menjadi institusi yang memegang kendali atas konflik Papua sekaligus usaha penyelesaian konflik. Negara berusaha membangun konsensus untuk mempertemukan kepentingan negara dan elit Papua melalui serangkaian kebijakan politik dan ekonomi yang diyakini akan mengurangi ketegangan dan konflik di Papua. Namun proses tersebut tenyata belum berhasil karena mengabaikan kekuatan-kekuatan lokal yang sebetulnya mendukung tegaknya perdamaian. Fenomena kelompok masyarakat yang harmonis di wilayah Fakfak di Propinsi Papua Barat, bisa menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan teorisasi konflik dan konsensus yang telah dijelaskan di atas. Secara paradigmatik pemanfaatan teori konflik merupakan sesuatu yang bertentangan dengan teori integrasi sosial. Namun penjelasan teori konflik tetap diperlukan untuk menjelaskan fenomena Fakfak, karena sebagai salah satu wilayah di Papua, Fakfak tentu memiliki potensi konflik yang hampir sama dengan daerah di sekitarnya. Misalnya isu tentang wacana kemerdekaan Papua, diskriminasi dan peminggiran sosial. Dengan kata lain potensi konflik di Fakfak merupakan fakta yang mesti juga diakui sebelum membicarakan integrasi sosial. Perbedaannya ada pada sistem nilai yang mampu mendorong masyarakat untuk mengelola berbagai potensi konflik tersebut sehingga tidak memunculkan ekses kekerasan yang destruktif.
46
1.5.3. Teori Konstruksi dan Reproduksi Sosial Sebagaimana telah dikemukakan dimuka bahwa konsep integrasi sosial dapat digunakan untuk menjelaskan penyatuan yang dapat mengintegrasikan kelompokkelompok sosial dalam masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan–perbedaan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor teritorial; kultur, agama, kepentingan, kelas sosial dan sebagainya, dengan mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan oleh factorfaktor tersebut. Namun konsep integrasi sosial memiliki kelemahan untuk menjelaskan bagaimana proses-proses tersebut terjadi, sehingga diperlukan konsepkonsep lain untuk memperkuat penjelasan tentang dinamika kemasyarakatan. Kompilasi teoritis teoritik diperlukan untuk menkonseptualisasi gagasan bahwa perdamaian dalam masyarakat pada dasarnya adalah sebuah konstruksi sosial (social construction) yang melibatkan berbagai aktor untuk membentuk makna tertentu, yang dibangun bahkan diubah dalam suatu ruang dengan serangkaian pilihan nilai dan kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dengan tingkat kekuasaan yang berbeda (Irwan Abdulla, 2006;2). Proses pemaknaam itu yang menjadikan masyarakat sebagai produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus (Berger dan Luckman, 1967). Pernyataan ini menegaskan satu bentuk konstruksi sosial bahwa dinamika kemasyarakatan bukan merupakan sebuah keseimbangan yang tunggal dan statis, sebagaimana dibayangkan oleh para penganut fungsionalisme tentang equilibrium dalam integrasi sosial. Ternyata keseimbangan dalam masyarakat adalah keseimbangan yang dinamis, bahkan juga kontestatif.
