BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Satu indikator penting dalam persaingan industri adalah daya tarik bisnis (business attractiveness). Indikator daya tarik tersebut dapat diukur dari profitabilitas industri. Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Investor dan kreditor berkepentingan mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba saat ini maupun masa yang akan datang. Semakin tinggi rasio ini akan menarik pendatang baru untuk masuk dalam industri (Woefel,1995). Demikian juga sebaliknya, apabila profitabilitas industri cenderung turun, akan menyebabkan tidak menarik bagi pendatang baru atau ditinggalkan oleh investor. Di pasar modal Indonesia dikenal jenis sektor perusahaan pembiayaan. Perkembangan perusahaan dalam industri perusahaan pembiayaan di Indonesia baik dalam jumlah maupun ukuran usaha akan membawa implikasi pada persaingan antar perusahaan yang semakin tinggi. Perusahaan dituntut untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kinerjanya agar tetap bertahan dalam masa krisis dan persaingan yang semakin ketat. Kehadiran perusahaan pembiayaan (multifinance) di Indonesia sesungguhnya belumlah terlalu lama, 1
2 terutama bila dibandingkan dengan di negara-negara maju. Perusahaan pembiayaan diketahui mulai tumbuh di Indonesia pada tahun 1974. Kelahirannya didasarkan pada surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Perkembangan industri leasing relatif tertinggal dibandingkan industri keuangan yang lain. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan sektor perbankan pasca Pakto 1988. Pada era inilah bank muncul dan menjamur bagai musim hujan. Deregulasi yang digulirkan pemerintah di bidang perbankan telah menciptakan banyak bank walaupun dalam skala kecil, tetapi banyak kalangan berpendapat justru Pakto 88 inilah menjadi biang keladi suramnya industri perbankan di kemudian hari. Puncaknya, terjadi pada tahun 1996 ketika pemerintah melikuidasi 16 bank dimana masih diikuti dengan dimasukkannya beberapa bank lain dalam program Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Meski demikian perusahaan pembiayaan masih mampu berkembang cukup mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang dibiayai pun terus meningkat. Jika sebelumnya hanya terfokus pada pembiayaan transportasi, kini berkembang pada keperluan kantor, manufaktur, property, konstruksi dan pertanian. Bertambahya laju sektor transportasi sangat berdampak pada penyedian dana untuk pembiayaan kredit otomotive baik itu roda dua maupun roda empat.
3 Perusahaan pada sektor pembiayaan ini memerlukan dana relatif besar dengan biaya tetap yang tinggi dan penjualan relatif stabil hal ini dikarenakan transportasi menjadi suatu kebutuhan yang cukup penting karena dapat memudahkan pendistribusian barang dan jasa antar wilayah dan juga mempermudah masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini mengindikasikan multifinance kian dikenal pelaku usaha nasional. Ada beberapa hal menarik jika kita mencermati konsentrasi dan perkembangan perusahaan leasing. Pada era tahun 1989 industri ini di Indonesia cenderung berupaya memperbesar asset, perburuan asset tersebut diantaranya disebabkan tantangan perekonomian menuntut mereka tampil lebih besar, sehat dan kuat. Perusahaan yang tidak beranjak dari skala semula tampak kesulitan dana dan akhirnya tutup sama sekali. Dukungan asset dan skala usaha yang besar, muncul anggapan perusahaan lebih andal dibandingkan yang lain. Bagi yang kapasitasnya memang terbatas, mereka berupaya agar tetap konsisten dan eksis dalam industri perusahaan pembiayaan. Dimulailah saling penjajakan di antara sesama perusahaan sektor pembiayaan. Skenario selanjutnya, banyak perusahaan leasing yang melakukan penggabungan (merger/akuisisi) menjadi satu grup. Tampaknya langkah ini membuahkan hasil positif, selain modal dan asset bertambah, kredibilitas dan penguasaan pasar pun ikut mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, kembali terjadi perubahan besar-besaran pada perusahaan pembiayaan. Seiring dengan
