BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang mempergunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan, fikiran, maksud serta tujuan kepada orang lain. Setiap orang menyadari betapa pentingnya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Melalui bahasa budaya suatu bangsa dapat dibentuk, dibina dan dapat dikembangkan, serta dapat pula diturunkan kepada generasi-generasi berikutnya, karena bahasa juga merupakan salah satu dari unsur kebudayaan. Bahasa adalah alat
yang
dipakai
manusia
untuk
membentuk
dan
menyampaikan fikiran, perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan; alat yang dipakai manusia untuk mempengaruhi dan dipengaruhi (Samsuri, 1994:4). Menurut Chaer (1994:32) bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer (berubah-ubah) yang digunakan oleh para kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Ilmu yang mempelajari bahasa disebut dengan linguistik. Dalam linguistik hal yang dikaji bisa berupa kalimat, bunyi ujaran (fonem), kosa kata (morfem), bahkan sampai pada masyarakat pengguna bahasa. Dengan adanya hal-hal tersebut, maka melahirkan berbagai cabang linguistik sebagai suatu ilmu yang biasa dipelajari seperti : fonetik (onseigaku), fonologi (on-in-ron), morfologi (keitairon), sintaksis (tougoron), semantik (imiron), pragmatik (goyouron), sosiolinguistik (shakaigengogaku), dan yang lainnya (Dedi Sutedi, 2003:6).
Universitas Sumatera Utara
Bahasa sebagai alat interaksi dalam peristiwa tutur, terbentuk dari susunan kata. Kata adalah satu kesatuan penuh dan komplet dalam ujaran sebuah bahasa, kecuali partikel. Sebuah kata dalam kalimat dapat dipisahkan dari yang lain (Parera, 1994:4). Pernyataan diatas didukung pula oleh Verhaar (2001:97), bahwa kata adalah satuan atau bentuk “bebas” dalam tuturan. Bentuk bebas secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya dan dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk “bebas” lainnya di depan dan dibelakangnya, dalam tuturan. Dari kedua pendapat diatas, bahwa kata adalah satu kesatuan dalam tuturan yang dapat berdiri sendiri dan dapat membentuk kalimat. Kata memiliki kelas atau jenis kata. Dalam bahasa Jepang disebut dengan hinshi ( 品詞 ). Dalam Hashimoto Bunpou terdapat 9 macam kelas kata; doushi, keiyoushi, meishi (meishi, daimehsi, suushi), fukushi, fukutaishi (rentaishi), setsuzokushi, kandoushi, jodoushi dan joushi. (Sudjianto, 1996:26). Kelas kata nomina atau dalam bahasa Jepang disebut dengan meishi, merupakan kelas kata yang sering digunakan dalam peristiwa tutur. Pada kelas kata nomina atau meishi(名詞) terdapat nomina majemuk atau dalam bahasa Jepang disebut dengan fukugoumeishi(複合名詞) Fukugoumeishi yaitu nomina yang terbentuk dari gabungan beberapa kata, lalu gabungan kata itu secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata (Sudjianto, Dahidi, 2004:161). Sebagaimana Iwabuchi Tadasu dalam Sudjianto dan Dahidi (2004:162) menyebutkan bahwa meishi yang terbentuk dari hasil gabungan beberapa kata seperti kata-kata aozora “langit biru”, kokugo jiten “kamus Bahasa Jepang”, disebut fukugoumeishi.
Universitas Sumatera Utara
Fukugoumeishi merupakan kata yang berasal dari gabungan beberapa kata yang membentuk satu kata yang baru, dimana kata tersebut memiliki makna yang baru pula. Makna kata tersebut dapat dilihat dari salah satu atau seluruh komponen komponennya (endosentris), bahkan sama sekali bukan dari konponenkomponen pembentuknya (eksosentris). Makna merupakan kajian ilmu semantik. Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik (gengogaku) yang mengkaji tentang makna, Sutedi (2003:103). Menurut Chaer (1994:2) semantik adalah istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antar tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Penelitian terhadap fukugoumeishi ini dilakukan dari segi semantik untuk mengetahui makna fukugoumeishi yang terbentuk.