47
Oleh sebab itu, meskipun disertasi ini mengetengahkan pendekatan integrasi sosial dalam memotret dinamika perdamaian di Fakfak, namun integrasi sosial yang dipahami bukanlah sesuatu yang statis dan tunggal, tetapi dinamis dan kontestatif. Masyarakat beserta segenap produknya adalah hasil konstruksi sosial, yang mengalami reproduksi dalam ruang-ruang budaya yang kompleks. Cara pandang seperti ini membutuhkan kerangka teoritis yang lebih kritis seperti konstruksi dan reproduksi sosial untuk menganalisis dinamika integrasi sosial yang terjadi. Upaya memahami fenomena sosial kemasyarakan di Fakfak dengan pendekatan kontruksi dan reproduksi sosial, dapat menjadi solusi teoritik terhadap kritik yang menyebutkan bahwa konsep integrasi sosial adalah penguatan pada status quo. Untuk memenuhi kebutuhan konseptual tersebut, maka dalam disertasi ini penulis akan memanfaatkan pandangan Berger dan Luckman (1994) tentang konstruksi sosial dan pandangan Pierre Bourdieu (2002) tentang reproduksi sosial. Kedua teori tersebut akan membantu untuk melihat sejauhmana norma-norma sosial di Fakfak dibentuk, dimanfaatkan dan dilembagakan dalam sebuah proses sosial yang dinamis. Konstruksi sosial yang diperkenalkan oleh Berger dan Luckman (1990), menggambarkan bahwa proses pelembagaan nilai dalam dalam sebuah masyarakat terjadi dalam tiga tahapan yang saling terintegrasi, yakni eksternalisasi-objektivasiinternalisasi. Eksternalisasi ialah proses penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Sebab setiap individu dalam masyarakat yang diakui mesti menyerap nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat “society is a human product”. Sedangkan objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang 48
dilembagakan atau mengalami institusionalisasi, “Society is an objective reality”. Adapun internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “man is a social product” . Proses antara eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif. Konstruktivisme Berger ini bisa dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckman (1990) disebut dengan konstruksi sosial. Pendekatan konstruksi sosial sebagaimana yang digambarkan Berger dan Luckman dapat dilihat dalam fenomena masyarakat Fakfak. Hubungan antar manusia dalam kehidupan masyarakat di Fakfak telah melahirkan lembaga-lembaga sosial sebagai realitas. Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi di sisni, ketika semua kegiatan masyarakat Fakfak mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari 49
tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga sosial (Sukidin Basrowi, 2002:206) Sebagai tindak lanjut dari pelembagaan nilai terdapat proses reproduksi sosial untuk menjamin kehidupan sosial tetap dalam satu keseimbangan. Piere Bourdieu (1977) memperkenalkan konsep habitus dan field (ranah) untuk menganalisis reproduksi sosial dalam masyarakat. Pemanfaatan kerangka teoritis Bourdeu untuk menganalisis keterlibatan individu dalam sebuah proses sosial, diperlukan untuk memverifikasi apakah struktur damai yang terjadi di Fakfak dikembangkan berdasarkan kesadaran yang bebas atau karena tunduk pada suatu struktur sosial yang teratur dan dominatif. Dalam Outline of a Theory of Practice Bourideu (1977:72) mendefinisikan habitus sebagai berikut: Habitus adalah sistem yang terdiri dari struktur yang bertahan lama. Sebuah struktur yang cenderung berfungsi sebagai struktur yang memberikan struktur, atau sebagai asas yang melahirkan dan menyusun kebiasaan dan penggambaran yang dapat disesuaikan secara objektif pada hasilnya, tanpa mensyaratkan tujuan yang sadar terhadap hasil-hasil atau penguasaan terhadap langkah-langkah yang perlu untuk dicapai. Dalam bahasa yang lebih sederhana habitus bisa ditafsirkan sebagai struktur mental atau kognitif yang dengannya orang-orang berhubungan dengan dunia sosial. Individu menggunakan habitus untuk berhubungan dengan realitas sosial karena ia telah dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial (Ritzer, 2010:577). Seperti benar-salah, baik-buruk, berguna-tidak berguna, terhormat-terhina
50
(Adib, 2012:97). Skema-skema tersebut berhubungan sedemikain rupa sehingga membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada individu dalam hidup kesehariannya bersama orang-orang lain. Habitus bekerja di bawah level kesadaran dan bahasa, diluar jangkauan pengawasan dan kontrol introspeksi kehendak. Dengan demikian habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang waktu tertentu. Bourdieu meyakini bahwa kebiasaan seseorang bukan diturunkan dari bakat tetapi oleh habitus yang merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tidak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah (Richad Harker, (edit.), 2009:xix). Bourdieu melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat sentral dalam membangkitkan serta mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan social. Misalnya ketika berjalan di lajur sebelah kiri, kebanyakan dari kita tidak lagi memperhatikan petugas polisi. Tidak diperlukan lagi pemasangan rambu-rambu lalulintas yang mengingatkan kita untuk berjalan di sebelah kiri. Sebab berjalan disebelah kiri telah menjadi kebiasaan yang bersifat teratur dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan pada peraturan tertentu (Adib, 2012:101). Tegasnya berjalan disebelah kiri merupakan habitus atau kebiasaan sosial yang menjadi sebuah tindakan.