4 kebijakan uang ketat (tight money policy) - yang lebih dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I dan II - suku bunga pun mengalami peningkatan. Akibatnya, banyak kredit yang sudah disetujui terpaksa ditunda pencairannya. Berdasarkan permodalan, tight money policy membuat perusahaan multifinance seperti kehabisan dana. Aliran dana menjadi macet, kalaupun ada harganya tidak terjangkau. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang menggabungkan usahanya dengan bergabung, mereka lebih mudah dalam memperoleh kredit, termasuk dari luar negeri. Perusahaan sektor perusahaan pembiayaan yang telah terdaftar di PT. Bursa Efek Indonesia periode 2004 sampai dengan 2009 sebanyak 16 perusahaan. Berkaitan dengan penelitian ini pada Tabel 1.1 disajikan data pendahuluan mengenai perkembangan rata-rata
profitabilitas perusahaan (ROE), earning
before interest and tax (EBIT), sales, debt to equity ratio (DER) dan total asset sektor perusahaan pembiayaan di di Bursa Efek Indonesia selama periode 20042009. Berdasarkan Tabel tersebut terlihat Return On Eequity (ROE) pada tahun 2005 yang paling besar persentasenya, hal ini membuktikan bahwa tingkat kemampuan laba dari modal sendiri memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan perusahaan. Net Sales secara umum bervariasi yang mencerminkan tingkat penjualan tumbuh berkembang sesuai pangsa pasar dimana setiap perusahaan pembiayaan memiliki segmen pasar tersendiri sehingga bersaing
5 untuk memperebutkan segmen pasar di Indonesia dengan tingkat penjualan terbesar terjadi pada tahun 2005 sebesar 46.970 milyar rupiah. Tabel 1.1 Perkembangan Rata-rata Data Profitabilitas Perusahaan (ROE), Earning Before Interest and Tax (EBIT), Sales, Debt to Equity Ratio(DER ) dan Total Asset Perusahaan pembiayaan Di BEI Periode 2004 -2009. Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Return On Laba Bersih Equity (%) (milyar Rp) 11,23 17,16 15,22 11,08 9,88 11,41
220.132 390.476 459.077 559.934 114.810 253.102
Sales Debt (milyar Rp) Equity Ratio (%) 25.10 1,21 46.970 1,30 29.026 1,75 11.118 1,08 28.311 2,16 29.327 2,55
Total Assets (milyar Rp) 111.268 227.389 124.331 211.365 228.883 241.256
Sumber: www.idx.co.id , data diolah ( lampiran 1) Berdasarkan Tabel 1.1 debt to equity ratio (DER) dari tahun 2004-2009 secara umum mengalami peningkatan, di mana rata-rata DER diatas satu ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mengunakan lebih banyak hutang jangka panjang daripada modal sendiri yang mengakibatkan rasio hutang perusahaan meningkat sehingga kemungkinan perusahaan mengalami financial distress akan semakin besar. Perusahaan harus bisa menetapkan tingkat hutang yang optimum sebagai konsekuensi dalam menghadapi beberapa risiko misalnya dengan menganalisis aliran kas (profitabilitas) dengan menggunakan semacam simulasi untuk memperkirakan kamampuan membayar bunga hutang pada situasi perekonomian yang kurang baik misalnya krisis global. Efesiensi pengelolaan
6 assets terjadi pada tahun 2007 dan 2008, dimana perusahaan mampu menghasilkan laba maksimum sebesar 599.934 milyar rupiah. Total assets perusahaan dalam kurun waktu 2004 -2009 mengalami peningkatan, ini berarti penggunaan intensitas modal perusahaan yang masuk dalam barier to entry industry pembiayaan juga mengalami peningkatan. Hal ini menandakan bahwa perusahaan pembiayaan merupakan perusahaan yang sedang tumbuh, sehingga memerlukan sumber pendanaan yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan investasinya. Mamduh Hanafi (2008) berpendapat bahwa terdapat suatu gejala hubungan positif antara risiko dengan tingkat pendapatan atau keuntungan. Pilihan tersebut mempunyai hubungan langsung dengan pengambilan keputusan manajer dalam keadaan tidak pasti demi kelangsungan hidup perusahaan. Agnes Sawir (2004) berpendapat bahwa risiko perusahaan terdiri dari risiko bisnis (bussines risk) dan risiko keuangan (financial risk). Risiko usaha merupakan variabilitas dari pendapatan yang diharapkan (laba sebelum bunga dan pajak) terhadap total aktiva perusahaan, di pihak lain risiko keuangan merupakan tambahan risiko yang timbul karena penggunaan levarage financial dan ini akan tercermin dalam variabilitas laba bersih. Risiko perusahaan yang terdiri dari risiko usaha dan risiko keuangan memiliki beberapa variabel risiko yaitu untuk risiko bisnis tercermin dari perusahaan yang memiliki biaya operasi tetap atau biaya modal tetap, maka