1.2. Perumusan Masalah Nomina majemuk atau dalam bahasa Jepang disebut dengan fukogoumeishi merupakan penggabungan dari dua buah kata atau lebih yang akan membentuk makna nomina yang baru. Pada kenyataannya kata majemuk itu sering menimbulkan keragu-raguan apakah hasil pemajemukkan mempunyai makna yang sama dengan salah satu atau semua unsur pembentukannya (endosentris), atau tidak ada kesamaan sama sekali (eksosentris). Dalam proses belajar mengajar bahasa Jepang hubungan makna yang terdapat antara unsur – unsur pembentukan fukugoumeishi itu sendiri tidak dijelaskan, hanya diberikan arti tiap fukugoumeishi
Universitas Sumatera Utara
Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya kesalahan pemakaian dalam peristiwa tutur baik itu secara lisan maupun tulisan. Adapun permasalahan yang akan dibahas pada fukugoumeishi bahasa Jepang adalah : 1. Bagaimana struktur makna fukugoumeishi yang terbentuk. 2. Bagaimana hubungan makna fukugoumeishi dengan komponen – komponen pembentuknya.
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai makna yang terbentuk dari penggabungan kata bahasa Jepang dianalisis dari segi semantik dan hubungan makna fukugoumeishi yang telah terbentuk dengan komponen pembentuknya.
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka Cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji tentang arti atau makna disebut dengan semantik. Menurut Djajasudarma (1999:14) semantik berasal dari bahasa Yunani semainein ‘yang bermakna’; ‘bermakna’; ‘berarti’, seperti telah diungkapkan terdahulu. Semantik adalah ilmu makna, membicarakan makna bagaimana mula adanya makna sesuatu (sejarah kata, dalam arti bagaimana kata itu muncul), bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa. Linguistik terbagi atas beberapa bagian, dan bagian dari linguistik yang mengkaji tentang makna disebut dengan semantik. Dalam semantik, makna dikaji
Universitas Sumatera Utara
secara luas yaitu dari mana makna sebuah kata itu muncul, apakah makna kata itu dapat diperluas atau dipersempit, apakah sebuah kata memiliki kata yang bermakna ambigu atau ganda. Chaer (1994:2) mengemukakan bahwa semantik adalah istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antar tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Makna selalu berhubungan dengan sebuah kata. Apakah makna itu berasal dari kata yang tunggal ataupun berasal dari kata yang terbentuk dari hubungan antar kata dengan kata atau gabungan kata. Semantik yang dalam bahasa Jepang disebut dengan imiron. Objek kajian semantik antara lain adalah makna kata (go no imi), relasi makna (go ni imi kankei) antara satu kata degan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ku no imi), dan makna kalimat (bun no imi) (Sutedi, 2003:103). Dalam semantik bukan hanya mengkaji mengenai makna kata tetapi juga mengkaji mengenai makna kalimat, makna frase dan makna idiom. Semantik juga mengkaji tentang relasi makna yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antar satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain (Chaer, 1994:297). Satuan bahasa disini bisa berupa kata, frase, maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
Universitas Sumatera Utara
Semua masalah mengenai makna dibahas dalam kajian semantik. Dalam bahasa dikenal adanya kata, frase dan kalimat. Dalam kata, frase dan kalimat pasti memiliki keterkaitan dengan makna. Menurut Verhaar (2001:23) makna atau arti hadir dalam tata bahasa (morfologi dan sintaksis) maupun leksikon. Jadi semantik dapat dibagi atas semantik gramatikal dan semantik leksikal. Semantik
leksikal menyangkut
makna leksikal, semantik gramatikal
menyangkut makna gramatikal (Verhaar, 2001:388). Makna leksikal berhubungan dengan makna kata sebenarnya yang dapat dilihat di kamus, sedangkan makna gramatikal merupakan makna yang terjadi akibat proses gramatikal. Menurut Sutedi (2003:106) makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Misalnya kata /hon/ yang memiliki makna leksikal buku, dan kata /sakana/ yang memiliki makna leksikal ikan. Makna leksikal dapat dilihat dari tiap unsur katanya, sedangkan makna gramatikal tidak dapat dilihat dari masing-masing unsur pembentuknya, melainkan dari gabungan seluruh unsurnya. Makna gramatikal adalah makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi (Chaer, 1994:290). Dengan demikian, proses gramatikal bahasa dapat merubah makna kata yang di bentuknya.