51
Kerangka pikir Bourdieu tentang habitus sebagaimana dijelaskan di atas pada dasarnya bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena keteraturan sosial dalam sebuah masyarakat yang harmonis, sebagaimana akan ditunjukkan dalam penelitian ini. Nilai-nilai tentang harmoni dan perdamaian seperti kearifan-kearifan lokal sebetulnya adalah habitus yang berproses secara tidak disadarai dan dilaksanakan mayarakat sebagai sebuah bentuk kebiasaan yang tidak terikat dengan berbagai aturan formal yang ada. Tetapi ia menjadi sebuah struktur yang menundukkan kehidupan sosial. Dalam kasus Fakfak, habitus perdamaian yang kuat memungkinkan siapapun yang datang ke Fakfak, tanpa menyadari turut menjalankan berbagai norma lokal yang mempromosikan toleransi, harmoni dan perdamaian. Hal ini pula yang menejelaskan mengapa masyarakat Fakfak memiliki kecenderungan untuk menolak kekerasan, termasuk institusi-institusi yang berpeluang melahirkan kekerasan di wilayahnya. Habitus sosial di Fakfak mewujud dalam serangkaian modal kultural yang dimaknai oleh masyarakat dalam relasi sosial sehingga membentuk kebiasaan yang positif dan mendukung perdamaian. Konsep habitus tidak bisa dipahami tanpa melihat hubungannya dengan konsep field (ranah). Bourdieu memandang rana sebagai jaringan relasional antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaram indvidual. Oleh karena itu ranah bukan ikatan intersubektif antara individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu.
Ranah
merupakan
metafora
yang
digunakan
Bourdieu
untuk
menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya 52
yang dikandungnya. (Ritzer dan Goodmanm 2010:582-590). Posisi-posisi dalam ranah ini ditentukan oleh banyaknya volume kapital yang dimiliki masing-masing pelaku atau kelompok sosial. Dengan kata lain, struktur distribusi kekuasaan dalam Ranah
merupakan:
(1)
arena
kekuatan
sebagai
upaya
perjuangan
untuk
memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan kekuasaan; (2) semacam hubungan terstruktur yang tanpa disadari mengatur posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah menjadi pasar kompetitif yang didalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan dimanfaatkan (Adib, 2012). Bourdieu melihat pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan hubungan kelas dalam masyarakat. Dalam menekankan pentingnya habitus dan ranah, Bourdieu menolak untuk memisahkan anatara metodologi individualis dan metodologi menyeluruh. Dengan kata lain ranah menkondisikan habitus; di pihak lain, habitus menyusun ranah, sebagai sesuatu yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai. Ranah yang dimaksud Bourdieu adalah sistem yang telah berkembang menjadi kebiasaan. Sebuah contoh menarik, misalnya dikemukkaan Adib (2012:106), terkaitkan dengan pola kebersihan dan atau cara orang membuang sampah di Singapura yang memang sudah terbentuk dan terkondisikan tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungannya. Di Singapura tidak ada orang yang membuang sampah di sembarangan tempat. Merek sudah terbiasa membuang sampah di tempat yang telah disediakan. Ranah 53
serta sistem yang telah berkembang sudah menyiapkan segala sesuatunya sehingga pola hidup bersih sudah menjadi hal yang wajar dan seharusnya dijaga oleh semua pihak. Di sini field atau ranah yang dimaksud Bourdieu telah terbentuk dengan baik. Adapun field (ranah) yang dimaksud dalam studi ini adalah struktur perdamaian dalam masyarakat Fakfak. Ranah bisa mewujud pada keberadaan pemerintah, institusi adat, institusi agama, civil society, yang dalam perspektif Bourdieu, merupakan agen yang menyerap nilai-nilai budaya untuk menstrukturkan struktur sosial masyarakat Fakfak agar tetap harmonis. Proses menstrukturkan dan distrukturkan tersebut bisa terjadi melalui kontestasi, negosiasi atau kompromi. Dalam bentuk yang nyata bisa dilihat pada berbagai upacara keagamaa, ritual-ritual adat, aturan-aturan perudangan-undangan, praktik politik lokal yang dilembagakan ataupun kebiasaan berbahasa dan simbol-simbol kutural lainnya. Dengan demikian praksis dari kerangka konseptual Bourdieu tentang habitus dan field (ranah), memiliki relevansi untuk menjelaskan fenomena harmoni sosial yang tebentuk pada masyarakat Fakfak. Situasi harmonis yang tejadi merupakan produk kultural yang telah terbingkai dalam modal kultural masyarakat setempat, sepertinya adanya kearifan lokal satu tungku tiga batu, yang tanpa disadari menjadi habitus dalam pikiran dan tindakan masyarakat. Hal ini ditambah dengan keberadaan kepemimpian adat yang kuat, struktur pemerintahan lokal yang cenderung akomodatif pada perbedaan dan adanya dukungan berbagai kelompok sosial lain yang mendukung pelembagaan nilai-nilai kultural masyarakat Fakfak tersebut kedalam arena politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan. Arena politik (pemerintahan) dan 54