7 dikatakan perusahaan menggunakan operating leverage. Menggunakan leverage operasi perusahaan diharapkan bahwa penjualan akan meningkatkan perubahan laba sebelum bunga dan pajak yang lebih besar. Multiplier effect hasil pengguanaan biaya tetap operasi terhadap laba sebelum bunga dan pajak disebut degree of operating leverage (DOL). Besar kecilya DOL akan berdampak pada tinggi rendahnya risiko bisnis perusahaan. Semakin besar DOL, maka semakin besar pula risiko bisnis yang ditanggung perusahaan. Risiko keuangan tercermin dari penggunaan financial leverage adalah pengguanaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapya sehingga akan meningkatkan keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham. Multiplier effect yang dihasilkan karena penggunaan dana dengan biaya tetep dsebut degree of financial leverage (DFL). Pengguanaa financial leverage yang tinggi mengakibatkan risiko finansialnya juga meningkat, dengan semakin tinggi DFL maka akan semakin tinggi pula risiko keuangannya. Brigham dan Houston (2006) mengatakan bahwa penggunaan hutang yang terlampau besar juga tidak dibenarkan karena pada tingkat tertentu penambahan hutang akan menurunkan intensitas modal perusahaan akibat dari pembayaran bunga yang sangat tinggi, seperti apa yang disebutkan dalam teori trade-off penggunaan hutang yang terlampau besar akan menimbulkan biaya kebangkrutan yang tinggi bagi perusahaan.
8 Agus Sartono (2008) berpendapat bahwa risiko perusahaan sangat berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas perusahaan. Risiko perusahaan disini diukur dari dua variabel yaitu risiko usaha (bussines risk) dan risiko keuangan (financial risk). Risiko usaha yang dicerminkan dengan tingkat operating leverage (EBIT/ Penjualan) akan berpengaruh positif terhadap profitabilitas (ROE). Semakin tinggi tingkat operating levarage maka semakin peka laba operasi terhadap penjualan yang akan berdampak pada meningkatnya profitabilitas perusahaan. Penelitian ini berkaitan dengan Wijaya Oka (2000) yang didukung oleh Frensday dan Styama (2007) dimana hasil penelitian bahwa risiko bisnis berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas perusahaan yang go public di Indonesia. Demikian halnya dengan risiko keuangan yang dicerminkan dengan financial leverage, jika leverage meningkat menyebabkan sumber dari dana yang tersedia akan semakin tinggi sehingga memberikan kesempatan kepada pihak perusahaan untuk menginvestasikannya ke dalam modal kerja sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan. Namum disatu sisi apabila leverage terlalu tinggi dapat juga menjadi beban perusahaan didalam membayar bunga hutang tersebut atau risiko bagi perusahaan itu tinggi, yang akan berakibat menurunnya laba perusahaan yang akan dicapai (profitabilitas). Penelitian mengenai risiko keuangan ini berkaitan dengan yang dilakukan oleh Ratna Dewi (2004) yang
9 menjelaskan bahwa rasio leverage keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas perusahaan di mana mendukung teori yang ada dan bertentangan dengan penelitian dilakukan oleh Yulia Fitri (2006) dan Cyrillius Martono (2001) di mana hasil penelitianya ratio leverage berpengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas. Commanor dan Wilson (1997) mengemukakan bahwa dalam mempelajari persaingan industri, hal penting yang perlu diperhatikan adalah tingkat hambatan untuk keluar masuk industri (barrier to entry). Penggunaan rasio intensitas modal (capital intensiveness) yang diukur dari total asset terhadap penjualan sebagai indikator barrier to entry. Semakin tinggi rasio intensitas modal perusahaan menjadi semakin tidak menarik bagi pendatang baru untuk masuk industri. Hal tersebut karena dibutuhkan lebih banyak asset untuk menghasilkan setiap unit penjualan. Perusahaan dengan risiko usaha yang tinggi akan kesulitan dalam menentukan target laba karena labanya cenderung fluktuatif (penyimpangan relatif besar ). Brigham dan Houston (2006) berpendapat bahwa perusahaan yang memiliki risiko perusahaan yang tinggi cenderung menggunakan rasio intensitas modal yang rendah karena tingkat ketidakpastian pendapatan semakin tinggi sehingga terdapat hubungan yang negatif antara risiko perusahaan terhadap intensitas modal perusahaan. Konsep profitabilitas
industri yang digunakan oleh (Beard dan Dess
1979), mengacu pada dua perspektif, yakni dilihat dari kepentingan manajemen