Universitas Sumatera Utara
Makna kata majemuk merupakan makna gramatikal, karena makna itu hadir setelah terjadinya proses gramatikal yaitu komposisi (pemajemukan). Makna kata majemuk berkaitan dengan hubungan makna antara unsur yang membentuk perpaduan itu, yakni ada atau tidak adanya makna yang muncul dari hubungan makna antar unsur pertama dan unsur kedua dari perpaduan tersebut (Didi Yulistio. Dkk. 2002:4). Makna kata majemuk dapat dilihat dari unsur-unsur pembentuknya, apakah makna itu muncul dari unsur pertama pembentuknya, unsur keduanya, atau dari kedua-duanya, bahkan tidak sama sekali. Kata majemuk mengandung satu makna yang tidak dapat diramalkan berdasarkan arti dari tiap komponen pembentuknya. 2. Kerangka Teori Penelitian ini merupakan suatu analisis struktur bahasa yang menggunakan teori linguistik deskriptif atau linguistik struktural. Maksudnya bahwa semua analisis dan penemuan selalu berdasarkan kepada data yang terkumpul. Untuk menganalis makna nomina majemuk dalam bahasa Jepang, pokok pikiran utama yang digunakan adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam beberapa tulisan para ahli yang berbicara tentang kata majemuk. Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan arti. Pada umumnya kata majemuk mempunyai struktur yang sama dengan kata biasa, yaitu tidak dapat dipecah lagi atas bagian – bagian yang lebih kecil, tidak dapat disisipi oleh kata lain, dan tidak dapat ditukar bentuknya. Jika dipaksa menyisipi kata lain diantara unsur pembentukannya, hancurlah hakekat kata majemuk tersebut (Keraf, 1984:124).
Universitas Sumatera Utara
Lain halnya dengan apa yang dikatakan oleh Natawijaya (1979:29), kata majemuk mengandung satu makna baru, unsur-unsurnya merupakan satu kesatuan sehingga setiap unsur kehilangan arti leksikalnya : jika unsur-unsurnya dipisahkan maka bentuk majemuknya hilang dan tiap unsurnya mempunyai arti leksikal kembali. Teori yang digunakan untuk mendeskripsikan makna pemajemukan atau hubungan semantik antara komponen kata majemuk, seperti yang telah dikemukakan oleh Natawijaya diatas yang kemudian didukung oleh teori Sulaiman (1978:83), yang mengatakan bahwa ciri semantik ini sering dikenakan karena berkaitan dengan arti suatu gabungan unsur. Arti leksikal tiap unsurnya sudah larut atau sama-sama mengintegrasikan diri, bahkan kadang-kadang lebur menjadi suatu arti leksikal yang baru timbul akibat penggabungan itu. Menurut Didi Yulistio dkk (2002:6-7), kata majemuk (perpaduan leksem) output dari proses perpaduan dua leksem (kata) atau lebih yang menimbulkan makna atau pengertian baru. Makna baru dalam kata majemuk secara tegas tidak lagi diambil dari makna dua leksem atau kata pembentuknya, tetapi muncul dari proses perpaduan kedua leksem itu. Menurut Masako dalam Wahyudi (2005:8) yang memberikan penjelasan tentang kata majemuk bahasa Jepang : 国語学大辞典第一版の複合語解説によれば、単語がその構成より見て 、二つ以上の語彙的意味持つ部分形態素に分析し得ると認めるとき、これ を合成語と言う、この説明において単独の用法を持ち得る語とは、名詞、 動詞、形容詞、形容動詞、副詞である。
Universitas Sumatera Utara
‘Penjelasan tentang kata majemuk yang tertulis dalam kamus besar bahasa edisi pertama menyatakan kta majemuk merupakan satu analisa tentang penggabungan dua atau lebih bagian (morfem) yang masing-masing mempunyai makna. Dari pernyataan ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa cakupan dari pembentukan kata majemuk bahasa Jepang meliputi kata nomina, verba, adjektiva (i), adjektiva (na) dan keterangan’.