ekonomi yang selama ini menjadi medan kontestasi yang melahirkan berbagai kisah konflik di seluruh Papua, dalam kasus Fakfak berhasil distrukturkan oleh habitus sosial setempat yang bermodalkan nilai-nilai kearifan lokal. Proses pembentukan struktur harmoni dan perdamaian pada masyarakat Fakfak tentu bukan merupakan sesuatu stagnan, tetapi juga dinamis dan kontestatif. Melalui relasi sosial yang demikian, masyarakat Fakfak membangun kehidupan sosialnya yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
1.6.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (studi kasus) yang menggunakan
metode fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Objek yang dikaji adalah integrasi sosial di Papua, khususnya yang terjadi pada masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat. Asumsi-asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah bahwa integrasi sosial yang terjadi di Fakfak tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor atau variabel yang saling berkaitan, yaitu (1) Fakfak memiliki sejumlah karakteristik dan keunikan dibandingkan wilayah lainnya di Papua, sehingga dinamika intergasi sosial yang tercipta memiliki keberhasilan yang sangat tinggi; (2) adat dan agama dalam masyarakat Fakfak merupakan elemen-elemen sosial yang sangat penting dan strategis yang mampu merekatkan perbedaan-perbedaan agama, etnisitas, pandangan politik hingga kepentingan-kepentingan ekonomi dalam satu hubungan sosial yang harmonis; (3) nilai-nilai kultural tersebut sudah dapat dilembagakan dalam aktifitas
55
politik
pemerintahan dan praktik-praktik ekonomi lokal sehingga memberikan
jaminan yang kuat pada keberlanjutan harmoni dan perdamaian. Melalui metode fenomenologi diharapkan deskripsi atas fenomena yang tampak di lapangan dapat diiterpretasi makna dan isinya secara lebih baik dan mendalam. Selain itu berbagai fenomena sosial yang menjadi objek penelitian ini dapat diluksikan melalui penyederhaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsepkonsep yang bisa menjelaskan secara analitis dan sistematis (J. Vredenbregt, 1983:345). Karena tujuan penelitian adalah interpretasi terhadap makna, maka penelitian ini dilakukan secara kualitatif tanpa uji hipotesis. Namun demikian, asumsi diperlukan dalam rangka merumuskan hubungan dan keterkaitan antar-variabel, yaitu antar variabel-variabel independen (pengaruh) dan variabel dependen (terpengaruh), sehingga komlpeksitas realitas sosial yang diteliti menjadi lebih sederhana dan relatif mudah untuk dilakukan analisis. Adapun data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui model penelitian lapangan (field research) yang akan didukung oleh penelitian pustaka (library research). Penelitain lapangan merupakan pengambilan data lapangan tentang bagaimana proses integrasi sosial yang terjadi dalam masyarakat Fakfak di Papua Barat. Mengingat penelitian ini merupakan qualitative research, maka data-data yang tersaji dikumpulkan dengan cara-cara dan strategi pengumpulan data yang lazim digunakan dalam pengumpulan data yang bersifat qualitative. Seperti pengamatan (observation), wawancara mendalam (indepth-interview), serta studi
56
dokumentasi. Berikut akan dijelaskan secara singkat beberapa aspek signifkan dari empat tahapan tersebut. 1) Pengamatan (observation) Fokus observasi dalam penelitian ini adalah masyarakat fakfak yang berada di Sembilan Distrik (kecamatan) di Kabupaten Fakfak Propinsi Papua Barat. Observasi langsung ke lapangan bertujuan untuk menggali data tentang kehidupan sosial masyarakat Fakfak, dengan memperhatikan beberapa hal pokok. “Pertama”, bagaimana proses interaksi antar masyarakat yang berbeda agama, suku, bahasa dan status ekonomi. “Kedua”, mengidentifikasi factorfaktor apa saja yang membuat masyarakat dapat tetap hidup, rukun dan damai dalam perbedaan-perbedaan tersebut. Hal-hal yang diamati adalah aktifitas sosial-budaya, agama, ekonomi, politik dan pemerintahan. Dalam hal ini saya penulis melakukan pengamatan secara partisipatif melalui penelusuran lapangan untuk mengetahui kehidupan sehari-hari, serta ikut serta dalam berbagai aktifitas, baik praktek budaya, sosial, agama, ekonomi dan lain sebagainya. Selama satu tahun penulis telah mengunjungi Papua sebanyak dua kali dan berdiam diri selam 3 bulan pada masing-masing kunjungan tersebut. Proses ini penting untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang sistuasi politik, sosial, ekonomi dan budaya setempat. 2). Wawancara mendalam (indepth interview) Wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi dari informan kunci yang ditemukan dalam proses penelitian di lapangan 57