10 dan kepentingan pemilik modal. Keunikan dari rasio profitabilitas industri yang diukur dengan ROE adalah bahwa rasio ini mencerminkan daya tarik bisnis (business attractiveness). Brealey et al. (1999) menyatakan bahwa Fluktuasi bisnis perusahaan berdampak besar terhadap keuntungan pemilik ekuitas bila sebagian modal perusahaan diungkit (are leveraged) oleh hutang, oleh karena itu leverage keuangan meningkatkan risiko pemilik modal. Pengukuran rasio Perputaran total aktiva bila dibalik (reciprocal) akan mencerminkan rasio intensitas modal atau capital intensiveness (Brigham dan Gapensky 1996). (Comannor dan Wilson 1967) menemukan bukti juga bahwa pada pada tingkat konsentrasi industri yang tinggi rasio ini berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas. MacMillan et al. (1982) yang dikutip Cyrillius Martono (2001) menemukan hasil yang kontradiktif bahwa rasio intensitas modal perusahaan terbukti berpengaruh negatif signifikan terhadap semua sel matrkis portfolio BCG. Hasil MacMillan konsisten dengan penemuan (Hermeindito, 1997) yang membuktikan bahwa rasio intensitas modal perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap
profitabilitas perusahaan tekstil dan
produk tekstil di Bursa Efek Indonesia . Dalam hal ini operating leverage, financial leverage dan intensitas modal secara teoritis memiliki pengaruh terhadap profitabilitas perusahan sektor perusahaan pembiayaaan. Khusus untuk perusahaan pembiayaan, ratio intensitas modal dapat diwakili oleh sektor perusahaan ini. Hal ini dikarenakan masuk ke
11 dalam perusahaan pembiayaan memerlukan modal yang sangat besar untuk proses investasi dan operasional perusahaan karena dewasa ini banyak perusahaanperusahaan finance pembiayaanya didanai oleh pinjaman bank asing atau kalangan perbankan nasional di tanah air. Penelitian yang dilakukan sekarang dengan menggunakan variabel risiko usaha,risiko keuangan dan intensitas modal terhadap profitabilitas merupakan sebagian replikasi penelitian dari Yulia Fitri (2006), Wijaya Oka (2000), Frendy and Styama (2007), Intan Ratna Dewi (2004), Hermeindito (1997) dan Cyrillius Martono (2001). Penelitian pada sektor perusahaan pembiayaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui besarnya risiko perusahaan dan intensitas modal yang dihadapi perusahaan tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1)
Apakah risiko usaha berpengaruh signifikan terhadap intensitas modal pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia?
2)
Apakah risiko keuangan berpengaruh signifikan terhadap intensitas modal pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia?
3)
Apakah risiko usaha berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia?
12 4)
Apakah risiko keuangan berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia?
5)
Apakah intensitas modal berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh risiko usaha terhadap intensitas modal pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia. 2) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh
risiko keuangan terhadap
intensitas modal pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia. 3) Untuk
mengetahui
signifikansi
pengaruh
risiko
usaha
terhadap
profitabilitas pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia. 4) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh risiko keuangan terhadap profitabilitas pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia. 5) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh intensitas modal terhadap profitabilitas pada perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis antara lain :
13 1) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bentuk bukti empiris mengenai pengaruh risiko usaha, risiko keuangan, intensitas modal dan konsep profitabilitas serta sebagai referensi bagi penelitianpenelitian yang serupa di masa yang akan datang. 2) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertimbangkan sebagai masukan bagi perusahaan pembiayaan di Bursa Efek Indonesia digunakan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan. Kajian ini dapat dijadikan sebagai model dasar untuk melakukan evaluasi strategi perusahaan pembiayaan untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan. Dengan mengetahui adanya pengaruh risiko usaha, risiko keuangan dan intensitas modal terhadap profitabilitas, manajemen perusahaan pembiayaan dapat mengubah strateginya ke arah yang lebih baik, dengan memakai indikator-indikator dalam penelitian ini sebagai acuannya.