Yus Rusyana dkk. (1985:7) menyatakan bahwa pemajemukan menghasilkan suatu arti semantik yang baru yang tidak dapat diramalkan dari arti kata komponennya. Arti baru itu ditinjau dari hubungannya dengan arti komponenkomponennya mungkin menunjukkan hal-hal sebagai berikut : 1. Makna baru itu tidak dapat diketahui hubungannya dengan kedua komponennya 2. Makna baru itu dapat diketahui hubungan dengan satu komponennya 3. Makna baru itu dapat diketahui hubungannya dengan kedua komponennya Selain dari hubungan komponen – komponennya, makna kata majemuk dapat dilihat dari kontruksinya. Yang dimaksud dengan kontruksi adalah “hubungan antar unsur – unsur suatu kata majemuk“ atau proses dan hasil pengelompokkan satuan – satuan bahasa menjadi kesatuan bermakna, yaitu kata majemuk (Kridalaksana, 1993:11). Berdasarkan kontruksinya dikelompokkan ke dalam (1) kontruksi endosentris, dan (2) kontruksi eksosentris. Kata majemuk dimana makna yang dihasilkan berasal dari makna konstituennya atau unsur pembentuknya dikatakan sebagai kata majemuk kontruksi endosentris (Kridalaksana, 1993:51). Sedangkan kata majemuk eksosentris adalah kata majemuk yang maknanya tidak sama dengan makna konstituen atau unsur pembentuknya (Kridalaksana, 1993:50).
Universitas Sumatera Utara
Kata majemuk merupakan perpaduan dua leksem atau lebih yang membentuk makna baru. Perpaduan leksem itu mengandung makna tertentu yang ada hubungannya dengan komponennya ataupun tidak ada hubungannya dengan komponen pembentuknya. Oleh karena itu kata majemuk dapat menjelaskan berbagi hubungan makna antar komponennya (Didi Yulistio, dkk, 2002:9).
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nomina majemuk bahasa Jepang yang menyangkut : a. Struktur makna fukugoumeishi yang terbentuk. b. Hubungan
makna
fukugoumeishi
dengan
komponen-komponen
pembentuknya. 2.
Manfaat Penelitian Hasil yang diharapkan dari penelitin ini adalah suatu skripsi yang memberikan
informasi faktual tentang proses semantik terhadap nomina majemuk bahasa Jepang atau fukugoumeishi. Informasi ini yang diharapkan dapat menambah pengetahuan terhadap penguasaan bahasa Jepang terutama oleh pembelajar bahasa Jepang.
1.6. Metode Penelitian Untuk mencapai hasil penulisan yang maksimal, maka diperlukan suatu metode yang dapat mendukung. Haris menyatakan dalam (Abd Rachman dkk, 1985:9), dalam pelaksanaannya untuk mencapai tujuannya, penelitian bahasa
Universitas Sumatera Utara
menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan, yaitu linguistik struktural atau linguistik deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif yang lebih menekankan pada data yang terkumpul. Keperluan data-data diperoleh dari buku – buku pelajaran Bahasa Jepang, beserta kamus yang berhubungan dengan objek penelitian. Hal ini berarti bahwa penelitian ini dilakukan guna memberikan gambaran objektif tentang fukugoumeishi bahasa Jepang secara faktual.
Universitas Sumatera Utara