berdasarkan kebutuhan penelitian lapangan (Denzin dan Lincoln, 1994:12). Dalam hal ini penulis telah melakukan wawancara mendalam dengan 28 tokoh masyarakat Fakfak yang terdiri dari kalangan intelektual, raja yang pemimpin kerajaan lokal (pertuanan), kepala suku, pemimpin agama, pemimpin politik dan pejabat birokrasi. Wawancara akan dilakukan secara langsung, dengan memanfaatkan dua akses secara simultan. Yakni proses tatap muka (face to face) dengan informan dan proses komunikasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi saat ini seperti wawancara melalui handphone dan jejaring sosial yang tersedia secara on-line di internet. Pertanyaan-pertanyaan dan pengayaan topik pertanyaan akan dikembangkan oleh peneliti menurut situasi dan kondisi yang berlangsung ketika penelitian dilakukan. Oleh sebab itu, wawancara mendalam dapat dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terstruktur maupun tidak terstruktur terhadap para informan yang dianggap mengetahui data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. Peneliti dalam melakukan penelitian akan dituntut untuk selalu mengembangkan keterampilan mengembangkan gagasan dan mengujinya melalui wawancara secara terusmenerus, sehingga dapat diperoleh gambaran komprehensif dan data teoritis final terhadap objek yang diteliti. Sehingga tidak ada lagi keterangan empiris yang bertentangan dengan gagasan yang dibangun dalam proses penelitian. Selain model wawancara yang bersifat formal, dimana para informan mengetahui posisi penulis sebagai peneliti, penulis juga melakukan 58
perbincangan-perbindangan
ringan
dengan
masyarakat
Fakfak,
baik
masyarakat asli maupun pendatang untuk mendengarkan kisah-kisah mereka, kesan (persepsi) mereka tentang kondisi Fakfak dan kesaksian-kesaksian mereka yang terkait dengan tema yang dikembangkan dalam disertasi ini. Penulis harus mengakui bahwa, seringkali melalui perbincangan informal tersebut banyak hal-hal baru yang tidak terungkap melalui wawancara dengan para informan kunci. 3). Studi Dokumentasi Studi dokumentasi dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen yang terkait dengan masyarakat Fakfak. Termasuk membuat perbandingan (comparasi) dengan masyarakat lainnya di Indonesia yang memiliki kesamaan dengan permasalahan yang dihadapi dalam objek penelitian ini. Berbagai
dokumen tersebut akan mendukung dan memperkaya analisis
tentang dinamika masyarakat dan interaksi sosial yang produktif dan positif. Setelah proses pengumpulan data dalam penelitian ini sudah dianggap cukup dan telah dilakukan pencatatan secara seksama atas semua data tersebut secara lengkap, maka tahapan terakhir yang dilakukan adalah melakukan analisis terhadap data-data tersebut. Meskipun dalam proses penelitian, penulis telah menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat Fakfak, namun pada tahapan analisis, penulis tetap menjaga netralitas dan sikap kritis sehingga proses ini berlangsung secara objektif. Proses analisis yang dimaksud adalah sebagai berikut. “Pertama”, menelaah data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian dan dikelompokkan secara tematis sesuai 59
topic-topik yang menjadi pertanyaan utama dalam penelitian. “Kedua”, mengkaji kaitan data dengan konteks eksternal, seperti lingkungan social, politik, ekonomi dan budaya. Pada bagian ini ditentukan factor-faktor yang membentuk harmoni dan perdamaian, nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama (comman platform), actoraktor dan isntitusi yang terlibat serta proses-proses negosiasi yang terjadi. “Ketiga”, dilanjutkan dengan menyusun/memproses data dalam satuan (unitizing), serta melakukan kategorisasi dan penafsiran terhadap data. Metode interpretatif fenomenologis digunakan untuk melihat makna yang telah didapatkan dari data-data yang terkumpulkan. Dalam perspektif integrasi sosial di Fakfak, data-data yang telah terkumpul dalam penelitian selanjutnya dinventarisir, dikelompokkan sesuai pertanyaan penelitian dan dideskripsikan dalam tulisan, sehingga menghasilkan sebuah pemahaman yang utuh.
60